Akhir Agustus lalu ada kesempatan melakukan perjalanan ke Semarang. Sebuah pekerjaan yang mengharuskanku ke satu kawasan di area Soekarno-Hatta. Tentu saja ini menjadi hal yang menyenangkan. Rasanya kaki ingin segera menjejaki kota-kota lain, wilayah-wilayah asing. Baiklah, biar kucatatkan di sini beberapa tempat yang sempat kukunjungi, barangkali kalian membutuhkan referensi. Setidaknya ada tiga jenis makanan yang kucicipi, yakni, nasi goreng gongso babat ala Pak Karmin, tahu gimbal, dan tentu saja lumpia. Mencicipi kopi di dua lokasi, dan melewatkan malam Minggu di area Kota Lama, serta tak ketinggalan Lawang Sewu-nya. Pengalaman menyenangkan tiga hari di kota yang dikenal sebagai Kota ATLAS ini.
Baca juga: Menjajal Bus Trans Metro Pasundan
Ini bukan kali pertama aku ke Semarang. Beberapa lokasi sudah sempat kukunjungi. Tapi kota-kota senantiasa berubah. Begitu pula dengan Semarang. Kisahnya pun tak serupa.
Nasi Goreng Babat Pak Karmin
Nama persisnya ternyata nasi goreng babat gongso. Aku pernah mendengar namanya disebut oleh kawan di media sosial. Akhirnya mencicipi. Kami, aku bersama tim dari Jakarta mampir pada hari kedua kami di Semarang. Sudah sangat lelah, tapi lapar. Setelah menyelesaikan pekerjaan terakhir, kami meluncur ke kawasan Mberok, Kota Lama, Semarang.
Babat bukanlah jenis makanan yang kusukai. Tapi masa iya tidak mencicipi? Dan ternyata, enak. Pilihanku bumbu pedas. Daging babatnya empuk dengan lemak yang meleleh. Tidak tercium bau prengus dari babat. Bukan hanya kaena telah bercampur bumbu, namun juga menunjukkan kalau babat diolah dengan baik. Konon, Pak Karmin mencuci babat dengan air mengalir berkali-kali hingga bersih. Butuh waktu lama juga untuk merebusnya. Babat dengan daging halus butuh minimal tiga jam untuk merebusnya hingga lunak. Sedangkan untuk babat kasar butuh waktu jauh lebih lama, yakni 8 jam!
Buat yang tidak suka babat, masih ada pilihan yang lain, kok. Pokoknya kalau sudah sampai Semarang, cari warung tenda Pak Karmin di kawasan Mberok. Setidaknya kenalilah bagaimana usaha Pak Karmin mampu bertahan lebih dari lima dekade.
Harga nasi goreng babat gongso: Rp25.000
Baca juga: Ragam Kuliner Halal dan Nonhalal di Bali
Lumpia Mbak Lien
Aku sangat suka lumpia Semarang. Aku nyaris tak pernah dengan sengaja belanja dan makan lumpia, kecuali lumpia Semarang. Segitunya? Iyes! Buatku, perpaduan lapisan luar lumpia yang renyah-gurih dengan isian rebung dan udang dan teman-temannya, bertemu dengan saus yang legit, daun bawang dan acar yang segar merupakan sebuah kenikmatan yang mewah. Beberapa kali aku order langsung lumpia Semarang buat dikirim ke Bandung.
Nah, kawan pemilik rumah yang kemudian aku menginap --pasca selesai kerjaan, Mima, mengajakku menikmati salah satu lumpia lejen di Semarang. Lumpia Mbak Lien.
Konon, kata cerita, lumpia Mbak Lien ini terlahir dari kisah asmara dua orang beda budaya. Adalah seorang pemuda asli Tionghoa, Tjoa Thay Joe yang mengolah makanan berbahan rebung di Semarang. Saat berdagang ini, Tjoe berjumpa dengan seorang gadis, Wasih yang kebetulan juga menjadi penjual makanan dengan bahan yang sama, rebung. Alih-alih bersaing, mereka yang sudah kadung jatuh cinta itu malah menyatukan resep mereka menjadi satu bisnis bersama. Lumpia. Nama lumpia diambil dari nama lokasi saat mereka menjajakan makanan olahan baru itu, yakni di sebuah area pasar malam era Belanda, Olympia Park. Lumpia pasangan ini kemudian dilestarikan oleh keturunan mereka, di antaranya Mbak Lien yang merupakan generasi ketiga pasangan Tjoa Thay Joe dan Mbok Wasih.
Gerai lumpia Mbak Lien ada di kawasan Jalan Pemuda. Ada cukup banyak gerai lumpia di sini. Gerai Mbak Lien bukan ada di jalan utamanya, melainkan harus masuk gang. Nggak jauh, sekitar 20 meter saja. Selain lumpia, ada aneka jajanan untuk oleh-oleh yang bisa dibelanja di gerai ini. Yang ingin menikmati di tempat, disediakan meja-kursi di area teras. Lumayan buat ngerumpi sekadarnya.
Harga lumpia Mbak Lien: mulai dari Rp18.000
Baca juga perjalanan ke Bali:
Tahu Gimbal
Awalnya aku tak terpikir untuk mencoba tahu gimbal. Kupikir tahu gimbal tak akan jauh dari tahu telor petis ala Jawa Timuran. Kesempatan mencoba datang saat ngopi di Margo Redjo, lapar dan tidak ada menu makanan berat yang menggodaku. Ada lapak gerobak tahu gimbal di seberang kedai kopi ini, atau di depan Stasiun Kopi. Maka kucobalah.
Aku memesan tahu gimbal sekaligus melihat dari dekat proses pembuatannya. Yang disebut gimbal itu ternyata olahan tepung dan udang, semacam bakwan yang dipotong saat penyajiannya.
Jadi, yang pertama dilakukan Mbak penjual adalah menggoreng tahu berbentuk dadu. Dia akan tanya, kol mentah atau goreng. Kalau pembeli mau kol goreng, ia akan memasukkan irisan kol sekalian bersama tahu. Termasuk jika pembeli ingin tambahan telur ceplok. Udang goreng biasanya sudah disiapkan lebih dulu, tinggal potong. Sambil menunggu tahu matang, Mbaknya menyiapkan bumbu ulekan. Sepertinya tak terlalu jauh beda dengan sambal petis.
Semua bahan ditaruh di piring, lalu siram dengan sambal. Krupuk disiapkan sebagai pelengkap. Berhubung aku ingin mencoba, waktu Mbaknya tanya pakai ini dan itu, lengkap, ternyata isinya banyak sekali. Butuh 3 jam untuk aku betul-betul menghabiskannya. Enak, aku suka. Lain waktu ke Semarang, aku pasti akan cari tahu gimbal. Nyam!
Dengan komposisi lengkap, aku membayar Rp25.000 untuk tahu gimbal yang kumakan.
Baca juga: Lima Macam Rujak yang Perlu Dicoba
Bermalam Minggu di Kota Lama
Berada di satu titik di Kota Tua, aku merasa dejavu. Ternyata pada suatu masa aku memang pernah melintasi kawasan ini. Dalam nuansa yang berbeda. Aku ingat, kisaran tahun 2006-2007 aku melintasi area samping atau depan Gereja Blenduk. Jalanan penuh lubang dan becek oleh air sisa hujan. Kini sudah berbeda. Jalanan itu sudah rata oleh paving block. Terhubung dengan jalan-jalan yang lain yang membentuk kawasan Kota Tua. Kawasan ini dibebaskan dari kendaraan. Para pengunjung menikmati suasana malam di Kota Tua dengan saling bercengkerama dan tentu saja tak ketinggalan di masa kini: berfoto. Baik swafoto maupun memanfaatkan jasa tukang foto profesional yang banyak menawarkan jasanya di seputar lokasi.
Dalam sejarahnya, Kota Lama Semarang merupakan pusat perdagangan pada abad 19-20. Sebanyak tak kurang dari 50 bangunan tua khas Eropa yang hingga kini masih terawat baik dalam usia 200 hingga 300 tahun. Kawasan ini menjadi salah satu destinasi wisata andalan Kota Semarang. Beberapa bangunan menjadi andalan di kawasan ini. Di antaranya adalah Marba, gedung ikonik yang dibangun pada abad 19 oleh Marta Badjunet, seorang saudagar kaya asal Yaman bernama. Di kemudian hari, bangunan ini dinamai Marba, yang merupakan kependekan dari nama si saudagar.
Gedung lain yang bisa dikunjungi di Kota Lama Semarang adalah Marabunta, Semarang Contemporary Art Gallery, dan Semarang Creative Gallery. Selain itu ada Taman Srigunting yang ada di sebelah timur Gereja Blenduk dan Jembatan Berok yang di masa lalu merupakan simbol pembatasan antara golongan kaya kolonialis Belanda dan pribumi miskin.
Baca juga perjalanan ke Bali:
- Tirta Gangga, Taman Air di Kaki Gunung Agung
- Bali, Piodalan, dan Ritual Religi
- Menyambangi Pulau Dewata
- Pura Besakih
Tujuan berikutnya adalah Lawang Sewu. Mata sudah sepet. Ingin segera terlelap. Tapi, baiklah, mari kita menengok bangunan bersejarah yang merupakan aset PTKAI ini.
Secara harfiah, lawang sewu artinya pintu seribu atau seribu pintu. Namun bagi orang Jawa, sewu tak lantas berarti seribu. Bisa jadi hanya menunjukkan jumlah yang sangat besar. Tak terhitung. Jumlah pintu di Lawang Pintu konon tercatat sebanyak 928 buah. Entah, pintu yang semacam apa masuk dalam daftar tersebut.
Lawang Sewu berdiri di atas lahan seluas 18.232 m², di Jalan Pemuda, kawasan pusat kota. Dulunya, gedung ini merupakan kantor administrasi Nederlandsch-Indische Spoorweg Maatschappij (NIS), perusahaan kereta api masa kolonial.
Lawang Sewu terdiri dari lima gedung yang pengerjaannya dilakukan oleh beberapa arsitek pada kurun waktu yang berbeda. Material yang digunakan adalah batu bata keramik berwarna oranye. Pada masa itu batu bata sangat langka dengan harga yang sangat mahal. Hal itu menunjukkan simbol kekayaan, kemakmuran, sekaligus kasta tertinggi.
Aku pernah berkunjung ke Lawang Sewu pada tahun sekian, lupa persisnya. Saat itu yang kuingat adalah nuansa spooky-nya. Yang kutemui kemarin adalah adalah Lawang Sewu yang semarak. Sama sekali berbeda dengan kesan yang kutangkap saat itu. Bersama Mima, aku menjelajahi hampir semua ruang di Lawang Sewu. Terpesona dengan lukisan patri kaca pada dinding-dinding tingginya. Kaca patri itu berkisah tentang keindahan dan kemakmuran Pulau Jawa, juga penguasaan Belanda atas Batavia dan Semarang. Disinggung pula soal kejayaan kereta api.
Untuk memasuki area Gedung Lawang Sewu yang kini dimanfaatkan sebagai museum itu, kita cukup menyediakan Rp20.000 untuk tiket masuk. Ada banyak hal menarik terkait perkeretapian di tanah air. Baik sejarah dari masa ke masa maupun bagian dari badan kereta api serta aneka perniknya. Lokasi yang cocok bagi para siswa dan remaja bermain seperti celotehan Pak Bambang Irwanto si Kurcaci Pos yang dibagikan di blognya, blog berbagi cerita ceria.
Menjajal Kopi Legenda Semarang, Margo Redjo
"Mbak, aku mau ajak kamu ngopi di kafe legenda," kata Mima pagi itu. "Sambil kutinggal kerja, ya, lanjutnya.
Kami pun meluncur ke kawasan Wotgandul. Di depan nomor 14 kami berhenti. Tidak ada tanda-tanda itu adalah bangunan usaha. Area depan tertutupi tempat usaha orang berupa warung tenda dan lapak ban. Hanya tersisa ruang terbuka seluas pintu masuk ke dalam bangunan.
Begitu memasuki bagian dalam, terasa keteduhanya. Pohon kayu besar menaungi (aku sedang mengingat-ingat itu pohon apa), bambu menjadi pagar tanaman di balik tembok tinggi yang mengelilingi bangunan, dan aneka tanaman bunga yang tersebar di beberapa titik.
Showroom kopi ada di sisi kanan. Di ruang ini kita memilih kopi sekaligus membayar pesanan. Sebagian besarnya kopi arabika tanah air. Aku memilih kopi Gunung Wayang.
Aku memilih duduk di lokasi paling dekat dengan bangunan utama yang menjadi salah satu cagar budaya Kota Semarang. Lumayan, sempat mengedit naskah sambil menghabiskan waktu hingga kafe tutup, sekitar jam 5 sore. Sempat jalan-jalan ke museum kopi mini di area belakang. Mendengar rentetan cerita sejarah berdirinya Margo Redjo. Selengkapnya bisa baca di sini.
Oiya, di sini tidak menyediakan makanan. Tapi diperbolehkan membawa makanan dari luar. Di sinilah aku mencicipi tahu gimbal.
Baca juga perjalanan ke Baduy:
Ngopi di Stasiun Kopi
"Masih denger radio, Mas?" tanyaku ke pemilik kedai.
"Di sini dengernya radio, Mbak," jawab si pemilik yang kemudian aku tahu namanya Heri.
"Syukurlah," kataku --yang entah bersyukur atas apa. Mungkin sedikit gembira mendapati masih ada orang yang mau mendengarkan radio, meski aku sendiri sudah tak bergiat di dunia radio.
Ke sinilah kemudian aku menuju, Kedai Stasiun Kopi yang lokasinya tepat di seberang Margo Redjo. Persisnya nomor 19. Nuansanya sederhana dan klasik. Hiasan yang terpajang di dinding maupun di rak, bernuansa vintage. Ada aneka sketsa buatan Heri yang punya latar belakang desain grafis. Kedai ini merupakan bagian depan dari rumah tinggal Heri, barista dan sekaligus pemilik kedai. Bagi penggemar kafe kekinian, tempat ini tentu bukanlah pilihan. Namun bagi penyuka ketenangan, kesederhanaan, suasana hangat, aku sendiri merekomendasikannya.
Dalam suasana sore di Semarang yang hangat, aku menyesap kopi ditemani roti sarikaya dan alunan lagu lama dari radio transistor. Sebuah sore yang nikmat.
Baca juga: Olahraga Jalan Kaki di Podomoro Park
Baiklah, sekian dulu pengelanaan di Kota ATLAS kali ini. Sampai ketemu lagi, Semarang!