Featured Slider

How to Choose the Perfect Swimwear for Your Body Shape?

Many people take advantage of hot days to go to clubs, the beach or the pool with their family or friends. For women, choosing the perfect swimwear can be a challenging task.

A piece that looks beautiful on a close friend may not look so good on you. Or maybe last season's bikini doesn't seem so exciting anymore. But don't worry, this is totally normal. The solution comes simply when you learn how to shapewear swimwear according to your body type.

 


What swimwear looks good on all body types?

In this case, you can choose the swimsuit as an assertive piece without fear of making mistakes. It never goes out of style, it conveys elegance and expands the female silhouette, making it perfect especially for shorter women. Women with a rectangular shape look even more beautiful with a piece of this type.

As the measurements of the shoulders, hips and waist are very similar, the swimsuit evens out the shape even more. A shapewear with a gathered design on the central panel of the body is interesting, as it will shape your waist and make you look even slimmer.

In the case of the hourglass body, the V-shaped and gathered neckline is interesting, as it will enhance the bust area, making the female body even sexier. In addition, the removable bra protectors give women the freedom to create a bra according to their personal needs.



In which cases is a bikini recommended?

It can be used in many different formats, as long as you apply tricks to further enhance your body type and create the perfect bikini that will make you even more confident and empowered.

For women with a triangular body shape, you can choose a bikini that has straps with good support. The gathered detail is interesting and can give more volume to the shoulders. Colors are also important in the process, red and pink, for example, will highlight the upper region even more.

At the bottom, the panties with a wide side balance your shape. Stretchy mesh fabric lining controls the tummy for a more symmetrical look. The compression delivered in the right measure reduces resistance to movement and leaves you with a more natural appearance.



How to achieve a slimmer and more elegant appearance?

A swimsuit with a gathered design that covers the entire waist area can easily give you a slimmer image. For an Oval-shaped body, details in the vertical lines of the body further elongate your silhouette and the drape of the fabric can be a detail that will make you more self-confident, as it subtly flatters your shape.

The V-neckline with the detail of the built-in cups is interesting because it helps to further disguise any fat in the belly area. This effect can be amplified even further if you choose a dark color. Wide straps, in addition to providing greater support for the upper body, also enhance the upper part of the body even more, balancing the proportions.

You can invest in more than one model and alternate colors for the top or bottom. If you want something simpler that adds practicality to your routine, you can take advantage of shapewear special deals to also buy different types of swimsuits. With a little creativity you can create beautiful and comfortable looks, as well as adapting these pieces for other hot days outside the beach.

Sesepuh Jawa Barat Solihin GP Berpulang

Orang yang lahir atau siapa pun yang tinggal di kawasan Jawa Barat wajib kenal nama ini. Solihin GP. Nama lengkapnya Solihin Gautama Purwanegara, dengan pangkat terakhir Letnan Jenderal (Purn.). Mantan perwira Tentara Nasional Indonesia (TNI) yang pernah menjabat sebagai Gubernur Jawa Barat ini dikabarkan berpulang pada hari ini, Selasa, 5 Maret 2024, pukul 3 pagi di RS Advent Bandung. Sosok yang akrab dipanggil Mang Ihin ini meninggal dunia pada usia 97 tahun. 

Baca juga: Mengunjungi Makam KAR Bosscha

Aku tahu namanya saat nyemplung ke dunia media. Sebagai tokoh nasional sosoknya sudah pasti wara-wiri di media massa. Namanya beririsan juga dalam urusan musik. Ketika menyebut Nicky Astria, muncul komentar: mantunya Mang Ihin (meski kemudian mereka berpisah). Namanya kembali jadi perbincangan di kelompok kecil yang aku sempat bergabung; kelompok yang sedang mengusung sepasang nama untuk maju dalam pemilihan Walikota-Wakil Walikota Bandung. Mang Ihin menjadi salah satu tokoh, sesepuh yang akan mereka sowani, seperti kebiasaan para calon pejabat dan mereka yang berkiprah urusan politik di wilayah Jawa Barat. Sebelumnya, nama ini juga muncul di wilayah yang agak personal, obrolan dengan kawan di komunitas kucing. Dua kawan yang adalah keponakan dari Pak Jendral. 


Mang Ihin, Sosok yang Dekat dengan Keluarga

Wa Ihin itu sangat generous dan loyal sama keluarga. Wejangannya selalu buat kami yang muda untuk selalu jaga silaturahmi dan saling membantu.

Begitu kata Teh Lita Purwati. Keponakan Solihin GP yang tinggal di San Diego, California Selatan, Amerika Serikat ini menceritakan beberapa peristiwa di masa kecilnya. Salah satunya adalah saat pertemuan keluarga. Dalam kebersamaan dengan keluarga besar, baik agenda arisan atau pertemuan lainnya, biasanya ada acara lelang. Barang-barangnya dari donasi anggota keluarga. Hasilnya diberikan kepada anggota keluarga lain yang membutuhkan. Semacam beasiswa keluarga. 

"Wa Ihin suka mimpin acara. Saya ingat, ada selendang yang dilelang. Ia peragakan pemakaian selendangnya, jalan-jalan sambil memandu lelang. Kami yang lihatnya ketawa-ketawa, tapi jadi semangat mau beli." Cerita mamak kocheng yang kupanggil Teh Ea ini. Ia menyampaikan ceritanya saat kusampaikan ucapan belasungkawa melalui messenger.

"Wa Ihin adalah klan keluarga Purwanegara yang terakhir. Sudah habis. Hanya tinggal sepupu-sepupu aja," tambah Teh Ea yang hanya bisa mengucapkan belasungkawa atas kepergian pamannya tersebut lewat telepon, tanpa bisa pulang ke tanah air.

Baca juga: Jelajah Taman Buru Sigit-Karembi


Mengenal Kiprah Mang Ihin

Foto: detik.com

Solihin GP lahir di Tasikmalaya pada 21 Juli 1926. Sebagai anak yang datang dari kalangan menak, ia belajar di sekolah-sekolah favorit yaitu di Europeesche Lagere School (ELS) dan Meer Uitgebreid Lager Onderwijs (MULO) Bogor. Berikutnya melanjutkan sekolah ketentaraan di Sekolah Staf Komando Angkatan Darat dan US Army Infantry School. 

Mang Ihin ada di masa sekolah saat Jepang datang ke Indonesia. Ia yang tergerak untuk melawan penjajahan bergabung dengan wadah kesatuan pelajar, Tentara Pelajar. Begitu memasuki sekolah menengah tinggi, dia ikut turun berperang dengan membawa senapan.

Solihin mengawali karier militernya pada masa revolusi. Saat itu ia menjadi Komandan Tentara Keamanan Rakyat Kabupaten Bogor yang kemudian bergabung dengan Divisi Siliwangi. Usai masa perang, ia melanjutkan berdinas di TNI AD. Penugasan besarnya dimulai dengan menjabat sebagai Pangdam Hasanuddin di Makassar (1964-1968). Sepulangnya ke tanah Jawa, ia ditunjuk menjadi Gubernur Akabri (1968-1970). Dua tahun di akademi, Solihin GP didapuk sebagai Gubernur Jawa Barat (1970-1975). Setelahnya, ia ditarik Presiden Soeharto ke Jakarta untuk menempati posisi yang disebut-sebut sebagai masa paling lama ia bertugas, yaitu sebagai Sekretaris Pengendalian Operasional Pembangunan (Sesdalopbang/1977-1992). Mang Ihin juga berkiprah sebagai anggota Dewan Pertimbangan Agung dan anggota MPR. 

Baca juga: Tujuh Bangunan Bersejarah di Bandung

Solihin dikenal turut memperjuangkan nasib petani. Saat menjadi gubernur Jawa Barat, ia menurunkan gagasannya yakni memasyarakatkan gogo rancah sebagai upaya mengatasi krisis pangan. Sistem pertanian ini memungkinkan penanaman padi di area dengan debit air terbatas. Sesepuh masyarakat Sunda ini ikut mengangkat nama Persib di kancah persepakbolaan di Jawa Barat dan Indonesia. Saat menjadi ketua umum Persib Bandung (1976-1985), ia menciptakan program pembinaan berkesinambungan bagi para pemain muda. Program inilah yang melahirkan pemain generasi emas Persib era 1980-an. Selain terus ikut memperhatikan perkembangan kebudayaan Sunda secara umum, Mang Ihin juga ambil peran khusus dalam mengawal kondisi lingkungan di Jawa Barat sesuai kearifan leluhur dan budaya Sunda. Ia ikut mendirikan Dewan Pemerhati Kehutanan dan Lingkungan Tatar Sunda (DPKLTS). 

Mang Ihin dimakamkan pada pukul 13.30 WIB di Taman Makam Pahlawan Cikutra Bandung. Pileuleuyan.

Baca juga: Menjajal Kuliner Khas Pasar Cihapit

Referensi: kompas, tempo, wikipedia

Passengers, Film Thriller yang Manis

Tak sengaja nonton film ini. Awalnya hanya menduga cerita romance dengan latar peristiwa kecelakaan pesawat saja. Ujungnya agak mengejutkan, dan menyisakan ruang kosong. Mengejutkan karena tak menduga kalau film ini dimaksudkan sebagai film thriller/misteri. Ruang kosong karena menyisakan beberapa pertanyaan. Passengers, film dengan pemeran utama Anne Hathaway dan Patrick Wilson yang rilis tahun 2008.



Baca juga: Dallas Buyers Club, Perjuangan Hidup Pengidap HIV-AIDS

Filmnya sudah berumur 16 tahun tapi tak pernah baca sedikit pun. Yang sempat aku tahu malah The Passengers yang rilis tahun 2016 dan dibintangi Jennifer Lawrence dan Christ Pratt. 

Sinopsis

Film ini mengisahkan peristiwa kecelakaan tragis yang menimpa sebuah pesawat terbang. Seluruh penumpang tewas, kecuali 10 orang. Beberapa dari sepuluh orang inilah yang menjadi pembuka adegan. Konsultasi dengan psikiater cantik, Claire Summers (Anne Hathaway) sebagai upaya mengatasi masa post-trauma pasca kecelakaan tersebut. Masing-masing korban memiliki versinya sendiri terkait pengalaman terakhir sebelum pesawat yang mereka tumpangi jatuh. Versi berbeda-beda yang memusingkan Claire.

Di antara penumpang yang selamat itu adalah Eric (Patrick Wilson), sosok ganteng yang mencuri perhatian Claire. Awalnya, seperti halnya penumpang lain dengan segala keanehannya, Claire berusaha memahami si lelaki yang tak kalah aneh ini. Sosok yang membuatnya khawatir sekaligus penasaran. Intensitas komunikasi mereka sebagai psikiater dan pasien membuahkan sesuatu yang berbeda. Mereka saling jatuh cinta. Claire sudah melewati batas profesionalnya. 

Dalam upaya mencari kebenaran di balik penyebab peristiwa kecelakaan tersebut, muncullah fakta-fakta yang ganjil. Sekali waktu terasa mencekam dan misterius, hingga akhirnya terkuaklah fakta yang sesungguhnya. Claire berhasil mengungkap sendiri misteri yang menyelimuti peristiwa kecelakaan pesawat tersebut. Bahwa mereka semua adalah korban. Bahwa mereka semua sudah berada di alam lain.

Baca juga: The Intouchables, Film yang Hangat tentang Relasi Manusia


Oh, Film Thriller, to?

Berhubung memang blank tentang film ini, tak tahu betul dan genre-nya. Baru tahu kalau film ini masuk dalam kategori thriller. Yang kurasakan, sih, ya nggak ada seram-seramnya. Tidak menegangkan juga. Yang lebih tertangkap justru romansa percintaan sang psikiater dan pasiennya. 

Ada titik pertama yang memunculkan rasa seram. Yaitu ketika sesi konsultasi bersama, ada sosok yang melihat dari kejauhan. Apakah itu hantu? Apakah itu korban yang mengalami sakit jiwa? Begitu pula saat para korban menghilang satu per satu berbarengan dengan kedekatan Claire dengan Eric, lalu kemunculan anjing yang ganjil. Pun dengan kemarahan-kemarahan yang ditampilkan sang pilot, sempat membuatku berspekulasi ini dan itu. Nyatanya, kecele. 

Bagi penggemar thriller sudah dipastikan kecewa dengan film garapan sutradara Rodrigo Garcia ini. Tapi, paling tidak, meski tak memenuhi ekspektasi, para pemain, Anne Hathaway, Patrick Wilson, serta pemeran pendukung seperti Dianne Wiest, Clea Duvall, dan David Morse melakukan tugasnya dengan baik. 

Buatku yang nonton tanpa sengaja, tanpa ekspektasi sama sekali, nggak terlalu masalah. Masih asyik-asyik saja, cukup menghibur, meski memang terasa beberapa bolongnya. Terlalu sederhana untuk sebuah peristiwa kecelakaan besar yang menyebabkan kematian ratusan orang. Jadi, cukuplah aku menganggap ini sebagai film romance. Yang bahkan di ujungnya menyisakan ruang hampa tentang cinta yang (seolah) tak nyata. Mereka saling jatuh cinta, ternyata sudah berada di dunia yang tak riil. Lalu memunculkan pertanyaan-pertanyaan lain: betulkah dunia yang "itu" tidak riil? Yang menganggap itu sebagai realitas nyata dan bukan adalah kita yang ada di alam sadar kita sekarang. Bisa jadi ada di alam sadar yang lain, di luar kesadaran kita. Ya, beberapa pertanyaan itu dan pertanyaan lain masih memenuhi kepalaku sampai beberapa hari berikutnya. Haha!

Baca juga: Film Mafia yang Perlu Dijadikan Teman Malem Mingguan


Judul: Passengers

Tahun rilis: 2008

Sutradara: Rodrigo Garcia

Produser: Joseph Drake 

Naskah: Ronnie Christensen

Pemain: Anne Hathaway,Patrick Wilson, Clea DuVall, Andre Braugher, David Morse, Dianne Wiest 

Musik: Ed Shearmur 

Sinematografi: Igor Jadue-Lillo 

Editing: Thom Noble 

Distribusi: TriStar Pictures 

Durasi: 93 menit


Bali 2024: Wisata Kuliner dan Religi

Bulan lalu melarikan diri sejenak dari keruwetan urusan ini dan itu di Bandung. Pilihannya: Bali. Sekaligus berharap bisa menemukan grentek untuk melanjutkan cerita yang ambil latar belakang tradisi dan budaya Bali. Empat hari berada di negeri seribu pura ini, tapi tak banyak kawasan yang bisa kukunjungi. Tak sebanyak kunjunganku satu dekade lalu. Karena keterbatasan gerak dan sambil bawa PR gawean. Tapi paling tidak ada 6 titik yang bisa kubagikan ceritanya dari kunjunganku kali ini, 3 tempat kuliner dan 3 kawasan religi. 


Yup, kepergianku ke Bali kali ini yang keempat kalinya. Meski terbilang jarang, yaitu tahun 2001, 2010, dan 2014, tetap saja, hitungannya Bali menjadi tujuan terbanyakku berada di luar Bandung untuk urusan bukan kerjaan. Selama empat hari, tiga harinya menginap di Mengwi dan melihat dari dekat model rumah wayah di Bali. Sedangkan tiga hari tersisa kembali ke kawasan Ubud, di penginapan yang tak jauh dari yang kutinggali dalam kunjunganku 10 tahun sebelumnya. 


Mengunjungi (kembali) Tanah Lot

Awalnya berencana untuk menyaksikan sendratari di Uluwatu. Tapi agenda bergeser: Tanah Lot. Pada 2001 aku pernah berkunjung ke sini. Pekerjaan. Kerjaannya sebetulnya liputan untuk sebuah kegiatan DPRD Kota Bandung. Di antara agenda formal mereka, ada beberapa tempat wisata yang dikunjungi. Termasuk, pura di bibir pantai ini.

Tanah Lot berada di kawasan Tabanan, 30 km dari Denpasar. Pura terletak sekitar 300 meter di lepas pantai. Gambaran Bali dengan Tanah Lot-nya ini banyak kita jumpai dalam lukisan dengan berbagai format. Ada di mana-mana. Seperti yang: "kamu belum bisa dibilang ke Bali kalau nggak ke Tanah Lot". 

Pura Tanah Lot yang diyakini berasal dari abad ke-16 ini telah mengalami banyak perubahan dan perbaikan. Dari pengamatanku sendiri, jauh berubah dibandingkan 23 tahun yang lalu. Ya iyalah, hampir seperempat abad! Haha. Area jalan kakinya lebih nyaman. Taman-taman lebih rapi. Fasilitas di sekitar seperti tempat makan, galeri benda seni, tempat parkir juga lebih memadai. 



Baca juga kunjungan ke Bali sebelumnya:

Menyambangi Pulau Dewata

Sebuah Perjalanan ke Bali Dwipa


Menikmati seafood dan sunset di Jimbaran

Mau cari seafood dan sunset? Ya, di Jimbaran! Begitu katanya. Aneka resto seafood Jimbaran ini berada di sebuah teluk yang disebut Jimbaran Bay. Persisnya di Kampung Kedonganan, Kecamatan Kuta Selatan, Kabupaten Badung. Lokasinya tak jauh dari Nusa Dua dan Bandara Internasional Ngurah Rai. Kalau dari Pantai Kuta, kisaran 15-25 menit dengan menggunakan mobil.

Tiba di kawasan kuliner Jimbaran disambut dengan sederet rumah makan yang semuanya sibuk. Rasa-rasanya, sejauh mata memandang dari titik awal memasuki area parkir yang penuh oleh kendaraan, semua tempat makan dipenuhi asap. Menu bakaran. Ada antrean di hampir semua pintu masuk resto. Begitu banyak nama, dan aku tak ingat satu pun. Termasuk resto yang kemudian kami pilih.

Resto-resto seafood ini berdiri memunggungi pantai. Di balik bangunannya adalah medan panjang berisi meja kursi makan. Menyatu dari resto paling ujung ke ujung yang lainnya. Semuanya dalam posisi sejajar, sekitar 10 meter dari garis pantai. Yang membedakan adalah detail dekorasi meja kursi dan pakaian yang dikenakan para pramusaji. 

Dari beberapa situs yang kutemukan, keberadaan kawasan kuliner ini berawal dari kebiasaan para turis pada sekitar 30 tahun lalu. Mereka yang berjalan kaki menyusuri dan menikmati pantai Jimbaran, ambil jeda di kawasan ini. Belanja ikan dari para nelayan setempat, sekalian minta diolahkan, baik digoreng maupun dibakar untuk mereka makan ramai-ramai. Seiring dengan laju pertumbuhan pariwisata di Bali, tempat ini pun berubah menjadi ajang bisnis kuliner yang terkenal dan menjadi salah satu ikon di Bali. 

Aku tak ingat persis judul makanan yang kupesan. Yang pasti ada nasi, tumis sayuran, dan olahan seafood yang terdiri dari ikan, cumi, udang, dan kerang. Rasanya? Biasa saja. Sajian makanan di sini kurasa diuntungkan oleh sumber seafood yang masih segar. Konon semua seafood yang menjadi bahan utama di sini adalah hasil tangkapan nelayan Kedonganan yang mata pencarian utama mereka memang menangkap binatang laut di sekitar teluk Jimbaran. Beragam hasil tangkapan nelayan itu tersaji di bagian depan resto, dalam keadaan masih hidup atau dingin segar. 

Serius, buat lidahku yang sebetulnya tak terlalu lihai untuk urusan kuliner ini, menu di Jimbaran, setidaknya yang kupesan, biasa saja. Yang membuatnya jadi nikmat adalah kualitas bahannya yang masih segar, daaaaan bisa menikmati makanan sambil pelan-pelan menyaksikan matahari yang sembunyi di balik perbukitan nun di area barat Jimbaran Bay. 

Kota kelahiranku punya beberapa pantai. Yang pernah kudatangi, Prigi, Karanggoso, Pelang. Tiga kali aku ke berkunjung ke Pangandaran, salah satu pantai terkenal di Jawa Barat. Pernah bertandang di pantai seputaran Merak dan Lampung. Tiga bulan di Sorong sempat mengunjungi beberapa pantainya. Delapan bulan tinggal di Manado, sudah tak terhitung aku melewatkan makan pagi-siang-malam di area pantainya. Tapi pengalaman menikmati makan seafood saat sunset di Jimbaran, memunculkan sensasi tersendiri. Mungkin menikmatinya bersama siapa, ada pengaruhnya juga, sih, ya... Ehmmm!

Eh, tapi bener. You must try!


Baca juga cerita perjalanan sebelumnya:

Ngadem di Soekasada
Mengenal Tempat Pemujaan Umat Hindu


Rusters Coffee, kafe yang instagramable

Memasuki hari kedua di Ubud, ingin mencoba kafe yang tak jauh dari kawasan ini. Ketemu nama ini: Rusters Coffee. Berjarak 6 km dari penginapan. Persisnya berlokasi di Jalan Raya Kengetan No. 44, Singapadu Kaler, Kecamatan Sukawati, Kabupaten Gianyar. Dari Denpasar sekitar 20 km, 50 menit perjalanan. Kalau tidak macet! Tampaknya belakangan ini kemacetan menjadi masalah di Bali. 

Ini kafe, cakep! Lokasinya terpisah dalam beberapa titik, outdoor dan indoor. Area outdoor berbatasan langsung dengan sawah. Segar di mata. Kubayangkan jika datang pagi atau sore pasti menyenangkan. Sayangnya aku tiba saat matahari sedang terik-teriknya. Outdoor bukan pilihan yang menyenangkan. kecuali para bule yang pengin ngitemin kulit. Untuk penyuka kopi, ada coffe shop dalam ruangan berdinding kaca. 

Kafe berada di daerah dengan tanah berkontur. Tersedia tangga di beberapa titik. Berbahan kayu, menyatu dengan komponen bangunan lain yang terbuat dari bahan alam. Termasuk keberadaan keramik-keramik yang menjadi pajangan. Bagi yang berminat, ada workshop yang dibuka secara berkala.

Menunya banyak dan beragam. Masing-masing harganya premium, lumayan menguras kocek. Sayangnya tak cocok dengan selera lidahku. Enak, hanyak tak cocok saja. Bukan tempat yang ingin kukunjungi ulang. Tapi buat kalian yang gemar berfoto, cakep dah, untuk tampilan penyajian makanan/minumannya, pun bangunan dan lingkungannya, layak disambangi.


Baca catatan perjalanan sebelumnya:

Berkunjung ke Tenganan
Tirta Gangga, Taman Air di Kaki Gunung Agung


Pura Samuan Tiga dan sejarah penyatuan kepercayaan di Bali

Pura Samuan Tiga berlokasi di Jalan Pura Samuan Tiga, Desa Bedulu, Kecamatan Blahbatuh, Kabupaten Gianyar. Pura yang dulunya dikenal sebagai Pura Gunung Goak ini tercatat memiliki sejarah dan peran besar dalam menjaga persatuan di Bali. 

Di masa lalu, ada banyak sekte dan aliran kepercayaan di Bali. Pura ini menjadi tempat pertemuan para pemimpin ketika perlu sama-sama mencari jalan keluar permasalahan sekte yang ada. Mpu Kuturan, yang dikirim oleh Raja Airlangga untuk membantu adik bungsunya, dipercaya untuk memimpin pertemuan yang pesertanya adalah sembilan pemimpin sekte. Sembilan sekte tersebut adalah sekte Pasupati, Bhairawa, Siwa Sidhanta, Waisnawa, Bodha, Brahma, Resi, Sora, dan Ganapatya. Ciwa Sidhanta dianggap sebagai sekte yang paling dominan. Perkembangan masing-masing yang mengarah ke sektarian inilah yang memunculkan potensi konflik dalam kehidupan sosial keagamaan.

Beruntunglah, pertemuan-pertemuan tersebut selalu melahirkan keputusan yang positif. Hingga kemudian tercetus ide dari Mpu Kuturan untuk mendirikan Pura Kahyangan Tiga dengan konsep desa pakraman di Bali. Ini diartikan sebagai tiga tempat suci yang  dihubungkan dengan konsep Trimurti yang terdiri atas Dewa Brahma (Pura Desa), Dewa Wisnu (Pura Puseh), dan Dewa Siwa (Pura Dalem). Sejak saat itu Kahyangan Tiga menjadi simbol persatuan masyarakat Bali. Dan nama Pura Gunung Goak pun diubah menjadi Pura Samuan Tiga, yang artinya pura pertemuan (tiga). Dari sisi struktur ruang, Pura Samuan Tiga terdiri dari 7 halaman, yakni Mandala Jaba Sisi (ruang terbuka), Mandala Penataran Agung, Mandala Duwur Delod, Mandala Beten Kangin, Mandala Baten Manggis, Mandala Sumanggen, dan Mandala Jeroan. 

Saat ini, Pura Samuan Tiga telah ditetapkan sebagai salah satu situs cagar budaya di bawah naungan Balai Pelestarian Cagar Budaya Provinsi Bali. Mendatangi kawasan pura ini kita disambut dengan pohon-pohon besar yang menaungi halaman depan pura yang dimanfaatkan sebagai area parkir. Alami, asri, teduh.

Di samping kompleks pura, ada bangunan terbuka yang secara berkala dijadikan tempat pertemuan dan wahana latihan anak-anak berlatih tari. 



Menguji tenaga di Candi Tebing Gunung Kawi

Ini menguji tenaga dalam arti yang sesungguhnya. Cape, bo! Entah berapa anak tangga yang harus dilewati untuk mencapai ujung kompleks candi ini.

Candi Tebing Gunung Kawi yang merupakan persemayaman abadi raja-raja Dinasti Udayana. Bangunan ini berada di antara area hijau persawahan, di Banjar Penaka, Desa Tampaksiring, Kecamatan Tampaksiring, Kabupaten Gianyar.

Dari beberapa referensi yang kutemukan, menyebut Candi Tebing Gunung Kawi diperkirakan dibangun pada pertengahan abad ke-11 Masehi. Pembangunan  10 candi besar yang dipahat pada dinding tebing batu pasir ini dilakukan pada masa Dinasti Udayana (Warmadewa). Dimulai pada masa pemerintahan Raja Sri Haji Paduka Dharmawangsa Marakata Pangkaja Stanattunggadewa (944-948 Saka/1025-1049 M) dan selesai pada masa pemerintahan Raja Anak Wungsu (971-999 Saka/1049-1080 M). Dikatakan, Raja Marakata membangun kompleks candi ini sebagai tempat pemujaan bagi arwah sang ayah, Raja Udayana. Menurut catatan sejarah, Raja Udayana dan Permaisuri Gunapriya Dharmapatni memiliki tiga anak, yaitu Airlangga, Marakata, dan Anak Wungsu. Airlangga kita kenal sebagai Raja Kediri. 

Kesepuluh candi tersebut dibagi dua, di sisi timur Sungai Tukad Pakerisan dan di sisi barat sungai. Lima candi yang berada di sisi timur sungai dianggap sebagai bangunan utama dari kompleks Candi Tebing Gunung Kawi. Bangunan yang paling tua atau yang pertama dibangun adalah candi yang posisinya paling utara dari rangkaian lima candi ini. Sedangkan di sisi barat sungai, empat candi berdampingan menghadap ke sungai dari utara ke selatan. Satu candi lain terpisah, sekitar 200 meter dari keempat candi itu.

Pada masa pemerintahan Raja Anak Wungsu, Candi Tebing Gunung Kawi difungsikan sebagai pura dan sarana peribadatan keluarga kerajaan. Pada dinding-dinding batu pasir kompleks candi ini, terdapat beberapa ceruk dengan berbagai ukuran. Ada yang sempit, ada pula yang cukup lebar. Yang menarik, ceruk-ceruk tersebut diidentifikasi oleh para arkeolog sebagai tempat meditasi umat Buddha. Keberadaan ceruk meditasi umat Buddha ini dianggap sebagai harmoni dalam kehidupan beragama di masa itu.

Aku sempat mengambil video di kawasan ini. Sungguh, terlalu menarik untuk dilewatkan. Sayangnya, si smartphone sedang ngadat. Nge-hang dan gambar yang sudah terekam hilang begitu saja. Mungkin aku diminta berkunjung lagi di kesempatan lain.


Baca juga catatan sebelumnya:

Upacara Piodalan
Pura Besakih


Menjajal bubur Laota

Berhubung lokasi Laota ini di area menuju bandara, masuknya di jadwal akhir. Persisnya dia ada di Jalan Raya Kuta No. 530, Tuban, Kecamatan Kuta, Kabupaten Badung. Sebetulnya ada beberapa cabangnya, tapi warung awal sepertinya sering dijadikan pilihan pertama.  

Ada banyak pilihan menu di sini. Menunya khas oriental, seperti dimsum, aneka bakpao, olahan bebek dan ayam, olahan seafood. Cuma dalam bayanganku, buburnya saja. Selain karena jauh-jauh hari promo tentang bubur Laota ini begitu intensifnya, juga karena lambungku gak bisa dijejalin aneka penganan dalam satu waktu. 

Bubur disajikan dalam mangkok besar. Buat yang porsi makannya tak banyak, semangkok cukup untuk berdua. Pilihnya bubur seafood aja, karena aku membayangkan udang yang besar-besar sepertinya yummy. Selain udang, ada ikan, cumi, kepiting, dan entah apalagi. Toppingnya sama dengan bubur ayam di Bandung: cakue! Tak ada sambal. Penggantinya adalah saus jahe dan entah apa lagi rempah yang dicampurkan. Enak, hangat. Minumnya cukup teh hijau panas yang disajikan dalam teko dan mangkok minum serba putih.  

Kalau ini sih, di lidahku jelas-jelas enak. Dan jelas akan diulangi saat kelak berkunjung lagi ke Bali. 

Begitulah, empat hari yang menyenangkan di antara cicilan pekerjaan, alam Bali yang ngangenin, dan kawan-kawan yang asyik. Untuk Bli Yogi dengan traktirannya, Mas Narto yang kembali jadi pemandu seperti 10 tahun lalu, dan Bli Putu serta Bli Dodo (eh, bener nggak, sih?) yang antar wara-wiri, hatur nuhun. Sampai ketemu lagi. Namaste.  


Referensi dari berbagai sumber

Agak Laen, Film Komedi Horor yang Menghibur

Sejak tayang perdana pada 1 Februari 2024 lalu, Agak Laen telah melampaui capaian 5 juta penonton. Angka tersebut menjadikan film ini berada di urutan ketujuh film Indonesia dengan penonton terbanyak. Prestasi itu sebelumnya dipegang oleh Sewu Dino (2024), Laskar Pelangi (2008), dan Habibie & Ainun (2012), yang mengisi peringkat 7 hingga 10. Agak Laen menjadi produksi ketiga Imajinari. Sebelumnya, mereka telah sukses dengan dua filmnya, Ngeri Ngeri Sedap dan Jatuh Cinta Seperti di Film-Film.



Baca juga: Gundala, Sebuah Harapan untuk Film Indonesia

Film yang disutradarai oleh Muhadkly Acho ini menjadi pilihanku ketika sedang ingin nonton sekaligus sedang butuh ketawa. Tak mencari tahu lebih detail, selain yang disebut seorang kawan bahwa film ini menghibur. Tak tahu juga bahwa ternyata ini film berangkat dari Podcast Agak Laen yang telah mengudara sejak 2021, melalui channel audio lalu YouTube. 


Sinopsis

Agak Laen berkisah tentang empat orang sekawan, yaitu Indra Jegel, Boris Bokir, Oki Rengga, dan Bene Dion Rajagukguk. Keempat orang yang tampil dengan namanya masing-masing ini sedang berjuang untuk mendapatkan kehidupan yang lebih baik. Indra sedang terjerat utang, Boris sedang membutuhkan uang untuk masuk tentara, Oki menganggur setelah keluar dari penjara, dan Bene sedang membutuhkan uang untuk melamar kekasihnya. 

Cerita diawali dengan adegan di pasar malam. Oki dengan pakaian ala perempuan menjadi sasaran permainan. Pengunjung yang berhasil melempar bola ke papan, dapat menjatuhkannya ke dalam kolam air. Ia jadi sasaran perundungan pengunjung yang cermat dalam melempar bola. Kemarahan Oki menjadikan pemuda itu dipecat dari pekerjaannya tersebut. 

Dari peristiwa itu, Oki menjumpai karibnya, 3 orang bermarga Batak yang tengah mengalami masa sulit karena rumah hantu yang mereka buat di arena pasar malam, sepi pengunjung. Mereka sudah mendapat ancaman pengelola pasar malam untuk cepat melunasi sewa, karena kalau tidak, akan segera dipindahtangankan. Oki pun ambil peran. Diam-diam menggadaikan sertifikat rumah tanpa sepengetahuan ibunya. Uangnya ia gunakan untuk memperbaiki wahana. Namun, dari sinilah petaka bermula.

Secara tak sengaja, seorang pengunjung rumah hantu meninggal dunia dalam area wahana. Mereka merasa tak punya pilihan lain selain mengubur mayat pengunjung tersebut. Meletakkan batu nisan di atasnya, seolah kuburan itu bagian dari seting wahana. 

Baca juga: Paranoia, Film Riri Riza yang Berakhir dengan Nggak Oke

Malam itu, peristiwa menakutkan terjadi. Angin kencang memasuki arena, menciptakan kengerian. Empat sekawan itu menjadikan peristiwa tersebut sebagai peluang. Benar adanya, pengunjung dihadapkan pada kengerian yang nyata. Tayangan soal teror di rumah hantu itu pun menjadi viral di media sosial. Penonton berduyun-duyun datang. Uang pun mengalir deras. Masing-masing mereka berhasil memenuhi kebutuhannya, termasuk Oki yang akhirnya bisa menebus kembali sertifikat rumah dan membayar sewa tanah makam untuk ibunya jika kelak meninggal.

Yang menjadi persoalan kemudian, hilangnya sang penonton, Pak Basuki, yang adalah anggota dewan itu akhirnya ditangani kepolisian karena laporan sang istri. Pengusutan mulai dilakukan. Kecemasan menghampiri empat sekawan. Terlebih setelah sejumlah fakta yang muncul sama sekali tak menguntungkan mereka. Keputusannya: memindahkan mayat Basuki. Pilihannya adalah tanah makam milik ibu Oki. 

Kisah pun berakhir. Berakhir sesuai dengan norma yang berlaku, bahwa hal yang "baik"-lah yang akan selalu menang. 


Film dengan Humor Segar yang Menghibur

Cerita yang diangkat film Agak Laen sebetulnya hal yang sederhana. Seting lokasi, pasar malam, sangat dikenal di kalangan masyarakat kita. Persoalan yang ditampilkan dari para tokohnya juga hal yang dialami oleh sebagian besar kalangan di negeri kita. Aneka celetukan lucu soal kesukuan juga bukan hal yang aneh. Menjadi hidup karena ada drama di dalamnya. Dan drama itu ditampilkan dengan sangat baik oleh para pelakunya. 

Baik Indra Jegel, Boris Bokir, Oki Rengga, maupun Bene Dion Rajagukguk bermain dengan baik. Chemistry di antara keempatnya selain terbangun dengan kuat juga tampak alami. Tektokan di antara mereka terlihat wajar, baik dalam adegan kocak, horor, serius, maupun sedih.  

Baca juga: Sebelum Iblis Menjemput 2, Film Horor Pilihan 2020

Agak Laen tentu saja film dengan genre komedi. Jadi meski adegan horor, serius, maupun sedih, tetap ada dialog kocaknya. Dari yang penuh kepanikan, berakhir dengan kelucuan.  

"Dhemite Batak kabeeeh...!!" teriak dua orang yang kejeblos dalam bekas kuburan. Tak ingat persis, apakah pake Bahasa Jawa atau campuran. Tapi begitu saja sudah membuatku mengikik.

Atau saat mereka berempat memegang batu, bermaksud mencederai pengelola pasar malam, tapi ketahuan: 

"Itu batu buat apa?"

"Buat nahan berak."

Dialog dalam adegan-adegan di film ini cukup kuat. Beberapa istilah khas orang Medan memenuhi semua adegan. 

"Muncung kau itu!" Haha!

Ada juga adegan tanpa dialog, seperti saat dugaan teror hantu Basuki dan tiga orang berhamburan, Jegel tertinggal. Menggantung sebagai pocong. Atau Jegel juga yang tiap-tiap harus mengencingi batu nisan.

Yang tak kalah menarik buatku adalah memasukkan isu yang terbilang sensitif di tengah masyarakat kita, isu agama, menjadi obrolan yang lucu. Demikianlah semestinya, agama bukan sesuatu yang membuat orang kehilangan selera humor. Beberapa dibuat tersirat. Ada yang ditunjukkan dengan tegas yaitu saat mereka merasa perlu "orang pintar" buat mengusir hantu Pak Basuki.

"Kita ke pendeta aja."

"Kenapa nggak ke ustad? Kamu mau bilang kalau ustad nggak mampu?!"

Nggak ingat persis dialognya, lebih kurang demikian. Perbedaan yang di sebagian kalangan bisa memantik emosi, di film ini dijadikan sisipan yang mengundang tawa. 

Tapi tak luculah kalau semuanya sekadar digambarkan lewat tulisan seperti ini. Pastinya nggak mudah juga buat sang sutradara, Acho, untuk mengemas berbagai komponen itu jadi satu rangkaian cerita yang menarik sekaligus menghibur. So, selagi Agak Laen masih tayang di bioskop, nonton deh!

Baca juga: Jalan Jauh Jangan Lupa Pulang, Sekuel NKCTHI


Judul Film: Agak Laen

Genre: Komedi horor

Durasi: 1 Jam 59 Menit

Rating Usia: R13+

Sutradara: Muhadkly Acho

Skenario: Muhadkly Acho