Olah Napas untuk Kesehatan Mental dan Hidup yang Berkesadaran

Bernapas merupakan sebuah aktivitas yang kita lakukan secara otomatis setiap saat. Saking biasanya sampai kita baru sadar betapa pentingnya urusan napas ketika aktivitas ini mengalami gangguan. Ketika oksigen terbatas, atau saluran napas kita yang mengalami gangguan. Betul, 'kan? Bahkan sekadar menyadari napas pun suatu hal penting di tengah rutinitas kita yang nyaris abai terhadap hal-hal yang ada di depan mata. Tak heran jika olah napas menjadi salah satu topik di masa kini, ketika orang ingin kembali menjalani hidup yang lebih sehat dan alamiah. 



Baca juga: Pulihkan Trauma dan Ciptakan Hidup Sehat Selaras dengan Terapi BCR

Saat ini begitu banyak kita lembaga pelatihan, kursus, dan buku-buku panduan yang "menjual" pelajaran tentang bernapas. Tak jadi soal, sih. Toh mereka memiliki kesadaran lebih dulu bahwa tema ini bisa jadi barang jualan. Baik yang sekadar mengambil materi copas, maupun memang mereka mengajar dan menulis berangkat dari pengalaman dan kemampuan yang sudah dikembangkan. 


Mengapa Perlu Menyadari Napas?

Napas, ya. Bukan nafas! Hehe ... ini kata saya yang adalah tukang sunting.

Aku diingatkan tentang "menyadari napas" ini jauh-jauh hari ketika mulai tertarik dengan dunia spiritualitas. Menyadari napas artinya berada dalam kesadaran di masa sekarang, masa kini, present. Namun, dalam perjalanannya, semua teori itu seolah terlupakan. Menuliskannya lagi di sini, selain mengajak kalian, yang lebih utama adalah mengingatkan ke diri sendiri, betapa bermanfaatnya melakukan olah napas ini. 

Suatu kali aku datang ke lokasi aku belajar BCR sekaligus rumah pengajar/mentornya, dr. Dhavid Avandijaya Wartono. Kuceritakan apa yang baru terjadi pada awal Januari lalu.

"Dok, saya baru melakukan hal yang selama ini tak pernah saya lakukan. Saya lepas kontrol karena kemarahan dan rasa sakit hati saya."

"Apa yang kamu lakukan?"

"Saya pukul pintu, pukul lantai, saya terisak kuat-kuat. Dada saya terasa mau meledak. Telapak tangan saya membiru."

"Kamu lupa dengan tools-mu?"

"Hah?"

"Bernapas itu salah satu tools-mu. Kenapa tidak kamu lakukan?"

"Nggak ingat, dok."

Itu terjadi. Jika diingat-ingat lagi, aku pun heran, bagaimana ceritanya aku bisa semeledak itu. 


Baca juga: Berdamai dengan Inner Child


Pada masa kuliah dulu aku pernah meledak. Bukan karena marah. Namun, lebih karena luapan emosi yang tak tertanggungkan. Sebetulnya mirip juga, sih. Tapi, ya, saat itu bukan marah. Lebih campur-campur antara sedih, malu, kecewa, marah, sakit hati, yang akhirnya membawaku berobat ke psikiater. Tapi itu dulu. Kenapa sekarang, setelah melewati proses panjang self-healing, masih terjadi ledakan itu? Tak bisa tidak, memang ada hal yang mesti kembali dibenahi. Berubah tak boleh tanggung-tanggung. Karena, jika tidak, ya akan kembali berkubang di hal yang sama. 

Eits, kok jadi ke mana-mana. Ini jadi gambaran saja, betapa hal yang menyulut emosi bisa terjadi kapan saja. Kita lupa sedikit saja, ya balik lagi.


So, baiklah. Mari kita kembali belajar bernapas.


Mengolah Napas

Belajar bernapas? Bukankah kita sudah otomatis bernapas sedari lahir, bahkan sebelum kita menyadari apa pun? Apa yang perlu dipelajari?

Semata bernapas dan mengolah napas tentu saja berbeda makna. Seperti halnya bergerak dan berolahraga. Ada tujuan tertentu dengan kita berupaya melakukan suatu hal secara konsisten. Seperti halnya olahraga, olah napas mengacu pada latihan yang dimaksudkan untuk meningkatkan fungsi mental, fisik, dan spiritual. 

“Tak peduli apa yang kamu makan, seberapa banyak kamu berolahraga, bagaimanapun bentuk tubuhmu, semua itu tak ada gunanya jika kamu tidak bernapas dengan benar.” Demikian kata jurnalis James Nestor dalam buku yang ditulisnya, Breath: The New Science of a Lost Art. 

Nestor mengkritisi betapa kita peduli dengan asupan makanan, minuman, bahkan berolah raga, tapi melupakan perihal napas yang otomatis--tanpa usaha ekstra--yang kita lakukan pada setiap saat. Demi bukunya tersebut, membuat riset mendalam perihal napas, baik dari pengalamannya sendiri maupun melalui eksperimen-eksperimen yang ia lakukan.

Dalam bukunya tersebutm Nestor menyampaikan teknik sederhana yang menjadi dasar olah napas, yakni:

5,5 detik tarik napas, lalu 5,5 detik kemudian embus. Proses pernapasan dilakukan melalui hidung, napas ditarik hingga ke perut hingga diafragma berkembang dan paru-paru dapat menyerapnya secara optimal.

Hal dasar ini bisa kita terapkan dalam keseharian. Latih hingga menjadi kebiasaan. 


Baca juga: Kamu Punya Perilaku Manipulatif? Kamu Butuh Trauma Healing


Ada banyak metode lain yang bisa dilakukan terkait mengolah napas ini. Seperti breathwork. Metode ini tidak mengacu ke satu nama sebagai pencetus. Ada sejumlah nama dengan kekhasannya masing-masing. Misalnya breathwork yang dikembangkan oleh Giten Tonkov. Metodenya bertujuan melepaskan trauma berlandaskan enam elemen utama, yakni napas, gerakan, emosi, sentuhan, suara/musik, dan meditasi. Atau Vivation Breathwork yang dikembangkan oleh Jim Leonard. metodenya adalah memadukan meditasi dengan teknik pernapasan circular breathing. Dr. Andrew Weil mengembangkan teknik pernapasan 4-7-8 untuk mengaktifkan sistem saraf parasimpatik, mengurangi stres, dan meningkatkan relaksasi. 

Teknik mana pun bisa dipilih. Namun, hal yang pentingnya adalah menyadari latihan kita, menjadikan diri kita sebagai pemimpin dalam mengolah pernapasan dalam tubuh secara sadar dan sistematis. 

Di ranah kesehatan mental, olah napas ini sangat membantu. Kita akan segera tahu seseorang sedang tenang atau stres dari cara ia bernapas. Saat mengalami stres, napas akan cenderung cepat dan pendek. Hal ini terjadi sebagai akibat dari otak yang memberikan signal ke tubuh bahwa ada ancaman. Atau ketika ingatan akan trauma yang mengembalikan ingatan kita kepada peristiwa-peristiwa tak menyenangkan yang kita alami di masa lalu. Respons tubuh lebih kurang sama. 

Dari andil napas yang tepat bagi kesehatan mental saja kita sudah bisa mengembangkan berbagai potensi yang kita miliki akibat sumbatan yang selama ini menghuni saluran-saluran kreasi kita.

Beberapa manfaatnya, seperti:

  • Membantu kita berada dalam kondisi present dan berkesadaran
  • Meningkatkan kemampuan receiving
  • Membuka daya kreativitas
  • Meningkatkan rasa percaya diri dan self-love
  • Membantu mengembangkan relasi yang positif 
  • Membawa keceriaan dalam sikap keseharian 
  • Membantu memutus adiksi atau ketagihan
  • dan masih banyak lagi.

Baca juga: Mengenal Sabotase Diri dan Mekanisme Koping


Yuk, kita mulai kembali latih napas kita untuk hidup yang lebih berkesadaran, sehat mental, memetik hal-hal positif dari kehidupan, dan mengembangkan kreativitas demi diri sendiri dan semua makhluk. 

Untuk yang berminat belajar BCR demi hidup yang lebih berkesadaran, sehat mental dan spiritual, serta meningkatkan posibilitas diri, mari bergabung dalam kelas BCR. Hubungi aku lewat WA, ya. Kelas terdekat di Semarang.



Creation for Possibilities, Kelas untuk Pegiat Komunitas dari BCR

Sebanyak 24 orang mengikuti kelas Creation for Possibilities (CFP) dari Body Communication Resonance (BCR). Mereka datang dari beberapa kota dan bersama-sama mempelajari metode BCR pada Minggu (13/4/2025) bertempat di Klinik Utama Lineation, Jalan Lemahnendeut No.10, Kota Bandung.

Sebagai informasi, CFP merupakan bagian dari program CSR-nya BCR, berupa kesempatan belajar. Program ini bertujuan ikut memberikan kontribusi dalam menciptakan mental yang sehat dan memberdayakan komunitas. Syaratnya, apa yang sudah dipelajari di kelas tidak untuk dikomersialkan, melainkan murni untuk pelayanan. 

Baca juga: Pulihkan TRauma dan Ciptakan Hidup Selaras dengan BCR

Founder BCR, dr. Dhavid Avandijaya Wartono mengatakan bahwa penyelenggaraan CFP akan dilakukan minimal dua kali dalam setahun. CFP bulan lalu merupakan kali pertama sejak BCR diluncurkan pada Desember 2024.

"Program CFP ini merupakan bagian dari kepedulian kami terhadap kesehatan masyarakat secara umum. Kami berkomitmen untuk memberikan andil melalui modalitas yang kami miliki yakni BCR, dengan memberikan pelatihan pengetahuan dan keterampilan head therapy. Pelatihan dilakukan satu hari, teori dan praktik," ungkap dr. Dhavid.

BCR dirancang untuk dapat membantu kita membuat pilihan secara sadar. Dengan kesadaran itu kita menciptakan sebuah pilihan untuk membuat posibilities baru seperti delete luka batin agar kemampuan self healing kembali pulih, delete trauma agar tubuh kembali harmoni, dan lain-lain. Dengan menggunakan metode BCR ini diharapkan peserta CFP dapat memberikan layanan sesi gratis bagi yang membutuhkan, dalam komunitas mana pun mereka berkarya. 

"Melalui para peserta CFP ini kami berharap makin banyak orang yang dibantu dipulihkan. Karena healing adalah hak semua manusia," pungkas dr. Dhave.


Pengalaman Pasca Mengikuti Kelas CFP

Ada pengalaman-pengalaman unik yang dibagikan oleh peserta kelas. Semuanya mengakui adanya sensasi yang positif dari pengenalan metode BCR khusus di bagian kepala ini. Baik dari materi tertulis maupun praktik. 

Peserta dari Kuningan, Ida mengaku bersyukur sekali dapat mengikuti kelas CFP. 

"Alhamdulillah dengan mengikuti kelas ini saya bisa menambah pengetahuan akan diri sendiri dan tahu bagaimana cara melepaskan beban emosi negatif. Dan senangnya juga bisa membantu orang tersayang untuk rileks dan nyaman," ungkap Ida melalui pesan pendek yang disampaikan ke tim redaksi.

Ida pernah dalam perawatan psikiater karena gangguan mental yang dideritanya. Ia tidak menyerah, terus berusaha untuk bangkit. 

"Saya beruntung bisa dipertemukan dengan dokter Dhavid dan teman-teman di komunitas BCR. Saya bisa belajar untuk memulihkan diri sendiri dan mempraktikkannya untuk orang yang membutuhkan," tambahnya.

Di antara waktunya sebagai ibu dari dua anak dan menjadi pedagang jajanan, Ida akan memenuhi permintaan dokter Dhavid sebagai fasilitator untuk memberikan sesi secara cuma-cuma paling tidak untuk 30 orang. Ia berencana berbagi sesi buat orang-orang dekatnya dan lingkungan Sekolah Luar Biasa di Kuningan, tempat kerja suaminya.  

Baca juga: Trauma Bonding, Luka yang Sering Disangka Cinta

Hal senada disampaikan Yoss Dome. Peserta yang langsung datang dari Yogya ini mengatakan bahwa sebelumnya hanya mengenal cakra dari bacaan saja. Melalui kelas CFP, ia jadi lebih paham tentang cakra dan cara memperlakukannya. Bukan hanya mendapatkan pengetahuan baru, Yoss juga merasa bersyukur karena dipertemukan dengan orang-orang baik. Kini ia merasa lebih ikhlas menjalani hidup dengan persoalan kesehatan yang dialaminya dan melihat segala sesuatunya dengan lebih positif.

Bang Yoss atau Mas Yoss, begitu ia biasa dipanggil, mengabdikan dirinya pada berbagai aktivitas sosial dan kemanusiaan. Di antaranya sebagai relawan gempa dan tsunami, ikut membangun dan menjadi konsultan Dome House Building, sebagai relawan lembaga perlindungan saksi dan korban, dan masih banyak lainnya. Wilayah garapannya bukan hanya di Indonesia, bahkan hingga di Vanuatu, Pasifik Selatan dan Haiti, ketika dua kawasan ini diguncang gempa besar. 

Saat didiagnosis mengalami gagal ginjal dan harus melakukan hemodialisis atau cuci darah, ada banyak hal yang berubah dalam kehidupan Yoss. Ia harus beradaptasi, baik dengan tubuhnya sendiri maupun aktivitas di luar dirinya. Seorang Yoss yang sangat aktif, tiba-tiba harus menjalani pengobatan intensif yang cukup banyak mengambil jatah waktunya dan menahan tubuhnya terlalu banyak beraktivitas. Bukan hal mudah bagi Yoss untuk melakoninya. 

Proses dialisis sudah memasuki tahun kedua. Yoss sudah bisa beradaptasi dengan lebih baik. Pengenalannya akan BCR memberinya suntikan semangat baru untuk terus bergerak ke arah kebaikan. Setelah bergabung dalam kelas CFP, ia berkomitmen untuk membagikan pengetahuan dan keterampilang barunya. Saat ini Yoss terlibat dalam layanan pencegahan dan pendampingan terhadap korban kekerasan terhadap anak dan perempuan, serta pendampingan terhadap saksi atau korban dari sebuah tindak pidana.

Baca juga: Kamu Punya Perilaku Manipulatif? Kamu Butuh Trauma Healing

Bukan hanya peserta baru, kelas CFP juga memberikan pengalaman yang menarik dan seru bagi praktisi asal Semarang, Samuel Adi Nugroho. Lelaki yang akrab disapa Sem ini telah mempelajari cukup banyak modalitas, termasuk ikut kelas BCR Head and Body pada Februari lalu. Namun, bergabung kembali dengan kelas BCR khusus Head untuk program CFP ini ia mengalami sensasi-sensasi baru.

"Waktu kelas sebelumnya itu kan belum ada experience sama sekali. Nah, untuk kelas kemarin lebih banyak hal yang bisa digali dari materi maupun praktik bersama pasangan," ujar Sem.  

Setelah melakukan pembelajaraan di kelas BCR maupun sebagai peserta partisipan di CFP, Sem menyadari ada beberapa perubahan yang terjadi. Hal-hal yang tidak relevan, baik soal keseharian maupun energy works dari modalitas yang ia pelajari sebelumnya ikut terlepas. Sem juga mendapati pengalaman baru, yang belum pernah ia alami sebagai praktisi saat memberikan sesi kepada klien.

"Pernah terjadi, saat memberikan sesi mendadak mata berkunang-kunang. Pernah juga mengalami haus yang luar biasa. Padahal sesi berlangsung belum sampai satu jam," tuturnya.

Saat itu Sem menghentikan sesi. Pengalaman itu memberinya tantangan untuk terus mendalami BCR untuk menemukan kondisi yang lebih selaras. Bukan hanya ke diri sendiri, hal-hal menarik juga dijumpai Sem dalam pengalaman sesi BCR-nya dengan klien. Terjadi perubahan pola perilaku dalam diri klien, di antaranya soal makanan. Menurut pengakuan klien, apa yang sebelumnya mereka sangat suka, setelah menerima sesi BCR mereka menemui sensasi berbeda. Makanan menjadi tidak enak. Menurut Sem, kondisi tersebut menunjukkan bahwa kecerdasan tubuh mengikuti kesadaran yang bertumbuh.

Dengan pengalaman-pengalaman menarik--meski baru dalam beberapa bulan terakhir, Sem mengakui bahwa pembelajarannya akan BCR telah membawa perubahan yang luar biasa. Ia pun meyakini hal serupa akan dialami pembelajar lainnya, mengalami posibilitas yang tanpa batas.   

Bagi yang terpanggil untuk bergabung dalam Kelas BCR, kelas terdekat dilangsungkan di Semarang. Sila hubungi WA Dhenok Hastuti, ya.



Pendidikan Seks sebagai Bagian Penting dari Parenting

Kapan hari di medsos yang --menurutku-- paling berisik sekaligus bisa jadi sumber informasi, kutemukan satu thread yang membahas perselisihan yang terjadi antara pasangan (pacar). Lebih kurang dalam tayangan itu diceritakan si laki-laki marah gara-gara mendapati darah haid pacarnya tembus ke pakaian. Reaksi netizen beragam. Tapi sebagian besarnya menyebutkan si lelaki muda itu dianggap tak cukup mendapatkan pendidikan seks (sexual education). 



Baca juga: Mengapa Perempuan Perlu Bekerja

Sering kudengar cerita tentang anak-anak yang bertanya tentang alat kelaminnya. Atau bertanya proses kelahirannya. Atau keinginan mereka memiliki adik, yang konon bikin orang tua kewalahan untuk menjawabnya. Karena tak pernah berada di lingkungan dengan anak-anak, aku tak punya pengalaman berinteraksi dengan anak-anak secara langsung. Tapi rasanya cukup banyak kutemukan cerita yang menunjukkan bahwa sebetulnya anak-anak, bahkan dari usia balita memiliki tingkat keingintahuan yang tinggi. Pastinya sangat disayangkan jika keingintahuan itu tidak terpenuhi lewat pemberian informasi yang memadai. 


Kapan Pendidikan Seks Sebaiknya Mulai Diterapkan?

United Nations Educational, Scientific and Cultural Organization (UNESCO) membagi periode pendidikan anak dan remaja dalam kelompok usia, yakni: 5-8 tahun, 9-12 tahun, 12-15 tahun, dan 15 hingga di atas 18 tahun. Materi pembelajaran untuk anak-anak menyesuaikan pembagian usia tersebut. Termasuk bahasan terkait seksualitas.

Organisasi di bawah naungan PBB yang berfokus bidang pendidikan, ilmu pengetahuan, dan kebudayaan ini pada 2018 lalu mengeluarkan panduan mengenai pendidikan seks (International Technical Guidance on Sexuality Education). Disebutkan ada delapan topik yang perlu dibahas dalam pendidikan seksualitas, meliputi: 

  • Relasi 
  • Hak asasi dan seksualitas dalam budaya 
  • Gender 
  • Pencegahan terhadap kekerasan seksual 
  • Kesehatan dan kesejahteraan terkait seksualitas 
  • Tubuh manusia dan pertumbuhannya 
  • Seks dan perilaku seksual 
  • Kesehatan reproduksi 

Penjabarannya tak selalu mudah, terutama bagi lingkungan dan orang-orang yang menganggap seksualitas adalah hal tabu. Padahal UNESCO memberikan gambaran materi yang terbilang memudahkan. 

Dua kelompok pertama adalah anak-anak usia Sekolah Dasar (SD).

Untuk kelompok usia pertama, TK hingga kelas 3 SD dapat diberikan pemahaman tentang keluarga dan peran setiap anggota keluarga. Diperkenalkan pada organ tubuh, perbedaan organ laki-laki dan perempuan, dan perlunya menjaga privasi terkait organ tubuh. Terhubung pula dengan bahasan soal hubungan sosial yang sehat.  

Untuk siswa kelas 4 – 6 SD dapat dilakukan pengulangan dari materi kelas sebelumnya dengan ditambahi soal kesehatan organ reproduksi, konsep diri, dan etika berelasi sosial. Termasuk di dalamnya cara melindungi diri dari pelecehan atau kekerasan seksual. 

Di kelompok tiga, kita dihadapkan kepada anak-anak usia Sekolah Menengah Pertama (SMP).

Memasuki SMP, anak-anak sudah mendapatkan mata pelajaran biologi, yang di antaranya mempelajari tubuh manusia. Di masa ini bisa disampaikan materi soal aneka macam relasi sosial yang lebih intim seperti pertemanan, pacaran, suami-istri. Konsep gender juga bisa diberikan, juga serta perilaku seksual dan konsekuensinya. Tak ketinggalan bahasan soal kesehatan reproduksi termasuk siklus menstruasi dan kehamilan.  

Pengenalan terhadap fisik manusia juga perlu dibarengi dengan konsep penghormatan terhadap tubuh. Dengan begitu dapat dicegah potensi perilaku pelecehan maupun sebagai korban tindak pelecehan. 

Kelompok terakhir, anak-anak usia Sekolah Menengah Atas (SMA) hingga perguruan tinggi.

Pada jenjang ini, para pengajar tetap perlu membahas ulang materi yang telah disampaikan sejak jenjang awal, semata memastikan para siswa memiliki pemahaman yang setara mengingat kemungkinan mereka tidak mendapatkan materi yang seragam. Materi berikutnya adalah tentang kehamilan dan kelahiran, pengendalian kelahiran, hak reproduksi, serta tugas dan peran gender. Di usia menuju dewasa ini, pembelajaran tentang kesehatan seksual makin kental, dibarengi dengan kesadaran akan dampak perilaku seksual. Mereka juga sudah mulai dibekali pengetahuan tentang membangun keluarga yang sehat. 

Baca juga: Berhati-hatilah dengan Siapa Kamu Bercinta


Bagaimana Penerapan Pendidikan Seks di Sekolah?

Siapa yang tidak miris mendengar kabar peristiwa pencabulan hingga pemerkosaan yang terjadi di lingkungan pesantren. Bukan perihal lingkungannya, itu bahasan yang lain. Kebetulan saja kasus yang akhir-akhir ini berendeng muncul adalah laporan pelecehan seksual terhadap anak-anak didik di pesantren. Yang kondisinya bahkan hingga si anak-anak perempuan itu hamil. 

Mendapati kabar-kabar itu, buatku pribadi, mengisyaratkan bahwa pendidikan seksual belum dijalankan dengan baik. Di lingkungan sekolah maupun di rumah.

Seperti dikutip CNN Indonesia (cnnindonesia: kemdikbud-pendidikan-seks-sudah-masuk-kurikulum/21 Mei 2016), Direktur Pendididikan Dasar dan Menengah Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan Hamid Muhammad menyatakan bahwa mereka telah memasukkan materi pendidikan seksual pada 2013 untuk tiap jenjang pendidikan dalam kurikulum pembelajaran. Ia mengakui bahwa materi pendidikan seksual tidak dicantumkan dalam kurikulum. Namun, secara eksplisit masuk dalam pendidikan kesehatan reproduksi. 

Hamid Muhammad menyampaikan hal tersebut sebagai bantahan atas opini yang beredar di masyarakat yang menganggap Kemdikbud abai terhadap isu pendidikan seks ini. Saat itu (2016), Hamid mengklaim pendidikan seksual tidak perlu dijadikan kurikulum tersendiri. Menurutnya, selama pihak sekolah bisa menyampaikan materi pendidikan terkait kesehatan reproduksi, pelajar bakal bisa memahami soal seksualitas. Saat itu, tampaknya detail model pengajaran diserahkan ke masing-masing sekolah. Dengan begitu, rasanya sulit, ya, untuk membuat evaluasinya. 

Sayangnya aku tak berhasil menemukan sumber informasi terbaru soal kebijakan pendidikan seks ini dikaitkan dengan kurikulum sekolah. Tolong ingatkan, ya, kalau memang pasca UNESCO mengeluarkan rekomendasi pembelajaran tentang pendidikan seks ada kebijakan baru dari pemerintah. 

Sejauh ini, dalam bayanganku detail pendidikan seksual ini diserahkan ke masing-masing institusi. Kemudian menjadi penting apa yang harus disiapkan orang tua. Bagaimana topik-topik soal pendidikan seks bisa dijadikan bagian dari parenting modern. Orang tua membekali anak-anaknya dengan pemahaman yang tepat perihal seksualitas. Tak perlu dilakukan pembatasan aktivitas anak jika mereka memahami pilihan tindakannya. 

Dengan kelonggaran akses internet, keingintahuan anak-anak perihal seksualitas dapat dengan mudah dipenuhi oleh internet, yang berpotensi melahirkan perbedaan nilai. Tetap, menjadi PR bagi orang tua agar anak-anak memiliki pemahaman yang tepat tentang seksualitas. Pada saatnya, mereka tahu cara menempatkan diri di tengah lingkungannya, tak lagi gagap saat ada persoalan datang. Mereka akan menjadi anak-anak yang memahami tubuh dan dirinya secara utuh, dapat melindungi diri dari pelecehan dan kekerasan seksual, dapat berlaku adil terhadap sesama. 

Pendidikan seks yang tepat dapat membawa generasi muda menuju masa depan yang sehat. Tanpa asumsi, tanpa prasangka, tanpa penghakiman, menghargai tubuh, dan menghormati pilihan orang lain. 

Baca juga: Kekerasan Verbal dan Trauma Healing



 

Tak Cuma Percantik Penampilan, Perhiasan Miliki Sejarah dan Perkembangan yang Unik

Siapa bilang perhiasan hanya milik kaum perempuan? Dalam sejarahnya, laki-laki juga gemar mengenakan perhiasan. Tentunya sesuai dengan peruntukannya pula. Pada setiap masa ada kekhasan, seturut dengan peristiwa budaya. Misalnya, di masa lalu, perhiasan terutama yang dikenakan kaum lelaki bukan sekadar penghias tubuh melainkan lebih memiliki fungsi sebagai senjata, menjadi perangkat "tolak bala". Begitu pun dengan bahan yang dipakai. Di era terdahulu, bahan perhiasan semata diambil dari alam. Perkembangan berikutnya memanfaatkan banyak sumber daya lainnya. 

Baca juga: Memilih Batu Kristal yang Selaras dengan Energi Kita

Tahun kemarin sempat menerima pekerjaan penulisan, membuat narasi tentang museum yang rencananya akan didirikan di IKN. Jadi terpikir buat menyalin sebagian informasinya di sini. Karena dari hasil perburuan data, ternyata seru. Negeri kita ini betul-betul kaya akan budaya. Bahkan urusan perhiasan saja unik ceritanya.


Fungsi Perhiasan dalam Perkembangannya

Indonesia memiliki wilayah yang luas, terpisah-pisah oleh laut, dan masing-masing memiliki tradisinya yang khas. Jadi, bisa dibayangkan jika semua produk budaya tercatat lengkap semua secara detail. 

Dari sejumlah referensi yang kudapatkan, setidaknya ada 5 fungsi perhiasan yang pernah berlaku di tanah air. 

Simbol status 

Simbol status ini masih berlaku di masa kini. Ditandai dengan bahan yang digunakan, misalnya emas, perak, permata, dan batu-batuan atau jenama tertentu. Sebuah jenama bisa mewakili harga dan kelas atau status sosial. 

Di masa lalu, simbol status itu mewakili keluarga kerajaan atau keluarga jelata. Kalangan jawara atau rakyat biasa. Kalangan kaya atau golongan miskin. 

Contohnya, perhiasan Mamuli dari Sumba biasa digunakan oleh keluarga raja atau pemimpin  masyarakat. Kalung Kalububu dari Pulau Nias menandakan pemakainya adalah seorang telah berhasil mengalahkan musuh. Mahkota yang terbuat dari emas dan permata merupakan simbol seorang raja atau sultan.

Baca juga: Wisata Kuliner dan Religi di Bali, 2024


Penolak bala

Apakah perhiasan dengan fungsi ini masih berlaku hingga kini? Masiiiiih! Banyak orang yang mempercayai hal tersebut. Namun, di masa lalu, perhiasan sebagai penolak bala ini direncanakan dengan sungguh-sungguh sebagai bagian dari tradisi.

Di Kalimantan, orang Dayak mengenakan perhiasan kalung yang terbuat dari manik-manik berbahan tulang dan taring binatang yang diharapkan akan menambah kekuatan pemakainya. 

Di Lombok, ada kalung berupa untaian beberapa komponen dalam bermacam bentuk, seperti emas, perak, dan batu mulia yang dikemas dalam aneka bentuk binatang. Ornamen lainnya berupa uang kepeng, manik-manik dari batu dan kaca, perak berbentuk lempengan, dan lain-lain. Kalung ini menghindarkan pemakainya dari segala rintangan dan bahaya yang mengancam.

Di Papua, banyak suku di sana menggunakan perhiasan berupa kalung berbahan biji-bijian, kuku dan taring binatang buas. 

Di Sulawesi Tengah ada perhiasan Taiganja. Bahannya umumnya perak. Bagi yang berduit, bahannya bisa dari emas. Perhiasan yang bentuknya menyerupai bentuk alat vital perempuan ini berfungsi sebagai pelindung dari pengaruh jahat.

Sarana pengobatan

Para pencinta batu perhiasan, biasanya meyakini bebatuan itu memiliki energi tertentu yang dapat membantu manusia, di antaranya untuk pengobatan. Misalnya agate atau akik diyakini bisa membantu menurunkan demam. Topas dapat mencengah penyakit dalam akibat luka bakar. Safir biru berfungsi sebagai penolak racun. Giok memabntu atasi masalah pencernaan. Dan sebagainya. 

Kepercayaan ini dipupuk sejak masa lalu. Perhiasan terbuat dari material tertentu dengan bentuk khusus yang dianggap memiliki kekuatan. Bisa juga bentuk asli benda yang diyakini memiliki kekuatan gaib seperti kuku atau taring binatang. Selain itu, bebatuan juga merupakan material penting pengobatan. 

Aksesori penari

Salah satu fungsi tarian adalah sebagai bagian dari ritual. Saat tampil, para penarinya dilengkapi dengan aneka perhiasan. Kini, tarian tak hanya bagian ritual namun juga pertunjukan. Tentu saja perhiasan sebagai pelengkap akan dibuat semeriah dan semewah mungkin agar tampil maksimal. 

Bekal kubur

Ada yang nyaris seragam dalam tradisi berbagai suku di tanah air dalam pemanfaatan bebatuan dan cangkang kerang. Sejak masa prasejarah, perhiasan-perhiasan tersebut dijadikan bekal kubur.

Temuan arkeologis terkait perhiasan sebagai bekal kubur itu dapat ditemukan di antaranya di Kubur Batu Pandusa, Bondowoso, Waruga di Sulawesi Utara, Batu Dolmen di Sumba, Situs Pasir Angin di Bogor, Situs Gilimanuk di pantai Barat Bali.



Baca juga: Menjajal Trans Metro Pasundan


Museum Perhiasan

Apakah kamu tertarik dengan museum khusus perhiasan? Aku, sih, iyes! Hasil pencarian di dunia maya, meski tak banyak, ada beberapa museum yang mengkhususkan diri menampilkan perhiasan.


Museum Perhiasan Runa

Museum ini didirikan dan dikelola oleh Runa Palar bersama sang suami, Adriaan Palar. Pasangan ini mendirikan museum tersebut pada 1976, menjadi museum ini disebut-sebut sebagai museum perhiasan pertama di tanah air. Awalnya adalah kegemaran mereka dalam merancang busana dan membuat perhiasan sendiri, baik dari bahan perak atau emas. Produk Runa yang bisa ditemukan di museum yang berlokasi di Gianyar, Bali ini antara lain kalung, cincin, gelang, bros, giwang, dan lain-lain. Selain perak dan emas, perhiasan dilengkapi dengan batu mulia atau semi mulia. 


Museum Naga Sanga Amurwabhumi

Aku pernah mengunjungi museum ini. Lokasinya di Denpasar. Pemiliknya adalah keluarga I Nyoman Eriawan yang juga pemilik jenama UC Silver Gold.

Selain membuat produk yang bisa langsung dibeli oleh pengunjung, UC Silver Gold membangun museum yang direncanakan untuk menampilkan jejak sejarah perhiasan Nusantara. Meski tak selengkap yang direncanakan semula, namun buatku sendiri sangat menarik dan layak kunjung. Ruangan museum diwarnai bongkahan batu alam dan piranti dari kayu yang sudah berumur. Yang monumental tentunya patung naga yang terbuat dari 720 kilogram perak murni 925 sterling, dengan panjang 20 meter, lebar 1,35 meter, dan tinggi 1,8 meter. Sang Naga ini dikerjakan dalam kurun 5 tahun. 

Selain untuk beli perhiasan emas, di UC Silver Gold ini juga dilengkapi dengan workshop yang menampilkan cara membuat perhiasannya. 


Baca juga: Melihat dari Dekat Naga Sanga Amurwabhumi


Cukup dua ini saja yang kutemukan. Barangkali ada yang punya referensi terkait museum perhiasan, boleh berbagi informasinya, ya.

Museum-museum umum juga memiliki koleksi perhiasan meski tak banyak. Biasanya ada spot khusus untuk memajang perhiasan lengkap dengan catatan sejarahnya. Baik perhiasan asli yang datang dari masanya maupun sekadar replika. Pada momentum tertentu akan digelar pameran khusus dengan tema perhiasan nusantara. Ini seperti yang kutemukan dalam salah satu kegiatan yang diselenggarakan oleh Museum Adityawarman, Padang, yang pada Oktober 2022 lalu menggelar pameran perhiasan yang menampilkan secara khusus sebanyak 90 koleksi, yakni 75 koleksi emas dan perak milik Museum Adityawarman, sisanya adalah koleksi milik Museum Kotagede Yogyakarta.

Lalu, bagaimana kelanjutan museum perhiasan yang sedianya akan dibangun di IKN? Entahlah, aku tak mendapatkan informasi perkembangannya. Padahal bisa jadi banyak yang ingin mengunjungi museum khusus perhiasan ini, atau sekadar jalan-jalan di kawasan IKN. Namun, mau di IKN atau di lokasi lain, sepertinya menyenangkan sekali memiliki museum khusus perhiasan Nusantara. 

Baca juga: Mengenal Tempat Pemujaan Umat Hindu

Pulihkan Trauma dan Ciptakan Hidup Sehat Selaras dengan Terapi BCR

Trauma healing merupakan topik yang sering kuangkat di blog. Mengapa? Karena aku tahu persis. Aku menghadapi orang-orang yang mengalaminya. Aku sendiri mengalaminya. Aku merasakan dampaknya, baik bagi pertumbuhan mental dan batin diri sendiri maupun dalam interaksi dengan orang lain. Bukan cuma sekali-dua kali aku mencari solusi. Mulai dari pengobatan psikiatri hingga pengobatan alternatif lainnya. Terakhir, aku dipertemukan dengan Body Communication Resonance (BCR), sebuah metode energi terkait kesadaran dan kesehatan yang dikembangkan oleh dr. Dhavid Avandijaya Wartono.


Baca juga: Trauma Bonding, Luka yang Sering Disangka Cinta


Aku menuliskan ini sebagai bagian dari perjalanan panjang trauma healing. Titik mulanya adalah saat aku sudah di Bandung, masih berstatus mahasiswa sekaligus bekerja di sebuah radio siaran di Bandung. Saat itu menemukan kawan senior yang kurasa pas sebagai tempat bercerita. Trauma terkait pelecehan seksual yang dilakukan oleh orang-orang dekat dan kekerasan verbal yang dilakukan orang tua. Usai bercerita, aku seperti mengalami korslet. Barangkali karena terlalu lama menyimpan cerita itu sendirian, mencoba mengelola emosi sendirian. Ini awal perkenalanku dengan obat-obatan dari psikiater. Namun, ini sekaligus menjadi pengantar aku melakukan upaya untuk hidup lebih baik.


Pengalaman Traumatis dan Perkenalan dengan Terapi BCR


Pada banyak catatanku tentang trauma, aku selalu mengingatkan tentang pentingnya kesadaran bahwa diri kita memiliki trauma. Karena hal itu merupakan solusi pertama sebelum menemukan solusi berikutnya. Banyak terjadi orang menafikan trauma yang digendongnya bertahun-tahun. Selalu berusaha menutupi rasa sakit, takut, dan emosi lain yang menyertai dengan mengatakan "aku baik-baik saja" atau "aku oke, kok". Kalimat-kalimat yang memanipulasi kondisi diri sendiri tersebut pada akhirnya tanpa disadari telah memengaruhi pikiran bawah sadar, tentang bagaimana kita memandang dunia, pola interaksi sosial, hingga pertimbangan-pertimbangan dalam mengambil keputusan. 

Trauma bisa dialami oleh siapa pun. Skalanya saja yang berbeda. Selain itu juga bergantung pada cara menyikapinya. Tapi, aku yakin, setiap orang memiliki trauma. Sayangnya tak semua mau mengakui apalagi berusaha untuk memulihkannya.

Aku sendiri memilih untuk pulih, untuk hidup lebih sehat, dan jika memungkinkan bisa memberikan andil bagi sekitar. Prosesku terbilang lama, mengalami pasang surut, bolak-balik ke kondisi awal. Kini, dengan sekian pengalaman terbaru, kusadari dalam prosesku selama ini ada masalah dalam receiving. Selain itu, karena berulang kali salah dalam mengambil keputusan akhirnya terus terjebak dalam masalah yang sama. 

Seperti yang kutulis di pengantar, aku mengawali upaya pemulihan dengan berkonsultasi ke psikolog, yang lalu disarankan menemui psikiter. Kebetulan psikolog dan psikiater ada di lingkaran aku kerja. Cukup dimudahkan. Pada tahun-tahun berikutnya sempat menghilang, tak peduli dengan aneka trauma yang membuatku makin tenggelam dalam keputusan-keputusan yang semakin menjauhkanku dari "sehat secara mental". 

Baca juga: Kamu Punya Perilaku Manipulatif? Kamu Butuh Trauma Healing


Singkat cerita, aku kembali menemukan "cahaya" yang hilang, mencoba menelusurinya kembali dan berusaha meraih kesadaran diri yang bertahun raib. Hingga ada di titik pertemuan dengan komunitas Hidup Ceria di acara Sunday Ceria yang dibawakan oleh dr. Dhavid Avandijaya Wartono.

Seorang kawan mengabariku agenda zoom meeting, salah satu tema di Halloween Series. Cek website, hubungi admin untuk tanya beberapa hal, lalu begitu saja nyemplung ke kegiatan mereka. 

Beruntung, tak lama dari perkenalan itu, ada sesi gift yang ditawarkan oleh dokter yang akrab disapa dok Dhave ini. Terapi BCR jarak jauh. Tentu saja aku langsung tertarik. 

Terapi jarak jauh ini menggunakan media whatsapp. Belakangan kuketahui bahwa terapi ini merupakan upaya dr. Dhave mematangkan modalitas barunya. Sepanjang bulan Desember 2024 berlangsung sesi jarak jauh sebanyak 4 batch, masing-masing butuh waktu 4 hari; dengan rincian per harinya untuk: 

  1. Trauma dan luka batin (phobia traumatic event, nontraumatic event, depresi, anxiety)
  2. Healing pain
  3. Chakra, meridien, elemental clearing
  4. Energy and entities experience 


Aku mengikuti 3 kali sesi jarak jauh. Tidak di semua hari dan pengalaman sensasinya berbeda-beda. 

Misalnya pada sesi jarak jauh pada 9 Desember, kusampaikan pengalamanku: 

"Saya merasakan hangat, lebih lapang, lebih gembira. Apa artinya saya sudah baik-baik saja, dok? Karena saya berjibaku dengan poin satu ini udah lama banget. Mulai dari psikiater dan aneka terapi. Terakhir hypnotherapy yang sampai muntah-muntah terus sepanjang sesi. Belakangan sudah lebih baik, tapi masih gampang ketrigger."

Dr. Dhave memberikan responsnya: 

"Keren, dong. Jangan dikenang. Seperti BAB di WC, flush and goodbye for good. Jangan dicari, jangan dikorek, jangan diungkit lagi."

Baca juga: Berdamai dengan Inner Child


Selain sesi jarak jauh, ada tawaran untuk mencoba sesi "touch". Senang sekali. Kurasa ini bakal lebih seru dibandingkan sesi berjarak. Dan memang demikian adanya. 

Pada sesi touch pertama, kucatat: 

"Diawali rasa hangat yang menjalar ke seluruh badan. Lalu terasa ada yang dicabut dari dada. Beberapa kali. Tidak terlalu sakit, tapi terasa saja. Lalu dada rasanya seperti sesak, pengin keluar. Jadilah batuk terus. Lucunya, berasa seperti lihat prosesnya. Melihat dan seolah tidak terlibat. Misalnya, tiba-tiba menangis. Saya sadar kalau menangis, tapi sekaligus juga bertanya: kenapa saya menangis? Seperti melihat orang lain. Begitu pula saat anggota badan bergerak sendiri. Saya tidak menyuruh, tidak pula menahan. Hanya bilang dalam hati: ih, kok badanku gerak sendiri?" 

Pada sesi touch 23 Desember: 

"Sensasinya beda sekali dengan yang pertama. Tidak mengalami sakit sama sekali. Yang pertama terasa pendaran di jidat. Datang berulang. Lalu ada beberapa titik yang saya merasa dilempar ke tempat luas yang serba putih, lalu ngantuk sangat. Terjaga, muncul sensasi yang lain. Lalu dikembalikan ke area putih.

Yang menakjubkan terjadi di 2/3 waktu. Seperti dibangunkan oleh tamparan cahaya. Awalnya putih, lalu berganti emas. Warna emasnya lama sekali. Setelahnya baru berubah-ubah. Pelangi. Saya merasa sedang tersenyum dan menitikkan sedikit air mata. Tapi tidak menangis. Setelahnya berjalan lebih tenang, sampai selesainya."


Pada awal Januari 2025 aku mengalami peristiwa yang bikin jebol pertahananku. Bahkan aku melakukan hal yang sebelumnya tak pernah terpikir bisa kulakukan. Hal yang menyakiti diri sendiri. Kok bisa? Aku pun kini mempertanyakannya ke diriku. Kondisi mentalku jeblok lagi. Rasanya harus merangkak lagi dari bawah. 

Setelah peristiwa itu, ada dua sesi touch lagi yang kuikuti. Pelan tapi pasti, aku menemukan diriku. Aku menemukan kembali tujuanku. Aku bisa memilih dengan sepenuh kesadaranku.   


"Segala sesuatu terjadi pasti ada alasannya." Ini hal yang sering kita dengar. Betul adanya. Tapi dr. Dhave memberiku kalimat yang lebih spesifik yang buatku itulah hal penting yang harus kujadikan alasan.

"Kamu diberikan pengalaman itu karena kamu mampu. Kamu bisa menjadikan pengalaman itu sebagai kontribusi dalam tugas di hidupmu. Dengan kontribusi itu kamu bisa membantu mereka yang punya pengalaman sama denganmu. Karena itu, kalau ada apa-apa, don't take it personal, don't make it significant. Terima saja." Begitu kata dr. Dhave dalam suatu sesi.


Hal penting lainnya yang diingatkan oleh dr. Dhave adalah penggunaan "bahasa korban". Ciri dari bahasa korban adalah menganggap diri lemah, inferior, dan orang lain sebagai penyebab.

Bahasa korban: aku nggak mampu, aku nggak bisa, gara-gara dia aku begini, aku disakiti orang, aku dihina orang, aku sedih gara-gara dia, aku sakit, aku menderita, dll. 

Bahasa itu energi. Bahasa memiliki kuasa. Biasakan untuk memilih kalimat sehari-hari tanpa kata yang melimitasi.

Biasakan: aku tahu, aku mampu, aku bisa, aku mahir, aku menyadari, aku baik, aku berdaya, dll.


Perkenalanku dengan BCR lewat sesi-sesi gift yang diberikan dr. Dhave mendorongku untuk bisa mempelajarinya lebih jauh. 

Baca juga: Mengenal Sabotase Diri dan Mekanisme Koping


Berkenalan dengan BCR


Apa itu BCR? Dr. Dhavid Avandijaya Wartono:

Terus terang belum ada kata yang tepat untuk menggambarkan apa itu BCR. Bisa dikatakan BCR adalah modalitas yang memenuhi seluruh energy works seperti cakra, meridien, limfatik, elemental, energi, dll yang digunakan untuk men-delete limitasi kita, mengubah sesuatu dan memberdayakan hidup. Melahirkan perubahan yang signifikan.


Dokter Dhave ini telah bertahun-tahun lamanya  mendalami dunia energi. Ia merupakan salah satu Certified Access Facilitators Indonesia, Talk to the Entities Certified Facilitator, sekaligus praktisi Access Bars, Facelift, Talk to Entities, Talk to Animal, X-Men, ESSE, Abuse Hold, dan praktisi dari berbagai Access Body Process.

Dari pengalamannya memfasilitasi berbagai kelas, dr. Dhave menemukan banyak partisipan atau peserta kelas yang akhirnya bisa menjalankan kesehariannya dengan lebih baik. Di antaranya karena mereka berhasil sembuh dari psikosomatisnya, terbebas dari depresi dan gangguan kecemasan, dan rasa percaya diri yang meningkat. Selain perasaan nyaman arena berbagai perubahan tersebut, hal terpenting adalah bahwa mereka memiliki keberanian untuk menentukan jalan terbaik bagi kehidupannya.

Pada 2024 lalu, dr. Dhave menciptakan Body Communication Resonance (BCR), yang merupakan gabungan dari berbagai ilmu dan pengetahuan di bidang energi, mental, dan spiritual. BCR merupakan modalitas energi untuk mengenal jati diri, memberdayakan kesadaran, hingga melatih peningkatan frequensi, serta melepaskan trauma dan luka batin. Dengan memahami sinyal di tubuh sendiri, kita dapat belajar mengelola, menyalurkan, dan mengarahkan energi secara sadar untuk menciptakan harmoni dan transformasi dalam kehidupan kita.

Baca juga: Menemukan Makna Hidup dari Viktor E Frankl


Proses dalam mengolah modalitas baru ini, menurut dr. Dhave sudah dimulai dari tiga tahun sebelumnya. Dari awal mendapatkan insight untuk mengembangkan modalitas ini, menyiapkan materi, dan mempraktikkannya secara langsung. Untuk mematangkan modalitas baru ini, dr. Dhavid memberikan sesi terapi jarak jauh, yang selama bulan Desember kemarin pesertanya mencapai 200 orang. Sedangkan terapi sentuh (touch) hingga minggu lalu sudah terwakili oleh 60 orang, tersisa 40 orang dari jumlah peserta yang ditargetkan.

Pendekatan terapi BCR adalah dengan melihat tubuh sebagai energetic being, dengan 144 chakra dan 20 meridien yang memengaruhi keseimbangan serta kesehatan. Ada banyak manfaat yang bisa diperoleh melalui terapi BCR ini, baik bagi kesehatan fisik maupun psikis. 

Dr. Dhave mencontohkan dalam menangani cakra ajna. Selama ini kita hanya tahu cakra ini hanya ada satu yang letaknya di dahi, sedikit di atas garis antara mata kiri dan kanan. Padahal cakra ajna memiliki 4 titik, dua di antaranya terkait posibility dan prosperity. Nah, terapi BCR dapat membantu yang cakra ajna yang overactive atau sebaliknya, underactive.


Cakra mata ketiga yang terlalu aktif dapat menyebabkan aktivitas mental terasa membebani, dan dapat menyebabkan distorsi persepsi. 

Distorsi persepsi ditunjukkan melalui gejala: 

  • Halusinasi 
  • Delusi 
  • Mimpi buruk 
  • Paranoia
  • Kesulitan berkonsentrasi
  • Obsesi terhadap kemampuan psikis
  • Disosiasi (dari dunia fisik)


Sebaliknya, cakra mata ketiga yang kurang aktif yang juga dikenal sebagai ketidakseimbangan cakra ajna, dapat menyebabkan sejumlah gejala, antara lain:

  • Sakit kepala
  • Masalah penglihatan
  • Gangguan suasana hati
  • Kurangnya fokus
  • Kebingungan
  • Keyakinan yang membatasi diri
  • Merasa terputus dari diri sendiri atau memiliki pikiran negatif 
  • Insomnia

Baca juga: Kesehatan Mental dan Skala Hawkins


Pada 14-16 Februari 2025 mendatang dr. Dhave mengadakan kelas pelatihan BCR. Ini merupakan kelas pertama. 

Siapa saja yang bisa ikut pelatihan? Siapa pun yang tertarik. Termasuk yang tak pernah belajar dan bersentuhan dengan modalitas berbasis energi. Pembelajarannya akan dilakukan dari dasar. 

Aku sendiri sebetulnya cukup banyak mempelajari soal healing berbasis energi. Namun, terasa masih mengawang-ngawang, merasa belum mendapatkan manfaat optimal. Selain soal perceiving, menurut dr. Dhave ada kemungkinan selama ini tak cukup diarahkan untuk memahami betul modalitas yang dipelajari.

"Kenapa belum bisa bekerja? Ya, gimana, subtle bodies nggak ngerti, healing hands belum jalan, generator cakra utama masih kecil. Menjangkau semestamu sendiri saja belum selesai. Kamu masih belum paham skill-nya." 


Dr. Dhave memastikan untuk pelatihan BCR pada 14-16 Februari nanti peserta akan dilatih mulai dari hal paling mendasar yakni mengalami sensasi di telapak tangan. Berikutnya berlanjut ke hal-hal yang lebih dalam. BCR bisa menjadi dasar penting bagi pengembangan modalitas lain untuk pemulihan kesehatan baik fisik maupun psikis. 

Aku sudah mendaftar untuk bergabung. Kamu tertarik? Boleh hubungi aku via nomer WA-ku seperti tercantum di flyer




Baca juga: Stoikisme dan Upaya Melakoni Hidup Lebih Baik