Petang Panjang di Central Park, Kumcer Bondan Winarno

Baru membaca satu judul buku kumpulan cerpen (kumcer) ini, aku dibuat terkejut. Benar-benar terkejut. Sungguh, sebelumnya aku tak pernah mengikuti kiprah Bondan Winarno (alm), di wilayah jurnalistik. Entah, kenapa aku tak bersentuhan sama sekali dengan namanya pada masa masih bergiat di wilayah itu, baik saat kuliah maupun di keredaksian setelah nyemplung dunia kerja. Tahu namanya sebagai host acara kuliner. Itu pun cuma tahu sepotong-sepotong. Baru di judul pertama, kusadari kalau tulisan cerpen Pak Bondan ciamik betul. 

Baca juga: Jangan Pelihara Kucing, Buku untuk Para Pencinta Kucing

Buku ini dulu kuterima dari Ambu Dian, pecinta buku yang juga mamak kocheng. Rupanya dia punya koleksi dobel, maka dikirimlah salah satunya untuk ibu meong. Sempat menghilang untuk beberapa waktu karena lupa taruh. Seperti biasa, aku tak membaca langsung hingga habis kumpulan cerpen. Biasanya berselang-seling dengan bacaan yang lain. Lalu keteledoran membuatnya raib, dan baru kembali kulanjutkan beberapa bulan lalu. 

Petang Panjang di Central Park berisi 25 judul, yang semuanya ditulis dan dimuat di media massa pada kurun 1980-2004. Seperti komentar Maria Hartiningsih yang disisipkan di buku ini, cerpen Bondan di buku ini melampaui batas waktu dan ruang. Tak terasa ada perbedaan masa. Semuanya tetap terasa pas dibaca di masa kini. Kisahnya menggelitik, dan tak jarang diakhiri dengan kejutan. Baik kejutan yang membuatku terbahak tanpa henti untuk beberapa saat, atau sebaliknya kejutan yang membuatku terkelu. 

Kisah percintaan saja, Bondan menuliskannya dalam topik-topik yang sama sekali berbeda, dengan keasyikannya masing-masing. Misalnya kisah Bono dan Tizi dalam "Bologna-Milano" yang berakhir perih, kisah tokoh pertama dan Malicca dalam "Rumput" yang berakhir wagu, dan kisah Rudy-Jennifer dalam "Rudy dan Kami" yang berakhir sedih tapi menghangatkan. Tak terbayang olehku, akan membaca kisah muram lelaki Ambon -yang tampan dan hanya memiliki separo kelamin- dalam nuansa yang tak tunggal; antara ngenes, perih, gemas, sekaligus lucu. Atau kisah cinta Romeo-Juliet ala Filipina yang berdarah, penuh intrik, dan memunculkan rasa kosong pada akhirnya. Rasa kosong sekaligus nelangsa juga kutemukan dalam cerita yang dijadikan judul kumpulan cerpen ini. 

Baca juga: Sequoia, Catatan Seorang Lelaki untuk Anaknya

Tak melulu bercerita romansa percintaan. Cerpen berjudul "Konspirasi" misalnya yang menceritakan tentang jurnalis yang melakukan liputan terkait aktivitas mafia. Ada percintaan di sana, tapi semata bumbu. Selebihnya, tragis. Bondan membunuh sang tokoh utama. Atau kisah Abus dan peristiwa kematiannya yang tak terduga, dengan aneka kisah unik dalam masa di antaranya. Begitu pula dengan kisah Azra yang berakhir dengan, "...sebuah peluru menerobos lubang di tembok dapur, menikam Azra dari belakang."

Pendek kata, cerita-cerita yang disajikan Bondan lewat kumpulan cerpen ini idenya tak biasa, dengan eksekusi yang unik pula.

Membayangkan Bondan sebagai jurnalis, proses risetnya pasti tak sederhana. Tapi menjadi hal yang sepertinya sudah biasa juga buat dia. Menginspirasiku untuk mencoba mengikuti gayanya. Pun karena aku merasa klop dengan pilihan kata Bondan. Terinspirasi untuk menuangkan pengalaman dan pengetahuan seputar dunia penyiaran dalam cerpen yang asyik ala Bondan? Nah, kan, mulai mengkhayal. Tapi kalau suatu saat itu bisa terealisasi, akan kutuliskan catatan khusus buat almarhum.

Baca juga: Reviu Buku dan Tips Membuat Bookstagram


Judul: Petang Panjang di Central Park 

Penulis: Bondan Winarno

Penerbit: Noura Books, 2016

Tebal: 338 halaman

 


No comments