Featured Slider

March of The Penguins, Belajar tentang Cinta dari Penguin

Film diawali dengan seekor penguin yang melompat dari lubang air, dan berdiri di hamparan es Antartika. Berdiri tegak, gagah dan indah. Bagian kepala dan paruh, hitam. Warna orange-kuning menghiasi sisi samping leher. Sayap dan punggung hitam mengkilat, dengan warna putih benderang di tubuh bagian depannya. Tapi penguins tidak pernah sendiri. Penggambaran berikutnya, muncul penguin lain dalam jumlah besar. Cerita pun dimulai, March of The Penguins. Film dokumenter lama, yang kutonton ulang. 



Baca juga: The Intouchable, Film yang Hangat tentang Relasi Manusia

Aku nonton film ini tak lama dari kemunculannya, 2005. Aku suka cerita satwa. Kupikir cerita dokumenter sekadarnya. Ternyata pada bagian tertentu sempat membuatku berderai air mata. 


Ritme Hidup Penquin

Bulan Maret adalah awal perjalanan para penguin untuk sebuah kehidupan baru. Maret adalah bulan ketika lautan memadat menjadi dataran es, dan matahari hanyalah semburat sinar. Dalam jumlah besar mereka berbondong-bondong dalam dinginnya Antartika di bawah 58 derajat celcius. Penguin adalah jenis unggas, yang tidak terbang dan tidak juga betul-betul berenang. Mereka berjalan. Sehingga yang tampak adalah deretan  pejalan kaki dengan mantel tebal menyelimuti tubuhnya. Tampak seperti manusia yang tengah melakukan perjalan hijrah. 

Tiba di jarak sekitar 7 mil, mereka berhenti. Saatnya menemukan pasangan. Entah ukurannya apa, tapi mereka, masing-masing menemukannya. Proses perkawinan dimulai. Penguin betina dibuahi dan bersiap untuk menghasilkan telur. Bukan proses yang sederhana, butuh waktu berbulan-bulan, tanpa makanan dan harus berhadapan dengan alam. Sampai kemudian penguin betina bertelur. Sebutir. 

Penguin adalah jenis hewan monogami. Mereka hidup layaknya keluarga. Dan pasca keluarnya telur, terjadi serah terima tanggung jawab perawatan, dari sang ibu kepada ayah. Sang ibu akan melakukan perjalanan panjang menuju laut untuk mendapatkan makanan. Berbulan-bulan tanpa makanan, dan kini harus berhadapan dengan badai dan predator. Tapi itulah proses yang harus dijalani jika tidak ingin mati kelaparan.

Baca juga: Black Book, Kisah Perjuangan Perempuan Yahudi

Yang menarik adalah proses serah terima telur, dari ibu kepada ayah. Ada perlakuan khusus agar telur selamat. Pasangan muda sangat mungkin menjatuhkan telur, dan menjadikannya kering dan pecah. Selesailah garis keturunan. Sementara mereka yang cukup berpengalaman akan ekstra hati-hati memindahkan telur yang dihimpit sang ibu di bawah bagian tubuhnya, di atas dua belah jari-jari kaki. Sang ayah akan mengemban amanah itu hingga ibu pulang. Waktunya lebih dari sebulan! Maka, dalam eraman ayah, sang jabang bayi menetas. Tidak ada makanan untuk bayi penguin. Yang tersisa adalah makanan yang tersimpan di tenggorok sang ayah. Jumlahnya tentu saja tidak banyak. 

Menjadi persoalan kemudian ketika ibu tak juga pulang dan ayah mulai kelaparan. Ayah dihadapkan pada dilema mempertahankan hidup anak untuk keberlangsungan garis keturunan atau mempertahankan hidup sendiri karena kelaparan yang mendera. Belum lagi harus berhadapan dengan tiupan badai Antartika yang berasal dari kutub selatan. Beruntung kalau kemudian sang ibu berhasil pulang, berhasil melewati perjalanan panjang, menghadapi badai, dan luput dari intaian predator, anjing laut misalnya. 

Sebagian anak mungkin mati, atau sebaliknya, sebagian ibu mungkin juga mati. Yang masih tersisa akan mengadakan reuni keluarga yang berakhir dengan penyerahan anak dari ayah ke ibu. Dan kini, giliran ayah untuk merantau, mencari makanan buat dirinya sendiri. 


Film Dokumenter yang Mengaduk Emosi

Sang sutradara, Luc Jacquet membuat cerita dokumenter tentang penguin ini begitu menarik. Mulai dari penggambaran alam Antartika yang indah --dari saat langit cerah sampai hari-hari yang merupakan malam panjang-- hingga penggambaran adegan-adegan yang sangat menyentuh. Luc berhasil mengaduk-aduk emosi penontonnya! Betapa romantis pertemuan antara pasangan penguin, betapa mengharukan melihat reuni keluarga, betapa menyedihkan membayangkan penguin dihadapkan persoalan dilematis: membiarkan anaknya sendiri-atau dia sendiri yang akan mati, betapa takut membayangkan para ibu penguin harus berhadapan dengan predator, betapa miris menyaksikan telur-telur bergelimpangan karena ketidaksanggupan bapak menjaga, atau melihat tangis ibu yang mendapati anaknya sudah membeku. Atau betapa gembira melihat anak-anak penguin tumbuh dengan baik, dengan ekspresi lucu saat muncul dari balik badan sang ayah. Senang membayangkan anak-anak itu belajar jalan dan berenang.

Membayangkan para film maker Indonesia membuat film serupa. Dengan subjek garapan yang berbeda tentunya, satwa eksotis di tanah air tak kurang banyaknya. Selain aneka rekomendasi drama seri yang mereka garap. 

Baca juga: Film Mafia yang Perlu Dipilih sebagai Teman Bermalam Minggu 

Sungguh, Luc Jacquet dan kawan-kawan yang meliput rombongan penguin ini patut diacungi jempol. Pembuatan film ini membutuhkan waktu selama satu tahun penuh melawan dingin dan cuaca tidak bersahabat Antartika. Beberapa orang kru juga perlu dirawat selama satu bulan penuh setelah terjebak badai Antartika.

Film ini meraih penghargaan sebagai film dokumenter terbaik pada Academy Award 2006. Film yang dirilis di bioskop-bioskop Amerika Utara pada bulan Juni 2005 ini meraup keuntungan sebesar $77 juta. 

March of The Penguins memang bercerita tentang kehidupan penguin kaisar di benua Antartika. Tetapi bukan hanya itu. Seperti dituturkan Morgan Freeman dengan suara beratnya, March of The Penguins bukan sekadar film tentang penguin. This is a story about love.

Maryam dan Mereka yang Terusir karena Iman

Kisah cinta beda keyakinan yang dituangkan dalam cerita, sudah banyak kita jumpai. Biasanya penyelesaiannya adalah berpisah atau salah satu mengikuti keyakinan yang dianut pasangannya. Mungkin ada konflik tertentu yang dimunculkan akibat perbedaan iman ini dan keputusan-keputusan yang menyertainya. Namun biasanya tak jauh dari bahasan tentang religi. Jarang yang kemudian berkembang ke persoalan sosial. Beda halnya dengan yang dikisahkan Okky Madasari lewat Maryam

Baca juga: Perjalanan Menulis Fragmen 9 Perempuan

Maryam ini buku pertama Okky Madasari yang kubaca. Entah, butuh waktu lama untuk sampai di buku ini. Padahal kisahnya cukup menarik untuk referensi karya fiksi. Ada satu lagi stok di rak buku, mungkin perlu segera dipertimbangkan untuk membacanya. 


Sinopsis

Sedari awal perbedaan keyakinan yang menjadi topik utama novel ini tak semata bicara tentang religi, namun juga persoalan sosial. Konflik sebagian muslim di tanah air dan para penganut Ahmadiyah sudah mulai merebak pada pasca reformasi '98. Ada pengusiran. Ada pembongkaran rumah yang dijadikan tempat ibadah. Ada diskriminasi dan kekerasan. Tentunya tetap menceritakan kisah manusia, hal yang tak lekang oleh waktu, kisah percintaan. 

Kisah diawali dengan kunjungan Maryam ke kampung halamannya. Lalu alur kembali ke masa lalu, saat Maryam menjalin hubungan dengan laki-laki yang tak satu keyakinan. Ia nekat meninggalkan keluarganya. Namun ia pun ternyata tak sepenuhnya diterima oleh keluarga Alam, suaminya. Ketika konflik meruncing dan tak terselesaikan, perpisahan adalah keputusan terakhirnya. Maka demikianlah, Maryam berusaha untuk merangkai kembali kisah hidupnya untuk terhubung dengan keluarganya. 

Pasca pernikahannya yang gagal dan berakhir dengan perceraian, Maryam memutuskan untuk pulang. Benaknya dipenuhi dengan keraguan. Bagaimanapun ada rasa malu, karena ia pernah menentang orang tua demi keputusannya yang berakhir dengan kegagalan. Ada rasa takut yang menyergapnya, membayangkan orang tua dan keluarganya akan menolaknya. 

Orang tua Maryam melarangnya menikah dengan Alam, karena perbedaan keyakinan mereka. Maryam bersikukuh. Keputusan yang membuat kedua orang tua Maryam menganggap anak sulungnya itu menghilang. Sebelumnya, orang tua Maryam memberikan dua pilihan, menjadikan Alam seorang Ahmadi atau Maryam meninggalkan Alam. Maryam tak memilih keduanya dan memutuskan untuk pergi. Ketka akhirnya menikah dengan Alam pun, ia tak mau memberitahu kedua orang tuanya.

Baca juga: Book Sleeve, Pembaca Buku Wajib Punya

Maryam menjadi seorang Ahmadi sejak kecil. Persisnya sejak Kakek Maryam bertemu dengan seorang Dai yang mengenalkan kepercayaan Ahmadi. Kepercayaan itu diteruskan sang kakek ke anak-anak dan keluarganya. Beberapa penganut juga tinggal di kampung yang sama. Sebagian orang menanggapi kepercayaan mereka dengan biasa saja, sebagian yang lain menganggap mereka orang-orang sesat. Tapi Maryam tak sampai berpikir bahwa keluarganya akan mendapatkan perlakuan tak layak seperti kenyataan yang ia jumpai setelah 5 tahun meninggalkan kampung halamannya itu.

Keluarga Maryam diusir dari rumah tinggal mereka sendiri. Bahkan dipaksa meninggalkan kampung halaman mereka, karena bersikukuh dengan kepercayaan mereka. Setelah melewati perjuangan panjang, Maryam akhirnya bisa kembali berkumpul dengan keluarganya. Kali ini mereka tinggal di desa Gegerung, lokasi baru bagi orang-orang Ahmadi yang terusir. Maryam menemukan kedamaian bersama keluarganya, ditambah dengan perjumpaannya dengan lelaki yang menyita perhatiannya. Meski PR untuk memperjuangkan keyakinan dan imannya masih panjang. 


Tulisan tentang Kisah yang Menggugah

Kurasa tak banyak penulis perempuan di tanah air yang menyoroti persoalan sosial. Di antara yang sedikit itu, Okky Madasari melengkapinya. Kurasa Okky melakukan riset yang cukup dalam tetang kasus serupa yang terjadi di tanah air. Iya dong, penulis blog saja mesti rajin riset, apalagi untuk buku setebal hampir 300 halaman.

Beberapa bagian dari novel ini membuatku tak sabar karena terlalu lambat dengan detail yang kurasa tak terlalu penting. Tapi secara keseluruhan tetap menjadi bacaan yang menarik. Terutama cara Okky menggugah emosi pembacanya. Seperti saat Maryam akhirnya menyadari bahwa apa yang telah dilakukannya, hal-hal yang telah dialaminya, tak ada apa-apanya jika dibandingkan dengan apa yang telah dialami keluarganya. Pengusiran, penghinaan, pengucilan, segala macam penderitaan yang tak pernah Maryam bayangkan.

Di penghujung, Okky seolah sengaja menyisakan tanya, bagaimana nasib mereka? Bagaimana kelanjutan kisahnya? Mungkin mengingatkan kita bahwa pada kenyataannya memang banyak hal yang tak terselesaikan di negeri ini. Menggantung begitu saja. Sementara sekelompok orang masih terus melakukan perjuangan mereka. 

Baca juga: Menjadi Penulis, Hobi atau Pekerjaan?

Maryam merupakan novel ketiga Okky Madasari. Lewat novel ini Okky memenangkan Khatulistiwa Literary Award 2012. Novel yang bisa dinikmati tanpa perlu membuat kening berkerut. 


Judul: Maryam

Penulis: Okky Madasari

Penerbit: Gramedia Pustaka Utama, 2016

Tebal: 275 halaman

Kekerasan Verbal dan Trauma Healing

Kapan hari berjumpa dengan seorang kawan. Sesungguhnya bukan kawan dekat, tetangga kantor dalam satu gedung. Sesama pekerja paruh waktu. Kami berjumpa dan berinteraksi jika secara kebetulan punya jadwal yang sama, atau sedang kegiatan kantor yang berbarengan. Tapi perjumpaan beberapa hari lalu itu seolah kami pernah sangat dekat, karena begitu saja, kami berbagi cerita soal proses "healing" kami. Utamanya dia yang lebih banyak bercerita, tentang kekerasan verbal yang sukses menggerus banyak hingga melemahkan diri di banyak lini. Tak banyak orang tua yang mau belajar tentang  buruknya dampak kekerasan verbal yang mereka lakukan. Akhirnya sang anak sendiri memang, yang mau tak mau harus bangkit untuk menyembuhkan diri sendiri.


Baca juga: Doa, Meditasi, dan Vibrasi Energi

Si kawan, sebut saja Anyelir, sudah beberapa tahun berjibaku dengan upaya penyembuhannya. Dari coba-coba atasi sendiri, mempelajari literasi ini dan itu, hingga menemukan seorang konselor yang dirasanya tepat dan membuahkan hasil yang positif. Kesadaran bahwa ada yang salah pada diri sendiri, menjadi kunci utama untuk melakukan perubahan.


Melakukan Deteksi Diri

Kunci pertama untuk melakukan perubahan adalah menyadari memang ada yang "tak beres" dengan diri sendiri. Bayangkan, jika orang tak peduli dengan kejanggalan yang dialaminya, membiarkan segala sesuatu mengalir tanpa kesadaran bahwa sesuatu yang "tak beres" itu bisa menjadi sesuatu yang membesar dan menjadi gangguan yang lebih berat jika tak diselesaikan. Pada saatnya hal yang tak beres itu menjadi bom waktu. 

Hal keduanya adalah keinginan untuk berubah. Menyadari ada yang tak beres tapi sama sekali tak ada greget untuk melakukan pembenahan, masa bodo, ya sama saja bo'ong. Tak ada artinya, tak memberikan makna baru. 

Hal pertama sudah, hal kedua oke, maka yang berikutnya ada memilih terapi yang tepat. Langkap awalnya barangkali berkonsultasi dengan psikolog, yang akan memberikan rekomendasi lanjutan, apakah cukup dengan konsultasi tatap muka atau sudah membutuhkan konsumsi obat. Yang artinya direkomendasikan untu menghubungi psikiater dalam penanganan berikutnya. 

Beruntunglah juga kita cukup dibekali kesadaran untuk dapat merumuskan apa-apa yang sedang terjadi dengan diri kita. Banyak orang yang tak dimampukan untuk melakukan itu. Nah, jika yang mengalami adalah orang-orang terdekat kita, sedangkan kita cukup mampu membaca kondisi mereka, mungkin kita bisa ambil peran untuk memberikan saran kepada mereka dengan merujuk ke profesional.

Baca juga: Empati dan Seni Berkomunikasi


Berbagai Model Terapi

Pengalaman traumatis terendapkan di alam bawah sadar. Ego manusia bisa menekannya sedemikian rupa demi berbagai alasan, yang barangkali lebih kurang untuk kebutuhan bertahan hidup. Begitu terpantik oleh penyebab tertentu, muncullah ke permukaan dan menjadi gangguan. 

Ada sejumlah metode terapi yang digunakan dalam mengatasi gangguan akibat peristiwa-peristiwa traumatis. Ini aku kutipkan dari situs RS Siloam:

1. Terapi perilaku kognitif (CBT)

Terapi ini mengambil fokus pada pola pikir. Mengatasi pola pikir yang bermasalah, kemudian mengubahnya. Untuk pembiasaan diperlukan tindakan berkala mingguan. Dengan begitu pengidapnya akan mempelajari gejala-gejala yang dialaminya lalu mengelolanya.

Pada umumnya CBT umumnya dilakukan dalam kurun 12 hingga 16 minggu tergantung perkembangan kesembuhannya.

2. Terapi pemaparan berkepanjangan

Terapi dilakukan dengan menggunakan teknik terapi perilaku. Tindakan yang diberikan berupa paparan yang menyasar pada ingatan, emosi, pikiran, hingga sensasi fisik yang berhubungan trauma, dengan cara bertahap.

Tujuannya adalah memunculkan keberanian pada pengidapnya agar mampu menghadapi ketakutannya. 

3. Terapi pemrosesan kognitif

Terapi ini menangani pasien dengan cara mereka diajak untuk melihat diri sendiri, orang lain, dan lingkungan sekitar. Tindaka yang diterapkan adalah melakukan evaluasi cara berpikir seseorang pasca mengalami peristiwa traumatis. 

Terapi jenis ini pada umumnya diterapkan kepada mereka yang mengalami rasa malu atas pengalaman traumatisnya. Dengan CPT, mereka diajak mengevaluasi trauma yang dialami dan dampak terhadap pikirannya.

4. Terapi perilaku kognitif berfokus pada trauma

Terapi ini dianggap sebagai salah satu yang paling efektif diterapkan pada anak remaja yang mengalami gangguan stres pasca trauma. Metodenya memang dirancang untuk anak remaja, dengan melibatkan pengasuh atau orang tua mereka. 

Terapi ini juga banyak dipakai dalam upaya penyembuhan trauma lainnya, seperti depresi, kecemasan, dan masalah perilaku.

Baca juga: Berhati-hatilah dengan Siapa Kamu Bercinta

5. Desensitisasi gerakan mata dan terapi pemrosesan ulang (EMDR)

Terapi ini bertujuan memampukan otak untuk melakukan penyembuhan trauma secara alami. Metodenya adalah dengan menerapkan gerakan mata atau ketukan, seraya meminta pasien untuk melihat gambar yang berhubungan dengan traumanya secara fokus.

Terapi ini dianggap efektif dalam membantu pasien mengatasi ingatan terkait perasaan akibat trauma ayng dialaminya, jauh lebih cepat dibandingkan dengan terapi lainnya.

Itu dia beberapa metode terapi trauma healing yang hanya bisa dilakukan oleh profesional. Si kawan, Anyelir, memilih EMDR sebagai terapinya. Setelah 6 sesi pertemuan daring ia mulai merasakan kesembuhan yang signifikan. 


Trauma Healing bukan Proses yang Mudah

Ya, trauma healing bukan perkara mudah, karena melihatkan batin manusia yang berlapis-lapis. Tapi, sesungguhnya, apa yang terjadi dengan Anyelir?

Aku mengenal Anyelir sekitar 10 tahun lalu. Seorang perfeksionis. Aku merasakan ada sedikit ketakwajaran dalam sikap-sikapnya. Bukan sesuatu yang mencolok memang, tapi dalam pengenalanku dengan orang-orang perfeksionis tak sedalam dia. Belakangan hari baru kudapatkan informasi itu. Bahwa ia selalu berusaha untuk tampil baik, tampil sempurna, tampil tanpa cacat demi tidak disalahkan oleh ibunya. Anyelir mengalami kekerasan verbal dari ibunya.

Berbagai kalimat-kalimat tak menyenangkan sering dipakai sang ibu untuk menyudutkan Anyelir. Itu terjadi bukan hanya selama masa pertumbuhannya, namun hingga masa dewasanya karena ia masih tinggal bersama orang tuanya. Setelah memutuskan mengikuti terapi, ia membulatkan tekat untuk keluar dari rumah orang tuanya. Kurasa dengan membuat jarak, ia lebih sanggup mengelola emosi. Ia tetap seorang perfeksionis, kurasa. Tapi kini dengan sepenuh kesadaran bahwa itu dilakukan untuk kebaikannya sendiri, bukan demi orang lain.

Baca juga: Multitasking Membuat Kita Gampang Lupa

Semoga kita semua dimampukan untuk lebih bijak menyaring apa yang kita omongkan. Apakah yang kita omongkan ada manfaatnya? Apakah yang kita omongkan tidak menyakiti orang lain? Jangan sampai kita menjadi sebab dari ingatan traumatis seseorang yang berdampak pada berbagai lini kehidupannya dan membutuhkan penanganan ekstra. Semoga kita semua sehat lahir dan batin. Namaste.



Menjajal Kuliner Khas Pasar Cihapit Bandung

Suatu hari, seorang kawan menawariku ngopi. Di Los Cihapit, begitu katanya. Tak terlintas, Los Cihapit itu posisi di sebelah mana. Yang kuingat ada beberapa kedai kopi di Jalan Cihapit. Ternyata adanya di dalam pasar. Pasar Cihapit yang membuatku takjub: "loh, kok menarik gini?" Sudah 30 tahun di Bandung dan baru hari itu aku memasuki kawasan Pasar Cihapit yang melegenda itu. Bukan hanya ngopi, hari itu aku mencicipi menu dari kedai makan yang telah bertahan sejak Soekarno menjadi Presiden RI. Warung Nasi Mak Eha.



Baca juga: Menjelajahi Taman Hutan Raya Juanda

Pada beberapa bulan lalu, sempat dengan sengaja datang ke Pasar Kosambi, Jalan Ahmad Yani, Bandung. Semata untuk melihat dari dekat kondisi lantai dua yang konon terdapat aneka kedai. Asyik juga, melihat perbedaan Pasar Kosambi yang sebelumnya, dengan yang pasca renovasi. Nah, setelah mengunjungi Cihapit, lantas kupikir, mungkin konsep Pasar Kosambi mengadopsi dari Pasar Cihapit. Bedanya, Pasar Kosambi jauh lebih besar. 


Pasar Cihapit, Sejarah dan Perkembangannya

Pasar Cihapit dikenal pertama kali pada sekitar 1947. Awalnya lokasi ini adalah sebuah lahan terbuka, bersebelahan dengan area pemandian kuda. Karena adanya kebutuhan akan keberadaan pasar, mulai dibangunlah pasar sederhana. Di kemudian hari, bangunan pasar ini tumbuh berkembang dengan baik, bahkan sering dijadikan contoh untuk pasar sejenis. 

Mundur berpuluh tahun ke belakang, perkembangan Pasar Cihapit terkait erat dengan perkembangan kawasannya terutama sejak 1920-an. Masa itu ada rencana pemindahan ibu kota Hindia Belanda dari Batavia ke Bandung. Cihapit menjadi kawasan yang disiapkan sebagai daerah hunian untuk pegawai pemerintah. Saat itu tengah berlangsung pembangunan gedung-gedung perkantoran di area Gedung Sate.

Ariyono Wahyu Widjajadi, pegiat Komunitas Aleut, seperti dikutip Bandung Bergerak mengatakan bahwa jejak perumahan masa itu dalat dilihat di kawasan Gempol untuk pegawai rendahan. Sedangkan bentuk perumahan untuk pejabat tinggi, bisa dilihat di sepanjang Jalan Riau. Komplek pemukiman pejabat menengah ke bawah juga dibangun di sekitar Taman Pramuka dan Cihapit. Diperkirakan ada sekitar 800 rumah tinggal yang berhasil dibangun hingga awal 1930-an. Pembangunan tak berlanjut akibat berlangsungnya krisis ekonomi dunia. Jejaknya bisa kita temukan di kawasan Jalan Cihapit dan Jalan Sabang.

Baca juga: Pendakian Gunung ala drh Nyomie dan Max

Catatan lain dalam sejarah terkait kawasan Cihapit adalah saat pendudukan Jepang. Masa ini melahirkan kisah kelam, tawanan perempuan dan anak-anak dirumahkan di kawasan hunian Cihapit yang dialihfungsikan sebagai kamp. Tercatat, tak kurang dari 14 ribu tawanan pernah menghuni kamp tersebut pada kurun akhir November 1942 hingga Desember 1944. Tahun berikutnya barulah dipindahkan ke beberapa kota lainnya. Menurut Ariyono, sebagian besar tawanan adalah warga Eropa. 

Dari kawasan yang awalnya dibangun bagi pekerja kelas rendahan itu, Cihapit kini telah berkembang pesat dan menjadi bagian dari peradaban kota. 


Mencicipi Menu Mak Eha dan Kopi Los Cihapit

Saat Mak Eha mulai membuka warungnya, Pasar Cihapit tentu saja belum seperti sekarang. Pedagang sedikit, sebagian besarnya pedagang sayuran. Awalnya warung nasinya bernama Warung Bu Nok. Lalu berkembang pesat dan dinamai namanya, Mak Eha. Para pesohor negeri ini pernah mencicipi masakan Mak Eha. Ini dapat dilihat di dinding bagian kiri warung. Tampak foto-foto, di antaranya Presiden Soekarno. 

Beruntung, saat ada dalam antrean pengunjung yang mengambil makanan, aku melihat sosok Mak Eha yang tengah membereskan bumbu-bumbu dapur di tampah. Tubuhnya sudah membungkuk, tapi masih terlihat sehat. Untuk urusan operasional warung sudah diserahkan Mak Eha ke anak-anaknya. 

Warung Mak Eha masih menerapkan model "warung kejujuran" seperti sejumlah warung Sunda yang aku pernah kunjungi. Pengunjung memilih makanan yang dimaui, lalu langsung bisa memakannya tanpa dihitung terlebih dahulu. Bayangkan, berapa banyak kerugian kalau di antara pengunjung tidak menyebutkan secara jujur makanan apa saja yang sudah dikonsumsi? Atau mungkin hal itu sudah masuk dalam hitungan untung-rugi mereka, ya? Entahlah, lain waktu mungkin perlu kutanyakan. 



Pagi itu aku memilih tumis leunca dan ikan bakar. Ada tambahan keciwis rebus dan sambal terasi. Nyam-nyam. Bagi penggemar masakan Sunda, banyak sekali pilihan yang menggoda. Ada soto Bandung,  gepuk, ayam goreng/bakar, perkedel, aneka pepes, otak-otak, limpa, rendang, dan masih banyak yang lainnya. Sayangnya aku tak bisa makan banyak ragam lauk sekaligus. Makan pagi pun ditutup dengan teh tawar hangat yang nikmat.

Di depan Warung Nasi Mak Eha ada lapak lotek. Sebagian pembelinya menikmati santapannya di meja yang sama dengan pengunjung Warung Mak Eha. Di sisi seberang, ada toko jajanan pasar yang juga sibuk melayani pembeli. Sebagiannya ikut mengunyah bersama mereka yang makan berat. Suasana sarapan yang hangat.

Baca juga: Tujuh Bangunan Bersejarah di Bandung

Hari itu masih cukup pagi. Beberapa lapak makanan tampak masih tutup, konon baru buka di atas jam 11. Di bagian lain, pasar basah juga cukup ramai oleh pengunjung. 

Aku kemudian memilih untuk melanjutkan rencana semula, ngopi. Warkop yang menjadi tujuan, Los Cihapit ada di jalur tak jauh dari area pintu masuk kanan. Yang kumaksud kanan adalah pintu masuk pasar jika kita ambil jalur gang di seberang Kantor Polisi Bandung Wetan. Sedangkan pintu masuk utama pasar langsung menyasar area pasar basah. 

Begitu memasuki area kedai mungil itu, aku langsung suka. Suasananya hangat. Sesama pengunjung saling bersapa. Bahkan banyak yang saling bersalam tangan. Padahal di antara mereka belum tentu kenal. Los Cihapit menyajikan beberapa macam penyajian kopi, dengan pilihan kopi Ciwidey. Aku cukup memilih kopi tubruk saja, seperti biasa. Kalau kata Kang Bayu, pemilik kedai, sebelum pandemi tempat itu juga sering dijadikan tempat diskusi. Dengan berbagai topik, seperti peristiwa sosial budaya, musik, seni, atau bedah buku. Kulihat di sisi kedai ada dua rak buku yang isinya penuh. Pengunjung bisa ngopi sambil baca-baca. 



Untuk area pasar basah aku tak menilik secara khusus. Tapi secara selintas yang kulihat kondisinya bersih dan rapi, tidak seperti sebagian pasar basah lainnya. 

Buat warga Bandung, Pasar Cihapit dikenal sebagai salah satu kawasan kuliner yang direkomendasikan. Ada di area tengah kota dengan nilai sejarah yang kental. Selain lokasinya yang bersih dan menjadi rujukan pengembangan pasar-pasar tradisional. Bagi penggemar traveling, kalau ke Bandung, jangan lupa singgah. Mbak Wati, blogger Semarang, berkabar yooo kalau ke Bandung dan pengin ke sini. Tak temani.

Seperti halnya aku yang sudah 30 tahun di Bandung dan baru kali ini masuk Pasar Cihapit, aku hampir yakin, banyak warga Bandung yang seumur-umur tinggal di Bandung pun ada yang belum pernah mencoba ngulik area dalam pasar. Cobalah. Selain aneka kedai dan toko di sepanjang kiri kanan Jalan Cihapit, area dalam pasar menjanjikan banyak pilihan. Beberapa fotonya disimpan di sini.

Baca juga: Braga, Kawasan Penting Bandung Tempo Dulu

Soulmate.com, Upaya Menemukan Belahan Jiwa

"Belahan Jiwaku, apa kabarmu?" Demikian aku mengakhiri lagunya Kla Project saat siaran radio. Pertanyaan sederhana yang bisa memantik siapa saja yang sedang menunggu soulmate, sang belahan jiwa. Tak kaget, kalau setelahnya, ada saja yang komentar atau bahkan menyempatkan diri nelfon ke studio. Tapi kali ini bukan mau cerita lagu, melainkan tentang buku. Salah satu buku lama yang kulepas di lapak. Soulmate.com, novelnya Jessica Huwae.



Baca juga: FSP di Kajian Jumaahan dan Pengajian Majelis Sastra Bandung

Ini buku kudapatkan dari seseorang, pasanganku ketika itu #uhuk. Kisaran 2006. Bukan genreku. Dan lama sekali hanya teronggok di rak buku. Berasa terlalu kosmo, jadi diabaikan. Setelah dibaca, lumayan juga, sih. Bacaan yang cukup menghibur.


Sinopsis

Novel ini berkisah tentang Nadya, lajang 25 tahun yang cerdas, cantik, sophisticated, memiliki pekerjaan dan teman-teman yang menyenangkan. Segalanya dia punya, selain cinta, dalam konteks hidup berpasangan. Pada kala tertentu ia merasa begitu berdaya, dan pada kala yang lain tak bisa menghindarkan diri dari rasa kesepian. Maka, beralihlah ia dari satu kencan ke kencan yang lain. Kencan-kencan yang malah bikin terasing, karena semuanya berakhir tidak baik. 

Nadya pernah menjalani hubungan yang serius. Sayangnya, pacar yang dulunya setia, mengkhianatinya. Bukan berarti Nadya pasrah dan diam saja. Ia mencoba menjalin hubungan-hubungan baru. Tapi, ketemunya, kok ya yang aneh-aneh. Ada yang gemar melakukan kekerasan. Ada yang sudah ngajak tidur dalam kencan semalam. Ada yang anak mami. Ada yang obrolannya tidak menarik. Ada yang cunihin. Tapi ada pula yang sangat "baik-baik" sehingga segalanya terasa hambar. Ia pun berkenalan dengan berbagai jenis lelaki dalam berbagai kesempatan: toko buku, antrean bank, kunjungan dokter, dan tak lupa jasa teman-teman yang menyediakan diri jadi mak comblang. Tidak satu pun yang berhasil bikin greget. 

Hingga ia dipertemukan dengan Oka, laki-laki yang dikenalnya lewat internet. Awalnya perjumpaan sebatas obrolan di dunia maya. Saling menghibur, saling becanda, saling berbagi. Hingga suatu kali, mereka merasa berada di satu titik yang seolah memberi pertanda, bahwa ada sesuatu yang mengikat mereka. Ya, Nadya merasa Oka adalah seseorang dari belahan dunia lain yang memang diciptakan khusus untuk dia. Semuanya terasa indah dan lengkap, sampai kemudian kenyataan menunjukkan bahwa Oka tidak seperti yang dia kira. He’s a married man! Sementara Nadya jelas-jelas menyatakan: "against an affair", apa pun bentuknya. Tapi mungkin benar kata lagu, cinta tak kenal logika. Nadya merelakan diri menjadi selingkuhan Oka, meskipun dia harus kehilangan pertemanan dengan sahabatnya. 

Baca juga: Book Sleeve, Pembaca Buku Wajib Punya

Begitulah akhirnya, Nadya, lajang yang cantik dan sukses itu memilih untuk menjadi perempuan kedua dalam kehidupan Oka. Harus bisa menerima secuil saja waktu yang bisa disisihkan Oka untuknya. Harus menahan diri untuk tidak cemburu membayangkan Oka melewati kebersamaan dengan istrinya. Harus menerima sakitnya kangen yang tidak memberinya kesempatan untuk ketemu. Begitulah Nadya, kehilangan cara berpikir rasionalnya. Hingga tiba di satu titik, Nadya memutuskan untuk berhenti.


Kisah Cinta yang Menghibur

Kisahnya, kisah kaum urban. Urusan percintaan yang sangat mungkin dialami oleh perempuan di belahan dunia mana pun. Sosok-sosok perempuan yang berdaya, tapi yang begitu saja, mau menjadi perempuan kedua. Mereka yang seolah kehilangan logika. Terus saja melakoni hubungan yang sesungguhnya sangat tak berpihak kepada mereka. Sounds familier, huh?!

Tema tentang cinta yang "salah" ini dengan mudah dapat kita temukan di berbagai media cerita. Di novel, di sinetron, di film layar lebar, atau drama Korea. Soal drakor, bisa cek di blog drama Korea terbaru, deh, banyak rekomendasi. Selain cerita K-Pop, pasti di antaranya ada catatan tentang film yang mengisahkan hubungan-hubungan "terlarang" macam ini. 

Atau, barangkali ada yang memiliki pengalaman yang sama? Mungkin tak meniatkan dari awal untuk menjadi orang kedua. Seperti pengalaman Nadya, yang merasa telah menemukan soulmate-nya setelah sekian lama pencarian, lantas baru tersadarkan bahwa ternyata sang soulmate sudah menikah. Dan mengubah, mengalihkan, memindahkan, apalagi menghilangkan perasaan bukanlah hal yang mudah. Tetap dijalani meski tahu bahwa itu salah. Hingga tiba di satu titik yang memaksa kalian untuk berhenti. 

Baca juga: Pseudonim, Kisah Pertarungan Idealisme Dunia Penulisan

Novel ini sendiri kuselesaikan dengan cepat. Setelah lama, entah berapa bulan teronggok di rak, aku menuntaskan novel dalam setengah hari baca. Ketika gangguan susah tidur menyerang, lalu kutuntaskan pada jelang subuh. Jessica Huwae menuangkan cerita dalam bahasa yang ringan dan mudah dicerna. Dialognya menggunakan diksi khas metropolitan. Sekali lagi, memang bukan diksi pilihanku, tapi secara umum satu nafas. Memang pas-nya ya di situ. 

Kalau belum baca novel ini sejak awal kemunculannya, dijamin bakal mengobati sebagian kekangenan akan media khas di masa itu seperti sms dan yahoo messenger.


Judul: soulmate.com

Penulis: Jessica Huwae

Penerbit: Gramedia, 2006

Tebal: 219 halaman