Showing posts with label review. Show all posts

Anjing Mengeong, Kucing Menggonggong, Novel Terbaru Eka yang Menyorot Tradisi Beragama

Buat pencinta anjing atau kucing, jangan terkecoh. Ini buku sama sekali tak bercerita tentang kedua binatang berbulu tersebut. Berbeda dengan dua buku Eka Kurniawan yang telah kubaca sebelumnya tanpa diawali dengan referensi apa pun, untuk buku Anjing Mengeong, Kucing Menggonggong aku sempat hadir di sesi diskusi penulis di Gramedia Merdeka, Bandung. Jadi, sudah berbekal bahan bahwa buku ini terkait nama Sato Reang dan banyak bicara soal tradisi beragama.



Baca juga: Cantik Itu Luka, Kisah Perempuan-Perempuan dengan Luka

Di buku ini gaya Eka, setidaknya dari dua buku yang sudah kubaca, masih terasa. Lugas dan telanjang. Meski terasa lebih "santun". Barangkali karena mengangkat tema terkait spiritualitas. Pilihan katanya masih bikin aku ngakak, dimulai dari halaman pertama. 


Sinopsis

Dalam Anjing Mengeong, Kucing Menggonggong, Eka menonjolkan satu karakter saja, dari kecil hingga dewasa. Namanya Sato Reang. Dalam bahasa Sunda, sato artinya hewan atau binatang. Nah, reang aku belum pernah tahu. Konon ini adalah istilah dalam bahasa Jawa Kuno. Tapi ada yang menyebut reang sebagai bahasa Indramayu. Eka sendiri tak menyebutkan secara gamblang seting lokasi. 

Halaman awal sempat membingungkanku, karena PoV menggunakan orang pertama. Namun si "aku" juga menyebut nama Sato Reang, seolah ia menceritakan orang ketiga. Ini PoV yang belum pernah kutemui dalam buku yang pernah kubaca. Tolong kasih tahu kalau ada pola serupa di buku cerita lainnya.  

Selagi kecil, Sato Reang sangat menurut kepada orang tuanya. Terutama kepada ayahnya, Umar. Meski sambil protes dan ngedumel, ia selalu mengikuti perintah sang ayah. Wajib sembahyang lima kali sehari, lalu mengaji atau membaca ayat Al-Quran setiap malam. Kebebasan Sato Reang makin terenggut setelah ia disunat. Karena dengan tegas ayahnya berpesan: "Sudah saatnya kau menjadi anak saleh."

Aturan itu rupanya tak berlaku bagi semua anak di kampung mereka. Banyak yang masih berkeliaran, bermain hingga petang, keluyuran hingga jauh, pacaran. Sedangkan Sato, bahkan acara yang oleh ayahnya disebut sebagai bermain pun ternyata adalah kegiatan pengajian yang dilangsungkan di kota lain. 

Pada tiap dini hari, Umar akan menggedor-gedor pintu kamar anaknya itu sampai terbangun. Sato akhirnya menjalaninya sebagai rutinitas, setengah terjaga, berangkat menuju musala. Di kemudian hari, kebiasaan-kebiasaan sang ayah itu menciptakan trauma tersendiri. Salah satu hal yang seolah ia ingin balaskan dendam saat sang ayah meninggal, melakukan segala macam kenakalan.

Ya, Sato Reang, si anak saleh itu berubah liar. Awalnya adalah saat ia merasa begitu terbebani dengan sosok ayahnya yang terasa masih hidup di pikirannya. Seolah ia melakukan apa-apa yang ayahnya lakukan. Ia pun berontak. Ia ingin menunjukkan kalau ia adalah Sato, bukan Umar. Mulailah ia meninggalkan salat, memprovokasi Jamal yang selama ini menjadi pengikutnya, minum-minuman beralkohol, bahkan melakukan tindakan brutal yakni membakar bioskop. Sudah pasti juga ia meninggalkan sekolah. 

Keliaran Seto akhirnya harus dibayar mahal: kematian Jamal. Cerita pun selesai.

Baca juga: Buku tentang Kucing yang Dapat Dijadikan Pilihan Bacaan Tahun Ini

Sebetulnya aku tak begitu akrab dengan kehidupan yang diceritakan Sato. Cukup tahu yang kulihat semasa kecil, teman-teman yang mengaji di langgar. Namun, tradisi itu tak ada di keluargaku yang kristiani. Pun masyarakat di sekitarku bukanlah kalangan relijius. Dapat dikatakan mereka adalah kaum abangan. Waktu itu. 

Nggak tahu juga, di perkotaan apakah keluarga muslim juga melakukan tradisi beragama seperti yang diceritakan Sato. Mungkin Human Education Centre punya catatannya? Barangkali kaitannya dengan kurikulum merdeka, bagaimana pembelajaran kehidupan beragama para bocah ini diterapkan. 


Kisah yang Kurang Greget, Kemasan yang Sangat Cakep

Sebagai orang yang terbengong-bengong saat membaca Cantik Itu Luka (2016), lalu Lelaki Harimau (2004), aku terbilang kecewa dengan buku Eka ini. Aku masih menikmati cara Eka bercerita, suka dengan keliarannya, pilihan diksinya, tapi rasanya Anjing Mengeong, Kucing Menggonggong terlalu adem. Sosok hanya terpusat di Satu, dan meski alurnya maju mundur, terasa jauh bedanya dengan CIT atau LH yang membuatku merasa diajak jungkir balik. Dan, penutupnya buatku juga kurang greget.

Yang sangat jelas membuat buku ini berbeda adalah penampilannya, kemasannya. Buku hanya dicetak dalam format hard cover. Dengan ketebalannya hanya hanya 133 halaman, sudah pasti buku ini terasa mahalnya. Judul sudah jelas, aneh. Terdapat sampul buku dengan warna mencolok, antara merah dan jingga. Begitu masuk bagian dalam buku juga beda. Sepi. Tanpa kata pengantar, tidak ada daftar isi, judul bab pun tidak, apalagi prolog dan epilog, tanpa ilustrasi. 

Yang penasaran dengan Anjing Mengeong, Kucing Menggonggong, sila cari dan baca sendiri, ya. Tetap menjadi bacaan yang menarik, kok. Dan aku pun masih akan cari cari buku Eka Kurniawan yang belum kubaca: Seperti Dendam, Rindu Harus Dibayar Tuntas (2014), O (2016), dan Kumpulan Budak Setan (2016). 


Judul: Anjing Mengeong, Kucing Menggonggong

Penulis: Eka Kurniawan

Penerbit: Gramedia Pustaka Utama (Cetakan Pertama, 2024)

Tebal: 135 halaman


Baca juga: Lelaki Harimau, Buku Kedua Eka Kurniawan yang Menyesatkan

March of The Penguins, Belajar tentang Cinta dari Penguin

Film diawali dengan seekor penguin yang melompat dari lubang air, dan berdiri di hamparan es Antartika. Berdiri tegak, gagah dan indah. Bagian kepala dan paruh, hitam. Warna orange-kuning menghiasi sisi samping leher. Sayap dan punggung hitam mengkilat, dengan warna putih benderang di tubuh bagian depannya. Tapi penguins tidak pernah sendiri. Penggambaran berikutnya, muncul penguin lain dalam jumlah besar. Cerita pun dimulai, March of The Penguins. Film dokumenter lama, yang kutonton ulang. 



Baca juga: The Intouchable, Film yang Hangat tentang Relasi Manusia

Aku nonton film ini tak lama dari kemunculannya, 2005. Aku suka cerita satwa. Kupikir cerita dokumenter sekadarnya. Ternyata pada bagian tertentu sempat membuatku berderai air mata. 


Ritme Hidup Penquin

Bulan Maret adalah awal perjalanan para penguin untuk sebuah kehidupan baru. Maret adalah bulan ketika lautan memadat menjadi dataran es, dan matahari hanyalah semburat sinar. Dalam jumlah besar mereka berbondong-bondong dalam dinginnya Antartika di bawah 58 derajat celcius. Penguin adalah jenis unggas, yang tidak terbang dan tidak juga betul-betul berenang. Mereka berjalan. Sehingga yang tampak adalah deretan  pejalan kaki dengan mantel tebal menyelimuti tubuhnya. Tampak seperti manusia yang tengah melakukan perjalan hijrah. 

Tiba di jarak sekitar 7 mil, mereka berhenti. Saatnya menemukan pasangan. Entah ukurannya apa, tapi mereka, masing-masing menemukannya. Proses perkawinan dimulai. Penguin betina dibuahi dan bersiap untuk menghasilkan telur. Bukan proses yang sederhana, butuh waktu berbulan-bulan, tanpa makanan dan harus berhadapan dengan alam. Sampai kemudian penguin betina bertelur. Sebutir. 

Penguin adalah jenis hewan monogami. Mereka hidup layaknya keluarga. Dan pasca keluarnya telur, terjadi serah terima tanggung jawab perawatan, dari sang ibu kepada ayah. Sang ibu akan melakukan perjalanan panjang menuju laut untuk mendapatkan makanan. Berbulan-bulan tanpa makanan, dan kini harus berhadapan dengan badai dan predator. Tapi itulah proses yang harus dijalani jika tidak ingin mati kelaparan.

Baca juga: Black Book, Kisah Perjuangan Perempuan Yahudi

Yang menarik adalah proses serah terima telur, dari ibu kepada ayah. Ada perlakuan khusus agar telur selamat. Pasangan muda sangat mungkin menjatuhkan telur, dan menjadikannya kering dan pecah. Selesailah garis keturunan. Sementara mereka yang cukup berpengalaman akan ekstra hati-hati memindahkan telur yang dihimpit sang ibu di bawah bagian tubuhnya, di atas dua belah jari-jari kaki. Sang ayah akan mengemban amanah itu hingga ibu pulang. Waktunya lebih dari sebulan! Maka, dalam eraman ayah, sang jabang bayi menetas. Tidak ada makanan untuk bayi penguin. Yang tersisa adalah makanan yang tersimpan di tenggorok sang ayah. Jumlahnya tentu saja tidak banyak. 

Menjadi persoalan kemudian ketika ibu tak juga pulang dan ayah mulai kelaparan. Ayah dihadapkan pada dilema mempertahankan hidup anak untuk keberlangsungan garis keturunan atau mempertahankan hidup sendiri karena kelaparan yang mendera. Belum lagi harus berhadapan dengan tiupan badai Antartika yang berasal dari kutub selatan. Beruntung kalau kemudian sang ibu berhasil pulang, berhasil melewati perjalanan panjang, menghadapi badai, dan luput dari intaian predator, anjing laut misalnya. 

Sebagian anak mungkin mati, atau sebaliknya, sebagian ibu mungkin juga mati. Yang masih tersisa akan mengadakan reuni keluarga yang berakhir dengan penyerahan anak dari ayah ke ibu. Dan kini, giliran ayah untuk merantau, mencari makanan buat dirinya sendiri. 


Film Dokumenter yang Mengaduk Emosi

Sang sutradara, Luc Jacquet membuat cerita dokumenter tentang penguin ini begitu menarik. Mulai dari penggambaran alam Antartika yang indah --dari saat langit cerah sampai hari-hari yang merupakan malam panjang-- hingga penggambaran adegan-adegan yang sangat menyentuh. Luc berhasil mengaduk-aduk emosi penontonnya! Betapa romantis pertemuan antara pasangan penguin, betapa mengharukan melihat reuni keluarga, betapa menyedihkan membayangkan penguin dihadapkan persoalan dilematis: membiarkan anaknya sendiri-atau dia sendiri yang akan mati, betapa takut membayangkan para ibu penguin harus berhadapan dengan predator, betapa miris menyaksikan telur-telur bergelimpangan karena ketidaksanggupan bapak menjaga, atau melihat tangis ibu yang mendapati anaknya sudah membeku. Atau betapa gembira melihat anak-anak penguin tumbuh dengan baik, dengan ekspresi lucu saat muncul dari balik badan sang ayah. Senang membayangkan anak-anak itu belajar jalan dan berenang.

Membayangkan para film maker Indonesia membuat film serupa. Dengan subjek garapan yang berbeda tentunya, satwa eksotis di tanah air tak kurang banyaknya. Selain aneka rekomendasi drama seri yang mereka garap. 

Baca juga: Film Mafia yang Perlu Dipilih sebagai Teman Bermalam Minggu 

Sungguh, Luc Jacquet dan kawan-kawan yang meliput rombongan penguin ini patut diacungi jempol. Pembuatan film ini membutuhkan waktu selama satu tahun penuh melawan dingin dan cuaca tidak bersahabat Antartika. Beberapa orang kru juga perlu dirawat selama satu bulan penuh setelah terjebak badai Antartika.

Film ini meraih penghargaan sebagai film dokumenter terbaik pada Academy Award 2006. Film yang dirilis di bioskop-bioskop Amerika Utara pada bulan Juni 2005 ini meraup keuntungan sebesar $77 juta. 

March of The Penguins memang bercerita tentang kehidupan penguin kaisar di benua Antartika. Tetapi bukan hanya itu. Seperti dituturkan Morgan Freeman dengan suara beratnya, March of The Penguins bukan sekadar film tentang penguin. This is a story about love.

Everything We Keep, Tak Ada Waktu untuk Masa Lalu

Apa yang akan kamu lakukan, ketika hatimu masih terpaut kuat dengan seseorang yang notabene menghilang begitu saja dari hidupmu tanpa kejelasan, lalu kamu mendapati dirimu jatuh cinta kepada sosok yang lain? Kenapa masuknya pakai pertanyaan ini, sih? Karena kurasa aku jatuh cinta sama Ian, sosok yang belakangan hadir dalam kehidupan Aimee 😍. Buatku, ini salah satu bagian menarik dari novelnya Kerry Lonsdale, Everything We Keep.

Baca juga: FSP di Pengajian Jumaahan dan Pengajian Sastra

Aimee Tierney adalah seorang chef. Dari kecil ia begitu menyukai baking, dan segala yang berurusan dengan makanan dan minuman. Masa remajanya berjalan dengan baik. Orang tuanya pemilik resto. Ia pun mengambil pelatihannya yang mendukung keinginannya untuk membeli resto  milik orang tuanya itu. Pada usia dewasanya justru ia berhadapan dengan masalah. Rencana matangnya seolah menguar begitu saja, setelah kabar kematian James Donato. Kekasihnya itu  hilang akibat kecelakaan kapal. 


Sinopsis

Cerita diawali dari peristiwa pemakaman James, tunangan Aimee. James bukan sekadar tunangan buat perempuan itu. Melainkan kawan sepanjang masa. Aimee hanya tahu James sebagai kekasih dalam hidupnya. Sosok itu dikenalnya sejak bocah, dan mereka nyaris tak pernah terpisah sama sekali. Peristiwa itu sangat mengguncang Aimee. Ia berusaha keras untuk menerima kenyataan tersebut, mengubur mimpi-mimpi yang sudah dibangunnya bersama James. Sebagiannya malah sudah mulai direalisasikan. Hingga datang satu kejutan dari salah seorang yang hadir dalam pemakaman. 

Perempuan itu, Lacy, seorang cenayang yang mengatakan bahwa James masih hidup. Ia meninggalkan kartu nama, kalau Aimee tergerak untuk menyelidiki "kematian" James. Ketika saat itu akhirnya tiba, ketika Aimee menemukan sejumlah kejanggalan, perempuan itu akhirnya memutuskan untuk melakukan penyelidikan. Saat itu hatinya sudah terpaut kepada Ian. Siapakah Ian? 

Ian Collins adalah seorang fotografer, kenalan dari kawan dekat Aimee, Nadia. Sahabatnya itu memang setengah sengaja menjodohkan Aimee dengan Ian, karena khawatir dengan kondisi batin Aimee. Pertalian keduanya berjalan manis. Tapi tak mudah buat Aimee untuk melupakan Thomas begitu saja. 

Beruntunglah, Ian seorang lelaki yang penuh pengertian. Ia mencintai Aimme dengan kesungguhan. Memberi kesempatan kepada perempuan itu untuk menemukan kekasihnya, biarpun hasilnya berpotensi menghilangkan kesempatannya untuk menjadi kekasih Aimme. 

Baca juga: Book Sleeve, Pembaca Buku Wajib Punya


Kisah tentang Menerima Takdir

Ini bukan novel genre pilihanku, tapi menarik mencermati pengolahan ceritanya. Memunculkan konflik demi konflik dan jalinan sosok-sosok di dalamnya. Tentu saja dengan temanya. Hidup kerap kali memang penuh kejutan, yang membuat kita mempertanyakan tentang takdir. Apa-apa yang sudah kita rasa pas, begitu saja bertumbukan dengan sebuah realita baru yang sama sekali berbeda dengan yang kita bayangkan sebelumnya. 

Everything We Keep menggunakan PoV orang pertama. Aimee sebagai aku. Sang penulis, Kerry Lonsdale, membagi ceritanya ke dalam dua bagian besar terkait dengan setting lokasi, yaitu Los Gatos, California dan Puerto Escondido, Meksiko. Ia menggunakan alur campuran, bolak-balik antara masa sekarang dan masa lalu. Pergantiannya berlangsung dengan halus, pun konfliknya terbilang tak terlalu rumit. Tak akan membingungkan pembaca. Ada beberapa titik suspens yang dapat memaksa pembacanya bertahan. Penceritaan masing-masing karakter juga cukup baik membawa kita mengenal mereka satu per satu. 

Secara keseluruhan, novel ini menyenangkan sebagai sebuah bacaan. Cocok untuk pembaca cerita-cerita romansa yang tak perlu berkerut kening. Membacanya sambil ngopi atau ngeteh pahit, ditemani kudapan manis. 

Pada akhirnya ini Everything We Keep, buatku, seperti sebuah ajakan untuk menjalani hidup apa adanya, menerima takdir dengan baik-baik saja. Bahwa masa lalu hanyalah bagian dari pembelajaran saja. Termasuk belajar melakukan hal yang terdengar gampang padahal tak mudah: melepaskan. 

Baca juga: Alaya, Kisah tentang Mimpi yang Mewujud, Takdir, dan Cinta


Judul buku: Everything We Keep

Penulis: Kerry Lonsdale

Alih bahasa: Endang Sulistyowati

Penerbit: PT Elex Media Komputindo, 2017

Tebal buku: 314 halaman


Facial di Holistik Estetika, ‘Me Time’ Menyenangkan di Tengah Pandemi

Hari-hari ini media dan lini masa media sosial masih terus dipenuhi dengan angka-angka. Angka kasus, angka kematian, angka wilayah yang terdeteksi pandemi. Sungguh, pandemi ini menampilkan wajah muram. Muram, kusut, desperade, gloomy. Namun, tetap, adalah menjadi pilihan kita dalam mempersepsi sebuah kondisi. Termasuk pandemi ini. Apakah kita menyerah dengan keadaan, menarik diri dan takhluk pada ketakutan-ketakutan terkait kondisi sekitar? Ataukah kita memilih untuk tetap menjalani segala aktivitas dengan bahagia? Kalau saya, tentu saja pilih yang kedua. Nah, salah satu upaya untuk tetap waras di masa pandemi ini adalah mengagendakan ‘me time’ secara berkala. Setidaknya saya punya satu grup terbatas yang melakukan perjumpaan berkala, sekadar ngopi-ngopi dan chit-chat. Keluar sejenak dari pergumulan hidup yang cukup melelahkan di masa pandemi ini. Kesempatan ‘me time’ yang lain datang bulan lalu: melakukan perawatan wajah! Yippieeeeee.. Mendapatkan rekomendasi melakukan facial di Holistik Estetika.


Baca juga: Pola Hidup Sehat Cegah Diabetes dan Hindari Virus Corona

Di masa pandemi ini, banyak orang yang menunda perawatan tubuh dan wajah. Dengan berbagai alasan dan pertimbangan. Ada yang demi menjaga jarak sosial, ada pula dengan alasan ekonomi. Seperti kita tahu, nyaris semua orang terkena imbas pandemi terkait finansial. Dari skala kecil hingga besar. “Daripada untuk urusan cantik-cantik lebih baik untuk kebutuhan dapur biar tetap ngebul.” Demikian barangkali pemikiran sebagian di antara kita. Setidaknya pemikiran saya sebagai ibu meong, orang tua tunggal dari puluhan anak meong 😻. “Kayanya kesejahteraan meong lebih penting deh daripada urusan perawatan tubuh!” Lebih kurang begitu. Namun, tubuh pun punya hak. Untuk istitrahat, untuk ambil jeda, untuk dimanjakan. Bukankah kita sudah membebani tubuh, dari ujung kaki hingga ujung kepala dengan aneka kesibukan? Terlebih di masa pandemi ini, ketika sang tubuh saat bekerja harus berhadapan dengan potensi terjadinya penularan. Kalau pikiran tidak dibuat nyaman dan bahagia, urusan pekerjaan dan tanggung jawab yang lain akan terhambat. Itulah perlunya ‘badami’ kalau kata orang sunda. Badami atau berdamai dengan memasukkan ‘me time’ sebagai komponen yang wajib ada. Terlebih saat kita menghitung biaya, sebetulnya worth it untuk hasil yang kita peroleh. Itu yang akhirnya saya garis bawahi setelah melakukan perawatan facial di Holistik Estetika. Memang seperti apa sih? Baiklah saya ceritakan. 

Klinik Holistik Estetika


Baca juga: Persiapan Memiliki Rumah Sendiri

Tak sulit menemukan lokasi klinik ini. Komplek Mekar Wangi adalah kawasan yang rapi, dengan penamaan jalan dan nomor yang tertib. Lokasinya ada di hook. Tak terlalu besar, sederhana, namun asri dan manis. Begitu memasuki area dalam, langsung disambut oleh petugas yang mencatat identitas dan tujuan kedatangan kita. Terdapat dua lantai. Di lantai bawah ruang operasi dan konsultasi dokter. Di antara ruang operasi dan personalia desk, tersedia meja dan kursi panjang terbuat dari kayu solid yang bagi penggemar kayu pasti akan dibikin kesengsem. Di sebelahnya, arena permainan anak. Sedangkan di luar, ajang bersantai beratap langit. Tampaknya desain ini dimaksudkan agar yang sedang antri atau para penunggu bisa bersantai dalam suasana yang tak membosankan.

Di lantai dua terdapat beberapa ruang, namun tak semuanya beroperasi terkait pandemi. Seperti salon dan sauna. Nah, ruang yang saya tuju adalah ruang untuk perawatan wajah. Termasuk yang menjadi pilihan saya hari itu, facial.

Mengapa pilihannya facial

Selama ini saya memang tak mau terlalu ribet dengan urusan perawatan tubuh dan wajah. Maka, facial menjadi pilihan yang paling masuk akal buat saya. Karena secara alami, sel kulit melakukan regenerasi pada kurun 28-30 hari. Sel kulit akan tumbuh dan mendorong kulit yang lama ke permukaan. Saat terjadi penumpukan dan diabaikan, akan muncul aneka masalah pada kulit seperti komedo, jerawat, kulit mengusam seperti saya hiks.. Terlebih si saya tidak rajin membersihkan wajah pasca beraktivitas. Jadi, saya memang sangat membutuhkan facial untuk membersihkan sel kulit mati yang numpuk, dan oleh ahlinya. 

Holistik Regular Facial

Dalam ruang perawatan, saya disambut oleh Teh Neng yang sedang on duty lengkap dengan perangkat perangnya 😂 



Facial di Holistik Estetika diawali dengan pemberian aromaterapi yang hmmmm…aromanya sungguh membius, menenangkan. Serius! Sedari pemberian aromaterapi, saya sudah tahu kalau saya akan menikmati betul ‘perjalanan’ di hari itu. Perjalanan yang dimaksud adalah setengah terlelap. Seperti saat menikmati meditasi. Teh Neng terus melakukan tugasnya. Mulai dari totok wajah, membersihan kulit di area wajah dan leher, massage, lalu  ekstraksi/pengambilan komedo yang bikin berasa tersengat dan terjaga. Lantas terlelap kembali saat pelapisan wajah dengan masker, penguapan, hingga pemberian serum, krim pelembab, dan sunscreen. Saya menikmati betul. So relax. Terlebih sebagai terapis, Teh Neng melakukan tugasnya dengan sangat baik. 

Meski tak rutin dan tak terlalu sering, saya sudah mencoba beberapa klinik dan salon yang menyediakan layanan facial. Dan Teh Neng adalah salah satu yang terbaik. Bukan semata pengalaman kerjanya yang sudah lebih dari lima tahun yang menjadikannya terampil dan menguasai betul yang menjadi tugasnya, namun saya rasa Teh Neng memang menyukai pekerjaannya. Itu dapat terasa dari treatment-nya kepada pasien. Saya tak sempat tanya jumlah terapis di Holistik Estetika, tapi saya kok yakin kalau Teh Neng cukup mewakili standar dari klinik ini.


Ah ya, kenyamanan facial di Holistik Estetika, selain terapis yang mumpuni, juga perangkat yang disiapkan dengan baik. Perangkat yang memang memadai dengan standar sterilisasi sebelum dilakukan perawatan. Pasien tak perlu merasa khawatir akan kebersihan aneka peralatan tersebut. 

Baca juga: Menyikapi Kritik dan Penilaian Negatif

Layanan lain di Holistik Estetika

Selagi menunggu persiapan terapis, saya sempat berbincang dengan tim humas klinik. Apa yang saya duga di awal cerita, ternyata tak tepat betul. Masa pandemi ini memang terjadi penurunan jumlah kunjungan, namun ternyata tak terlalu signifikan. Barangkali karena klinik yang sudah berusia 16 tahun ini ketat memberlakukan protokol kesehatan. Standar sterilisasi peralatan pun prima. Dan standar tersebut berlaku untuk semua klinik. Saat ini Holistik Estetika sudah memiliki 3 cabang yaitu di Mekar Wangi, Kopo Permai, dan Cimahi. 

Hal menarik lain, Holistik Estetika konsisten mengikuti perkembangan dunia perawatan kecantikan dengan menghadirkan treatment-treatment baru yang sedang nge-hits serta mesin perawatan terkini dan up-to-date. Tak perlu jauh-jauh melakukan perawatan ke Jakarta, apalagi ke Kuala Lumpur atau Singapura, banyak treatment terbaru yang disediakan di Holistik Estetika.  Treatment mana yang paling tepat, bisa dikonsultasikan terlebih dahulu. Sekadar konsultasi dengan dokter di Holistik Estetika tidak dipungut biaya alias gratis. Sedangkan untuk pasien baru dikenakan biaya administrasi sebesar Rp50.000 pada kedatangan pertama. Selebihnya, tarif layanan dapat dikatakan bersaing. Detailnya bisa cek-cek di website Holistik Estetika.

Layanan yang saya ambil, Holistik Regular Facial, biayanya Rp200.000. Apakah worth it? Sangat-sangat! Dan saya sudah mengagendakan untuk kembali menikmati facial ala Holistik Estetik di akhir bulan ini.

Mau ikut coba? Check it out! Cari lokasi terdekat rumah Anda.

Kopo Permai

Jl. Kopo PermaiI, Blok A No. 7, Bandung

Phone: (022) 5401307

WA: 0877-8811-1115

Jam buka, Senin - Sabtu: 09.00 - 17.00 WIB


Mekar Wangi

Jl. Mekar Sejahtera No. 21, Bandung

Phone: (022) 5229797

WA: 0877-9911-1115

Jam buka, Senin - Sabtu: 09.00 - 20.00 WIB


Cimahi

Jl. Jend. H. Amir Machmud No. 499C, Cibabat, Cimahi

(Sebelah EF, Seberang Rabbani)

Phone : (022) 6651110

WA : 0815-7213-6386

Jam buka, Senin - Sabtu: 09.00 - 20.00 WIB


Untuk daftar perawatan, bisa dilihat di:

IG: @holistikestetika

FB: Holistik Estetika

www.holistikestetika.com


Ada yang terlupa.. Ada promo menarik selama bulan Ramadan! Selamat cantik-cantik yaaa.. 😍



Serendipity, tentang Menemukan Pasangan dan Takdir

Ada yang menggemari film-film yang bercerita tentang peristiwa kebetulan? Nah, bisa jadi sudah pernah nonton film ini. Serendipity. Film lama, umurnya sudah 19 tahun. Kapan hari merapikan koleksi CD, menemukan ini film. CD dengan sampul kertas. Belum nonton? Tonton deh. Yaaa kisah percintaan gitu sih, tapi asik filmnya. Bicara tentang takdir dan menemukan pasangan yang tepat.

Kisah diawali dengan suasana Natal di sebuah pusat perbelanjaan. Adalah Jonathan Trager (John Cusack) yang tengah mencari sarung tangan untuk hadiah Natal buat kekasihnya. Sebuah sarung tangan menarik perhatiannya dan segera ia ambil. Berbarengan, seorang yang lain meminati sarung tangan tersebut. Sara Thomas (Kate Beckinsale). Menyadari chemistry di antara keduanya, mereka memutuskan untuk singgah di Serendipity 3. Yup, Serendipity di sini adalah sebuah café yang mewakili makna yang lain tentang peristiwa kebetulan. Pada akhir perjumpaan tersebut, Sara menuliskan nomor teleponnya pada selembar kertas mungil. Sayang, angin menerbangkan kertas tersebut. Sara meyakini itu sebagai tanda dari semesta. Bahwa semesta tak merestui kebersamaan mereka.

Baca juga: Gundala, Harapan Baru Film Superhero Indonesia

Jonathan bersikeras. Ia memaksa menuliskan nomor teleponnya pada selembar $5 dan menyerahkannya pada Sara. Sedangkan Sara menuliskan nama dan nomor teleponnya pada halaman muka sebuah buku yang akan segera terjual esoknya. Lebih kurang dikatakannya: jika masing-masing mereka menemukan kedua benda tersebut, semesta memberikan restunya. Huuufffttt.. saat nonton dulu berasa ikut gemes. Please deeeh, apa sih susahnya 😅 Tapi kalau ga dibikin rumit, ga bakal jadi cerita seru ya.

Maka demikianlah, kehidupan terus berjalan. Ada saat-saat tertentu yang membuat mereka teringatkan pada momentum perjumpaan tersebut. Kadang seolah akan menemukan titik temu, namun nyatanya semu. Tak ada pertanda, semesta tak memberikan kesempatan buat mereka. Hingga tiba di hari itu, hari yang sesungguhnya penting buat Jonathan maupun Sara.

Di New York, Jonathan merayakan pertunangan dengan kekasihnya, Halley Buchanan. Ironisnya, Halley memberinya kado berupa buku yang bertuliskan nama dan nomor telepon Sara. Di belahan kota yang lain, Sara tengah mendatangi Lars Hammond, kekasih yang melamarnya. Tanpa sengaja, dompet Sara bertukar dengan milik Eve, kawannya. Dompet dengan bentuk dan brand yang mirip. Hal yang tak terduga kemudian, Sara menemukan pecahan $5 dengan coretan tangan Jonathan. Deg-degan kaaan…

Dari temuan-temuan tak terduga itu, segala sesuatunya saling berkejaran. Nyaris tak sampai pada titik temu karena kesalahpahaman. Tapi ya bisa diduga sih, happy ending. Sebuah kisah percintaan yang manis sekaligus unik khas Miramax. Cocok buat kawan berakhir pekan 


Baca juga: Kisah Perjuangan Perempuan Yahudi

Serendipity disutradarai Peter Chelsom, dengan naskah Garapan Marc Klein. Film ini menghasilkan $77.5 juta dari total budget $28 juta.

Nah, Anda sendiri, apakah punya kisah percintaan yang unik? Berbagi yuuk.. Next kayanya berbagi trilogy Before Sunrise deh..





Sebelum Iblis Menjemput Ayat 2, Pilihan Horor Awal Tahun Ini



Sebelum Iblis Menjemput (SIM) menjadi film horor pilihan untuk kutonton, setelah lebih dari 20 tahun ini hanya serial Friday The 13th yang membuatku antusias nonton cerita horor. Bayangkan, kami di kampung tak punya pesawat televisi. Tapi demi nonton itu film, rela malam-malam thunak-thunuk jalan melewati area kebun singkong, untuk nonton di rumah tetangga. Sekeluarga, bapak-ibu, kakak dan dua adik. Masa itu sangat sedikit pilihan hiburan, dan mungkin memang film tersebut menarik ya.. Kurasa itu film horor yang aku sengaja tonton karena tertarik. Setelahnya, horor adalah genre yang kuhindari. Alasannya: hidupku sudah horor, ga mau ditakut-takuti lagi dah 😂




Iyes, akhirnya nonton SIM 2 akhir bulan lalu. Buat yang belum nonton SIM 1, baiklah..coba kuingatkan dulu. Karena ada beberapa scene yang menceritakan kisah lalu Alfie (Chelsea Islan).

Pada film terdahulu, adegan dimulai dari peristiwa kematian ayah Alfie (Ray Sahetapy), yang tak wajar. Sebelumnya, ibu Alfie diketahui juga meninggal secara misterius. Sang ayah kemudan menikah lagi dengan Laksmi (Karina Suwandi), perempuan dengan dua anak dari pernikahannya terdahulu. Dari pernikahan tersebut, Alfie punya adik tiri, Nara (Hadijah Shahab). Peristiwa kematian yang tak wajar membuat Alfie penasaran dan mendatangi villa yang biasa dikunjungi ayahnya. Secara kebetulan Laksmi dan anak-anaknya juga datang ke villa tersebut. Dari situlah teror mulai menyerang mereka. Tak lain karena adanya kesepakatan sang ayah dengan iblis, dengan mengorbankan keluarganya. Keluarga itu pun habis, kecuali Alfie dan sang bungsu, Nara.

Film ini mendapatkan sejumlah penghargaan dalam ajang Festival Film Indonesia tahun 2018, yakni Pengarah Sinematografi Terbaik (Batara Goempar), Penyunting Gambar Terbaik (Teguh Raharjo), Penata Rias Terbaik (Novie Ariyanti), dan Pemeran Pendukung Wanita Terbaik (Karina Suwandi). Selama masa tayang, SM 1 mendapat 1.122.187 penonton, yang menempatkannya di urutan ke-13 film terlaris tahun 2018.





Cukup, itu saja ya.. Lanjut ke SIM 2..

Film diawali dengan adegan sesosok perempuan yang ‘seolah’ diteror makhluk dunia gaib. Adegan-adegan yang mau tak mau membuatku bertanya-tanya, mereka ini siapa? Apa hubungannya dengan kisah terdahulu? Pertanyaan itu akhirnya terjawab beberapa belas menit kemudian. Mereka adalah anak-anak alumni sebuah panti asuhan. Lalu beranak pertanyaan baru: mengapa Alfie mau saja memberikan bantuan? Jelas, dia tidak sakti (yang kemudian di film yang baru ini Alfie ditunjukkan punya kemampuan baru). Dia bahkan sangat ketakutan. Peristiwa sebelumnya juga menyisakan trauma. Pada kurun waktu dua tahun pasca peristiwa, dia terus dihantui pendengaran dan penglihatan terhadap makhluk astral. Apa iya lantas semudah itu menyanggupi permintaan orang-orang yang baru dikenalnya itu untuk terlibat? Tapi semua pertanyaan itu akhirnya terkesampingkan. Setelah pengantar yang kurang detil dan menyisakan pertanyaan, bagian berikutnya adegan demi adegan berjalan dengan cepat. Teror demi teror mengoyak emosi penonton.

Adalah Budi (Baskara Mahendra), Gadis (Widika Sidmore), Jenar (Shareefa Daanish), Martha (Karina Salim), Leo (Arya Vasco), dan Kristi (Lutesha), anak-anak panti asuhan yang beranjak dewasa. Mereka inilah yang meminta bantuan Alfie. Mereka merasa diteror sosok misterius pengurus panti yang sudah meninggal, Pak Ayub. Ada sebuah kitab yang menjadi panduan mereka dalam mengenali teror yang menimpa mereka ini.

Sang sutradara yang sekaligus penulis naskah, Timo Tjahjanto memang menampilkan cerita yang lebih luas dibanding film ayat pertama. Kali ini ia melahirkan sosok iblis Molokh, yang telah populer dalam berbagai mitologi dan budaya, seperti Ibrani, Romawi, dan Yunani. Molokh digambarkan sebagai iblis bertanduk, yang menuntut pengorbanan anak dari para pengikutnya. Pada kitab yang dijadian acuan anak-anak panti tersebut juga menunjukkan huruf-huruf Semit yang pastinya membutuhkan riset. Pelibatan simbol-simbol baru ini menjadikan SIM 2 terasa lebih unik dibandingkan film yang pertama. Selebihnya, yang berharap nonton film horor dengan ketegangan, terpenuhi lewat film ini.





Peringatan bagi yang tak suka nonton adegan kekerasan dan berdarah, sebaiknya memang tak menjadikan film ini pilihan. Seperti halnya SIM 1, di film keduanya Timo masih menyajikan banya adegan kekerasan. Dari awal saja kita sudah disuguhi korban yang terpaku di langit-langit kamar dengan penuh darah dan mata bolong. Ketegangan makin menjadi saat mereka sudah berada di area bangunan panti asuhan. Kejaran gergaji yang sangat menegangkan. Pun penggunaan efek untuk ulah makhluk tak kasat mata yang keren. Hantu yang tak hanya tertawa mengikik, terbang atau ngesot, atau lompat-lompat bak kelinci, melainkan hantu yang juga bisa salto, kayang, dan menggerakkan benda-benda tajam. Tapi jangan khawatir, kita masih dibuat tertawa oleh beberapa adegan 😊

Terkait dengan pemeran, buatku akting Chelsea lebih bagus di SIM 1. Dari awal hingga pertengahan film, Chelsea terasa kurang klik. Terlebih dengan alur cerita yang bikin penonton menerka-nerka. Dari bagian tengah ke belakang baru terasa lebih asik. Para pemain lain memerankan tugasnya dengan baik pula. Sebagian besarnya tak cukup kukenal. Hanya tahu Shareefa Daanish dan Baskara Mahendra. Tapi terasa lebih pas dibandingkan dengan SIM 1, yang -misalnya- hanya menjadikan Pevita Pearce sebagai tempelan.

Jadi, bagus filmnya? Menurutku, bagus. Recomended, bagi penyuka film horor dan gore. Jangan minta skala, karena tak punya cukup referensi film horor lain. Cuma satu yang mengganggu adalah penggunaan kata 'kita' dalam dialog. Sebagai orang yang tertib membedakan kata 'kita' dan 'kami', di kuping jadi terasa mengganggu. Sangat mengganggu. Untung dialog itu hanya muncul di awal film. Selebihnya tinggal panen ketegangan. Selamat menonton.