12 Years A Slave, Potret Muram Perbudakan


Film tentang perbudakan selalu menyisakan rasa miris dan pertanyaan: mengapa manusia bisa demikian kejam? Klise ya? Tapi memang pertanyaan itu yang juga muncul dalam benakku setelah menuntaskan 12 Years A Slave. Lalu film ini pun menjadi bagian dari koleksi, yang kapan-kapan perlu tonton lagi.



12 Years A Slave mengangkat kisah Solomon Northup (Chiwetel Ejiofot) yang menjadi korban perbudakan. Tak tanggung-tanggung, seperti judulnya, selama 12 tahun. Sebuah kondisi yang sama sekali tak pernah pernah terlintas di benak Solomon. Ia memang lelaki berkulit hitam. Namun ia hidup sebagai manusia bebas. Ia tinggal bersama istri dan dua anaknya di Saratoga, New York. Solomon adalah seorang pemain biola dan cukup terpandang di kalangan masyarakat. Ia hidup bahagia bersama keluarganya hingga ia berjumpa dengan Theophilus Freeman (Paul Giamatti). Dari pria ini Solomon mendapat tawaran untuk bergabung dengan rombongan sirkus sebagai pemain biola. Iming-iming bayaran yang lumayan membuatnya tergiur. Kepada istrinya ia menjanjikan kehidupan yang lebih baik. Sayangnya tawaran tersebut hanya perangkap yang disiapkan oleh Freeman, yang sesungguhnya adalah seorag penyalur budak. Bersama para kulit hitam lainnya, Solomon pun kemudian mulai ditawar-tawarkan kepada para pemilik perkebunan.

Maka demikianlah, dengan nama baru –Platt, Solomon pun mulai menjalani 12 tahun kehidupannya sebagai seorang budak. Ia beberapa kali berpindah tuan. Berkali-kali ia mengalami dan menyaksikan peristiwa mengenaskan. Solomon pernah menjadi budak William Ford (Bennedict Cumberbatch), seorang tuan tanah yang baik hati. Tapi ia berakhir di perkebunan kapas milik Edwin Epps (Michael Fassbender) yang dikenal sebagai tuan yang kejam kepada para budaknya. Sebagai seorang anggota masyarakat yang pernah hidup bebas, tak serta merta Solomon memberikan perlawanan. Ia cukup cerdas untuk menghitung. Cukup bersabar menerima segala perlakuan buruk, demi bebas pada masanya kelak. Ia tak ingin mati sia-sia.

Ada cukup banyak adegan kekerasan dalam film ini. Kebrutalan yang khas ditunjukkan oleh film dengan latar perbudakan, kita temukan pula di film ini. Para tuan dengan entengnya menyiksa budak-budak miliknya. Dicambuk dengan kejam dan diperlakukan tak manusia; para budak diperjualbelikan dengan semau-mau tuannya, seolah mereka binatang dagangan. Manusia yang digantung di pohon karena melawan tuannya, menjadi pemandangan yang wajar.

Film garapan Steve McQueen ini menghadirkan banyak nama populer. Selain Cumberbatch dan Fassbender juga ada nama Paul Dano, Lupita Nyong'o, Paul Giamatti, dan Brad Pitt yang juga bertindak selaku produser. Sedangkan Ejiofot cukup banyak bermain dalam miniseri di televisi. Akting mereka tentunya tak diragukan lagi. Tapi selain tokoh-tokoh pentingnya, para pemeran pembantu juga melakonkan perannya dengan baik dan menjadikan film yang diangkat dari memoir berjudul sama milik Solomon ini memang layak tonton. Musik garapan Hans Zimmer seperti biasa, memberikan peran yang sangat baik dalam membangun  suasana.

Dan meski tak menjadi film terbaik pilihan Oscar, Steve McQuenn diganjar penghargaan untuk kategori Best Picture, yang menjadikannya sebagai produser kulit hitam Inggris pertama yang mendapatkan penghargaan bergengsi ini. Oscar juga diserahkan kepada Nyong'o untuk kategori Best Supporting Actress, dan John Ridley untuk kategori Best Adapted Screenplay.  Golden Globe memberi film ini award untuk kategori Best Motion Picture – Drama, sedangkan British Academy of Film and Television Arts menganugerahi predikat Best Film dan Best Actor.

No comments