Featured Slider

Pohon Sala atau Burahol?

Aku suka sekali mengidentifikasi tanaman. Identifikasi sederhana saja. Sekadar keisengan yang terbakukan. Tak ingat sejak kapan aku melakukannya. Setiap kali berada di wilayah baru, aku selalu (SELALU!) ngecek, seberapa kenal aku dengan tanaman di sekitarku. Kurasa aku jadi semacam terobsesi, entah. Buat sebagian orang mungkin ini ganjil. Kegemaran yang aneh, katanya, haha! Nggak pa-pa, sih, sudah biasa dianggap ganjil, hihi. Nah yang terakhir membuatku penasaran adalah satu pohon dengan buah serupa bola besar warna cokelat. Pohon itu kujumpai sewaktu di Bali, berdiri di sudut halaman toko dupa. Sayangnya saat itu suasananya tak begitu menyenangkan. Jawaban dari si mbok penjaga tak cukup terdengar di kupingku. Waktu kucoba cek di mesin pencari, keluar kata salamangu dan burahol. Dua istilah yang tak familier.


Baca juga: Nimba, Pohon dengan Banyak Kasiat

Jadi, pohon apa itu sesungguhnya? Waktu pertama menampilkan foto dan buahnya saja di mesin pencari, yang muncul nama burahol atau kepel. Tapi begitu kuganti dengan foto yang ada tanganku, yang menunjukkan ukuran --perbandingan tangan dan buah, baru muncul nama salamangu. Tapi tak cukup banyak referensi yang kutemukan tentang pohon salamangu atau salamanggu. Itu pun tulisan dalam bahasa Sunda. Kocak! Iya, kocak, karena ternyata tak cukup mudah mengartikan basa Sunda dalam tulisan panjang. Penulisnya dosen UNY, tapi asli Sunda. Nama blognya Tatang. Tapi jadinya saiyah googling ke sana kemari. Diduga salamangu ini dikenal sebagai pohon sala. Ternyata nama pohon sala pun tidak tunggal. Waaah.... Catatan ini saiyah tulis buat kalian yang punya kecenderungan aneh serupa, gemar menelisik tanaman, tumbuhan, pepohonan, apa pun terkait flora.


Pohon Sala

Baiklah. Kita anggap saja namanya pohon sala. Meski sementara orang atau daerah menyebutnya salamangu atau salamanggu. 

Dari blognya Pak Dosen Tatang itu disebutkan bahwa pohon sala merupakan tumbuhan yang dianggap sebagai cikal pemberian nama Solo. Nama latinnya Couroupita guianensis. Dalam bahasa Inggris, namanya cannonball tree. Di India, pohon ini dikenal sebagai pohon asoka atau nagalinga (nagalingga). Naaah, di sini baru teringat. Kalau tak salah si mbok toko dupa menyebut nama ada "naga"-nya. Mungkin orang Bali mengacu pada nama India. Pohon ini dianggap sakral, sering dihubungkan dengan Dewa Siwa. 

Lain lagi yang kutemukan dari situsnya Taman Buah Mekarsari (TBM). Di lamannya TBM ini tak ada sama sekali disebut nama sala. Mereka memilih menggunakan nama bule, cannonball. Menurut TBM, pohon ini disebutkan asli dari tanah Amerika Selatan. Namun menurut mereka, informasi lain menyebutkan bahwa cannonball telah tumbuh di India sejak dua hingga tiga ribu tahun terakhir, jadi sangat mungkin pohon ini tumbuhan India.

Yang menarik adalah artikel yang kemudian kutemukan di Solopos. Ada informasi yang lebih detail. Agak terlepas dari konteks, karena ini membahas tentang muasal nama Kota Solo. Tapi seru juga bacanya.

Disebutkan, setidaknya ada tiga jenis tanaman yang disebut sebagai pohon sala. Dalam nama latin, Couroupita guianensis, Shorea robusta, dan Pinus mercusii. Biar tidak pahili, kalau kata orang Sunda. Couroupita guianensis sering disebut pohon canonball karena buahnya yang menyerupai peluru meriam: bulat, keras, dan besar. 

Menurut budayawan asal Solo, Hendramasto, Couropita disebut sebagai pohon sala oleh kalangan umat Buddha di Asia Tenggara. Hal ini menjelaskan perihal muasal tanaman ini berada di Solo, mengingat pada masa lalu masyakarat Solo didominasi budaya ajaran Buddha. Tapi, menurut Hendramasto, pohon itu bukan cannonball. Menurutnya, pohon sala di kalangan penganut Buddha di Asia Tenggara adalah Couroupita. Sedangkan sala di kalangan umat Hindu-Buddha di India, adalah Shorea robusta.

Nah, pohon sala yang Shorea robusta inilah menurut Hendromasto yang menjadi asal-muasal nama Kota Solo. Pohon sala yang bukan cannonball. 

Sementara itu, pohon sala yang dengan nama latin Pinus mercusii dikenal di wilayah Aceh. Ini adalah jenis pohon pinus. 

Penelusuran muasal nama Kota Solo ini konon sudah muncul pada dekade 60-an. Disebut pertama kali pada 1960 dalam buku Nawawindu Radyapustaka. Dalam buku tersebut, G.P.H. Adiwijaya menjelaskan nama Sala berasal dari sebuah tanaman. Ia menukil kisah dalam Babad Sengkala karya pujangga Yogyakarta atas perintah Sri Sultan Hamengku Buwono I. Meski demikian tak tersebutkan pohon sala yang dimaksud sala yang mana. 

Terkait muasal nama Kota Solo ternyata belum cukup jelas. Setidaknya sampai saat aku iseng mencari tahu soal pohon sala di hari ini. 

Kembali ke pohon sala yang canonball ...

Seperti terlihat di foto, bentuk buah sala adalah bulat, dengan tekstur kulit buah keras seperti kayu. Diameternya kisaran 15 sampai 24 cm. Satu pohon bisa menghasilkan 200 hingga 300 buah. Konon, kalau buahnya sudah matang dan jatuh sendiri ke tanah, memunculkan suara ledakan kecil, lalu retak. Tampaknya itu yang membuat pohon ini dinamai cannonball. Yang menarik lagi dari pohon ini adalah bunganya yang berwarna merah jambu dengan putik kuning dan menguarkan aroma wangi semerbak. 


Baca catatan perjalanan ke Bali lainnya:


Pohon Burahol

Berhubung sudah tersebutkan, mari kita bahas juga pohon ini. Burahol, aku baru dengar. Kalau kepel, cukup familier, meski belum pernah melihat pohonnya secara langsung. 

Rupanya pohon ini langka karena di masa lalu penanamannya sangat terbatas. Pohon ini disukai oleh putri keraton, sehingga hanya ditanam di lingkungan istana. Mengapa demikian? Tak lain karena setelah mengonsumsi buah kepel atau burahol matang akan membuat keringat dan napas para putri keraton itu wangi. 

Nama latinnya Stelechocarpus burahol. Tanaman ini tersebar di kawasan Asia Tenggara mulai dari Malaysia, Indonesia, hingga Kepulauan Solomon bahkan Australia. Pohon kepel termasuk pohon langka. Selain sudah kadung tidak tersebar, di masa kini kemungkinan orang enggan untuk budi daya, mengingat banyaknya biji dalam buah burahol ini. Pohon ini merupakan flora identitas Provinsi Daerah Istimewa Jogyakarta. Keberadaannya, selain di kawasan Keraton Yogyakarta, bisa ditemukan di TMII, Taman Kiai Langgeng Magelang, Kebun Raya Bogor, dan TMB.

Di TMB, pohon kepel ditanam pada awal 1995 bertepatan dengan diresmikannya taman buah ini. Jumlahnya sebanyak 30 pohon. Dari laman TMB disebutkan, masa berbuah pohon kepel adalah April dan akan berlangsung hingga Juni. 

Jadi, demikianlah ceritanya perihal pohon sala lalu menyenggol si burahol. Gara-gara tragedi nagalingga di toko dupa, rasa penasaranku menjadi. Oke, sudah tertuliskan dan sekarang aku bisa tidur nyenyak. Terima kasih sudah baca catatan Ibu Meong, ya. Selamat mencintai tanaman. Namaste. 


Baca juga perjalanan ke Bali lainnya:

Tertawan Keindahan Kintamani dan Danau Batur

Hari masih pagi saat kami meluncur meninggalkan Denpasar. Rencananya sebetulnya tiba di lokasi lebih dini, agar bisa menjumpai sunrise. Apa daya, terpenggal ini dan itu, jadilah berangkat agak siang. Tak soal, masih kujumpai suasana pagi Danau Batur yang menakjubkan. Terhitung sejak mata bersirobok dengan danau dan latar belakang gunung dan kabut yang mengangkasa di antaranya, aku sungguh terpesona. Belakangan hari, perjumpaan-perjumpaanku dengan alam, dengan tanaman atau binatang, dengan hal-hal yang terlihat indah, terasa betul menyentil emosiku. Rasanya, tak semata memenuhi keinginan mata melainkan kebutuhan batin. Jajaran gunung dalam nuansa abu kebiruan gelap, danau batur yang mulai menampakkan gemerlap pantulan matahari, dan kabut tipis yang melayang … sungguh sebuah kemewahan. Ya, kami berada di Kintamani, kawasan tinggi Bali dengan gunung dan danaunya yang menawan.


Baca juga: Ragam Kuliner Bali, Halal dan Nonhalal


Kintamani merupakan sebuah kecamatan di Bangli, satu-satunya kabupaten yang tidak memiliki pantai atau laut. Berada sekitar 60 km dari pusat kota Denpasar, sekitar 1,5 jam perjalanan menggunakan kendaraan dengan kecepatan standar. Apakah aku pernah singgah ke Kintamani? Aku tak ingat betul. Rasa-rasa saat ikut rombongan tur, tahun 2002 atau 2010 pernah berfoto di salah satu rumah makan yang kami singgahi. Lupa. Tapi kalaupun singgah, ada pemaknaan yang berbeda dari kunjunganku kali ini.


Legenda Danau Batur


Menuju Danau Batur, tak akan afdol kalau tak mengingat kisah ini. Kisah legenda yang entah kapan kusimak. Mungkin selagi bersekolah di SD. Tentang bocah raksasa yang tenggelam di dasar danau.


Alkisah adalah sepasang suami istri yang sudah lama menikah namun tak kunjung memiliki anak. Mereka  berdoa sepanjang waktu, memohon dikaruniai anak. Doanya dikabulkan. Seorang bayi laki-laki lahir. Berbeda dengan bayi pada umumnya, bayi ini tumbuh dengan nafsu makan sangat besar. Takaran makannya setara dengan porsi makan 10 orang dewasa. Tak heran jika pertumbuhannya sangat cepat. Dan makin dewasa, si bayi yang diberi nama Kebo Iwa ini, nafsu makannya makin tak terkendali. 


Orang tua Iwa kewalahan. Mereka minta bantuan penduduk sekitar untuk ikut menyediakan makanan bagi anak raksasa yang beranjak dewasa itu. Digambarkan, Iwa saat itu besar tubuhnya sebesar bukit, dengan kekuatan serupa topan. Penduduk desa pun tak berani menolak dan memancing kemarahan Iwa. Sedangkan kebutuhan makan setara dengan porsi makan seribu orang. Penduduk desa mengabdikan diri melayani kebutuhan makanan Iwa karena rasa takut mereka. Namun begitu musim paceklik tiba, mereka dibuat kalut. Untuk menyediakan makanan bagi keluarga sendiri saja kerepotan, ini harus menyiapkan makan juga buat Iwa yang jumlahnya ugal-ugalan itu. Saat warga tak berhasil mencukupkan kebutuhannya, Iwa mengamuk. Ia menghancurkan rumah warga dan memakan ternak mereka. 


Kemarahan Iwa telah menimbulkan petaka. Orang banyak yang mati, rumah rusak, ternak hilang, sumber makanan pun harus berebut. Penduduk lalu mulai bersiasat untuk melenyapkan Iwa. 


Penduduk menawari Kebo Iwa membangun rumah dan sumur warga yang rusak dengan imbalan makanan berlimpah. Iwa pun mulai bekerja. Sementara warga terlihat sibuk mengumpulkan batu kapur yang katanya akan digunakan untuk membangun rumah Kebo Iwa. Manusia raksasa itu gembira, tak mengendus muslihat warga. Ia terus bekerja. Pada pekerjaan terakhir, ia menggali sumur. Dalam dan makin dalam. Kelelahan bekerja, Kebo Iwa beristirahat di dalam sumur yang belum tuntas digalinya. 


Demi mengetahui Kebo Iwa sedang tertidur lelap, seluruh warga berjibaku melempar batu kapur yang mereka kumpulkan sebelumnya ke dalam sumur. Iwa yang tidak mengendus rencana warga tersebut kehilangan kewaspadaan, bahkan tak sempat berkelit. Timbunan batu kapur pun makin meninggi dan mengubur tubuh Iwa hidup-hidup. Sementara sumur mulai mengeluarkan airnya, membanjiri desa hingga membentuk danau. Danau inilah yang kemudian dikenal sebagai Danau Batur. Sedangkan tumpukan kapur yang menjulang itu dinamakan Gunung Batur.


Seru kan ceritanya? Lumayan buat pengantar tidur bocah dengan segala pesan moral yang mengikutinya. 


Baca juga catatan perjalanan Bali yang lain:


Mengecap Keindahan Danau dan Gunung Batur


Kintamani —mengutip laman Pemerintah Kecamatan Kintamani— berasal dari kata Cintamani. Nama itu tercantum dalam Wrhaspati Tattwa, lontar tua berbahasa Sansekerta dan Jawa kuno terdiri. Dalam lontar itu terdapat 75 sloka atau pasal. Pada sloka 65  disebut tentang Asta Guna atau tempat yang dikehendaki. Namun referensi lain menyebutkan bahwa Kintamani atau Cintamani dalam Kitab Weda diartikan sebagai sesuatu yang dapat memberikan kebahagiaan lahir dan batin. Terlepas mana yang lebih tepat, Kintamani memang merupakan tempat yang dikehendaki banyak orang untuk berlibur, pun memberikan kebahagiaan lahir batin. Sepakat, kan?


Sepanjang kiri jalan —jika perjalanan dari arah Denpasar— berjajar kafe dan resto yang menawarkan pemandangan langsung ke arah Gunung Batur dan Danau Batur. Area Penelokan ini berada pada ketinggian sekitar 1.500 meter dpl. Sedangkan jajaran kabut berada kisaran 300-400 lebih rendah, sehingga membuat kita seolah berada di atas awan. Kami tak lama di area kafe dan pusat perbelanjaan Kintamani ini. Tujuan kami lebih merapat ke arah danau, ke Resto Apung Kintamani.



Resto Apung di Kedisan ini sejauh ini menjadi satu-satunya resto yang berhadapan langsung dengan Danau Batur. Lokasinya sangat strategis. Dilengkapi dengan 14 bungalow yang sebagian besarnya berbentuk rumah panggung. Menarik. Tapi, sorry to say, ini resto tampaknya butuh pembenahan. Terutama soal hospitality. Terasa “dingin” tanpa sambutan dari para pelayannya. Terasa sekali karena kontras dengan danau yang tenang namun menguarkan kehangatannya. Sayang sekali. Semoga kalau ada kesempatan lain untuk berkunjung, sudah ada perubahan penanganan. Padahal olahan ikan nilanya lumayan enak.




Nah, kalau mau menikmati pemandangan, kurasa resto ini menjadi tempat yang pas. Belum coba titik yang lain. Namun tak ada yang memiliki jarak dengan perairan ini sedekat Resto Apung. Kita bisa menyentuh air. Kita bisa ikut bergoyang bersama riak halus danau. Kita bisa bersantai di saung-saung, selonjoran sambil menikmati cahaya matahari yang melimpah.



Danau Batur merupakan danau terluas di Bali dan menjadi sumber air bagi sebagian besar lahan pertanian di wilayah utara Bali. Bentuknya unik, seperti bulan sabit. Terlihat cukup jelas saat kita masih di atas dan melihat danau dari kejauhan. Danau ini membelakangi Gunung Batur yang dikenal dengan kaldera kembarnya, kaldera berukuran 10 km x 13 km yang disebut-sebut sebagai salah satu yang terbesar di dunia.



Hari sudah cukup siang saat kami meninggalkan area Resto Apung. Matahari makin mengangkasa, kabut mulai menipis. Kami harus segera kembali ke kota. Ada yang belum kukunjungi, yang masih akan kujadikan catatan sebagai wilayah kunjungan jika ada kesempatan untuk kembali ke Bali. Pura Ulun Danu Batur dan Terunyan.


Pura Ulun Danu Batur merupakan tempat persembahyangan penting bagi umat Hindu Bali dan dianggap sebagai pemelihara harmoni serta stabilitas seluruh pulau. Pura ini mewakili arah utara pulau. Pura yang  didedikasikan untuk Dewa Wisnu dan Dewi Danu —dewi lokal Danau Batur— ini dibangun pertama kali abad ke-17. Ketika terjadi letusan Gunung Batur pada 1926, pura ini mengalami rusak parah. Yang berdiri sekarang adalah bangunan pura yang dibangun kemudian dengan lokasi yang berbeda, bergeser dari lokasi awal. Yang tersisa dari bangunan lama adalah meru atau menara persembahyangan dengan 11 tingkat.  Pura Ulun Danu Batur terdiri dari 9 pura, Pura Penataran Agung Batur, Pura Tamansari, Pura Jati Penataran, Pura Sampian Wangi, Pura Tirta Bungkah, Pura Tirta Mas Mampeh, Pura Taman Sari, Pura Padang Sila, Pura Gunarali, dan Pura Tuluk Biyu.


Pura Ulun Danu Batur (Foto: Wiki)


Satu lagi, Terunyan. Kawasan yang dikenal sebagai pemakaman yang membiarkan jenazah tergeletak di atas permukaan tanah. Terbuka. Tradisi ini dinamakan Bali Aga. Tradisi dari era Bali kuno yang masih dipertahankan hingga kini. Terunyan merupakan satu dari 48 desa di Kintamani yang untuk sampai di sana kita harus menyeberangi Danau Batur. Saat mengunjungi Kintamani bulan lalu, waktunya tak cukup leluasa, jadi menghilangkan bagian kunjungan ke Terunyan.


Tapi kenapa nggak ke pura, ya? Baru tersadarkan kalau dalam kunjungan terakhir ke Bali kemarin kok malah aku sama sekali tak mengunjungi pura. Padahal sebelumnya selalu berusaha menyempatkan kunjungan ke pura. Ah, semoga masih ada waktu.


Sampai ketemu lagi, Kintamani! Suksma.


Oiya, ini jeruk Kintamani. Sekilo 15 ribu.


Baca juga perjalanan ke Bali lainnya:

Ragam Kuliner Bali, Halal dan Nonhalal

Salah satu yang tak boleh ketinggalan saat berkunjung ke suatu wilayah adalah mencicipi sajian kulinernya. Buatku, kuliner bukan sekadar memenuhi kebutuhan biologis, mengenyangkan perut, namun juga memberikan kepuasan batin tersendiri. Terlebih jika mengenal dari dekat budaya setempat yang tercerminkan melalui proses pengolahan makanan, dari mulai bahan makanan bisa mewujud dalam menu yang nikmat. Ditambah dengan catatan sejarah dan filosofinya. Ciamik! Ada tujuh lokasi yang secara khusus diperkenalkan ke aku, tiga lokasi dengan pilihan makan non-pork alias halal dan 4 lokasi menu aneka olahan babi alias nonhalal.   



Baca juga: Wisata Kuliner dan Religi di Bali, 2024

Sebelum cerita soal beberapa tempat makan yang sempat kukunjungi, pengin cerita sedikit soal base genep. Aku belum lama kenal konsep bumbu dasar Bali ini. Rupanya aneka masakan khas Bali itu menggunakan bumbu dasar yang sama, yakni base genep ini. Bumbu dasar ini terdiri lengkuang, kencur, jahe, kunyit, serai, cabai merah, cabai rawit, bawang merah, bawang putih, ketumbar, dan kemiri yang dicingcang halus. 


Tiga Tempat Makan Halal Wajib Kunjung


Warung Mak Beng

Pada 2023 lalu, TasteAtlas merilis 150 restoran paling legendaris di dunia. Dalam daftar itu, Warung Mak Beng ini berada di peringkat ketiga. Peringkat pertama diduduki Figlmüller di Austria, menyusul kemudian Katz's Delicatessen di New York, Amerika Serikat. Apa yang membuatnya berada di posisi itu, mengingat begitu banyak olahan ikan di tanah air. Ya, banyak faktor, sih. Tapi karena penilaian itu berangkat dari survei, ya bisa jadi perihal ketertepaan media massa dan media sosial menjadi faktor penting. Yang jelas begitu melihat ikan tersaji di atas meja, lidah rasanya langsung glek: ikaaaaan!

Warung Mak Beng tak banyak menawarkan menu. Andalannya sup kepala ikan dan ikan goreng. Jenis ikan bergantung ketersediaan. Aku sempat tanya, tapi nggak langsung catat. Alhasil, lupa. Yang jelas namanya tak cukup familier di telingaku. Menu ikan hari itu. Hari yang lain bisa jadi tongkol, kakap, atau tenggiri. Ikan-ikan itu hasil tangkapan nelayan lokal di Sanur atau area pantai lain. Terjamin segar. Dan diolah dengan baik, karena tak menyisakan aroma amis. Enak! Aku menghabiskan 2 potong lebih. Nyam! 

Warung Mak Beng ini berdiri sejak 1941. Sebelum terkenal berkat kunjungan turis lokal maupun mancanegara, di masa lalu, warung ini konon menjadi tempat mangkalnya sopir bemo.


Warung Mak Beng

Jl Hang Tuah No. 45 (51), Sanur Kaja

Denpasar Selatan, Kota Denpasar


Warung Tekor

Suasana warung ini menarik. Konon beginilah suasana rumah nenek di Bali tempo dulu. Pemiliknya adalah pasangan yang sudah berumur. 

Kubayangkan rumah di Jawa di masa lalu lebih kurang juga seperti yang dimunculkan di Warung Tekor. Dedaunan dibiarkan berserak. Ayam peliharaan bermain leluasa di halaman. Aktivitas menyiapkan aneka bahan dilakukan di tempat terbuka, sehingga pengunjung bisa melihat langsung. Seperti menyiangi sayur, membuat pincuk, memotong kayu untuk perapian, dll. 

Menu yang disajikan adalah nasi dengan berbagai lauk, seperti ayam bakar sere lemo, ayam gerang asem, sate lilit, dan pilihan olahan cumi, ayam, dan kambing. Tak ketinggalan sayuran yang diolah menjadi lawar. Kisaran harganya mulai dari Rp25.000. Selain makanan, ada aneka minuman tradisional yang bisa dipesan teh serai, es kuwud, kelapa muda, dan teh jahe.

Aku senang berada di sini. Nanti, aku ingin menuliskannya secara khusus.


Warung Tekor

Kawasan Desa Budaya Kertalangu

Jl. By Pass Ngurah Rai Tohpati No. 28, Kesiman Kertalangu

Denpasar Timur, Kota Denpasar


Bali Timbungan

Konsep ruang Bali Timbungan sama sekali berbeda dengan Warung Tekor. Resto ini berupa gedung, dengan taman mungil di bagian tengahnya.

Berada di resto ini menjadi kali pertama aku mencicipi bebek timbungan. Konon, ini merupakan menu khas Bali yang sudah makin langka. Di masa lalu, menu ini hanya dihidangkan pada ritual-ritual upacara adat Bali. Kata timbungan sendiri dikutip dari naskah kuno Dharma Caruban, tentang salah satu santapan tradisional Bali yang dipersembahkan dalam upacara ritual. Resepnya kaya dengan rempah. Proses memasaknya pun lama, lebih dari 12 jam. Tak heran kalau menu ini menempelkan harga premium. Rumit, tak banyak resto yang menjadikan bebek timbungan sebagai menu mereka. 

Sesuai dengan namanya, Bali Timbungan, bebek timbungan menjadi menu andalan. Penyajiannya masih menggunakan cara tradisional, yakni memakai bilah bambu sebagai wadah olahan daging bebek. 

Rasanya? Sudah pasti enak. Daging bebeknya lumer, bumbunya meresap sampai ke tulang. Dan aku suka banget sambel matahnya. Bisa makan lawar banyak-banyak juga. 

Menu khas Bali lainnya, cukup banyak pilihan.

Selain konsep ruang yang berbeda, harga makanan di Bali Timbungan ini juga beda jauh dengan Warung Tekor. Sebagai gambaran, untuk makan siang kami bertiga dengan masing-masing satu menu makanan dan minuman menghabiskan tak kurang dari Rp600.000. Tetap worth it untuk pilihan menu yang mereka sajikan. Yang jelas, saiyah gak akan pergi ke sini sendirian. Nunggu ditraktir saja, hehe.


Bali Timbungan

Jl. Sunset Road No.88, Kuta

Kabupaten Badung


Baca juga catatan perjalanan Bali yang lain:


Aneka Olahan Non Halal

Berhubung selama di Bandung --apalagi selama di kampung halaman-- aku sangat jarang menemukan olahan babi, salah satu keinginan saat berkunjung ke Bali adalah mencicipi makanan jenis ini. Dalam kunjungan kali ini, ada 4 lokasi yang secara khusus kami datangi untuk aku mencoba merasai nuansa Bali lewat produk kulinernya.


Depot Betty

Dalam perjalanan menuju Bedugul, mampir ke sini. Lokasinya di sisi jalan raya. Konon ada dua gerai, masih di jalan yang sama. Entah persisnya sebelah mananya, kami mengunjungi salah satunya. 

Tempatnya cukup nyaman, semi terbuka. Ada area tengah kedai dengan meja kursi berukuran besar, yang pas untuk rombongan dengan jumlah besar. Sedangkan meja-meja panjang diletakkan pada tepian dinding dengan pemandangan langsung ke kebun yang masih rimbun pepohonan.

Pilihan menunya tak cukup banyak. Lupa memotret. Kalau tidak salah hanya antara 3 atau 4 macam. Cocoklah buatku yang sering kebingungan kalau dikasih daftar menu yang panjang. Makanannya bukan yang enak sekali, tapi tidak mengecewakan. Enaklah, karena jatahku ludes tak bersisa. 

Dari sisi harga juga tak terlalu mahal, mulai dari 20 ribu. Paling-paling bersiap saja untuk ngantre. Meski saat mampir itu kondisi kedai tak penuh, tapi aku yakin ini kedai tak pernah sepi. Berada di jalur lintasan menuju daerah yang diminati wisatawan, Depot Betty menjadi tempat makan dan istirahat yang direkomendasikan.


Depot Betty

Mekarsari, Baturiti, Kabupaten Tabanan


Masimo 

Resto ini berada di wilayah Sanur yang sibuk. Menunya adalah berbagai macam makanan khas Italia. Aku bukan penggemar masakan Italia. Tapi setidaknya aku cukup tahu dan pernah coba beberapa ragamnya di Bandung. Bedanya di sini ada pilihan daging babinya. 

Spagetinya berukuran besar, tepat sepanjang piring saji. Terlihat so creamy. Konon enak banget, dengan irisan daging babi di dalamnya. Pun supnya, katanya juga enak. 

Sayangnya aku tak bisa mengapresiasinya, nggak ngerti yang enak dan kurang enak itu yang seperti apa. Pengunjungnya ramai, dan sepertinya sehari-hari begitu. Artinya, banyak yang suka. Penggemar masakan Italia tampaknya perlu coba.

Yang aku suka di sini adalah pepohonannya yang dibiarkan tegak di halaman resto. Kebetulan kulihat seekor tupai berlarian, dan sempat makan sepotong cemilan yang kusodorkan. Rasanya bahagia melihat binatang mungil itu aman berada di alam. 


Masimo

Jl. Danau Tamblingan No. 228, Sanur

Denpasar Selatan, Kota Denpasar


Samsam Ganas 

Ini salah satu warung b-gul hidden gem di Bali. Persisnya di Sangeh. Lokasinya di gang sempit, parkirnya susah. Pengin aman? Parkir kendaraannya agak jauh saja dari warung. Tapi kalau enggan jalan dan berani ambil risiko, ada juga parkir terdekat. Jalannya hanya cukup untuk satu mobil. Jadi siap-siap riweuh kalau harus papasan dengan mobil lain. 

Begitu sudah di lokasi, nyaman. Tempat makannya leluasa. Ada beberapa bangunan terbuka dengan meja aneka ukuran. Tinggal pilih. Suasananya mengingatkan pada tempat makan Sate Maranggi di Purwakarta. Tak seluas itu dan bukan di tengah pepohonan juga. Tapi nuansa asrinya agak menyerupai. 

Lidahku paling cocok olahan b-gul di sini. Seperti nasi campur pada umumnya di Bali, ada lawar, b-gul, kulit, dan sup daging. Konon di sini pengunjung bisa melihat langsung proses pembuatan b-gul. Nggak lihat? Enggak! Aku paling nggak bisa melihat proses memasak binatang yang masih terlihat penampakan utuhnya. 

Harganya terjangkau, mulai dari Rp15.000 hingga Rp25.000. Ambil yang versi 25 ribu saja, tanpa tambahan lain-lain, buatku sudah sangat memuaskan. 


Samsam Ganas

Jl. Saliya No. 30, Sangeh 

Kec. Abiansemal, Kab. Badung


Warung Ole

Kami mendatangi rumah makan ini pada hari-H pertambahan umurku. Dan katanya, buat yang berulang tahun wajib makan iga panggang. Cocok, deh. Sedap sungguh!

Ini pengalaman pertamaku berhadapan dengan iga babi yang segede gaban. Ternyata dagingnya empuk, langsung terkelupas dari tulangnya begitu diiris pakai garpu. Bumbunya meresap sempurna. Seporsi iga panggang ini Rp139.000. Worth it menurutku, dibandingkan dengan aneka steak daging sapi yang pernah kucoba. Tapi, ya, bisa jadi ini semacam euforia karena aku jarang sekali makan pork.

Ada cukup banyak pilihan menu di Warung Ole, baik makanan khas Bali dan Lombok, juga makanan yang umum kita jumpai di tempat lain, seperti siomay, soto, ayam goreng, dll. Tempat cukup leluasa, bisa bawa rombongan dalam jumlah besar juga. 


Warung Ole

Jl. Mahendradatta No. 100, Tegal Harum 

Denpasar Barat, Denpasar


Selain olahan babi di atas, sempat coba b-gul Chandra yang konon paling terkenal. Tapi kata lidahku, sih, masih enak Samsam Ganas. Apa karena tak makan di tempat, melalui pesan antar sehingga ada cita rasa yang berkurang? Entah. Sempat coba juga mi babi khas Singkawang lewat layanan pesan antar. Enak, aku suka. Mungkin lain waktu coba mencicipi di tempatnya langsung. Sate, sudah pasti. Dan sejauh ini, sate olahan warung yang berbeda-beda, enak-enak saja.

O iya, di Masimo itu terdapat gerai gelato yang super duper ramai pengunjung. Yang ini gerainya di depan, terpisah dari resto. Must try buat penggemar gelato. Harganya mulai dari Rp20.000 per porsi (2 scopes) baik menggunakan cone maupun cup.

Sementara itu dulu hasil kulineran di Bali bulan lalu. Apakah akan ada cerita kulineran lain nanti, tunggu saja, ya. Selamat menikmati aneka makanan olahan khas Bali.  


Baca juga catatan perjalanan di Bali lainnya:



Minuman Beralkohol Bali, Mana yang Sudah Kamu Coba?

Aku bukan penggemar minuman beralkohol. Tapi cukup bisa menikmati selagi kadar alkoholnya tak terlalu tinggi. Bali laksana surga bagi para peminum. Karena aneka minum beralkohol dapat ditemukan di berbagai lapak, mulai dari warung kecil hingga yang memiliki pabrik dan kebun sendiri. Jadi, selagi berada di Bali, kenapa tidak aku cicip-cicip aneka minuman beralkohol khas Bali? Apalagi jika gerainya menarik untuk dikunjungi. Yang dipilihkan buat kukunjungi adalah Hatten Bali (WINE).



Baca juga: Menjumpai Naga Perak di UC Silver Gold


Hatten Bali (WINE), berikutnya kita sebut Hatten saja untuk memudahkan, berlokasi di By Pass Ngurah Rai, Sanur, Denpasar. Jalanan tengah diguyur gerimis ringan saat kami memasuki area parkir Hatten. Tapi, sebelum lebih jauh bercerita soal produsen wine yang milik orang lokal Bali ini, aku ingin mengingatkan soal minuman beralkohol yang cukup akrab dengan masyarakat kita sejak kala bendhu alias masa yang tak terdeteksi kapan persisnya.   


Minuman Beralkohol di Tengah Masyarakat Indonesia


Mengutip Katadata, ada 12 minuman alkohol tradisional Indonesia. Ke-12 macam minuman itu tersebar di seantero tanah air, dari Sabang hingga Merauke. 


Arak 

Arak terbuat dari hasil penyulingan kelapa, enau, atau lontar dengan kadar alkohol yang cukup tinggi. Selain arak Bali yang memang terkenal, arak juga cukup dikenal di Aceh dan Jawa Tengah. Hah, Aceh? Ya, demikian menurut Katadata. Aku sendiri belum pernah tahu arak asal Aceh ini. Sedangkan di Bali, arak menjadi mata pencaharian masyarakat, terutama di Karangasem dan Buleleng. Tak heran jika data BPOM menunjukkan bahwa Bali merupakan produsen arak terbesar di tanah air dengan jenis terdaftar lebih dari 400 merek. Konon, arak Bali punya kandungan anggur yang setara dengan wine.


Brem

Di Madiun ada makanan berupa endapan air tapai singkong. Bukan itu, karena kita bicara minuman. Minuman beralkohol yang namanya brem ini adanya di Bali. Warnanya coklat tua, menyerupai kopi. Brem merupakan cairan dari hasil fermentasi ketan dengan ragi. Brem sangat mudah ditemukan di Bali dalam berbagai merek.


Tuak 

Tuak merupakan minuman yang familier di berbagai kawasan di tanah air. Jawa, Sumatra, Bali. Tuak terbuat dari fermentasi beras, nira, atau buah yang mengandung gula.


Legen 

Minuman ini khas Gresik, Jawa Timur. Terbuat dari pohon siwalan, mirip pohon kelapa dengan buah yang lebih kecil. Konon legen diproses dari bunga pohon siwalan, yang selain menghasilkan legen juga gula merah. Legen dapat berubah menjadi tuak dalam waktu 24 jam jika tak diolah dengan baik. 


Sopi dan moke 

Minuman tradisional beralkohol ini dikenal oleh masyarakat Maluku, Nusa Tenggara Timur, dan Sulawesi Utara. Kata "sopi" diambil dari bahasa Belanda, zoopje, yang artinya alkohol cair. Aimere, Ngada, NTT disebut-sebut sebagai kawasan dengan produksi sopi terbaik. Di NTT, sebutannya bukan sopi melainkan moke. Sopi atau moke ini terbuat dari hasil sadapan pohon lontar dengan proses pengolahan masih tradisional. Penyulingan hasil sadapan lontar adalah dengan menggunakan periuk tanah liat yang terhubung dengan batang bambu untuk mengalirkan air dari penguapan. 


Laru 

Laru merupakan bahan dasar sopi, dari nira pohon lontar yang telah disuling. Minuman khas Nusa Tenggara Timur disuguhkan dalam perayaan-perayaan atau pesta yang diselenggarakan kelompok masyarakat kelas menengah.


Ciu 

Ciu akrab dengan masyarakat Jawa Tengah dan Jawa Timur. Bahan pembuatan ciu beragam. Misalnya di Banyumas, ciu dibuat dari hasil fermentasi singkong. Sedangkan di Bekonang, Solo, ciu dihasilkan dari fermentasi tetes tebu. 


Baca juga perjalanan ke Bali lainnya:


Anding atau baram 

Anding dan baram adalah minuman khas yang berasal dari Kalimantan Barat, Kalimantan Tengah, dan Bali. Di Kalimantan, baram dikenal sebagai andingdan telah dibuat oleh suku Dayak sejak berabad-abad yang lalu. Minuman ini terbuat dari campuran ragi, nila, enau, dan nasi ketan. Aku pernah mencicipi minuman yang dibuat oleh keluarga adik ipar, orang Dayak. Cuma seingatku saat itu dibilangnya tuak saja. Entah memang tuak, atau anding ini. Sebutan tuak untuk mempermudah saja. 


Tuo nifaro dan tuo mbanua 

Dua minuman ini berasal dari Nias, biasanya menjadi bagian dari tradisi seserahan. Tuo nifaro merupakan fermentasi penyulingan nira pohon, baik dari kelapa maupun enau. Sedangkan tuo mbanua merupakan tuak mentah atau sering disebut tuak arak. 


Swansrai 

Yang ini Papua pu minuman. Swansrai biasanya dijadikan suguhan untuk tamu penting. Terbuat dari air kelapa yang telah difermentasi dalam waktu lama.  Swansrai biasanya disajikan dalam gelas atau mangkok yang terbuat dari batok kelapa.


Saguer atau ballo 

Saguer atau ballo ini merupakan minuman beralkohol, khas dalam tradisi masyarakat Sulawesi Utara. Dibuat dari fermentasi nira pohon enau atau pohon lontar. Istilah saguer berasal dari pohon enau yang dalam bahasa Minahasa disebut sague. 


Sageru 

Namanya agak mirip, saguer … sangeru. Yang ini berasal dari Maluku, yang cara mendapatkan nya adalah dengan mengiris batang tangkai pohon aren. Ada waktu khusus dalam mengiris si tangkai, yaitu antara pukul 7 hingga 10 pagi, atau sekitar pukul 3 sore. 


Dari sekian nama di atas, urutan satu hingga tiga, banyak ditemui di Bali. Selain minum minuman beralkohol menjadi semacam tradisi masyarakat lokal, juga menjadi pilihan menarik bagi para wisatawan. Nah, dalam kunjunganku terakhir ke Bali kemarin, singgah ke gerai PT Hatten Bali Tbk (WINE) yang selain produksi minuman utamanya yakni wine, juga menjaga minuman khas lokal Bali yaitu arak dan brem. 



Baca juga perjalanan ke Bali lainnya:


Kiprah Lebih dari Dua Dekade 


Saat ngobrol dengan pramuniaga di Hatten, lebih banyak menyimak, karena memang tak berbekal informasi awal. Di antaranya dia menyebutkan tentang produksi Dewi Sri yang sudah dimulai dari 1968. Giliran cek ulang, kok jadi bingung. Brem diproduksi oleh Dewi Sri dan tak ketemu informasi terkait Hatten dan produksi brem ini. Usut punya usut, Hatten ternyata merupakan distributor tunggal produk Dewi Sri. Untuk pemasarannya melalui The Cellardoor, ada dua, yakni di Jakarta dan Bali. Hatten sendiri khusus memproduksi wine. 


Di Cellardoor Bali yang juga merupakan kantor PT Hatten, brem bersama arak dan aneka wine dipajang. Tersedia ruang-ruang yang nyaman untuk bersantai maupun keperluan meeting. Untuk brem terdiri dari 2 macam, yang orisinal dan liquer. Apa bedanya? Orisinal dengan kandungan alkohol 5% sedangkan liquer 14%. Untuk brem orisinal dipasarkan dalam dua kemasan, 200 ml dan 630 ml. Sedangkan yang liquer hanya dalam kemasan 630 ml.



Bagi penggemar minuman beralkohol dengan nuansa manis, layak coba. Aku sih suka, ada asam yang menyegarkan. Brem liquer dari sisi rasa tak terlalu jauh beda. Sedikit lebih pahit karena ada tambahan arak untuk meningkatkan kadar alkohol. Buatku sih bikin lebih cepat ngantuk, hehe.



Untuk produksi wine, produksi Hatten Bali telah berlangsung selama 24 tahun. Awalnya hanya memakai bahan anggur lokal Bali, hasil panen dari kebun milik mereka sendiri di kawasan Karangasem. Dalam perkembangannya kemudian Hatten menciptakan wine berbahan anggur Australia. Impor. Dalam kurun waktu tersebut Hatten telah mengeluarkan beberapa varian wine dengan dua seri berdasarkan bahan, yakni anggur lokal dan anggur Australia. Perbedaan musim menjadikan taste dari masing-masing wine berbeda. Tampaknya dalam hal ini tergantung selera, ya. 


Aku sempat mencoba 3 macam produk wine mereka, yakni Aga White dan Aga Red, dan Pino de Bali yang dipasarkan setelah masa penyimpanan 5 tahun. Slurp, yummy!


Menurut Bli Pramuniaga yang aku lupa tanya namanya, dalam sekali produksi, ada 2.000 botol wine. Selain memiliki kebun anggur sendiri, Hatten juga dilengkapi dua prabrik dan gudang. Kemungkinan bakal menambah lokasi baru, mengingat banyaknya kontainer yang terpaksa disimpan di area outlet karena ruang terbuka di pabrik tak mencukupi. Mas Bli bercerita sambil menunjukkan kontainer yang berjajar di dekat area parkir. 



Untuk pemasaran, Hatten menyasar pasar utama hotel dan restoran di kawasan pariwisata seperti Kuta, Nusa Dua, hingga Canggu. Selain itu mereka berupaya mengembangkan penjualan melalui jaringan ritel, yang tentu tak semua wilayah menyediakan, mengingat kandungan alkoholnya.

Sepertinya kalau bisa mengunjungi pabriknya, lebih seru, ya? Ah, siapa tahu kapan-kapan ada kesempatan lagi ….



Baca juga catatan perjalanan di Bali lainnya:


PT Hatten Bali (WINE)
Jl. By Pass Ngurah Rai No. 393 Sanur, Denpasar, Bali