Featured Slider

Apa Bedanya Empath dengan Orang yang Super Sensitif?

Empati dibutuhkan dalam setiap interaksi manusia. Dengan adanya empati, setiap individu dapat menunjukkan kapasitasnya sebagai manusia dengan kepeduliannya terhadap sesama. Istilah ini kemudian ditempelkan ke sosok yang memiliki tingkat sensitivitas ekstra. Empath. Tapi apa yang membedakan seorang empath dengan orang yang super sensitif?



Baca juga: Kesadaran Spiritual dan Hidup dalam Perspektif Baru

Menurut KBBI, empati adalah keadaan mental mengkondisikan seseorang untuk mengidentifikasi dirinya dalam keadaan perasaan atau pikiran yang sama dengan orang atau kelompok lain. Berangkat dari pengertian tersebut, empath adalah seseorang yang mempunyai kadar empati di atas rata-rata. Mereka tak hanya mengerti dan memahami yang dialami oleh orang lain, melainkan seolah benar-benar terlibat di dalamnya. Mereka seperti spons emosional yang dapat menyerap apa pun yang memaparinya. Sedangkan sensitif secara harfiah dimaknai sebagai kepekaan dalam menerima rangsangan atau menanggapi stimulus dari orang atau lingkungan sekitarnya; mudah terbangkitkan emosinya. 

Jadi, empath bukan seseorang yang sekadar memiliki kepekaan ekstra terkait dengan emosi, namun mereka juga peka terhadap energi dan memiliki kapasitas psikis tertentu untuk "mengetahui sesuatu tanpa dibarengi dengan bukti". Mereka "begitu saja" mengetahui sesuatu. Empath sudah pasti merupakan orang dengan daya kepekaan yang tinggi, sementara orang yang supersensitif belum tentu seorang empath.  

Mari kita cari tahu, apa saja karakteristik empath.

Ada beberapa tanda yang menunjukkan seseorang adalah empath. Tanda itu dapat dilihat dari sifat, sikap, dan tingkah laku mereka. 

Dapat merasakan rasa sakit yang dialami orang lain. Dalam sebuah perjumpaan dengan orang yang mengalami rasa sakit, baik fisik maupun psikis, empath dapat ikut merasakan sakit yang dialami orang yang dijumpainya tersebut. 

Cepat mengenali mood dan emosi orang lain dengan cepat. Seorang empath dapat menilai ekspresi wajah orang lain, seperti tertekan, bahagia, khawatir, gelisah, dan lain-lain. Kemampuan mereka dalam hal ini terbilang akurat.

Baca juga: KBS dan Upaya Membebaskan Diri dari Kemelekatan

Peka terhadap suara, bau, dan sensasi. Empath peka terhadap suara, bau, dan sensasi, yang seringkali mempengaruhi emosi mereka. Karena baik suara, bau, dan sensasi, berkaitan dengan riwayat yang pernah menjadi bagian dari pengalaman. 

Secara alamiah dapat menyerap energi di sekitarnya. Saat berada dalam kerumunan, ia dengan mudah dapat merasakan energi, baik postif maupun negatif. 

Dekat dengan alam dan binatang. Berada di alam dan di antara binatang adalah cara empath untuk memulihkan diri akibat kehilangan energi dalam keterlibatannya dengan orang lain atau lingkungan sekitarnya. 

Memiliki intuisi yang potensial berkembang. Ketajaman intuisi empath dapat menjadi hal positif yang dapat berguna dalam banyak hal. Hal yang alamiah mereka miliki tersebut akan makin berkembang jika diasah. 

Cenderung penyendiri. Sebuah penelitian menyebutkan 70% dari empath adalah intover. Mereka lebih suka sendiri dibandingkan berada dalam kelompok atau keramaian.  

Hal yang memberatkan bagi empath adalah sifatnya yang serupa spons, menyerap banyak hal, jika tak dibarengi dengan upaya untuk melepaskan, menjadikan energi yang terserap tersebut akan bertahan lama. Sedangkan secara alamiah, empath akan didatangi banyak orang terutama mereka yang memiliki masalah. 

Dengan karakteristik tersebutkan di atas, baik negatif dan positifnya, empath dapat mengembangkan diri menjadi lebih baik dalam kepekaannya terhadap makhluk dan lingkungan sekitarnya tanpa harus mengorbankan dirinya sendiri.

Baca juga: Letting Go, Buku yang Mengajak Membebaskan Diri dari Hambatan


Bagaimana dengan orang yang berelasi atau berinteraksi dengan empath? Adakah tips dan trik tertentu agar relasi dan komunikasi berjalan baik?

Empath tidak pernah menganggap urusan cinta sebagai hal yang receh. Mereka bersungguh-sungguh, mereka tidak berpura-pura. Jangan pernah meragukan apa yang dikatakan empath dengan perasaannya. Saat mereka membuka hati buatmu, dlam konteks relasi apa pun, mereka akan melakukan dengan sepenuh hati. 

Berbanding lurus dengan keseriusannya perihal cinta, empath tidak menolerir ketidakjujuran. Jangan mencobai mereka. Percayalah, mereka akan tahu saat kalian berbohong. 

Jangan menahan mereka, jangan berusaha mengubah mereka. Mereka membebaskan diri sendiri dan tak tertarik dengan pengekangan. Sedikit saja menemukan ada upaya untuk mengendalikan mereka, mereka akan menarik diri. Baik secara fisik maupun psikis, menutup dari dari segenap cintanya yang merupah bagi orang yang mencoba mengendalikannya. Begitu pun keinginan untuk mengubah mereka akan menemui jalan buntu. Mereka tahu apa yang seharusnya dilakukan berdasarkan intuisi. Yang perlu dilakukan orang-orang yang menyayangi mereka adalah hanya menjaga untuk tetap berada dalam jalurnya. 

Baca juga: Stoikisme dan Upaya Melakoni Hidup yang Baik

Beri mereka waktu saat membutuhkan recharge energi. Kadang empath, terlebih yang berada dalam lingkungan yang ramai dalam kurun lama, akan merasa sangat kelelahan. Bahkan mengalami gangguan kesehatan fisik. Jangan paksa, beri ruang dan waktu. Pada saatnya mereka akan kembali dengan kondisi yang lebih prima. 

Kreativitas empath itu unik. Jangan abaikan. Suatu kali bisa jadi terkesan main-main, tapi pada kali lain idenya akan sangat berarti. 

Empath dapat menelisik perasaanmu. Mintalah pendapat kepada mereka. Karena tanpa diminta, bisa jadi mereka akan mengunci mulut. Dan jika mereka menyampaikan hal-hal yang mungkin terdengar absurd, dengarkan. Setidaknya dengarkan saja dulu. Mereka mungkin akan menyampaikan perihal firasat, soal membaca tanda, dan dugaan-dugaan yang buat sebagian orang mungkin dianggap mengada-ada. Dengarkan saja dulu. Kalau tak bisa langsung mempercayainya, setidaknya jadikan pendapat mereka sebagai bahan pertimbangan dan perbandingan. 

Banyak hal yang orang empath dapat terlibat dalam menyebarkan kebaikan. Jika punya keluarga, kawan, kekasih, kenalan orang empath, bersabarlah menghadapi mereka, berikan mereka ruang. Bersama mereka, cinta akan memenuhi angkasa.

Baca juga: Pernikahan dan Jatah Mantan





Anak Rembulan, Kisah Fantasi yang Seru

Aku membeli Anak Rembulan saat mengikuti pelatihan daring penulisan novel. Rencananya ingin mengambil genre fantasi remaja. Ndilalah, kok ya, ndak jelas pelatihannya. Maksudnya, saiyahnya yang ndak jelas. Alasannya: bertumbukan dengan keruwetan kerja 😁 Tapi ya tidak menyesal tentunya sudah membeli buku karya Djokolelono ini. Kisah fantasi yang seru, yang mengingatkanku pada kisah masa kanak di kampung halaman. 



Baca juga: Jangan Pelihara Kucing, Kerja Sama Perdana dengan Penerbit Epigraf

Petualangan Nono bukan petualangan biasa, melainkan petualangan dalam dunia yang berbeda. Petualangan yang mempertemukan Nono dengan tokoh-tokoh abad 16, masa ketika pasukan Belanda yang dipimpin Cornelis de Houtman tiba di tanah Jawa. Nono juga sempat berada di kancah peperangan yang tak hanya adu senjata namun juga pertarungan kekuatan mistis. Bocah itu terperangkap dalam sebuah kisah muasal Gunung Kelud yang melahirkan dua tokoh legenda, yakni Pangeran Mahesasuro dan Lembusuro.


Perjalanan Berlibur Nono

Kisah diawali dengan Nono, si tokoh utama yang ingin melewatkan liburan sekolahnya ke kampung keluarga ibunya, Wlingi, sebuah kota kecamatan yang terletak di antara kota Malang dan Blitar, sekitar 165 km dari Kota Surabaya. Nono yang telah naik ke kelas 5 SD itu pun berangkat sendiri karena sudah dianggap cukup dewasa. Tujuannya pun mudah. Mbahnya, Mbah Sastro kebetulan punya warung makan di Stasiun Wlingi. 

Nono suka berlibur ke kampung, tempat ia bebas bermain di alam, hal yang jarang ia temukan di kota. Ia pun bebas mandi di sungai, atau seharian bersepeda dari ujung desa ke ujung yang lain. Mbah Sastro juga sering memperbantukannya di warung. 

Nah, dalam rangka membantu Mbah Sastro, Nono harus beli tahu ke tempat kakek buyutnya, Mbah Pur. Tak dinyana, perjalanan itu membawanya ke dalam petualangan lintas dunia. Menembus ruang dan waktu.

Nono pernah mendapatkan cerita dari kakeknya, di dekat Kali Njari terdapat pohon kenari yang sudah berumur. Batangnya menjulang, kokoh, dengan lubang besar di batangnya. Pada masa penjajahan Belanda, lubang tersebut dijadikan tempat persembunyian. Mbah Pur juga mengisahkan kawan semasa kecilnya, Trimo, yang menghilang. 

Baca juga: Reviu Buku dan Tips Membuat Bookstagram

Dalam perjalanan menyusuri Kali Njari, Nono terpikir untuk singgah di area pohon kenari. Nono yang sejenak terlelap menjumpai keanehan. Situasi di sekitar pohon berubah total. Sepedanya menghilang. Nono makin dibuat bingung oleh kemunculan bocah berkulit legam. Pakaiannya tampak tak biasa. Badannya kurus. Anak itu mengajaknya bersembunyi. Keanehan makin menjadi dengan kemunculan seorang asing yan disertai prajurit pribumi. Pakaian para prajurit itu juga tampak aneh. 


Pertempuran Demi Pertempuran

Pertemuan dengan orang Belanda hanyalah awal. Perjalanan berikutnya Nono malah dipertemukan dengan hal-hal di luar dugaannya. Peristiwa-peristiwa aneh yang ia jumpai setelah Nono membawanya melewati jalur rahasia. Jalur tersebut adalah milik gerombolan pencuri paling terkenal masa itu. Gerombolan Semut Hitam. 

Keluar dari terowongan, Nono terlantar di perkampungan yang menjadikannya pembantu di warung milik Mbok Rimbi. Di tempat inilah Nono mendapat julukan Anak Rembulan. Istilah itu mengacu pada korban-korban Mbok Rimbi, yang mati saat purnama. Begitu pun Nono yang rencananya memang akan dijadikan tumbal. Untunglah ia mendapat pertolongan dari anggota Gerombolan Semut Hitam.

Masalah lain datang saat gerombolan itu ditangkap Ratu Merah. Nono pun kembali mendapatkan masalah, masuk ke kandang buaya, dalam arti yang sesungguhnya. Untunglah pertolongan datang di waktu yang tepat. Nono yang berhasil bertahan hidup diberi kesempatan oleh Sang Ratu untuk membela dan memakmurkan kerajaannya. Pada masa ini ia terlibat dalam pertempuran di sumur Jalatunda.

Baca juga: Pseudonim, Kisah Pertarungan Idealisme Dunia Penulisan


Legenda Gunung Kelud

Ada yang belum tahu legenda Gunung Kelud? Gunung Kelud, salah satu gunung yang diakrabi masyarakat Jawa Timur. Beruntung aku sempat mengalami terkena imbas letusan Kelud pada tahun 1990 (baca ceritanya di sini). Hingga kini Kelud termasuk gunung berapi yang masih aktif. Letusan terakhir, 2014 lalu sempat melumpuhkan beberapa wilayah sekitarnya. 

Kalau menyebut Kelud, kita tak sekadar bicara soal gunung. Tapi juga tentang legenda. Ada legenda tentang seorang putri cantik jelita yang menjadi rebutan dua lelaki. Mereka adalah makhluk ajaib dengan perwujudannya berupa manusia dengan Kepala Sapi dan Kepala Lembu. Sang putri minta dibuatkan sumur atau tempat mandi sebagai syarat atas pinangan kedua orang tersebut. Rupanya sang putri sebetulnya tak memaui keduanya. Ketika proses pembuatan galian sedang berlangsung, dua orang yang dikenal sebagai Mahesasuro dan Lembusuro ini dikubur hidup-hidup. Suruhan sang putri yang melakukannya. 

Ada banyak versi terkait kisah ini. Tapi semua kisah legenda itu menyebutkan, dua sosok yang marah itulah yang menyebabkan terjadinya letusan gunung berapi tersebut. Dalam novel ini, sang putri adalah sosok Ratu Merah. Ialah yang mengubur kedua paman beserta komplotannya tersebut ke dalam Sumur Jalatunda. 

Baca juga: Petang Panjang di Central Park, Kumcer Bondan Winarno

Ada beberapa hal yang terasa ganjil dalam kisah yang dituturkan Djokolelono ini, namun lebih pada ketidaksinkronan informasi dan ilustrasi. Selebihnya, buatku seru-seru saja. Dan menarik, senang, mendapati kisah lokal yang mengambil tema fantasi. Perjalanan lintas waktu, lintas dimensi. Kurasa sangat sedikit yang mengambil genre ini. Yang suka membaca buku dan butuh referensi bacaan yang ringan tapi unik, bisa jadikan "Anak Rembulan" ini sebagai pilihan. Djokolelono menuliskan kisahnya dengan menyenangkan. Enak dibaca. Ia sungguh piawai mendongeng. Semoga Pak Djokolelono terus aktif melahirkan karya serupa.


Judul : Anak Rembulan (Gerombolan Semut Hitam)

Penulis: Djokolelono

Penerbit:  Mizan, Cetakan I, Agustus 2011

Tebal: 350 halaman


Food Combining dan Latihan Hidup Berkesadaran

Urusan lambungku bermasalah sejak bertahun silam. Aneka gangguan dengan beragam gejala. Hingga terakhir yang sangat mengganggu adalah gejala GERD yang dibarengi dengan masalah kesehatan lain yang muncul lebih dulu, hipoglikemia dan hipotensi. Saat gejalanya muncul berbarengan, lengkap! Ada kawan yang menyarankan untuk mencoba Food Combining (FC). Hari ini sudah 11 hari aku menjalani pola FC, dan betapa pola ini kemudian mengingatkanku akan pola makan sekaligus sarana latihan hidup berkesadaran. 



Baca juga: Kesadaaran Spiritual, Hidup dalam Perspektif Baru 

Beberapa tahun lalu aku mengikuti pelatihan tentang "kepemimpinan berbasis kepedulian terhadap lingkungan". Dalam pelatihan yang berlangsung selama 10 hari tersebut, ada pembiasaan terkait makan, yang intinya adalah mengajak untuk hidup yang berkesadaran. Saat itu menu makanannya adalah vegetarian. Ada perbedaan, namun ada kemiripan pemahaman yang kujumpai. Tentang kesederhanaan, tentang prioritas, tentang merawat bumi. 


Pengertian Food Combining

FC pertama kali diperkenalkan dan dipublikasikan pada 1920-an, oleh ahli bedah kenamaan, Dr. William Howard Hay. Namun, konon, masyarakat di masa lalu juga telah banyak yang menerapkan pola makan FC. Terutama digunakan dalam terapi pengobatan alamiah. Disebutkan, pengobatan Ayuverda di India menggunakan pola FC ini untuk mengatasi masalah pencernaan. 

Mengacu pada informasi yang disajikan di Facebook Grup Food Combining, FC merupakan pola pengaturan makanan yang diselaraskan dengan mekanisme pencernaan alami tubuh. Bukan food terapy. Tujuannya supaya tubuh dapat memproses semua asupan demi mendapatkan hasil maksimal. Asumsinya, jika sistem cerna sehat, tubuh pun akan menyembuhkan dirinya sendiri. Begitu pula dengan berat badan. Disiplin menerapkan pola makan ini, berat badan pun dapat berada di angka ideal. 

Prinsip dasar food combining adalah pengaturan apa yang kita makan, waktu makan, dan cara memakannya. Ada istilah yang perlu dipahami dalam pula makan FC, yakni ritme sirkadian tubuh.

Baca juga: Stoikisme dan Upaya Menjalani Hhidup yang Baik


Ritme Sirkadian dan Pola Konsumsi

Ritme sirkadian merupakan proses biologis yang berpengaruh terhadap sistem fungsional tubuh manusia. Ritme ini menyesuaikan dengan siklus waktu 24 jam atau siklus pagi dan malam. Nah, dalam FC pola makan dibagi dalam penggalan tiga waktu, yakni:

Pukul 04.00 dini hari – 12.00 siang

Dalam kurun ini, sistem pencernaan tubuh manusia melakukan proses pembuangan sisa makanan hari sebelumnya. Disarankan untuk tidak makin membebani sistem cerna. Caranya? Ya, jangan makan makanan yang berat-berat. FC menyarakan untuk konsumsi buah. Hanya buah. Dalam hal ini adalah buah manis dan berair, minimal satu macam. Sarapan buah atau sarbu ini menjadi penopang tubuh sepanjang pagi hingga siang. Jadi disarankan untuk makan buah hingga kenyang.

Dari pengalamanku yang bermasalah dengan gula darah, mesti betul-betul makan buah hingga kenyang. Karena kalau tidak, sekitar jam 2-3 siang tubuh terasa lemas. Gula darah nge-drop. Sempat terjadi beberapa kali hingga terpaksa minum teh manis. Padahal dalam FC, gula adalah salah satu jenis makanan yang dihindari. 

Pukul 12.00 siang – 20.00 malam

Kurun ini merupakan saat tubuh menyerap makanan. Jadwal makan siang yang disarankan adalah antara pukul 12 hingga 2 siang, dan makan malam antara pukul 6 hingga 8 malam. 

Makanan yang disarankan adalah kombinasi karbohidrat + sayur mayur + protein nabati. Atau kombinasi sayur mayur + protein hewani. Dilarang mencampurkan karbohidrat dengan protein hewani. Selain itu, dalam FC juga lebih disarankan untuk memilih protein nabati dibandingkan hewani. Tujuannya adalah untuk tidak membebani sistem cerna. Terlebih bagi yang memiliki penyakit tertentu bahkan disarankan untuk sama sekali tak mengonsumsi protein hewani. Sebaliknya, sayuran mentah disarankan ambil porsi melimpah, sekitar 70% dari keseluruhan jumlah makanan yang dikonsumsi.  

Baca juga: KBS dan Upaya Membebaskan Diri dari Kemelekatan

Nanti kekurangan gizi, dong!

Nah, ini yang sering kali salah kaprah. Protein hewani dianggap memiliki nilai gizi lebih tinggi. Bahkan ada prestise tertentu jika mengonsumsi makanan yang terbuat dari daging hewan. Padahal, secara struktur, anatomi tubuh manusia lebih menyerupai hewan herbivora dibandingkan karnivora. 

Manusia hanya memiliki dua taring, dengan rahang yang dapat bergerak menyamping. Struktur yang pas untuk mengunyah sayur dan buah-buahan. Sedangkan karnivora secara keseluruhan berbentuk taring, besar dan tajam, yang berfungsi untuk mencabik mangsanya. Hewan karnivora akan langsung menelan makanannya dan membiarkan lambung yang bekerja untuk mencerna. Berbeda dengan manusia dan hewan herbivora yang dibekali air liur dengan kandungan enzim pencernaan. 

Lambung pun ada perbedaan. Tingkat keasaman lambung karnivora tinggi yang dibutuhkan untuk membunuh bakteri berbahaya dalam daging. Tidak demikian halnya dengan manusia dan hewan herbivora. Selain itu, usus karnivora relatif lebih pendek, hanya 3 hingga 6 kali ukuran tubuhnya. Daging yang mereka konsumsi tidak sempat membusuk karena bisa langsung dikeluarkan. Bayangkan usus yang dimiliki manusia dan hewan herbivora yang rata-rata berukuran 10 hingga 12 kali panjang tubuhnya. Daging yang dikonsumsi manusia akan bertahan cukup lama di dalam tubuh, mengalami pembusukan, dan berpotensi menyebabkan kanker. 

Pukul 20.00 malam – 04.00 dini hari

Saatnya istirahat. Pada jam-jam ini sistem pencernaan tubuh kita mengolah sari makanan dari makanan yang sudah diserap sebelumnya. Dalam kurun ini tak disarankan mengonsumsi apa pun kecuali air putih saja. 

Baca juga: Berkenalan dengan Laku Spiritual melalui Buku Tantra


Food Combining dan Latihan Berkesadaran

Kurasa bukan kebetulan kalau aku berkenalan dan mencoba menerapkan FC saat aku sedang bermasalah dengan keuangan. Sejak mengundurkan diri dari pekerjaan reguler, cash flow bermasalah. Alhasil kondisi ini pun memunculkan stres yang berlebih. Pada kondisi tertentu, trauma masa lalu yang masih dalam proses penyembuhan bermunculan tanpa kendali. Anxiety menjadi satu persoalan yang hadir kemudian. Dan seperti kita tahu, GERD dan anxiety adalah karib. Masing-masingnya dapat menjadi sebab-akibat. 

Beberapa waktu lalu, seorang kawan bercerita kalau sedang terserang GERD juga. Pasangan. Keduanya kukenal. Sang istri melakukan terapi untuk GERD-nya dan sedang dalam proses pemulihan. Sementara sang suami dalam kondisi lebih serius, dengan anxiety yang lebih kerap datang. Pemulihannya dibarengi dengan konsultasi psikiater. Penderita GERD dengan tingkat keparahan tertentu memang membutuhkan pengecekan kesehatan mental. Semoga mereka berdua segera pulih dan bisa berkarya lagi. 

Nah, kembali ke soal FC, ada hal menarik dari pengalamanku. Seperti yang kututurkan di atas, pola makan ini mengingatkanku pada pelatihan beberapa tahun lalu. Ada pembiasaan yang dilakukan sebelum makan bersama. Kami diminta untuk berdoa, saat itu semua peserta berdoa dengan cara Katolik, yang di dalamnya ada ucapan syukur dan terima kasih terhadap aneka tanaman yang tersaji di atas meja. Ucapan terima kasih untuk para petani, peladang, binatang-binatang yang membantu proses pertumbuhan tanaman, dan para juru masak yang mengolah tanaman hingga menjadi makanan yang lezat untuk dikonsumsi. Makanan disarankan untuk dikunyah sebanyak 32 kali, pelan-pelan. Dan selama makan tak seorang pun diizinkan bicara. Makan dalam kondisi hening. Sebuah prosesi makan yang begitu khidmat yang dipenuhi dengan rasa syukur berkelimpahan. Sungguh, tak jadi soal, jenis makanan apa yang tersaji di atas meja. Semuanya terasa nikmat.

Baca juga: Alaya, Kisah tentang Mimpi yang Mewujud, Takdir, dan Cinta

Itu kualami pula saat menjalankan pola FC. Bukan semata keuangan yang pas-pasan, tapi memang tak lagi menginginkan makanan yang aneh-aneh. Nasi dengan satu jenis lauk, satu jenis sayur tumis atau kuah, dan sepiring sayuran mentah. Bahkan tak ada lagi keinginan untuk ngemil. Dasarnya memang tak suka ngemil. Cuma, biasanya, sekali waktu ada keinginan untuk makan makanan yang tak biasa. Segala keinginan pun hilang. Karena tubuh sudah dipuaskan oleh kebutuhan. Nyatanya, yang dibutuhkan tubuh kita adalah nutrisi, bukan rasa yang bersumber dari keinginan lidah kita. Tak berarti makanan FC harus plain, tak berasa, bahkan disarankan untuk membuatnya senikmat mungkin tanpa menyalahi aturan dasar FC. Tetap bisa dimasak dengan enak, namun tak berlebihan. 

Jadi, bagaimana pengalaman menerapkan food combining hingga hari ke-11 ini? Menyenangkan. Memuaskan. Dan perasaan yang lebih sehat, tenang, dan bahagia. Ya, aku senang, FC ini menjadi semacam latihan tambahan buatku dalam hidup berkesadaran. 









Childfree dan Perihal Kegemaran Ikut Campur

Beberapa waktu terakhir bahasan tentang childfree begitu riuh menghiasi linimasa media sosial. Memang, apa sih yamg tak diributkan di aplikasi jejaring pertemanan ini? Segala hal dibahas, dan makin dipertentangkan, makin seru. Aku sendiri tak berminat untuk urun rembug terkait bahasan ini. Hanya ingin menyoroti perihal kegemaran orang-orang kita dalam ikut campur urusan orang lain. Bahkan hal-hal yang sangat pribadi. 



Baca juga: Perempuan dalam Karya Pramoedya Ananta Toer

Kita telah terbiasa dengan perspektif budaya kolektif bahwa orang pada usia tertentu harus menikah, lalu punya anak. Pandangan yang tidak memberikan alternatif perspektif yang lainnya. Maka begitu ada pernyataan dari satu sosok YouTuber (yang kemudian aku tahu namanya Gita Savitri) soal keputusannya untuk  childfree, ramailah netizen. Mereka mengkritik dan menilai keputusan tersebut tidak tepat. 


Sejarah Childfree

Pilihan untuk tidak memiliki anak telah ada sejak berabad lalu di Amerika Serikat, seluruh Eropa barat laut, Kanada, serta Australia. Hal ini juga berpengaruh besar terhadap penilaian masyarakat akan institusi pernikahan, atau sebaliknya. Profesor Sejarah di Xavier University dan penulis buku "How to Be Childless: A History and Philosophy of Life Without Children", Rachel Chrastil seperti dikutip Natgeo mengatakan setelah Abad Pertengahan, perempuan-perempuan perkotaan memilih untuk menunda pernikahan. Pada sekitar awal tahun 1500-an tersebut, para perempuan di desa-desa kawasan barat laut Eropa juga melakukan hal yang sama. Mereka menunda pernikahan hingga usia pertengahan 20-an.  

Masa sebelumnya, para perempuan melakukan pernikahan usia muda lalu tinggal bersama di rumah mertua atau dalam keluarga besar mereka. Ketika pilihan menunda pernikahan mulai marak, mereka bekerja giat untuk mendapatkan uang sebagai bekal pernikahan. Termasuk di antaranya untuk memiliki rumah sendiri dan bertanggung jawab penuh terhadap kehidupan pernikahan mereka. Naiknya standar tentang kehidupan pasca pernikahan ini menjadikan lebih banyak orang menunda pernikahan, yang salah satu dampaknya adalah menurunnya angka kelahiran. 

Pada masa itu, sudah hal yang lazim menjumpai orang yang tak memiliki anak. Disebutkan, populasi orang dewasa tetap melajang dan besar kemungkinan tanpa anak mencapai 15 hingga 22 persen. Itu di kota-kota pra-revolusi Prancis saja. 

Baca juga: Laki-laki dan Peran Pentingnya dalam Penghapusan Kekerasan Berbasis Gender

Pandangan baru terhadap institusi pernikahan tersebut memberikan kesempatan kaum perempuan lebih mandiri dan fleksibel. Menurut para sejarawan banyak catatan yang menyebutkan bahwa para perempuan modern awal telah mengambil banyak peran untuk menghidupi diri mereka sendiri dengan berbagai profesi dan jenis pekerjaan. 

Kondisi ini sempat mengalami perubahan, terutama di Amerika Serikat, dengan kebijakan yang mereka keluarkan. Alhasil, perempuan yang saat itu lahir kisaran tahun 1935 dan tumbuh dewasa setelah perang banyak memproduksi anak. Namun kondisi itu dianggap sebagai anomali sejarah. Tak lama. Pada dekade 70-an, alat kontrasepsi lebih canggih, adanya keterbukaan dalam diskusi tentang seksualitas, dan pandangan soal perempuan yang punya hak dalam mengendalikan tubuh mereka sendiri kembali memarakkan wacana childfree. 


Childfree sebagai Sebuah Pilihan

Jika melihat dari catatan-catatan yang beredar, nuansa yang muncul adalah soal keinginan untuk keluar dari kungkunan nilai konservatif. Sejalan dengan gerakan kaum feminis yang ingin mendobrak dominasi kaum patriarki. 

Dalam tradisi konservatif yang didominasi oleh nilai-nilai lama, orang bisa dengan leluasa masuk dalam kehidupan orang lain. Seolah dinding punya telinga, lalu orang merasa punya hak untuk terlibat dalam persoalan di balik dinding tersebut. Persoalannya, keterlibatan itu dengan membuat pembandingan dengan nilai yang dianut sendiri. Orang lain yang tak sejalan sistem nilainya, dianggap salah. Lantas dikoreksi, bahkan dicela. 

Dari pengalamanku sendiri, keingintahuan orang terhadap statusku yang lajang telah merangsekku sejak masuk usia jelang akhir 20-an. Mengapa tak kunjung menikah, apa yang ditunggu? Berat ke karir? Menunggu orang yang tepat? Mengejar cinta? Teman-teman sepantaran sudah pada punya anak, loh! Kakak-kakakmu bukannya seumurmu sudah punya anak? Jangan terlalu memilih, ntar dapatnya malah yang boleng. Dan lain-lain, dan sebagainya. Sibuk sekali orang membandingkan sistem nilai yang dianut orang lain dengan nilai yang mereka ambil untuk kehidupannya sendiri. Itu baru soal status.

Baca juga: Menjadi Perempuan Merdeka dan Mandiri

Ada banyak hal lain yang tampaknya gurih untuk digoreng menjadi bahan gibah. Pilihan cara berpakaian, pilihan agama, apalagi pilihan orientasi seksual, bisa panjang berjilid-jilid. Padahal semuanya itu semata urusan pribadi masing-masing orang yang sudah memasuki kehidupan orang dewasa dan bertanggung jawab terhadap setiap keputusan yang diambil. 

Ada pula yang menyandingkan dengan nilai komunal. Nilai pribadi dianggap berbeda dengan nilai yang dianut komunal. Jadilah mereka sebagai polisi norma sosial. Merasa punya kewajiban untuk mengingatkan orang lain. Atau bahkan lebih jauh, meminta mengikuti nilai yang dianut bersama. Padahal nilai dalam masyarakat itu dinamis, selalu berubah mengikuti perkembangan.    

Begitu pula dengan soal childfree. Ada cukup banyak alasan orang untuk menjadikan childfree sebagai pilihan. Baik karena alasan sentimentil, misalnya trauma dengan masa kecil karena sistem nilai dalam keluarga yang melemahkan. Orang tua yang pasif atau sebaliknya sangat dominan. Bisa pula karena alasan kesehatan. Atau alasan yang lebih ideologis, misalnya terkait isu lingkungan. Bahwa meningkatnya populasi penduduk di bumi tak sejalan dengan kesehatan bumi dan  ketersediaan pangan. Jadilah childfree sebagai salah satu solusinya. 

Alasan finansial pun merupakan hal yang sangat masuk akal. Bukankah justru aneh ketika orang yang menikah tak membuat perencanaan terkait masa depan anak, kesehatan, pendidikan, dan kebutuhan-kebutuhan lainnya. Pendidikan saja, kebutuhannya pasti sangat besar. Baru soal kebutuhan pendidikan wajib. Belum lagi pendidikan alternatif tambahan untuk mendukung kemampuan anak. Sila cek home education center perihal pusat pembelajaran dan blog homeschooling soal sistem belajar alternatif. 

Itu di antara sekian alasan mereka yang memilih childfree. Bahkan alasan sekadar ikut-ikutan tren pun merupakan hak setiap pasangan.  

Baca juga: Pernikahan dan Jatah Mantan


Menjadi Orang Tua yang Berdaya

Buatku pribadi, pilihan untuk childfree adalah sebuah pilihan bebas yang layak didukung. Pun pilihan orang untuk memiliki anak dengan sepenuh tanggung jawab membesarkan, merawat, dan menyejahterakannya hingga kelak dilepaskan sebagai orang dewasa dengan tanggung jawabnya sendiri. Yang kemudian menggelikan adalah komentar kontra childfree yang gagasannya adalah anak sebagai investasi. Anak akan menjamin hidup orang tua saat mereka sudah tidak mampu lagi bekerja. Loh, kok anak menjadi tulang punggung orang tua?!

Anak tak minta dilahirkan. Maka orang tualah yang bertanggung jawab terhadap anak. Saat anak telah dewasa dan bertanggung jawab terhadap dirinya sendiri, orang tua melepaskan mereka. Orang tua tak lagi bertanggung jawab terhadap anaknya. Biarkan anak hidup dengan pilihan-pilihannya. Kelak, sang anak akan bertanggung jawab terhadap anaknya, jika mereka memutuskan memiliki anak. 

Tak sedikit orang tua yang telah menyiapkan diri untuk masa pensiun, atau masa ketika tak aktif lagi. Apakah untuk hidup dan tinggal di panti jompo, atau menyiapkan sarana pendukung jika akan tinggal di rumah sendiri. Intinya tidak membebankan tanggung jawab hidup mereka terhadap anak. Bagaimana jika tak mampu? Ya, itu PR yang lain. PR besarmu dalam menempatkan diri dalam kehidupan ini.

Baca juga: Pseudonim, Kisah Pertarungan Idealisme Dunia Penulisan

Jadi Ibu Meong mau childfree juga? Ya, sudah pasti itu, sih. Ibu Meong sudah tak mungkin beranak pinak. Anaknya cukup pasukan meong saja. Apakah dengan begitu terhindar dari kegemaran orang untuk ikut campur? Tentu saja tidak. Tapi sudah tutup mata, tutup telinga. Biar sehat jiwa dan raga 😊


KBS dan Upaya Membebaskan Diri dari Kemelekatan

Saat menulis ini, aku sedang mengikuti Kelas Berbenah Sadis (KBS). Sudah hari ke-11. Bagian yang terhubung denganku dari kelas ini adalah soal kemelekatan, hal yang beberapa tahun terakhir menjadi PR, sekaligus topik yang sedang terus kugali. Tentang bagaimana orang terus berupaya untuk membebaskan diri dari kemelekatan yang membelenggu.  



Baca juga: Stoikisme dan Upaya Menjalani Hidup yang Baik

Bahasan tentang kemelekatan ini dapat kita temukan dalam banyak kajian. Dalam filsafat, agama, spiritualitas, dll. Masing-masing dengan pemahamanan yang bisa dimengerti pengikutnya. Namun intinya sama, berusaha membebaskan diri dari penderitaan akibat kemelekatan.


Memahami Konsep Kemelekatan

Jika kau menginginkan kesenangan, sepenuhnya lepaskan semua kemelekatan. Dengan melepaskan semua kemelekatan, kesenangan paling sempurna ditemukan. Selama kau mengikuti kemelekatan, kepuasan tidak akan pernah ditemukan. Siapa pun menjauhi kemelekatan, dengan kebijaksanaan mencapai kepuasan. (Dhamma Buddha)


Pertanyaan yang sering muncul dari konsep ini adalah, “Kalau kita menghilangkan rasa melekat, nanti kita kehilangan kasih sayang kepada orang-orang yang selama ini kita cintai?"

Yang sesungguhnya, kasih sayang berbeda dengan kemelekatan. Kasih sayang menumpukan fokus kepada orang lain. Orang bule menyebutnya unconditionally love. Ketika kita semata memikirkan kepentingan orang lain yang kita pedulikan. Sebaliknya, kemelekatan berpusat pada ego. Demi kepuasan diri sendiri. 

Kapan hari, topik ini sempat menjadi bahasan grup WA terbatas. Ada sebuah pengalaman, mencermati pola interaksi beberapa orang yang kemudian kusimpulkan bahwa orang yang memberi bisa jadi bukan karena ingin memberi, melainkan ada kebutuhan eksistensi diri. Jika tak memberi seolah tak lagi menjadi "seseorang". 

Mendapati pernyataanku itu, seorang kawan di grup menimpali. Ia punya pengalaman itu. Suatu saat ia menyadari, saat memberi ada kepuasan tersendiri. Ia pun langsung mengevaluasi diri, kalau ternyata ia sudah memberi makan egonya. Senang rasanya mendapati kawan yang satu frekuensi. Bisa belajar bersama dan saling mengingatkan.

Baca juga: Kesadaran Spiritual dan Hidup dalam Perspektif Baru

Kembali ke bahasan ....

Membebaskan diri dari kemelakatan memang tak mudah. Tapi perlu diupayakan. Pengalaman membuktikan kemelekatanlah yang menimbulkan kesengsaraan. 

Dalam konteks relasi manusia, contohnya relasi percintaan, betapa kemelekatan menjadikan seseorang demikian bergantung kepada pasangannya. Rasa cemburu yang membakar. Perasaan merana karena keterpisahan. Emosi yang mampu mendorong orang untuk merusak, baik ke diri sendiri maupun orang lain. 

Dalam konteks kebendaan, berapa banyak kita jumpai contoh mereka yang terobsesi dengan materi. Bisa melakukan apa pun demi capaian yang diinginkannya. Orang-orang dekat kita atau bahkan kita sendiri, begitu gemar mengumpulkan barang yang tak ada artinya karena terbengkalai begitu saja. Atau sekadar jadi pajangan. 

Hal ini juga bisa ditemukan dalam relasi manusia dengan makhluk lain. Aku sendiri beberapa tahun terakhir sudah belajar membebaskan diri dari kemelakatan akan kucing-kucing yang kurawat. Tak terlalu melibatkan emosi saat mereka harus pergi, menyeberang ke jembatan pelangi. Tak mudah untuk sampai di titik itu. 

Membebaskan diri dari kemelekatan tak lantas abai atau tak peduli. Bagi orang tua yang punya tanggung jawab terhadap anak, tetap menjalankan tanggung jawabnya. Bagi para manusia yang punya hewan peliharaan, tetap memastikan mereka mendapatkan kesejahteraan yang layak. Bedanya, tak lagi menggantungkan diri terhadap keberadaan mereka. Begitu pun kemelekatan terhadap benda.

Baca juga: Letting Go, Buku Panduan Melepaskan Diri dari Hambatan


Berkenalan dengan Kelas Berbenah SaDis 

Sebetulnya sudah lama aku tahu kelas ini. Bagaimana tidak, founder-nya temanku. Adik kelas di kampus sekaligus teman kerja di Radio Mara. Kami pernah sangat dekat. Sedekat apa? Curhat-curhatan sudah pasti. Aku sering menginap di rumahnya waktu ia masih lajang. Setelah menikah pun, sesekali aku mengunjunginya. Namanya Rika Subana.

Kenapa ini perlu kuceritakan? Karena saat kita tak berjarak, kita nggak bisa cukup obyektif. Dan terus terang, itulah yang terjadi dengan Rika dan KBS. Lha wong aku tahu persis kok keseharian Rika, mana aku merasa perlu melirik KBS? Haha! Tapi aku tak merasa perlu minta maaf untuk itu. Kurasa Rika telah melewati semua prosesnya, dan bahkan tak soal dengan anggapan orang terhadap apa pun yang sudah lewat. 

Berhubung aku pun tahu kegigihan seorang Rika Subana, aku yakin dia membuat kelas-kelas pembelajaran ini dari hati, dan lewat pengalaman-pengalamannya sendiri yang sudah teruji. Pun, aku yakin proses itu tak pernah final, akan selalu jadi bagian yang terus berproses.

Kalau tertarik bisa cek FP FB Kelas Berbenah SaDis. Boleh juga sekadar tanya-tanya ke Ibu Meong dulu.

Baca juga: Berkenalan dengan Laku Spiritual melalui Buku Tantra

Buatku, bukanlah kebetulan kalau aku terhubung kembali dengan Rika yang kemudian mengajakku bergabung di KBS. Kelas ini menjadi tempat belajar langsung, riil, seperti apa membebaskan diri dari kemelekatan. Dalam hal ini kemelekatan terhadap benda. Awalnya ada 1001 alasan untuk menyisihkan buku-buku yang jadi koleksi selama ini. Lambat laun, semuanya bisa terlakoni. 

Seperti halnya aku, kurasa banyak orang yang merasa sudah tahu persis teori kemelekatan. Tapi seberapa sanggup menerapkan dalam keseharian? Nah, aku terbantu banget dengan ikut kelas ini. Biarpun mentornya nggak galak, tapi berhasil membuatku berusaha untuk lebih ikhlas melepas. 

Demikianlah, upaya membebaskan diri dari kemelekatan akan terus berjalan. Mari sama-sama belajar. Mari merayakan kehidupan yang lebih baik.