KBS dan Upaya Membebaskan Diri dari Kemelekatan

Saat menulis ini, aku sedang mengikuti Kelas Berbenah Sadis (KBS). Sudah hari ke-11. Bagian yang terhubung denganku dari kelas ini adalah soal kemelekatan, hal yang beberapa tahun terakhir menjadi PR, sekaligus topik yang sedang terus kugali. Tentang bagaimana orang terus berupaya untuk membebaskan diri dari kemelekatan yang membelenggu.  



Baca juga: Stoikisme dan Upaya Menjalani Hidup yang Baik

Bahasan tentang kemelekatan ini dapat kita temukan dalam banyak kajian. Dalam filsafat, agama, spiritualitas, dll. Masing-masing dengan pemahamanan yang bisa dimengerti pengikutnya. Namun intinya sama, berusaha membebaskan diri dari penderitaan akibat kemelekatan.


Memahami Konsep Kemelekatan

Jika kau menginginkan kesenangan, sepenuhnya lepaskan semua kemelekatan. Dengan melepaskan semua kemelekatan, kesenangan paling sempurna ditemukan. Selama kau mengikuti kemelekatan, kepuasan tidak akan pernah ditemukan. Siapa pun menjauhi kemelekatan, dengan kebijaksanaan mencapai kepuasan. (Dhamma Buddha)


Pertanyaan yang sering muncul dari konsep ini adalah, “Kalau kita menghilangkan rasa melekat, nanti kita kehilangan kasih sayang kepada orang-orang yang selama ini kita cintai?"

Yang sesungguhnya, kasih sayang berbeda dengan kemelekatan. Kasih sayang menumpukan fokus kepada orang lain. Orang bule menyebutnya unconditionally love. Ketika kita semata memikirkan kepentingan orang lain yang kita pedulikan. Sebaliknya, kemelekatan berpusat pada ego. Demi kepuasan diri sendiri. 

Kapan hari, topik ini sempat menjadi bahasan grup WA terbatas. Ada sebuah pengalaman, mencermati pola interaksi beberapa orang yang kemudian kusimpulkan bahwa orang yang memberi bisa jadi bukan karena ingin memberi, melainkan ada kebutuhan eksistensi diri. Jika tak memberi seolah tak lagi menjadi "seseorang". 

Mendapati pernyataanku itu, seorang kawan di grup menimpali. Ia punya pengalaman itu. Suatu saat ia menyadari, saat memberi ada kepuasan tersendiri. Ia pun langsung mengevaluasi diri, kalau ternyata ia sudah memberi makan egonya. Senang rasanya mendapati kawan yang satu frekuensi. Bisa belajar bersama dan saling mengingatkan.

Baca juga: Kesadaran Spiritual dan Hidup dalam Perspektif Baru

Kembali ke bahasan ....

Membebaskan diri dari kemelakatan memang tak mudah. Tapi perlu diupayakan. Pengalaman membuktikan kemelekatanlah yang menimbulkan kesengsaraan. 

Dalam konteks relasi manusia, contohnya relasi percintaan, betapa kemelekatan menjadikan seseorang demikian bergantung kepada pasangannya. Rasa cemburu yang membakar. Perasaan merana karena keterpisahan. Emosi yang mampu mendorong orang untuk merusak, baik ke diri sendiri maupun orang lain. 

Dalam konteks kebendaan, berapa banyak kita jumpai contoh mereka yang terobsesi dengan materi. Bisa melakukan apa pun demi capaian yang diinginkannya. Orang-orang dekat kita atau bahkan kita sendiri, begitu gemar mengumpulkan barang yang tak ada artinya karena terbengkalai begitu saja. Atau sekadar jadi pajangan. 

Hal ini juga bisa ditemukan dalam relasi manusia dengan makhluk lain. Aku sendiri beberapa tahun terakhir sudah belajar membebaskan diri dari kemelakatan akan kucing-kucing yang kurawat. Tak terlalu melibatkan emosi saat mereka harus pergi, menyeberang ke jembatan pelangi. Tak mudah untuk sampai di titik itu. 

Membebaskan diri dari kemelekatan tak lantas abai atau tak peduli. Bagi orang tua yang punya tanggung jawab terhadap anak, tetap menjalankan tanggung jawabnya. Bagi para manusia yang punya hewan peliharaan, tetap memastikan mereka mendapatkan kesejahteraan yang layak. Bedanya, tak lagi menggantungkan diri terhadap keberadaan mereka. Begitu pun kemelekatan terhadap benda.

Baca juga: Letting Go, Buku Panduan Melepaskan Diri dari Hambatan


Berkenalan dengan Kelas Berbenah SaDis 

Sebetulnya sudah lama aku tahu kelas ini. Bagaimana tidak, founder-nya temanku. Adik kelas di kampus sekaligus teman kerja di Radio Mara. Kami pernah sangat dekat. Sedekat apa? Curhat-curhatan sudah pasti. Aku sering menginap di rumahnya waktu ia masih lajang. Setelah menikah pun, sesekali aku mengunjunginya. Namanya Rika Subana.

Kenapa ini perlu kuceritakan? Karena saat kita tak berjarak, kita nggak bisa cukup obyektif. Dan terus terang, itulah yang terjadi dengan Rika dan KBS. Lha wong aku tahu persis kok keseharian Rika, mana aku merasa perlu melirik KBS? Haha! Tapi aku tak merasa perlu minta maaf untuk itu. Kurasa Rika telah melewati semua prosesnya, dan bahkan tak soal dengan anggapan orang terhadap apa pun yang sudah lewat. 

Berhubung aku pun tahu kegigihan seorang Rika Subana, aku yakin dia membuat kelas-kelas pembelajaran ini dari hati, dan lewat pengalaman-pengalamannya sendiri yang sudah teruji. Pun, aku yakin proses itu tak pernah final, akan selalu jadi bagian yang terus berproses.

Kalau tertarik bisa cek FP FB Kelas Berbenah SaDis. Boleh juga sekadar tanya-tanya ke Ibu Meong dulu.

Baca juga: Berkenalan dengan Laku Spiritual melalui Buku Tantra

Buatku, bukanlah kebetulan kalau aku terhubung kembali dengan Rika yang kemudian mengajakku bergabung di KBS. Kelas ini menjadi tempat belajar langsung, riil, seperti apa membebaskan diri dari kemelekatan. Dalam hal ini kemelekatan terhadap benda. Awalnya ada 1001 alasan untuk menyisihkan buku-buku yang jadi koleksi selama ini. Lambat laun, semuanya bisa terlakoni. 

Seperti halnya aku, kurasa banyak orang yang merasa sudah tahu persis teori kemelekatan. Tapi seberapa sanggup menerapkan dalam keseharian? Nah, aku terbantu banget dengan ikut kelas ini. Biarpun mentornya nggak galak, tapi berhasil membuatku berusaha untuk lebih ikhlas melepas. 

Demikianlah, upaya membebaskan diri dari kemelekatan akan terus berjalan. Mari sama-sama belajar. Mari merayakan kehidupan yang lebih baik. 



No comments