Sebuah Perjalanan Ke Bali Dwipa


Ini perjalanan yang tak sungguh-sungguh kurencanakan. Yang kutahu, ketika itu aku berencana keluar dari pekerjaanku dan setelahnya ingin hengkang barang sejenak dari hiruk pikuk Bandung dan ingatan pada pekerjaan yang hari-hari belakangan terasa makin menyebalkan. 


Aku membuat dua alternatif: perjalanan darat secara estafet ke beberapa kota di Jawa Tengah atau perjalanan udara ke Bali. Tapi dengan pertimbangan waktu, kupilih opsi kedua. Kukirim sms ke seorang kawan di Bali, Mas Narto, yang kukenal dari komunitas Leo Kristi, Lkers. Dengan pertanyaan singkat, ”Kalau aku maen ke Ubud, kira-kira baiknya kapan, Mas?” Responnya ternyata melampaui dugaanku. Mas Narto menyebutkan tanggal ia bebas tugas, 21-26 Agustus. Dan ketika aku masih berusaha meyakinkan diri akan benar-benar pergi atau tidak, ia sudah memesankan tiket kepulangan ke Bandung: 27 Agustus 2014. Wow! Kabar yang membuatku panik dan akhirnya bergegas menyelesaikan beberapa hal sebelum keberangkatan yang kemudian kuputuskan: 21 Agustus 2014.

Begitulah. Akhirnya 21 malam aku tiba di Bandara Ngurah Rai. Menginap semalam di Denpasar, baru keesokan harinya Mas Narto menjemputku untuk rencana tiga hari di Ubud. Sebetulnya agendaku adalah melakukan perjalanan sendiri, suka-suka. Tapi rupanya Mas Narto sudah membuatkan agenda. Sebagai seorang tour leader, Mas Narto sangat paham Bali. Itu yang diberikan padaku. Dan: free...buatku saja loh yaaa..😀

Baca juga:
Ngadem di Soekasada
Mengenal Tempat Pemujaan Umat Hindu

Perjalanan tiga hariku sudah kubagikan dalam catatan sebelumnya. Sekarang aku mau berbagi tentang tiga hari berada di Ubud. Kenapa Ubud? Karena citra Ubud di kepalaku adalah alam, sawah, ketenangan. Bukannya pantai Bali tak menarik. Tapi kali ini aku hanya ingin menikmati ketenangan alam Bali. Citra di kepalaku ternyata jauh berbeda dengan yang kujumpai. Ubud riuh. Wisatawan mancanegara juga bersliweran dimana-mana. Tapi, baiklah…ucapkan selamat datang padaku, Ubud!

Penginapanku telah dipersiapkan. Sebuah kamar di sebuah guest house jalan Sri Wedari. Penginapan sederhana yang nyaman. Kapan-kapan ke Ubud, kau boleh coba, kawan. Namanya ‘Urip’ sesuai nama pemiliknya.


Penginapan ini tempat aku tidur di malam hari, dan sarapan pada pagi harinya. Sedangkan pada sepanjang jelang siang hingga sore jelang petang aku melakukan perjalanan. Lokasi-lokasi yang jauh itu kami tempuh dengan mobil, dengan Bli Ketut sebagai pemilik sekaligus driver. Nah, di antara waktu-waktu sebelum berangkat melakukan perjalanan atau sepulang dari perjalanan, aku menyinggahi beberapa tempat di seputaran kawasan Ubud Raya. Kubagikan cerita beberapa tempat yang sempat kukunjungi, yang barangkali bisa jadi alternatif kunjunganmu, kawan.

Ubud Palace


Sebuah kompleks bangunan tampak menonjol di antara bangunan lain di jalan Ubud Raya. Itulah Puri Saren Ubud atau Ubud Palace. Ubud sendiri telah menjadi kota kerajaan selama lebih dari seratus tahun. Dan di Ubud Palace inilah sang raja yang bergelar ‘Tjokorda atau Agung’ beserta keluarganya masih tinggal.

Ubud Palace dibuat oleh Ida Tjokorda Putu Kandel yang memerintah pada tahun 1800-1823. Puri masih terjaga hingga kini dan dengan auditorium/wantilan sebagai tempat pertemuan . Berbagai agenda budaya dilangsungkan di sini, seperti pagelaran seni musik dan tari, juga kegiatan sastra Bali.

Ingat pernikahan salah satu selebritas tanah air tahun 2010 yang sempat heboh dengan isu pindah agama? Yup. Happy Salma sekarang menjadi bagian dari keluarga ini. Tjokorda Bagus Dwi Santana Kerthayasa itu, suami Happy merupakan keturunan raja Ubud. Dari pernikahan ini Happy Salma mendapat gelar kenaikan kasta, yaitu Jero Happy Salma Wanasari. Jero merupakan bukti anggota baru kerajaan, sedangkan Wanasari berarti taman.

Rumah pelukis I Gusti Nyoman Lempad


Tak susah mencari kediaman pelukis ini. Posisinya lebih kurang di seberang Pasar Ubud. I Gusti Nyoman Lempad disebut-sebut sebagai sumber inspirasi yang tidak pernah kering bagi generasi seni berikut. Sejarah dan pengembangan seni lukis Bali tidak bisa dipisahkan darinya.

I Gusti Nyoman Lempad tidak berekolah secara formal. Ia tidak bisa membaca dan menulis. Nama ia tuliskan di kanvas dengan hanya mencontoh. Tak diketahui pasti kapan ia dilahirkan, tetapi banyak sumber menyebutkan anak ketiga dari empat bersaudara ini dilahirkan tahun 1862 dan menghembuskan nafas terakhirnya pada 25 April 1978. Disebutkan, I Gusti Nyoman Lempad meninggal dunia pada usia 116 tahun.

Sayangnya aku terlalu terburu-buru dan tak sempat melihat detil karya-karyanya.


Pasar Ubud



Tiga kali aku mendatangi Pasar Ubud. Kali pertama diantar Mas Narto, yang sekedar menunjuk arah dan lokasi di dalam pasar. Kali kedua, pada pagi hari kusempatkan ngopi di dalam area pasar. Tak mendapat suguhan kopi Bali, tapi ya sudahlah.. nikmati saja. O iya, sama beli ikan untuk meong di penginapan.

Pasar Ubud berada di tepi Jalan Raya Ubud. Sebetulnya tidak jauh berbeda dengan Pasar Seni Sukawati di Gianyar atau Pasar Seni Kumbasari di Kota Denpasar. Aneka produk fashion, souvenir atau cendera mata khas Bali banyak dijumpai di pasar ini. Bedanya, di Pasar Ubud masih terdapat aktivitas pasar umum dengan para pedagang yang menjual barang kebutuhan masyarakat sehari-hari. Pasar Ubud buka mulai pukul 04.00 pagi hingga sekitar tengah hari.


Nah, pada kali terakhir tak masuk area pasar. Tertarik dengan serba-serbi piranti berdoa. Beberapa kali melintasi para pedagang yang membuka lapak di pinggir jalan ini, terlintas untuk bertanya. Baru kesampaian pada Senin, hari terakhir di Ubud.


Mencari sawah Ubud

Jadi dimanakah letak sawah Ubud yang banyak ditampilkan di kartu pos dan sering dijadikan tayangan televisi? Pada Senin pagi, sebelum meninggalkan Ubud, kutinggalkan penginapan. Berjalan kaki kuteluri Ubud Raya, berbelok di jalan samping istana lalu menapaki jalan menanjak. Hingga sekitar sekilo perjalanan belum juga kujumpai sawah. Yang kutemukan malah sebuah jembatan yang membuatku ngeri memandang kedalamannya.


Dan bayanganku, yang mengingatkanku pada puisi Sapardi Djoko Damono (Berjalan ke barat waktu pagi hari).

waktu aku berjalan ke barat di waktu pagi matahari mengikutiku di belakang aku berjalan mengikuti bayang-bayangku sendiri yang memanjang di depan aku dan matahari tidak bertengkar tentang siapa diantara kami yang telang menciptakan bayang-bayang aku dan bayang-bayang tidak bertengkar tentang siapa di antara kami yang harus berjalan di depan


Melanjutkan perjalanan, menyeberangi jembatan lalu jalan memutar, akhirnya kujumpai juga sawah Ubud. Tak terlalu menyerupai gambaran dalam lukisan, tapi setidaknya menuntaskan kepenasaran.

Pada perjalanan berikutnya kujumpai pemandangan ini. Perempuan-perempuan Bali yang perkasa. Mereka tak lagi muda, tapi lihatlah yang dilakukannya. Menjadi kuli bangunan pengusung pasir. Di Bali, konon pekerjaan ini memang banyak dilakukan oleh kaum perempuan. Enam perempuan. Berpasangan mereka saling bantu menaikkan ember berisi pasir. Lalu beriringan memasuki halaman rumah yang sedang dibangun.


Hampir satu kilo perjalanan baru aku mulai menyadari kalau aku berada di Jalan Sri Wedari, dari ujung yang lain.



Bertemu Tari

Rencana jalan-jalan ke Bali ini sempat kuceritakan ke Tari, teman sekampung halamanku yang sudah memiliki ‘jam terbang jalan-jalan’ yang tinggi. Tapi agenda jalan barengnya agak sulit ketemu kompromi waktu. Jadilah kami jalan masing-masing. Tapi ada hari persinggungan yang kami gunakan untuk ketemu. Maka jadilah dua orang Trenggalek, satu tinggal di Bandung dan satunya tinggal di Bekasi, ketemu di Ubud, Bali.

***
Begitulah perjalanan ke Bali bulan lalu yang baru bisa dituliskan lengkap sebulan kemudian 


Baca catatan perjalanan:
Berkunjung ke Tenganan
Tirta Gangga, Taman Air di Kaki Gunung Agung


Big thanks to Mas Narto.

Alumni Sastra Prancis UI ini sudah lama malang melintang di dunia wisata. Wilayah jangkaunya bukan hanya Bali, tapi juga pulau-pulau lain di Indonesia. Dari Sabang sampai Merauke tampaknya sudah dijajagi. Ditambah dengan beberapa negara. Apa yang membuatnya bertahan?


Tampaknya inilah cinta. Memilih pekerjaan yang dicintai, dan mencintai pekerjaan yang dipilih. Pertanyaan itu sempat mengusikku saat kami memasuki Taman Soekasada. Bagaimana mungkin tidak bosan harus menjelaskan hal yang sama berulang-ulang selama belasan tahun? Di lokasi ini misalnya, Mas Narto bisa datang dua kali sebulan. Misalkan dirata-rata berarti 20 kali dalam setahun. Kalau pekerjaan sebagai tour guide ini sudah 20 tahun, artinya 400 kali ia mendatangi lokasi yang sama. Belum lagi kalau ada tambahan jadwal baru. Dan ini baru satu lokasi. Tapi -sekali lagi- barangkali ya itulah yang namanya mencintai pekerjaan.
Menurut Mas Narto, ia selalu menemukan sudut pandang baru dalam membagikan cerita dan informasi kepada para tamunya. Bukan semata apa yang ditemukan di lokasi, tapi juga mengulik sejarah yang berhubungan dengan lokasi yang dituju. Ini menjadikan Mas Narto tampak seperti kamus wisata berjalan. Beberapa pertanyaan yang kuajukan langsung bisa dijawabnya. Tapi Mas Narto cukup berendah hati mengatakan kalau tak semua hal ia tahu. Ada juga pengalaman ia tak bisa langsung jawab pertanyaan peserta tour, dan ia menjadikannya PR untuk diberikan jawabnya pada hari yang lain. Karena itu menurutnya menjadi pemandu wisata harus terus update informasi. Kemampuannya memberikan pelayanan yang baik, ditambah latar belakang pendidikan formalnya, membuat Mas Narto sering dicari untuk menjadi pemandu tamu-tamu negara.

Terimakasih, Mas Narto. Sukses selalu. Sampaikan salamku untuk Claudine.

Bli Ketut

Kukira-kira usianya 2 tahun di bawahku. Setelah cukup lama bekerja di sektor wisata, sebagai staf di hotel dan perusahaan tour & travel, Bli Ketut akhirnya memutuskan untuk memulai usaha sendiri. Ia cukup tahu beberapa hal tentang Bali. Lumayan memberikan perspektif baru dan tambahan informasi buatku. Selain juga cerita-cerita kocaknya semasa kecil di kota kelahirannya, Tanah Lot.
Makasih, Bli…


Ah iya… ini anakku selama di penginapan..



Meninggalkan Ubud, sempat singgah ke Pantai Sanur. Menikmati sate lilit ikan, dan menjemur diri di bawah terik matahari Sanur.


Sampai ketemu lagi, Bali Dwipa…


Baca juga catatan:
Upacara Piodalan
Pura Besakih

Berkunjung Ke Kampung Asli Bali, Tenganan


Sebuah kampung adat di tengah masyarakat yang juga masih menjunjung adat. Itulah Tenganan Pegringsingan, sebuah desa adat di Kecamatan Manggis, Kabupaten Karangasem. Kunjungan ini menjadi yang terakhir perjalananku pada pada hari itu, Sabtu, 23 Agustus 2014.

 

Beberapa catatan sejarah menyebutkan Tenganan berasal dari kata ‘tengah’ atau ‘ngatengahang’ yang artinya ‘bergerak ke daerah yang lebih dalam’. Kata ini terkait dengan pergerakan masyarakat desa dari daerah pinggir pantai ke daerah pemukiman di tengah perbukitan, yaitu Bukit Barat (Bukit Kauh) dan Bukit Timur (Bukit Kangin). Sementara catatan lain menyebutkan bahwa masyarakat Tenganan berasal dari Desa Peneges, Gianyar, yang awalnya bernama Bedahulu. Konon kata cerita, Raja Bedahulu pernah kehilangan salah satu kudanya. Pencarian pun dilakukan. Sayangnya sang kuda ditemukan sudah dalam keadaan tewas. Ki Patih Tunjung Biru, orang kepercayaan raja yang menemukan kuda tersebut, diberikan wewenang untuk mengatur daerah yang memiliki aroma dari bangkai kuda tersebut. Ki Patih menyebarkan potongan bangkai kuda ke segenap penjuru daerah, dan daerah-daerah itulah yang kemudian menjadi kekuasaanya. Konon demikianlah asal mula Desa Tenganan. Versi yang lain lagi menyebutkan, Desa Tenganan adalah desa yang didirikan warga asli Bali yang ingin mempertahankan kemurnian darah Bali, tradisi dan juga kepercayaan mereka. Mereka membentuk kelompok masyarakat tersendiri pasca hijrahnya sebagian besar penganut Hindu dari tanah Jawa. Entahlah. Yang jelas, Desa Tenganan merupakan salah satu desa dari tiga desa Bali Aga di Bali, selain Trunyan dan Sembiran. Bali Aga adalah desa yang masih mempertahankan pola hidup yang tata masyarakatnya mengacu pada aturan tradisional adat desa yang diwariskan nenek moyang mereka.

Aku tiba di desa ini sudah jelang sore. Pemandangan yang langsung menyambutku adalah sekelompok warga yang tengah berkumpul di sekitar banjar atau balai pertemuan. Para laki-laki bertelanjang dada, dan perempuan berkain hingga batas dada. Banjar tersebut berdiri memanjang, dengan pondasi batu dan atasnya berupa panggung terbuka. Atapnya terbuat dari tumpukan daun rumbi. Atap serupa juga meneduhi rumah-rumah yang berjajar di sepanjang jalan. Bedanya, rumah warga berdinding campuran batu merah, batu sungai, dan tanah. Rumah adat Tenganan memiliki bentuk dan ukuran yang relatif sama, dengan ciri khas pintu masuk yang sempit, dengan besaran sekitar ukuran satu orang dewasa. Ciri lain adalah bagian atas pintu yang tampak menyatu dengan atap rumah.

Para warga berkumpul di seputar banjar untuk melangsungkan sebuah upacara adat. Ada tiga kelompok yang akan melakukan upacara. Banjar utama dihadiri para laki-laki dewasa atau laki-laki kepala keluarga. Sedangkan kelompok anak muda dan perempuan melakukan upacara di tempat lain. Mereka sekedar bercakap untuk menunggu waktu. Beberapa orang tampak berkreasi dengan membuat gambar-gambar hias di daun lontar. Mataku langsung tergoda untuk menengok ke salah satu bangunan yang menjadi workshop tenun khas Bali, gringsing.


“Ibu saya lagi istirahat,” ujar seorang laki-laki yang menyambut kami.
“Memang ibu saja yang bisa menenun? Bapak tidak bisa?” tanyaku.
“Ya enggalah..itu kerjaan perempuan. Masa laki-laki nenun,” jawabnya sambil terkekeh. Menenun tentunya bukan pekerjaan yang mudah. Selain keahlian tertentu, dibutuhkan pula tenaga ekstra. Bukan hanya pada proses tenun tapi juga proses pewarnaan. Tapi..hmm…baiklah. Konon perempuan-perempuan Bali memang diciptakan perkasa.

Putu Santa, demikian laki-laki ini mengenalkan diri. Sesuai namanya, ia anak pertama dalam keluarga ini. Mereka menghasilkan cukup banyak kain gringsing, baik dengan teknik single maupun double. Konon teknik ikat dobel Tenganan ini merupakan satu-satunya teknik tenun di Indonesia. Kain gringsing yang dihasilkan terkenal istimewa hingga ke mancanegara. Kata Gringsing itu sendiri berasal dari kata “gering” yang artinya sakit atau musibah, dan “sing” artinya tidak. Jadi gringsing ini diartikan sebagai penolak bala. Kain ini wajib dimiliki warga Desa Tenganan karena menjadi bagian dari perlengkapan upacara.

Gringsing teknik dobel pembuatannya memerlukan waktu yang lama, bisa sampai 3 tahun hanya untuk selembar kain. Warna yang digunakan pun menggunakan bahan alam. Sumber warna gringsing di antaranya adalah kemiri untuk warna kuning, daun taum untuk warna hitam, tanaman indigo untuk warna indigo, dan kulit sunti untuk warna merah. Beberapa tanaman hanya bisa ditemukan di desa ini. Proses pembuatan yang unik dan lama, ditambah pewarna alam yang memang terbatas, menjadikan gringsing sebagai salah satu komoditas yang bernilai ekonomi tinggi. Di dalam rumah keluarga Putu Santa yang terlihat sederhana ini tersimpan kain-kain gringsing yang tak ternilai harganya itu. Tak heran jika keluarga ini mampu mengirimkan anaknya kuliah di PTN di Jawa.


“Saya alumni Unair Fakultas Kedokteran Gigi,” cerita Putu Santa pada kami. Mengaku masuk kuliah pada tahun 1983, Putu Santa memilih pulang kampung daripada berkarir sebagai dokter gigi. Ikatan kekeluargaan desa Tenganan sangat kuat. Berbeda dengan sistem kekeluargaan yang dianut oleh masyarakat di Bali pada umumnya, di Desa Tenganan perempuan dan laki-laki dalam keluarga memiliki derajat yang sama dan berhak menjadi ahli waris. Masyarakat Tenganan juga menganut sistem endogamy dimana masyarakat setempat terikat dalam awig-awig atau hukum adat yang mengharuskan pernikahan dilakukan dengan sesama warga Desa Tenganan. Pelanggar aturan ini tidak diperbolehkan menjadi krama atau warga desa lagi. Artinya mereka harus keluar dari Desa Tenganan. Selain perihal pernikahan, awig-awig juga mengatur berbagai hal dalam keseharian warga Tenganan. Hukum tersebut ditulis pada abad ke-11 dan diperbaharui pada tahun 1842.

Kuatnya ikatan kekeluargaan ini berpengaruh pada pekerjaan warga desa Tenganan. Ketika tawarannya berkarir jauh dari rumah dan tidak menjanjikan ketenangan atau berkumpul bersama kerabat dengan janji ketenangan, maka pilihannya akan jatuh pada yang kedua. Ini pula yang dilakukan Putu Santa, ketika lulus kuliah dan mendapatkan penugasan ke sebuah daerah di Kalimantan Barat. Ia memilih untuk mundur.


“Dalam hidup dibutuhkan keseimbangan. Dan saya menemukannya di desa ini. Kalau yang saya cari dalam hidup ini ada di desa saya, kenapa saya harus pergi jauh?” ungkap laki-laki berusia 50 tahun ini. Masyarakat Tenganan memang dikenal memegang teguh konsep Tri Hita Karana, sebuah konsep dalam ajaran Hindu yang yang mempercayai Tri-tiga dan Hita Karana- penyebab kebahagiaan untuk mencapai keseimbangan dan keharmonisan. Tri Hita Karana ini terdiri dari Perahyangan berupa hubungan yang seimbang antara manusia dengan Tuhan, Pawongan berupa hubungan harmonis antara manusia dengan manusia lainnya, dan Palemahan berupa hubungan harmonis antara manusia dengan lingkungan alam sekitarnya.

Ditanya tentang kemungkinan Putu Santa atau penduduk yang memiliki pendidikan seperti dirinya untuk membuka praktek medis, Putu hanya menggeleng. Penduduk Tenganan banyak memanfaatkan ramuan tradisional untuk menjaga kesehatan mereka. Namun jika dirasa membutuhkan pengobatan medis, mereka biasanya mengunjungi puskesmas terdekat. Begitu pula soal pekerjaan lainnya. Bukan berarti warga Tenganan tak ada yang bekerja di luar. Menurut Putu Santa cukup banyak juga penduduk Tenganan yang bekerja di luar desa adat mereka. Namun sebagian besar lainnya memilih untuk tinggal di rumah saja, misalnya berkreasi dengan kerajinan anyaman bambu, ukiran, dan lukisan di atas daun lontar. Atau membuka art shop. Bahkan untuk urusan tanah pertanian dan perkebunan yang dimiliki desa adat ini digarap oleh pihak luar.

Kepada Desa Tenganan Pegringsingan yang sempat kutemui, Putu Yudiana mengatakan bahwa desa mereka merupakan yang terluas di wilayah Kabupaten Karangasem. Dari 917,2 ha lahan milik Desa Tenganan Pegringsingan, hanya 8 persen yang dijadikan wilayah tinggal dan sekitar 250 ha saja yang digarap sebagai sawah dan ladang. Sistem pembagian hasil bagi para pekerjanya, diklaim Putu sebagai yang terbaik dibandingkan sistem bagi hasil yang berlaku di daerah lain. Putu Yudiana adalah kepala desa yang notabene digaji oleh pemerintah. Berbeda halnya dengan kepala desa adat yang disebut Perbekel. Salah satu tradisi unik yang masih dilangsungkan di desa ini adalah proses rekrutmen calon pemimpin desa adat ini. Biasanya dilangsungkan pada sekitar bulan Juni-Juli dan mendapatkan banyak kunjungan wisatawan. Dalam acara tersebut, para pemuda desa yang merupakan calon pemimpin adat akan bertarung di atas panggung menggunakan senjata dan tameng dari daun pandan. Duri-duri daun pandan akan menimbulkan luka para pesertanya. Memang itulah yang diharapkan. Pada masa lalu, konon darah peserta perang pandan ini dijadikan pewarna merah kain gringsing. Di masa kini tradisi ‘perang berdarah’ ini tetap dilakukan sebagai simbol persembahan kepada Dewa Indra. Penduduk Tenganan dikenal sebagai penganut Hindu aliran Dewa Indra, yang dipercaya sebagai dewa perang. Setelah perang usai, barulah luka-luka itu diobati dengan obat alami dari bahan umbi-umbian yang dioleskan pada semua luka hingga kering dan sembuh hanya dalam beberapa hari.


Putu Yudiana berpamit karena harus segera mengikuti upacara adat. Aku sempat menyaksikan awal berlangsungnya upacara. Namun segera beranjak karena hari yang makin gelap. Sampai ketemu lagi, Desa Tenganan Pegringsingan!

Sampai ketemu lagi, meong..



Pura Besakih, Pura Besar Bali Di Kaki Gunung Agung


Menjulang tinggi di kejauhan. Gunung yang disucikan umat Hindu Bali. Gunung Agung. Ada yang berdesir halus saat aku menantap puncaknya yang digayuti awan. Siapakah kalian yang mencoba menyapaku? Perasaan itu mengikutiku dalam perjalanan menanjak menuju Pura Besakih di kaki gunung tertinggi di Pulau Bali ini.


Gunung Agung awalnya memiliki tinggi sekitar 3.142 meter di atas pemukaan laut (dpl). Namun setelah meletus pada tahun 1963 diperkirakan ketinggiannya turun menjadi 2.920-3.014 meter dpl. Saat itu, setelah 120 tahun lelap dalam tidur nyenyak, letusan dahsyat Gunung Agung mengakibatkan korban jatuh dalam jumlah yang besar. Lebih dari seribu orang meninggal dunia, dan sekitar 300 orang mengalami luka. Puncak tertinggi Gunung Agung saat ini terletak di bagian barat daya, tepat di atas Pura Besakih. Pemandangan ini menemaniku dalam langkah kaki sejauh sekira 700 meter.

Memasuki area pura langsung disambut oleh para pedagang. Aneka macam. Makanan, pernak-pernik, postcard. Seorang gadis muda mendekatiku dan menyodori kartu pos aneka gambar khas Bali. Aku cuma menggeleng. Kembali ia menawariku, kali ini berbahasa Jepang. Hmmm… apa aku kelihatan seperti nihonjin? Mereka sangat gigih lho! Dan rata-rata mereka bisa menggunakan lebih dari 10 bahasa. Bisa jadi hafalan semata untuk keperluan jualan. Jadi tak heran, begitu menduga aku orang Jepang, si gadis berusaha menawariku menggunakan bahasa Jepang. Setelah menolak dengan segala cara, akhirnya bisa beranjak juga, menapaki jalan utama menuju kompleks pura.


Ada sejumlah catatan yang menyebutkan beberapa versi proses pembangunan Pura Besakih. Pada mulanya pura terbesar di Bali ini merupakan bangunan pelinggih kecil yang kemudian diperbesar dan diperluas secara bertahap dalam tempo yang cukup lama. Disebutkan pada permulaan abad ke-11, yakni tahun 1007, Pura Besakih sudah ada. Masa itu adalah masa pemerintahan Airlangga di Jawa Timur (1019-1042). Sedangkan Bali ketika itu dipimpin Senopati Empu Kuturan yang berkedudukan di Silayukti, Padangbai, Kabupaten Karangasem. Empu Kuturan memperbesar dan memperluas Pura Besakih dengan membangun sejumlah pelinggih. Beberapa meru dibangun meniru bangunan di Jawa seperti yang ada sekarang. Sumber lainnya menyebutkan, Maha Rsi Markandeya pindah dari Gunung Raung di Jawa Timur ke Bali, dengan membawa serta rombongan berjumlah sekitar 8.000 orang. Mereka lalu membuka tanah-tanah pertanian dan mendirikan Pura Besakih untuk tempat memohon keselamatan dan kesejahteraan dengan menanam panca datu.

Pada masa-masa berikutnya, Pura Besakih tetap mendapatkan pemeliharaan yang baik. Hampir semua pelinggih-nya diperbaiki dan arealnya diperluas. Pada sekitar abad ke-16, pada masa pemerintahan Dalem Waturenggong, Dang Hyang Dwijendra atau Pedanda Sakti Wawu Rauh menambahi Pura Besakih dengan pelinggih beruang tiga yang sekarang terdapat di Pura Penataran Agung Besakih. Kata besakih sendiri berasal dari kata basuki yang artinya ‘selamat’. Kata itu lalu berkembang menjadi basukir dan basukih; terakhir menjadi besakih.

Fungsi umum Pura Besakih adalah sebagai tempat bagi umat Hindu untuk memohon keselamatan. Berbagai upacara berlangsung di pura ini. Bhatara Turun Kabeh jatuh pada setiap purnama sasih kedasa atau sekitar bulan Oktober pada setiap tahunnya; seluruh umat Hindu datang berduyun-duyun untuk menyampaikan sujud baktinya pada Tuhan. Upacara Panca Wali Krama dilangsungkan 10 tahun sekali. Yang terbesar adalah upacara Eka Dasa Ludra, yang diadakan 100 tahun sekali. Upacara Eka Dasa Ludra terakhir dilaksanakan pada tahun 1979.

Mendekati bagian utama Pura Besakih, desir halus yang menyapaku saat menatap puncak Gunung Agung pada kali pertama kurasakan, makin kuat. Bagian utama ini adalah pelinggih Padma (Padmasana) Tiga yang ada di Pura Penataran Agung Besakih. Pura Besakih sendiri sebetulnya –selain Pura Penataran Agung- juga terdiri dari 18 kompleks pura yang terletak di wilayah Desa Besakih dan satu terletak di Desa Sebudhi, Kecamatan Selat, Karangasem. Selain itu juga masih banyak lagi Pura Pedharman yang menjadi penyiwaan warga-warga yang sesungguhnya tidak bisa dipisahkan dengan Pura Agung Besakih itu sendiri.

Pura Penataran Agung Besakih adalah yang terbesar di Pura Besakih. Terdiri dan 7 tingkat halaman dengan jumlah bangunan dan pelinggih seluruhnya sebanyak 53 buah. Di sini terdapat meru yang besar-besar dengan 11, 9, 7, 5, dan 3 tingkat. Pelinggih yang merupakan pemujaan pokoknya adalah Padma (Padmasana) Tiga. Pelinggih tersebut terdiri atas tiga bangunan berbentuk padmasana berdiri di atas satu altar, sebagai linggih Sang Hyang Widhi Wasa. Pada masa lalu, para Rsi Hindu membayangkan Bali Dwipa atau Pulau Bali sebagai padmasana, tempat duduk Siwa, Sang Hyang Widhi Wasa dengan asta saktinya (delapan kemahakuasaan-Nya) yang membentang ke delapan penjuru (asta dala) Pulau Bali masing-masing dengan dewa penguasanya. Dewa Iswara berada di arah Timur, bersemayam di Pura Lempuyang. Brahma di selatan, bersemayam di Pura Andakasa. Dewa Mahadewa di barat (Pura Batukaru), Wisnu di utara (Pura Batur), Maheswara di arah tenggara (Pura Goa Lawah), Rudra di barat daya (Pura Uluwatu), Sangkara di barat laut (Pura Puncak Mangu), Sambhu di timur laut (Pura Besakih), Siwa bersemayam di tengah, pada altar dari Pura Besakih dengan Tri Purusa-Nya yaitu Parama Siwa, Sada Siwa dan Siwa.

Ada energi yang berbeda yang kita rasakan tiap memasuki bangunan relijius. Begitu pun saat memasuki area suci Pura Besakih. Taksu yang kuat. Ada misteri. Ada takjub sekaligus haru. Ingin merasai ketenangan, berlama-lama menatapi meru bersusun menjulang. Tapi barangkali agak sulit menemukan sunyi di sini. Saat ada yang melangsungkan upacara, khidmatnya mungkin masih memberi hening. Namun yang tak tertolakkan adalah hadirnya para wisatawan yang tak peduli dengan tata krama ibadah. Ada bagian-bagian tertentu dalam pura yang jelas ditulisi “hanya bagi mereka yang bersembahyang diperkenankan masuk pura”. Tapi ada saja pengunjung yang bersikukuh untuk masuk, lalu mengambil gambar di antara umat yang sedang beribadat.


Helooooo…apa kalian juga tak keberatan kalau ibadat kalian diinterupsi oleh perilaku semacam itu?

Inilah dilema sarana ibadah yang sekaligus menjadi objek wisata. Kita juga masih ingat peristiwa di Borobudur pada tahun 2013 lalu. Upacara Trisuci Waisa, yang berlangsung 25 Mei 2013 itu kehilangan kekhusukannya karena ulah para pengunjung. Begitu banyak orang yang memang ingin menyaksikan dan mengikuti prosesi pelepasan 1000 lampion sebagai puncak acara peringatan Waisak tersebut. Tapi apa lantas membuat mereka bisa mengabaikan anjuran dari para pemuka agama Buddha yang sedang memimpin jalannya upacara? Sehingga akhirnya momentum sakral itu pun ternodai dengan perilaku yang terkesan seolah mereka tak kenal toleransi? Begitu pun di kawasan Pura Besakih yang kukunjungi ini. Entah seperti apa peraturan yang mustinya dibuat dan pengaturan seperti apa yang semustinya dilakukan. Tapi satu hal lain yang kemudian kutemui saat beranjak meninggalkan area suci Pura Besakih, seorang pemandu –yang orang Bali- menawarkan harga tertentu kepada wisatawan yang –tampak bersikeras- untuk menaiki tangga menuju area suci. “Dua puluh ribu saja,” begitu katanya. Ah!


Kutinggalkan Pura Besakih. Kupamiti Gunung Agung. Masih tak kumengerti makna bisik sapa yang dihembuskannya melalui angin dari sepanjang lerengnya… Mungkin suatu kali aku akan mengerti. Mungkin…Semoga.

referensi: babadbali dan balipost