Featured Slider

Berkunjung ke Kota ATLAS, Semarang

Akhir Agustus lalu ada kesempatan melakukan perjalanan ke Semarang. Sebuah pekerjaan yang mengharuskanku ke satu kawasan di area Soekarno-Hatta. Tentu saja ini menjadi hal yang menyenangkan. Rasanya kaki ingin segera menjejaki kota-kota lain, wilayah-wilayah asing. Baiklah, biar kucatatkan di sini beberapa tempat yang sempat kukunjungi, barangkali kalian membutuhkan referensi. Setidaknya ada tiga jenis makanan yang kucicipi, yakni, nasi goreng gongso babat ala Pak Karmin, tahu gimbal, dan tentu saja lumpia. Mencicipi kopi di dua lokasi, dan melewatkan malam Minggu di area Kota Lama, serta tak ketinggalan Lawang Sewu-nya. Pengalaman menyenangkan tiga hari di kota yang dikenal sebagai Kota ATLAS ini.

Baca juga: Menjajal Bus Trans Metro Pasundan

Ini bukan kali pertama aku ke Semarang. Beberapa lokasi sudah sempat kukunjungi. Tapi kota-kota senantiasa berubah. Begitu pula dengan Semarang. Kisahnya pun tak serupa. 

  

Nasi Goreng Babat Pak Karmin

Nama persisnya ternyata nasi goreng babat gongso. Aku pernah mendengar namanya disebut oleh kawan di media sosial. Akhirnya mencicipi. Kami, aku bersama tim dari Jakarta mampir pada hari kedua kami di Semarang. Sudah sangat lelah, tapi lapar. Setelah menyelesaikan pekerjaan terakhir, kami meluncur ke kawasan Mberok, Kota Lama, Semarang. 

Babat bukanlah jenis makanan yang kusukai. Tapi masa iya tidak mencicipi? Dan ternyata, enak. Pilihanku bumbu pedas. Daging babatnya empuk dengan lemak yang meleleh. Tidak tercium bau prengus dari babat. Bukan hanya kaena telah bercampur bumbu, namun juga menunjukkan kalau babat diolah dengan baik. Konon, Pak Karmin mencuci babat dengan air mengalir berkali-kali hingga bersih. Butuh waktu lama juga untuk merebusnya. Babat dengan daging halus butuh minimal tiga jam untuk merebusnya hingga lunak. Sedangkan untuk babat kasar butuh waktu jauh lebih lama, yakni 8 jam! 

Buat yang tidak suka babat, masih ada pilihan yang lain, kok. Pokoknya kalau sudah sampai Semarang, cari warung tenda Pak Karmin di kawasan Mberok. Setidaknya kenalilah bagaimana usaha Pak Karmin mampu bertahan lebih dari lima dekade. 

Harga nasi goreng babat gongso: Rp25.000 


Baca juga: Ragam Kuliner Halal dan Nonhalal di Bali


Lumpia Mbak Lien

Aku sangat suka lumpia Semarang. Aku nyaris tak pernah dengan sengaja belanja dan makan lumpia, kecuali lumpia Semarang. Segitunya? Iyes! Buatku, perpaduan lapisan luar lumpia yang renyah-gurih dengan isian rebung dan udang dan teman-temannya, bertemu dengan saus yang legit, daun bawang dan acar yang segar merupakan sebuah kenikmatan yang mewah. Beberapa kali aku order langsung lumpia Semarang buat dikirim ke Bandung.

Nah, kawan pemilik rumah yang kemudian aku menginap --pasca selesai kerjaan, Mima, mengajakku menikmati salah satu lumpia lejen di Semarang. Lumpia Mbak Lien. 

Konon, kata cerita, lumpia Mbak Lien ini terlahir dari kisah asmara dua orang beda budaya. Adalah seorang pemuda asli Tionghoa, Tjoa Thay Joe yang mengolah makanan berbahan rebung di Semarang. Saat berdagang ini, Tjoe berjumpa dengan seorang gadis, Wasih yang kebetulan juga menjadi penjual makanan dengan bahan yang sama, rebung. Alih-alih bersaing, mereka yang sudah kadung jatuh cinta itu malah menyatukan resep mereka menjadi satu bisnis bersama. Lumpia. Nama lumpia diambil dari nama lokasi saat mereka menjajakan makanan olahan baru itu, yakni di sebuah area pasar malam era Belanda, Olympia Park. Lumpia pasangan ini kemudian dilestarikan oleh keturunan mereka, di antaranya Mbak Lien yang merupakan generasi ketiga pasangan Tjoa Thay Joe dan Mbok Wasih.                       

Gerai lumpia Mbak Lien ada di kawasan Jalan Pemuda. Ada cukup banyak gerai lumpia di sini. Gerai Mbak Lien bukan ada di jalan utamanya, melainkan harus masuk gang. Nggak jauh, sekitar 20 meter saja. Selain lumpia, ada aneka jajanan untuk oleh-oleh yang bisa dibelanja di gerai ini. Yang ingin menikmati di tempat, disediakan meja-kursi di area teras. Lumayan buat ngerumpi sekadarnya.

Harga lumpia Mbak Lien: mulai dari Rp18.000 



Baca juga perjalanan ke Bali:


Tahu Gimbal

Awalnya aku tak terpikir untuk mencoba tahu gimbal. Kupikir tahu gimbal tak akan jauh dari tahu telor petis ala Jawa Timuran. Kesempatan mencoba datang saat ngopi di Margo Redjo, lapar dan tidak ada menu makanan berat yang menggodaku. Ada lapak gerobak tahu gimbal di seberang kedai kopi ini, atau di depan Stasiun Kopi. Maka kucobalah.

Aku memesan tahu gimbal sekaligus melihat dari dekat proses pembuatannya. Yang disebut gimbal itu ternyata olahan tepung dan udang, semacam bakwan yang dipotong saat penyajiannya. 

Jadi, yang pertama dilakukan Mbak penjual adalah menggoreng tahu berbentuk dadu. Dia akan tanya, kol mentah atau goreng. Kalau pembeli mau kol goreng, ia akan memasukkan irisan kol sekalian bersama tahu. Termasuk jika pembeli ingin tambahan telur ceplok. Udang goreng biasanya sudah disiapkan lebih dulu, tinggal potong. Sambil menunggu tahu matang, Mbaknya menyiapkan bumbu ulekan. Sepertinya tak terlalu jauh beda dengan sambal petis. 

Semua bahan ditaruh di piring, lalu siram dengan sambal. Krupuk disiapkan sebagai pelengkap. Berhubung aku ingin mencoba, waktu Mbaknya tanya pakai ini dan itu, lengkap, ternyata isinya banyak sekali. Butuh 3 jam untuk aku betul-betul menghabiskannya. Enak, aku suka. Lain waktu ke Semarang, aku pasti akan cari tahu gimbal. Nyam!

Dengan komposisi lengkap, aku membayar Rp25.000 untuk tahu gimbal yang kumakan. 


Baca juga: Lima Macam Rujak yang Perlu Dicoba

Bermalam Minggu di Kota Lama

Berada di satu titik di Kota Tua, aku merasa dejavu. Ternyata pada suatu masa aku memang pernah melintasi kawasan ini. Dalam  nuansa yang berbeda. Aku ingat, kisaran tahun 2006-2007 aku melintasi area samping atau depan Gereja Blenduk. Jalanan penuh lubang dan becek oleh air sisa hujan. Kini sudah berbeda. Jalanan itu sudah rata oleh paving block. Terhubung dengan jalan-jalan yang lain yang membentuk kawasan Kota Tua. Kawasan ini dibebaskan dari kendaraan. Para pengunjung menikmati suasana malam di Kota Tua dengan saling bercengkerama dan tentu saja tak ketinggalan di masa kini: berfoto. Baik swafoto maupun memanfaatkan jasa tukang foto profesional yang banyak menawarkan jasanya di seputar lokasi.

Dalam sejarahnya, Kota Lama Semarang merupakan pusat perdagangan pada abad 19-20. Sebanyak tak kurang dari 50 bangunan tua khas Eropa yang hingga kini masih terawat baik dalam usia 200 hingga 300 tahun. Kawasan ini menjadi salah satu destinasi wisata andalan Kota Semarang. Beberapa bangunan menjadi andalan di kawasan ini. Di antaranya adalah Marba, gedung ikonik yang dibangun pada abad 19 oleh Marta Badjunet, seorang saudagar kaya asal Yaman bernama. Di kemudian hari, bangunan ini dinamai Marba, yang merupakan kependekan dari nama si saudagar. 

Gedung lain yang bisa dikunjungi di Kota Lama Semarang adalah Marabunta, Semarang Contemporary Art Gallery, dan Semarang Creative Gallery. Selain itu ada Taman Srigunting yang ada di sebelah timur Gereja Blenduk dan Jembatan Berok yang di masa lalu merupakan simbol pembatasan antara golongan kaya kolonialis Belanda dan pribumi miskin. 


Baca juga perjalanan ke Bali:


Lawang Sewu

Tujuan berikutnya adalah Lawang Sewu. Mata sudah sepet. Ingin segera terlelap. Tapi, baiklah, mari kita menengok bangunan bersejarah yang merupakan aset PTKAI ini.

Secara harfiah, lawang sewu artinya pintu seribu atau seribu pintu. Namun bagi orang Jawa, sewu tak lantas berarti seribu. Bisa jadi hanya menunjukkan jumlah yang sangat besar. Tak terhitung. Jumlah pintu di Lawang Pintu konon tercatat sebanyak 928 buah. Entah, pintu yang semacam apa masuk dalam daftar tersebut.

Lawang Sewu berdiri di atas lahan seluas 18.232 m², di Jalan Pemuda, kawasan pusat kota. Dulunya, gedung ini merupakan kantor administrasi Nederlandsch-Indische Spoorweg Maatschappij (NIS), perusahaan kereta api masa kolonial.

Lawang Sewu terdiri dari lima gedung yang pengerjaannya dilakukan oleh beberapa arsitek pada kurun waktu yang berbeda. Material yang digunakan adalah batu bata keramik berwarna oranye. Pada masa itu batu bata sangat langka dengan harga yang sangat mahal. Hal itu menunjukkan simbol kekayaan, kemakmuran, sekaligus kasta tertinggi. 

Aku pernah berkunjung ke Lawang Sewu pada tahun sekian, lupa persisnya. Saat itu yang kuingat adalah nuansa spooky-nya. Yang kutemui kemarin adalah adalah Lawang Sewu yang semarak. Sama sekali berbeda dengan kesan yang kutangkap saat itu. Bersama Mima, aku menjelajahi hampir semua ruang di Lawang Sewu. Terpesona dengan lukisan patri kaca pada dinding-dinding tingginya. Kaca patri itu berkisah tentang keindahan dan kemakmuran Pulau Jawa, juga penguasaan Belanda atas Batavia dan Semarang. Disinggung pula soal kejayaan kereta api. 

Untuk memasuki area Gedung Lawang Sewu yang kini dimanfaatkan sebagai museum itu, kita cukup menyediakan Rp20.000 untuk tiket masuk. Ada banyak hal menarik terkait perkeretapian di tanah air. Baik sejarah dari masa ke masa maupun bagian dari badan kereta api serta aneka perniknya. Lokasi yang cocok bagi para siswa dan remaja bermain seperti celotehan Pak Bambang Irwanto si Kurcaci Pos  yang dibagikan di blognya, blog berbagi cerita ceria.



Menjajal Kopi Legenda Semarang, Margo Redjo

"Mbak, aku mau ajak kamu ngopi di kafe legenda," kata Mima pagi itu. "Sambil kutinggal kerja, ya, lanjutnya.

Kami pun meluncur ke kawasan Wotgandul. Di depan nomor 14 kami berhenti. Tidak ada tanda-tanda itu adalah bangunan usaha. Area depan tertutupi tempat usaha orang berupa warung tenda dan lapak ban. Hanya tersisa ruang terbuka seluas pintu masuk ke dalam bangunan. 

Begitu memasuki bagian dalam, terasa keteduhanya. Pohon kayu besar menaungi (aku sedang mengingat-ingat itu pohon apa), bambu menjadi pagar tanaman di balik tembok tinggi yang mengelilingi bangunan, dan aneka tanaman bunga yang tersebar di beberapa titik. 

Showroom kopi ada di sisi kanan. Di ruang ini kita memilih kopi sekaligus membayar pesanan. Sebagian besarnya kopi arabika tanah air. Aku memilih kopi Gunung Wayang. 

Aku memilih duduk di lokasi paling dekat dengan bangunan utama yang menjadi salah satu cagar budaya Kota Semarang. Lumayan, sempat mengedit naskah sambil menghabiskan waktu hingga kafe tutup, sekitar jam 5 sore. Sempat jalan-jalan ke museum kopi mini di area belakang. Mendengar rentetan cerita sejarah berdirinya Margo Redjo. Selengkapnya bisa baca di sini.

Oiya, di sini tidak menyediakan makanan. Tapi diperbolehkan membawa makanan dari luar. Di sinilah aku mencicipi tahu gimbal.


 
Baca juga perjalanan ke Baduy:


Ngopi di Stasiun Kopi

"Masih denger radio, Mas?" tanyaku ke pemilik kedai.

"Di sini dengernya radio, Mbak," jawab si pemilik yang kemudian aku tahu namanya Heri.

"Syukurlah," kataku --yang entah bersyukur atas apa. Mungkin sedikit gembira mendapati masih ada orang yang mau mendengarkan radio, meski aku sendiri sudah tak bergiat di dunia radio.

Ke sinilah kemudian aku menuju, Kedai Stasiun Kopi yang lokasinya tepat di seberang Margo Redjo. Persisnya nomor 19. Nuansanya sederhana dan klasik. Hiasan yang terpajang di dinding maupun di rak, bernuansa vintage. Ada aneka sketsa buatan Heri yang punya latar belakang desain grafis. Kedai ini merupakan bagian depan dari rumah tinggal Heri, barista dan sekaligus pemilik kedai. Bagi penggemar kafe kekinian, tempat ini tentu bukanlah pilihan. Namun bagi penyuka ketenangan, kesederhanaan, suasana hangat, aku sendiri merekomendasikannya. 

Dalam suasana sore di Semarang yang hangat, aku menyesap kopi ditemani roti sarikaya dan alunan lagu lama dari radio transistor. Sebuah sore yang nikmat.


Baca juga: Olahraga Jalan Kaki di Podomoro Park

Baiklah, sekian dulu pengelanaan di Kota ATLAS kali ini. Sampai ketemu lagi, Semarang!




Mengapa Perempuan Perlu Bekerja?

Pada zaman medsos ini begitu banyak hal yang dijadikan perdebatan. Ibu rumah tangga vs ibu bekerja. Bayi ASI vs bayi sufor. Melahirkan normal vs sesar. Itu baru versi emak-emak. Ada banyak lagi versi anak muda. Anak muda laki dan anak muda perempuan pun beda persoalan. Orang berebut untuk menyampaikan komentarnya dengan berbagai alasan. Nggak, saiyah ndak pengin membahas soal pertentangan tersebut. Cuma mau ambil salah satunya, tentang perempuan. Persisnya tentang mengapa perempuan perlu bekerja. 


Baca juga: Perempuan-Perempuan dalam Karya PAT

Pada banyak kasus pertanyaan "mengapa perempuan perlu bekerja" adalah saat perempuan dihadapkan pada pernikahan. Hal yang sering kali menjadi dilema, terutama jika perempuan disodori pilihan: berhenti atau tetap bekerja. Banyak pendapat yang pro dan kontra. Terutama dari kalangan relijius yang menganggap pernikahan sebagai ibadah dan perempuan harus menurut pada suami. Atau pandangan konservatif yang semata melihat perempuan sebagai sosok yang hanya perlu 5 M (masak, macak, manak, mulang, milih). Atau pandangan bahwa uçuÅŸan perempuan hanyalah dapur, sumur. Ya, perempuan seolah tak puasa kuasa atas pilihan-pilihannya, hanya memiliki tugas tempelan. 


Apa, sih, Alasanmu Menikah?

Ada sebuah tayangan video yang beredar luas, yang menggambarkan tentang perempuan yang sedang dilamar kekasihnya dengan menyodorinya cincin. Digambarkan, saat perempuan itu mencoba cincin yang diberikan si lelaki, sontak ia terlempar ke sebuah situasi. Berada di rumah dengan segudang kerepotan, mengerjakan ini dan dan itu, dari urusan pekerjaan, anak, hingga tetek bengek domestik sendirian. Lepas cincin, kembali normal. Diulang, terjadi lagi. 

Tentu saja dalam sebuah rumah tangga tak selalu seperti itu. Gambaran itu menjadi semacam stereotip pernikahan ketika perempuan seolah menjadi bulan-bulanan dalam kehidupan berumah tangga. Tak hanya perempuan yang memang memilih full time sebagai ibu rumah tangga, melainkan juga perempuan yang berdiri di dua kaki, sebagai pekerja sektor publik sekaligus domestik. 

Alasan menikah ini menjadi hal penting yang perlu dipikirkan, baik oleh laki-laki dan terutama dalam konteks tulisan ini adalah perempuan. Di luar pertimbangan berdasarkan agama --yang notabene bukan ketertarikanku, banyak laki-laki yang menikah untuk alasan yang menurutku "enggak banget". Misalnya bosan sendiri, tak bisa mengurus diri sendiri, ingin ada yang memanjakan, dsb. Begitu pun dengan perempuan, yang pada level yang sama mengatakan bahwa keinginan menikah atas alasan butuh dibiayai, sudah lelah bekerja keras sendiri, membutuhkan perlindungan, dsb. 

Nah, jika alasannya adalah seperti di atas, barangkali perlu dikaji ulang rencana pernikahannya. Karena pada hakikatnya pernikahan bukanlah lembaga yang menjadikan seseorang menggantungkan hidupnya atas yang lain. Sebaliknya, pernikahan merupakan pertemuan dua sosok yang masing-masing mampu membangun dirinya sendiri, yang pada akhirnya komitmen untuk bersama itu lebih menegaskan dukungan kepada masing-masing pihak untuk lebih berkembang. Tidak ada yang merasa lebih dominan atau superior dalam hubungan tersebut. Yang ada hanyalah berbagi peran sesuai keinginan dan kemampuan masing-masing dengan bersandar pada cita-cita masa depan yang telah dicanangkan bersama. Sehingga aneka kendala dan tantangan dalam pernikahan yang bisa jadi menguras perhatian itu akan sanggup untuk diselesaikan bersama. Mau tahu apa yang menjadi masalah, tinggal dibicarakan bersama.

Baca juga: Menjadi Perempuan Mandiri dan Merdeka


Perempuan, antara Karir dan Keluarga

Menjadi perempuan memang tidak mudah. Secara takdir, ia memiliki rahim yang memberinya kesempatan untuk melahirkan kehidupan. Hal inilah yang di kemudian hari memunculkan dilema bagi perempuan, apakah cukup menjadi ibu rumah tangga yang setia di rumah saja atau tetap bekerja setelah menikah. 

Ada sejumlah pertimbangan, mengapa perempuan perlu bekerja.

1. Membangun percaya diri. Perempuan merupakan pribadi kompleks yang sebagian besarnya dibentuk oleh budaya patriarki yang sering kali menomorduakan perempuan. Rasa percaya diri bahwa ia mampu, dibutuhkan oleh kaum perempuan. Dan salah satunya adalah dengan tetap mempertahankan kemampuan dalam menghasilkan uang. Ia akan merasa lebih berdaya karena mampu menghadapi tantangan dan mengambil inisiatif. Ia telah memberikan nilai di tengah masyakarat yang membuat ia merasa dihargai dan diakui. 

2. Mendapatkan kemandirian finansial. Dalam banyak kasus, ketergantungan finansial perempuan terhadap pasangannya melahirkan masalah. Bagi keluarga yang secara finansial melimpah, barangkali tak jadi soal. Ketika masing-masing anggota keluarga sudah dibekali dengan materi yang cukup dan pendukung lainnya seperti asuransi, tabungan, dan ivestasi, masa depan relatif lebih aman. Berapa persen kalangan yang dimampukan untuk melakukan hal tersebut di negeri ini? Yang lebih banyak terjadi adalah perempuan yang bergantung secara finansial, tanpa dibekali dengan pendukung lain, yang pada akhirnya menyebabkan perempuan kelimpungan saat ditinggal pergi suami, baik karena kematian maupun penyebab lainnya. 

Melalui kemandirian finansial, perempuan memahami tujuan keuangan. Meraka juga dimampukan untuk mengontrol keuangannya sendiri yang di antaranya bisa untuk membangun mimpinya sendiri. 

3. Memberikan andil dalam perekonomian keluarga. Bukankah sumber keuangan yang datang dari dua arah lebih baik dibandingkan yang datang dari satu arah saja? Terlebih satu arah pun dalam kategori pas-pasan? Pada masa yang secara ekonomi serba sulit, upaya mengumpulkan pundi-pundi sebaiknya dilakukan oleh semua pihak. Dalam keluarga, pasangan suami-sitri sudah semestinya untuk sama-sama produktif untuk menyiapkan kebutuhan bagi masa depan. Terlebih jika sudah memiliki anak, yang biaya pendidikannya tidak murah. 

4. Melawan stereotip gender dan menjadi inspirasi bagi generasi masa depan. Selama ini stereotip perempuan menyebutkan bahwa "cita-cita dan mimpi perempuan akan berakhir setelah menikah". Bahwa perempuan hanya memiliki fungsi sebagai pengasuh dan penerima finansial. Faktanya perempuan dapat terus memabngun dirinya dan berdaya secara ekonomi meski telah menikah. Hal yang dapat membangun impiannya sendiri. Fakta ini dapat menjadi inspirasi para generasi mendatang, bukan hanya kaum perempuan namun juga para lelaki, bahwa perempuan memiliki peran penting dalam keluarga dan masyarakatnya. 

Baca juga: Pernikahan dan Jatah Mandan

Perempuan yang ingin memiliki penghasilannya sendiri tidak melulu harus bekerja dalam kantor yang jauh dari rumah dan membutuhkan usaha ekstra untuk mencapainya. Di masa kini, banyak pekerjaan yang bisa dilakukan oleh perempuan dari rumah. Sejumlah pekerjaan yang bisa dilakukan secara daring dapat dijadikan pilihan. Misalnya sebagai pembuat konten. Aneka media yang terbuka untuk publik dapat dipilih untuk berkarya sebagai pembuat konten. 

Menjadi penulis juga dapat dijadikan pilihan bagi perempuan yang ingin bekerja dari rumah. Ada banyak platform yang menyediakan ruang berkaya baik tulisan fiksi maupun nonfiksi dengan tata cara pembayarannya masing-masing. Bagi yang gemar menulis, layak dicoba 'kan?

Punya hobi tertentu? Kenapa tidak dimanfaatkan? Misalnya hobi merajut, melukis, bertaman. Hasilnya dapat dipasarkan secara luring maupun daring. Kalau tidak, jual beli bisa memanfaatkan jaringan yang dimiliki tanpa harus produksi sendiri atau mengeluarkan modal untuk pengadaan barang. 

Bagi yang memiliki kemampuan mengajar, dapat menjual kepiawaiannya tersebut dalam pelatihan-pelatihan yang saat ini juga banyak dibutuhkan. Baik secara mandiri maupun bergabung dengan lembaga tertentu yang membebaskan keanggotaan pekerjanya. 

Ada yang lainnya? Mau menambahkan? Pastinya masih banyak pilihan yang bisa diambil bagi para perempuan yang memang merasa perlu untuk bekerja, baik semata demi eksistensi, kemandirian finansial, maupun sebagai pendukung ekonomi keluarga. 

Meski demikian, kesepakan terkait pilihan perempuan untuk bekerja tetap perlu dibicarakan dengan pasangan. Bagi perempuan yang sudah berkeluarga ada banyak kompromi yang harus dilakukan. Bagaimanapun ada tugas lain yang perlu diemban dalam sebuah rumah tangga. Pembagian tugas bersama pasangan dan mengatur waktu supaya perhatian terhadap keluarga tetap terjalani dengan baik perlu dibahas dengan pasangan. Dalam hal ini komunikasi memiliki peran penting agar kepentingan bersama dan harmoni dalam tetap terjaga. 

Catatan ini semata opini penulis, yang sangat mungkin berubah dan mengalami penyesuaian mengikuti perkembangan zaman. Semoga setidaknya ada sedikit manfaat. Namaste

Baca juga: Menemukan Makna Hidup bersama Viktor E Frankl

Olahraga Jalan Kaki di Area Pedestrian Podomoro Park Bandung

Sudah beberapa waktu terakhir aku memaksakan diri untuk bergerak. Seiring pertambahan usia, kemampuan fisik menurun, otot mulai mengendur, potensi dihampiri penyakit lebih besar. Meski masih banyak bolongnya, aku sudah sudah bisa mengapresiasi positif upaya menjadi lebih sehat yang sudah kulakukan. Sesekali aku menyelinginya dengan joging, tapi tak mau memaksakan diri. Nah, aku baru menemukan jalur jalan kaki yang menyenangkan, yang membuatku merasa lebih nyaman dan aman. Di Podomoro Park, kawasan Bojongsoang, Kabupaten Bandung.


Baca juga: Mengelola Pikiran Agar Terhindar dari Stres Berlebihan

Ini bukan iklan, ya. Sekadar apresiasiku karena memanfaatkan area ini untuk kebutuhan menyehatkan diri. Meski sebetulnya ini bukan ranah privat yang perlu izin, tetap saja, aku merasa diuntungkan. Tapi sebelum bahas pengalaman jalan-jalan di area Podomoro Park, ingin mengulas ulang manfaat jalan kaki. Untuk lebih memacu diri sendiri, dan siapa tahu ada yang sedang butuh tambahan motivasi.

Manfaat Jalan Kaki

Tentu saja ini bukan topik baru. Dua puluh tahun lalu saat menggawangi program siaran kesehatan, jalan kaki juga sudah dianjurkan oleh para dokter. Terutama bagi yang usianya sudah melewati 40 tahun, terlebih bagi yang sudah mengalami gangguan kesehatan tertentu seperti jantung, paru-paru, atau pada persendian. Berenang atau jalan kaki merupakan pilihan terbaik.

Mengutip laman resmi Kemenkes, setidaknya ada lima manfaat jalan kaki. 

1. Memperlancar sirkulasi darah

Secara umum, berbagai latihan fisik dapat membantu meningkatkan denyut jantung serta jumlah oksigen dalam darah. Dengan sirkulasi darah yang lancar, risiko terjadinya penyumbatan di pembuluh darah jantung pun berkurang.

2. Mengurangi risiko penyakit jantung

Melakukan jalan kaki secara rutin dapat menurunkan kadar LDL atau kolesterol jahat dalam darah, mengurangi peradangan, serta menjaga tekanan darah tetap stabil. Semua hal ini berpotensi menurunkan risiko penyakit jantung koroner dan serangan jantung.

3. Menjaga berat badan tetap stabil

Aktivitas jalan kaki dapat membakar kalori dalam tubuh. Makin lama, sering, dan teratur, makin banyak kalori yang terbakar. Dengan demikian tidak sempat ada penumpukan lemak, berat badan pun terjaga ideal. Hal ini merupakan penunjang kesehatan jantung yang penting.

4. Meningkatkan kebugaran fisik

Dengan rutin berjalan kaki, kekuatan tulang dapat ditingkatkan. Begitu pula otot dan energi, dan menjadikan tubuh lebih bugar.

5. Mengelola stres

Saat berjalan kaki, tubuh akan melepaskan hormon endorphin atau hormon pemicu rasa bahagia. Hormon ini dapat membuat suasana hati lebih baik serta mengurangi kecemasan dan depresi, yang dapat membuat jantung lebih kuat.

Baca juga: Kesehatan Mental dan Skala Hawkins

Apa saja yang perlu disiapkan sebelum menjalankan aktivitas jalan kaki secara rutin? 

Sebelum menyiapkan perangkat dan tahapan memulai aktivitas ini, hal yang pertama perlu dilakukan adalah menghimpun niat. Serius! Buatku sendiri, ini penting banget. Sebelumnya, aku menetapkan diriku untuk joging. Nyatanya, tubuhku tak selalu menginginkan joging. Dan kalau sudah menolak, akhirnya malah tidak bergerak sama sekali. Ini menjadi salah satu alasan untuk aku menggantinya menjadi jalan kaki. Dengan jalan kaki aku tak membutuhkan banyak pertimbangan. Langsung bergerak, langsung jalan. 

Kalau sudah bulat niatnya, lanjutkan dengan menentukan target dan persiapan lainnya.

1. Berkomitmen untuk melakukannya secara rutin

Jalan kaki yang disarankan agar mendapatkan hasil maksimal adalah secara rutin selama sekurangnya 30 menit, sebanyak 5 kali dalam seminggu. Jika masih bolong-bolong, kembali ke komitmen awal.  

2. Siapkan perangkat 

Sepatu dan pakaian seperti apa yang sekiranya nyaman untuk dikenakan? Pastikan alas sepatu tidak gundul. Tidak kesempitan, tidak pula kelonggaran sehingga nyaman. Begitu pula dengan pakaian, tidak terlalu ketat atau longgar. Pilih yang bahannya menyerap keringat. Siapkan topi agar kepala dan wajah terlindungi. Jangan lupa juga menyiapkan sunscreen jika jadwal jalannya sudah di bawah terik matahari. 

3. Wajib lakukan pemanasan dan pendinginan

Meski sebentar, lakukan pemanasan yang bisa berupa peregangan otot yang sederhana saja. Begitu pula setelah selesai. Hal ini untuk menghindari risiko sakit dan cedera pada tulang dan sendi. 

4. Lakukan bertahap, tak perlu tergesa

Jika baru memulai, baiknya melakukan jalan kaki dengan kecepatan bertahap. Saat baru mulai perjalanan, lakukan dengan kecepatan ringan. Berikutnya tingkatkan intensitasnya. Untuk hari yang sama maupun hari-hari berikutnya. Termasuk dalam hal jarak. 

5. Siapkan perbekalan

Kita yang tahu masing-masing kebutuhan tubuh kita. Misalnya, aku rentan mengalami hipoglikemi. Maka aku melengkapi perbekalan dengan permen atau gula. Untuk mencukupkan kebutuhan cairan, jangan lupa berbekal air minum.

Yang sudah melakukan jalan kaki dengan baik, mari saling menyemangati. Yang baru mulai, segera dimulai, yuk. Tapi, ingat, ya, tetap menyesaikan kebutuhan tubuh. Terlebih jika sudah ada catatan kesehatan yang perlu jadi pertimbangan. Sebaiknya konsultasikan juga dengan dokter keluarga.

Baca juga: Doa, Meditasi, dan Vibrasi Energi


Menikmati Area Pedestrian Podomoro Park

Awalnya tak terlintas sedikit pun untuk memasuki area Podomoro. Bukan golongan orang yang kepoan dengan hal-hal baru. Lantas terpikir gara-gara terlecut oleh aneka pemberitaan perkara kriminal yang muncul di media pada waktu-waktu terakhir. 

Alkisah, salah satu jalur yang terbilang rutin kulalui memiliki kawasan sepi yang cukup panjang. Pada sisi kiri adalah kawasan pengolahan air limbah PDAM, dan sisi kanan sungai yang curam. Jalan hanya mampu dilewati kendaraan roda dua. Pada sejumlah titik, sisi-sisi jalan dipenuhi semak tinggi. Dulu, meski tak sering, sesekali aku melewati kawasan ini. Nah, kali ini merasakan ketidaknyamanan yang kental. Kupikir perlu untuk segera mencari jalur alternatif. 

Pada waktu-waktu terakhir sudah berpindah ke rute yang berbeda. Tak cukup nyaman karena berada di jalan yang ramai kendaraan. Jalur lintasan beberapa kawasan menuju jalan utama Bojongsoang, Kabupateng Bandung. Hingga suatu kali, saat iseng melakukan perjalanan menggunakan bus, aku memutuskan untuk jalan kaki menuju rumah melewati jalur Podomoro Park. Dan, loh, kok menyenangkan?! Maka demikianlah, pada sebuah pagi aku memulai agenda jalan kaki di area ini.

Podomoro Park ini lokasinya tak jauh dari rumah aku tinggal. Ada dua pintu masuk. Pintu utama di Jalan Bojongsoang, dan pintu belakang di Kampung Cikoneng. Gerbang belakang ini hanya dibuka antara pukul 07.00-20.00. Nah, yang tak jauh dari area aku tinggal adalah pintu belakang ini. Sekitar 1500 langkah. 

Baca juga: Perbedaan Darah Rendah dan Kurang Darah

Perumahan di bawah naungan Agung Podomoro Land ini berdiri di lahan seluas lebih dari 100 hektare. Konsep yang diusung adalah “harmony with nature”, menawarkan kawasan hunian yang mengutamakan keselarasan dengan alam. Dengan tagline: "mengembalikan keasrian Bandung tempo dulu". 




Dari pengalaman yang sedikit itu, baru empat kali menjajaki jalan kaki di kawasan ini, sangat menyenangkan. Ruang pedestrian yang longgar, leluasa sekali untuk para pejalan kaki. Zebra cross tersedia di beberapa titik, untuk memudahkan penyeberang dan pengingat bagi kendaraan untuk hati-hati. Udara segar, karena kendaraan yang lewat masih terbatas dan pepohonan yang semarak di sisi jalan dan tersebar di seantero kawasan. Pembangunan diawali dari area depan, pintu Bojongsoang. Area menuju kawasan Cikoneng kebagian jadwal belakangan.

Sebagai gambaran, untuk kawasan hunian dan bisnis, masih tersisa lahan-lahan yang baru diratakan. Beberapa bagian lain sedang dalam tahap pembangunan. Mungkin masih butuh waktu cukup lama untuk menjadikan kawasan ini seturut blue print yang sudah disiapkan. Karena tentu saja membangun kawasan hunian tak bisa cepat. Sudah disiapkan dengan rapi pun tetap ada pergeseran waktu. Seperti yang baru-baru lalu ramai menjadi bahan perbincangan, yakni pembangunan IKN. Catatan menarik soal proses di sana bisa cek di catatan Blogger IKN yang juga kawan influencer Balikpapan

Baca juga: Mindfulness dan Upaya Mengatasi GERD

Kembali ke Podomoro Park, untuk jalur pedestriannya barangkali sekitar 30% belum terbangun. Terutama jalur utama yang menghubungkan gerbang depan dan pintu belakang. Meski demikian sudah banyak warga sekitar yang memanfaatkan kawasan ini untuk berolahraga. Kurasa sebagian besarnya malah bukan penghuni Podomoro Park. Banyak anak muda yang datang sekadar untuk membuat konten. Kelompok-kelompok pesepeda juga sering terlihat beriringan melintasi jalur jalan yang masih lapang. 


Semoga kenyamanan kondisi jalan dan pedestrian kawasan Podomoro Park masih akan terus terjaga. Cukup berharap pada kawasan yang memang lebih terencana dengan baik ini terutama sumbangan tanaman sebagai paru-paru kawasan. Ada yang mau jalan-jalan di kawasan ini juga? Untuk ruteku, dari rumah hingga gerbang depan pulang pergi adalah sejauh 8 ribu sekian langkah. Kisaran 7 km. Nanti lagi akan coba mengulik rute lain, bukan hanya di jalan utama. Berminat? Yuk!



Menjajal Moda Transportasi Massalnya Bandung, Bus Trans Metro Pasundan

Sudah agak lama aku ingin menjajal bus Trans Metro Pasundan (TMP). Kesempatan itu datang saat aku ada keperluan ke Bandung Eletronic Center (BEC), karena tak dapat melakukan transaksi MyTelkomsel. Upaya penyelesaian secara daring sudah coba dilakukan, hasilnya tak memuaskan. Satu-satunya cara biar cepat tuntas adalah dengan mendatangi langsung GraPARI Telkomsel. Maka demikianlah, hari itu, Kamis, 3 Oktober menjajal salah satu moda transportasi massal di Kota Bandung tersebut.

Baca juga perjalanan ke Bali:


Sebetulnya rencana itu tak langsung dijalani. Tertunda beberapa hari. Apa pasal? Karena persiapannya lebih lama dari yang direncanakan. Akibatnya, kesiangan. Memang kenapa kalau kesiangan? Panas, bo! 

Jadi, begini... aku berencana menjajal moda transportasi massal Bandung, TMP ini sekaligus untuk lebih membiasakan diri jalan kaki. Dari rumah sampai dengan halte bus terdekat itu sekitar 2,5 km. Tak terlalu jauh dibandingkan dengan jarak saat aku jalan kaki yang belakangan aku upayakan rutin minimal 5000 langkah tiap hari itu. Cuma, kalau matahari tepat di atas kepala, pening juga awak!  


Transportasi Umum, Ketika Era Sudah Bergeser

Di masa lalu, kendaraan umum menjadi alat transportasi andalan. Kereta api, bus kota, angkot, bemo, oplet menghiasi jalanan di sebagian besar kota di tanah air. Aneka moda transportasi itu dimanfaatkan untuk berbagai keperluan; ke tempat kerja, sekolah, pasar, kunjungan ke kerabat, hingga untuk kebutuhan mudik ke kampung halaman. 

Barangkali memang demikianlah prosesnya, setiap zaman memiliki kekhasannya masing-masing. Seiring dengan kemajuan teknologi, pembangunan infrastruktur, tingkat kesejahteraan yang meningkat, aneka produk yang makin terjangkau dari sisi harga dan ketersediaan, menjadikan era berjayanya transportasi massal ini pun kemudian berakhir. Persoalannya, penggunaan kendaraan pribadi yang melimpah ruah telah menimbulkan banyak persoalan. Mulai dari kemacetan lalu lintas, polusi udara, tingginya angka kecelakaan, hingga aneka persoalan sosial. Saat ini, dengan mudah kita menjumpai kasus, keluarga kehilangan sawahnya karena sang anak ingin dibelikan motor. Anak-anak muda yang gemar flexing dengan kendaraan terbaru, padahal sesungguhnya kemampuannya belum sampai di situ. Dan banyak masalah sosial yang lainnya. 

Tak heran jika harapan untuk kembali menggiatkan pemanfaatan transportasi massal ini masuk dalam rencana pemerintah. 

Berkaca pada negara-negara maju, transportasi umum menjadi pilihan utama masyarakatnya. Seorang kawan yang sedang ambil kuliah di Jepang bercerita tentang salah seorang Indonesia sempat menjadi bahan olok-olok di lingkungan pertemanannya dengan orang Jepang. Hanya gara-gara ia membeli mobil. Memiliki mobil bukanlah kebanggaan bagi orang Jepang. Pajaknya mahal! Mereka lebih memilih untuk memanfaatkan moda transportasi massal. Biaya murah dengan fasilitas yang memadai. Nah, itu menjadi salah satu persoalan besar di tanah air.

Tentu saja kita tidak dapat membandingkan Indonesia dengan negara-negara maju yang manajemen transportasi umumnya memang sudah teruji oleh waktu. 

Selain Jepang, Korea Selatan juga memiliki manajemen atau tata kelola transportasi yang bahkan lebih maju dibandingkan banak negara lain di dunia. Mereka menjadikan kereta api sebagai andalan untuk mengatasi mobilitas masyarakat yang ketat dan padat. Negara ini juga memiliki bus umum dalam jumlah yang memadai dan dengan jadwal yang ketat. 


Baca juga perjalanan ke Baduy:


Bagaimana dengan Indonesia?

Sudah banyak kok alat transportasi umum yang armadanya ditingkatkan, dari sisi kuantitas maupun kualitas. Kita tentu tidak lupa bagaimana kiprah Ignatius Jonan saat menjabat Dirut PT KAI, lantas menjadi Menteri Perhubungan. Layanan BUMN perkeretapian itu dirombak total, dan hasilnya bisa kita nikmati hingga kini. Mungkin belum ada apa-apanya dibandingkan yang sudah dilakukan oleh perusahaan kereta api di luar negeri. Tapi apa yang pernah terjadi di tubuh lembaga kereta api itu tentunya dapat dijadikan sedikitnya acuan bahwa hal yang dulu pernah dianggap tidak mungkin, bisa terjadi. Sebagian di antara kita barangkali pernah mengalami buruknya layanan PT Kereta Api di masa lalu. 

Nah, apakah hal serupa dapat terjadi di moda transportasi publik lainnya? Aku sih, optimis bisa. Segala hal yang berpotensi memberikan dampak positif perlu didukung. 

Pada 2019 lalu, Kementerian Perhubungan (Kemenhub) RI menginisiasi diadakannya sistem transportasi angkutan cepat bus (bus rapid transit/BRT) dengan nama Teman Bus yang merupakan singkatan dari Transportasi Ekonomis Mudah Aman dan Nyaman. Layanan ini merupakan pengembangan dari BRT dalam program yang telah diinisasi di beberapa kota dua tahun sebelumnya. Layanan Teman Bus pertama dioperasikan di Palembang pada 2 Juni 2020. Menyusul kota-kota lainnya, termasuk Bandung yang menamai armadanya dengan Trans Metro Pasundan.

Pengalaman Menggunakan TMP

TMP mulai beroperasi pada 27 Desember 2021. Moda transportasi massal bagi warga Bandung ini tersedia dalam tiga jenis, yakni bus ukuran sedang, ukuran besar, dan bus berbahan bakar listrik. Bus ukuran besar berkapasitas 60 orang dengan 30 tempat duduk. Bus ukuran sedang berkapasitas 40 orang dengan 20 buah tempat duduk. Sedangkan bus listrik berkapasitas 24 orang dengan 19 kursi. TMP yang kunaiki dengan rute Baleendah - BEC adalah bus dengan ukuran sedang. 

Jadi teringatkan kawan blogger, Mbak Dian Restu yang gemar menggunakan motor listrik; sudah coba bus listrik, belum, Mbak?

Saat awal kemunculannya, penggunaan TMP ini digratiskan. Lalu, per 31 Oktober 2022, sesuai dengan Peraturan Menteri Keuangan (PMK) nomor 138/PMK.02/2022, semua layanan program Teman Bus dikenakan tarif. TMP mengenakan tarif Rp4.900 untuk sekali perjalanan. Pembayarannya bisa menggunakan kartu uang elektronik QRIS. 

Untunglah bulan lalu aku sudah mencoba menggunakan layanan bus serupa di Semarang. Jadi, saat menjajal TMP lumayan percaya diri. 

Bagi yang belum pernah coba, ini aku kutipkan tata cara pembayaran di TMP menggunaka QRIS. 



Untuk pemakaian kartu elektronik, juga tinggal tempelkan kartunya ke perangkat.

Di jalur Bojongsoang, halte terdekat cukup banyak. Dalam radius sekitar satu kilometer terdapat 4 halte pemberhentian. Untuk yang rumahnya ada di jalan utama Bojongsoang, tentunya fasilitas ini lumayan sekali. Kalaupun harus jalan kaki cukup kisaran 250 meter saja sudah ketemu halte. Sangat lumayan kan jika dibandingkan aku yang harus berjalan sejauh minimal 2,5 km untuk mencapai halte terdekat.

Perjalanan lancar. Hampir secara keseluruhan bus terisi minimal 80%. Pada beberapa titik sejumlah penumpang bahkan harus berdiri karena tidak kebagian kursi. 

1. Kenyamanan

Karena aku pemotor, berada dalam kendaraan besar dengan AC, tentu saja terasa nyaman. Selain itu bisa menyaksikan pemandangan di sepanjang jalan yang terlewati, hal yang tak bisa kulakukan saat bermotor.

Bagi yang biasa menggunakan kendaraan roda empat, karena TMP adalah transportasi massal, dari sisi kenyamanan mungkin kurang. Harus berbaur dengan banyak orang. Pun harus mengikuti aturan seperti tidak boleh makan dalam kendaraan.

2. Durasi perjalanan

Sebagai pemotor, aku bisa mengira-ngira waktu yang kubutuhkan untuk mencapai sebuah tujuan. Kalaupun meleset akibat kemacetan atau penyebab lainnya, tak akan terlalu jauh.

Beda halnya jika menggunakan transportasi umum seperti TMP ini. Ada standar kecepatan kendaraan yang diterapkan. Rute yang panjang dengan segala tetek-bengek hambatan di jalan membuat kita agak sulit membuat prediksi waktu.

Paling tidak dua hal itu yang menjadi lebih-kurangnya penggunaan TMP. Tapi menurutku, keduanya masih bisa disiasati, jika ingin mendapatkan alat transportasi murah sekaligus ikut mendukung program pengoperasian transportasi massal dari pemerintah.


Baca juga perjalanan di Bandung Raya:


Aku sendiri, akan secara berkala memanfaatkan bus Trans Metro Pasundan ini. Selain soal penghematan, juga demi mendukung badan yang lebih sehat dan upaya menjalani hidup yang "melambat". Bagaimana denganmu? Naik, bus bareng, yuk!

Ibu Meong Jajal TMP



Berkenalan dengan Margo Redjo, Roastery Tertua di Indonesia

Dari depan, bangunan tak menunjukkan sebagai sebuah tempat usaha. Hanya penunjuk nama saja yang menjelaskannya. Itu pun bagi yang cukup tanggap terhadap keberadaan ini tulisan. Jika tidak, sekali lewat saja, bisa jadi tak menangkap tanda apa pun. Seorang kawan mengajakku ke sini. Tempat yang begitu masuk langsung membuatku: waaaaahhh. Setelah ada di dalam area barulah terlihat bangunan kuno yang ternyata masuk dalam daftar heritage-nya Semarang. Itulah Margo Redjo, roastery tertua di Indonesia. Berlokasi di Jalan Wotgandul Barat Nomor 14, Semarang.

Baca juga: Kopi Aroma, Kopi yang Diolah dengan Cinta

Begitu tiba di nomor 14 Jalan Wotgandul Barat, kita disuguhi pemandangan tempat tambal ban di area kiri dan warung tenda makanan di sebelah kanan. Di antaranya pada tembok tersisa, terdapat satu pintu kayu berukuran 2x1 meter. Saat pintu terbuka, yang tersaji di depan mata adalah beberapa pasang meja kursi berukuran kecil hingga sedang. Area itu terteduhi oleh deretan bambu sebafai pagar dan beberapa pohon berukuran besar serta tanaman merambat sebagai pemanis. Nun, di belakang, tampak bangunan utama yang menjadi heritage sebagai latar. Pada sisi kanan terdapat bangunan yang di dalamnya tersedia aneka pilihan kopi Nusantara yang menjadi kekhasan Margo Redjo. 


Margo Redjo dalam Sejarah

Saat ini, nama Margo Redjo sebetulnya menempel pada kedai kopi atau kafe atau koffie huis yang baru dibuka pada 2019. Margo Redjo sebagai roastery sudah bersalin nama menjadi Dharma Boutique Roastery. Jadi, sebetulnya, kalau kita menyebut sejarah, perjalanan ke belakang kita adalah menjumpai masa lalu Dharma Boutique Roastery. Tapi, ya, baiklah, kita sebut saja Margo Redjo karena memang itulah nama awalnya. 


Sejarah pabrik kopi ini berawal dari Tan Tiong Ie, seorang pria kelahiran Semarang yang mengawali pekerjaannya sebagai pedagang garam. Usahanya bangkrut. Ia mencoba peruntungan di tanah Sunda. Persisnya, Tan Tiong Ie hijrah ke Cimahi, Jawa Barat. Jadi, Tan Tiong Ie mendirikan usaha kopinya bukan di rumah masa kecilnya, melainkan di negeri orang, di Cimahi, kota yang kemudian hari dikenal sebagai kota tentara. 

Tan memulai usahanya pada 1915. Pada masa itu, kopi robusta mulai masuk ke Hindia Belanda. Usahanya terhitung lancar. Tan berhasil memiliki sejumlah perangkat pengolahan kopi. Pada 1924 ia memutuskan pulang ke kota kelahirannya. Diboyongnya segala perkakas pabrik berukuran besar itu untuk dilanjutkan beroperasi di Semarang. Meski demikian, Tan bukan memulai pabriknya di rumah, melainkan di area yang disewanya di Jalan dr. Cipto. Pabrik ini beroperasi selama kurang lebih 4 tahun. Dalam kurun waktu tersebut ia tak kunjung mengantongi izin. Besar kemungkinan karena adanya keberatan dari para tetangga. Izin itu baru didapatkan pada 1928, setelah Tan memutuskan kembali memboyong pabriknya, kali ini ke rumah keluarga di Jalan Wotgandul.  

Baca juga: Ragam Kuliner Bali, Halal dan Nonhalal



Pada masa-masa itu, dimulai pada 1926, Pabrik Kopi Margo Redjo mengalami kejayaannya. Hal itu ditandai dengan ekspor kopi yang berjalan dengan baik dan stabil ke negara-negara di Eropa. Puncaknya terjadi pada 1929. Margo Redjo bisa mengekspor tak kurang dari 200 ton biji kopi per tahun. Jumlah tersebut dapat dikatakan menguasai pasar ekspor dari Semarang. 

Industri kopi Mergo Redjo --dan banyak bisnis lain-- mengalami kejatuhan pada saat berlangsungnya perang dunia lalu penguasaan Jepang terhadap Indonesia. Tan pun menutup usahanya. Di luar persoalan politik di tanah air, kedatangan tentara Sekutu yang membonceng Belanda tiba di Semarang, malah menghadirkan angin segar bagi usaha Tan. Mereka meminta Tan untuk kembali membuka Margo Redjo. Tak hanya itu, mereka bahkan menyediakan bantuan mesin diesel sebagai penyedia pasokan aliran listrik. Demikianlah, Margo Redjo kembali beroperasi dan secara khusus memproduksi kopi untuk orang-orang Belanda. Kegiatan itu terus berlangsung hingga mereka kembali ke negaranya karena sudah terjadi penyerahan kekuasaan. 

Pada perjalanan berikutnya, persaingan terjadi setelah industri kopi di tanah air mengalami perkembangan pesat. Persaingan tak dapat dihindari. Pada tahun 1980-an Margo Redjo mulai mengurangi produksi. Mereka melayani pelanggan tertentu saja.

Baca juga: Menjajal Minuman Beralkohol Khas Bali


Margo Redjo Koffie Huis

Jenama Margo Rejo sebagai pabrik kopi telah diganti menjadi Dharma Boutique Roaster sejak 2017. Berbagai perangkat yang telah membesarkan nama Margo Redjo masih dibiarkan bertahan di bagian belakang bangunan, dalam sebuah ruang khusus. Malah, aneka peralatan pengolah kopi yang merupakan produk Belanda dan Jerman yang usianya telah melewati satu abad itu menjadi penghuni ruang yang kemudian dijadikan museum kopi mini. 



Di dalam ruangan itulah aku menyimak kisah yang disampaikan awak Kedai Kopi Margo Redjo. Setiap harinya, pada jam-jam tertentu ada tawaran kepada pengunjung kedai untuk menyimak sejarah pabrik kopi seraya melihat langsung aneka perangkat yang pernah digunakan pada masa lalu tersebut. Pada hari kunjunganku, tak ada orang lain yang berminat. Jadi aku berdua saja dengan kru --duh, lupa namanya-- yang menjadi tour guide

Setelah menyimak cerita, kami kembali ke area depan yang dijadikan showroom. Di ruang ini tersedia 35 jenis kopi yang disimpan dalam keler kaca. Kopi-kopi tersebut disiapkan bagi pembeli yang telah melakukan pemesanan maupun bagi pembeli yang datang berkunjung. 

Saat kembali ke ruang ini, ada Mbak Sri yang memperagakan proses grinding kopi menggunakan perangkat manual lama yang masih difungsikan. Grinder mungil itu memiliki kapasitas hingga 5 kg. Untuk takaran yang lebih besar, ada alat lain yang digunakan, disimpan di bagian samping showroom. Alat timbang yang digunakan juga perangkat lama dari zaman Belanda. Begitu pula alat hitung, bukan menggunakan kalkulator, melainkan cipoa, alat hitung tradisional China. 

Aku minta dibuatkan kopi tubruk pakai biji kopi Gunung Wayang. Lantas memilih duduk di lokasi paling dekat dengan bangunan utama yang menjadi salah satu cagar budaya Kota Semarang itu. Sempat menuntaskan beberapa PR penyuntingan naskah hingga jelang kafe tutup. 


Senang bisa berkunjung ke Margo Redjo. Terima kasih untuk sambutan hangatnya. 

Baca juga: