Bernapas merupakan sebuah aktivitas yang kita lakukan secara otomatis setiap saat. Saking biasanya sampai kita baru sadar betapa pentingnya urusan napas ketika aktivitas ini mengalami gangguan. Ketika oksigen terbatas, atau saluran napas kita yang mengalami gangguan. Betul, 'kan? Bahkan sekadar menyadari napas pun suatu hal penting di tengah rutinitas kita yang nyaris abai terhadap hal-hal yang ada di depan mata. Tak heran jika olah napas menjadi salah satu topik di masa kini, ketika orang ingin kembali menjalani hidup yang lebih sehat dan alamiah.
Baca juga: Pulihkan Trauma dan Ciptakan Hidup Sehat Selaras dengan Terapi BCR
Saat ini begitu banyak kita lembaga pelatihan, kursus, dan buku-buku panduan yang "menjual" pelajaran tentang bernapas. Tak jadi soal, sih. Toh mereka memiliki kesadaran lebih dulu bahwa tema ini bisa jadi barang jualan. Baik yang sekadar mengambil materi copas, maupun memang mereka mengajar dan menulis berangkat dari pengalaman dan kemampuan yang sudah dikembangkan.
Mengapa Perlu Menyadari Napas?
Napas, ya. Bukan nafas! Hehe ... ini kata saya yang adalah tukang sunting.
Aku diingatkan tentang "menyadari napas" ini jauh-jauh hari ketika mulai tertarik dengan dunia spiritualitas. Menyadari napas artinya berada dalam kesadaran di masa sekarang, masa kini, present. Namun, dalam perjalanannya, semua teori itu seolah terlupakan. Menuliskannya lagi di sini, selain mengajak kalian, yang lebih utama adalah mengingatkan ke diri sendiri, betapa bermanfaatnya melakukan olah napas ini.
Suatu kali aku datang ke lokasi aku belajar BCR sekaligus rumah pengajar/mentornya, dr. Dhavid Avandijaya Wartono. Kuceritakan apa yang baru terjadi pada awal Januari lalu.
"Dok, saya baru melakukan hal yang selama ini tak pernah saya lakukan. Saya lepas kontrol karena kemarahan dan rasa sakit hati saya."
"Apa yang kamu lakukan?"
"Saya pukul pintu, pukul lantai, saya terisak kuat-kuat. Dada saya terasa mau meledak. Telapak tangan saya membiru."
"Kamu lupa dengan tools-mu?"
"Hah?"
"Bernapas itu salah satu tools-mu. Kenapa tidak kamu lakukan?"
"Nggak ingat, dok."
Itu terjadi. Jika diingat-ingat lagi, aku pun heran, bagaimana ceritanya aku bisa semeledak itu.
Baca juga: Berdamai dengan Inner Child
Pada masa kuliah dulu aku pernah meledak. Bukan karena marah. Namun, lebih karena luapan emosi yang tak tertanggungkan. Sebetulnya mirip juga, sih. Tapi, ya, saat itu bukan marah. Lebih campur-campur antara sedih, malu, kecewa, marah, sakit hati, yang akhirnya membawaku berobat ke psikiater. Tapi itu dulu. Kenapa sekarang, setelah melewati proses panjang self-healing, masih terjadi ledakan itu? Tak bisa tidak, memang ada hal yang mesti kembali dibenahi. Berubah tak boleh tanggung-tanggung. Karena, jika tidak, ya akan kembali berkubang di hal yang sama.
Eits, kok jadi ke mana-mana. Ini jadi gambaran saja, betapa hal yang menyulut emosi bisa terjadi kapan saja. Kita lupa sedikit saja, ya balik lagi.
So, baiklah. Mari kita kembali belajar bernapas.
Mengolah Napas
Belajar bernapas? Bukankah kita sudah otomatis bernapas sedari lahir, bahkan sebelum kita menyadari apa pun? Apa yang perlu dipelajari?
Semata bernapas dan mengolah napas tentu saja berbeda makna. Seperti halnya bergerak dan berolahraga. Ada tujuan tertentu dengan kita berupaya melakukan suatu hal secara konsisten. Seperti halnya olahraga, olah napas mengacu pada latihan yang dimaksudkan untuk meningkatkan fungsi mental, fisik, dan spiritual.
“Tak peduli apa yang kamu makan, seberapa banyak kamu berolahraga, bagaimanapun bentuk tubuhmu, semua itu tak ada gunanya jika kamu tidak bernapas dengan benar.” Demikian kata jurnalis James Nestor dalam buku yang ditulisnya, Breath: The New Science of a Lost Art.
Nestor mengkritisi betapa kita peduli dengan asupan makanan, minuman, bahkan berolah raga, tapi melupakan perihal napas yang otomatis--tanpa usaha ekstra--yang kita lakukan pada setiap saat. Demi bukunya tersebut, membuat riset mendalam perihal napas, baik dari pengalamannya sendiri maupun melalui eksperimen-eksperimen yang ia lakukan.
Dalam bukunya tersebutm Nestor menyampaikan teknik sederhana yang menjadi dasar olah napas, yakni:
5,5 detik tarik napas, lalu 5,5 detik kemudian embus. Proses pernapasan dilakukan melalui hidung, napas ditarik hingga ke perut hingga diafragma berkembang dan paru-paru dapat menyerapnya secara optimal.
Hal dasar ini bisa kita terapkan dalam keseharian. Latih hingga menjadi kebiasaan.
Baca juga: Kamu Punya Perilaku Manipulatif? Kamu Butuh Trauma Healing
Ada banyak metode lain yang bisa dilakukan terkait mengolah napas ini. Seperti breathwork. Metode ini tidak mengacu ke satu nama sebagai pencetus. Ada sejumlah nama dengan kekhasannya masing-masing. Misalnya breathwork yang dikembangkan oleh Giten Tonkov. Metodenya bertujuan melepaskan trauma berlandaskan enam elemen utama, yakni napas, gerakan, emosi, sentuhan, suara/musik, dan meditasi. Atau Vivation Breathwork yang dikembangkan oleh Jim Leonard. metodenya adalah memadukan meditasi dengan teknik pernapasan circular breathing. Dr. Andrew Weil mengembangkan teknik pernapasan 4-7-8 untuk mengaktifkan sistem saraf parasimpatik, mengurangi stres, dan meningkatkan relaksasi.
Teknik mana pun bisa dipilih. Namun, hal yang pentingnya adalah menyadari latihan kita, menjadikan diri kita sebagai pemimpin dalam mengolah pernapasan dalam tubuh secara sadar dan sistematis.
Di ranah kesehatan mental, olah napas ini sangat membantu. Kita akan segera tahu seseorang sedang tenang atau stres dari cara ia bernapas. Saat mengalami stres, napas akan cenderung cepat dan pendek. Hal ini terjadi sebagai akibat dari otak yang memberikan signal ke tubuh bahwa ada ancaman. Atau ketika ingatan akan trauma yang mengembalikan ingatan kita kepada peristiwa-peristiwa tak menyenangkan yang kita alami di masa lalu. Respons tubuh lebih kurang sama.
Dari andil napas yang tepat bagi kesehatan mental saja kita sudah bisa mengembangkan berbagai potensi yang kita miliki akibat sumbatan yang selama ini menghuni saluran-saluran kreasi kita.
Beberapa manfaatnya, seperti:
- Membantu kita berada dalam kondisi present dan berkesadaran
- Meningkatkan kemampuan receiving
- Membuka daya kreativitas
- Meningkatkan rasa percaya diri dan self-love
- Membantu mengembangkan relasi yang positif
- Membawa keceriaan dalam sikap keseharian
- Membantu memutus adiksi atau ketagihan
- dan masih banyak lagi.
Baca juga: Mengenal Sabotase Diri dan Mekanisme Koping
Yuk, kita mulai kembali latih napas kita untuk hidup yang lebih berkesadaran, sehat mental, memetik hal-hal positif dari kehidupan, dan mengembangkan kreativitas demi diri sendiri dan semua makhluk.
Untuk yang berminat belajar BCR demi hidup yang lebih berkesadaran, sehat mental dan spiritual, serta meningkatkan posibilitas diri, mari bergabung dalam kelas BCR. Hubungi aku lewat WA, ya. Kelas terdekat di Semarang.