Orang dengan NPD tidak dapat disembuhkan dengan paksaan orang lain. Mereka hanya bisa sembuh jika mereka memang memauinya. (dr. Dhavid Avandijaya Wartono)
NPD Apakah Bisa Disembuhkan?
Pendidikan Seks sebagai Bagian Penting dari Parenting
Kapan hari di medsos yang --menurutku-- paling berisik sekaligus bisa jadi sumber informasi, kutemukan satu thread yang membahas perselisihan yang terjadi antara pasangan (pacar). Lebih kurang dalam tayangan itu diceritakan si laki-laki marah gara-gara mendapati darah haid pacarnya tembus ke pakaian. Reaksi netizen beragam. Tapi sebagian besarnya menyebutkan si lelaki muda itu dianggap tak cukup mendapatkan pendidikan seks (sexual education).
Baca juga: Mengapa Perempuan Perlu Bekerja
Sering kudengar cerita tentang anak-anak yang bertanya tentang alat kelaminnya. Atau bertanya proses kelahirannya. Atau keinginan mereka memiliki adik, yang konon bikin orang tua kewalahan untuk menjawabnya. Karena tak pernah berada di lingkungan dengan anak-anak, aku tak punya pengalaman berinteraksi dengan anak-anak secara langsung. Tapi rasanya cukup banyak kutemukan cerita yang menunjukkan bahwa sebetulnya anak-anak, bahkan dari usia balita memiliki tingkat keingintahuan yang tinggi. Pastinya sangat disayangkan jika keingintahuan itu tidak terpenuhi lewat pemberian informasi yang memadai.
Kapan Pendidikan Seks Sebaiknya Mulai Diterapkan?
United Nations Educational, Scientific and Cultural Organization (UNESCO) membagi periode pendidikan anak dan remaja dalam kelompok usia, yakni: 5-8 tahun, 9-12 tahun, 12-15 tahun, dan 15 hingga di atas 18 tahun. Materi pembelajaran untuk anak-anak menyesuaikan pembagian usia tersebut. Termasuk bahasan terkait seksualitas.
Organisasi di bawah naungan PBB yang berfokus bidang pendidikan, ilmu pengetahuan, dan kebudayaan ini pada 2018 lalu mengeluarkan panduan mengenai pendidikan seks (International Technical Guidance on Sexuality Education). Disebutkan ada delapan topik yang perlu dibahas dalam pendidikan seksualitas, meliputi:
- Relasi
- Hak asasi dan seksualitas dalam budaya
- Gender
- Pencegahan terhadap kekerasan seksual
- Kesehatan dan kesejahteraan terkait seksualitas
- Tubuh manusia dan pertumbuhannya
- Seks dan perilaku seksual
- Kesehatan reproduksi
Penjabarannya tak selalu mudah, terutama bagi lingkungan dan orang-orang yang menganggap seksualitas adalah hal tabu. Padahal UNESCO memberikan gambaran materi yang terbilang memudahkan.
Dua kelompok pertama adalah anak-anak usia Sekolah Dasar (SD).
Untuk kelompok usia pertama, TK hingga kelas 3 SD dapat diberikan pemahaman tentang keluarga dan peran setiap anggota keluarga. Diperkenalkan pada organ tubuh, perbedaan organ laki-laki dan perempuan, dan perlunya menjaga privasi terkait organ tubuh. Terhubung pula dengan bahasan soal hubungan sosial yang sehat.
Untuk siswa kelas 4 – 6 SD dapat dilakukan pengulangan dari materi kelas sebelumnya dengan ditambahi soal kesehatan organ reproduksi, konsep diri, dan etika berelasi sosial. Termasuk di dalamnya cara melindungi diri dari pelecehan atau kekerasan seksual.
Di kelompok tiga, kita dihadapkan kepada anak-anak usia Sekolah Menengah Pertama (SMP).
Memasuki SMP, anak-anak sudah mendapatkan mata pelajaran biologi, yang di antaranya mempelajari tubuh manusia. Di masa ini bisa disampaikan materi soal aneka macam relasi sosial yang lebih intim seperti pertemanan, pacaran, suami-istri. Konsep gender juga bisa diberikan, juga serta perilaku seksual dan konsekuensinya. Tak ketinggalan bahasan soal kesehatan reproduksi termasuk siklus menstruasi dan kehamilan.
Pengenalan terhadap fisik manusia juga perlu dibarengi dengan konsep penghormatan terhadap tubuh. Dengan begitu dapat dicegah potensi perilaku pelecehan maupun sebagai korban tindak pelecehan.
Kelompok terakhir, anak-anak usia Sekolah Menengah Atas (SMA) hingga perguruan tinggi.
Pada jenjang ini, para pengajar tetap perlu membahas ulang materi yang telah disampaikan sejak jenjang awal, semata memastikan para siswa memiliki pemahaman yang setara mengingat kemungkinan mereka tidak mendapatkan materi yang seragam. Materi berikutnya adalah tentang kehamilan dan kelahiran, pengendalian kelahiran, hak reproduksi, serta tugas dan peran gender. Di usia menuju dewasa ini, pembelajaran tentang kesehatan seksual makin kental, dibarengi dengan kesadaran akan dampak perilaku seksual. Mereka juga sudah mulai dibekali pengetahuan tentang membangun keluarga yang sehat.
Baca juga: Berhati-hatilah dengan Siapa Kamu Bercinta
Bagaimana Penerapan Pendidikan Seks di Sekolah?
Siapa yang tidak miris mendengar kabar peristiwa pencabulan hingga pemerkosaan yang terjadi di lingkungan pesantren. Bukan perihal lingkungannya, itu bahasan yang lain. Kebetulan saja kasus yang akhir-akhir ini berendeng muncul adalah laporan pelecehan seksual terhadap anak-anak didik di pesantren. Yang kondisinya bahkan hingga si anak-anak perempuan itu hamil.
Mendapati kabar-kabar itu, buatku pribadi, mengisyaratkan bahwa pendidikan seksual belum dijalankan dengan baik. Di lingkungan sekolah maupun di rumah.
Seperti dikutip CNN Indonesia (cnnindonesia: kemdikbud-pendidikan-seks-sudah-masuk-kurikulum/21 Mei 2016), Direktur Pendididikan Dasar dan Menengah Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan Hamid Muhammad menyatakan bahwa mereka telah memasukkan materi pendidikan seksual pada 2013 untuk tiap jenjang pendidikan dalam kurikulum pembelajaran. Ia mengakui bahwa materi pendidikan seksual tidak dicantumkan dalam kurikulum. Namun, secara eksplisit masuk dalam pendidikan kesehatan reproduksi.
Hamid Muhammad menyampaikan hal tersebut sebagai bantahan atas opini yang beredar di masyarakat yang menganggap Kemdikbud abai terhadap isu pendidikan seks ini. Saat itu (2016), Hamid mengklaim pendidikan seksual tidak perlu dijadikan kurikulum tersendiri. Menurutnya, selama pihak sekolah bisa menyampaikan materi pendidikan terkait kesehatan reproduksi, pelajar bakal bisa memahami soal seksualitas. Saat itu, tampaknya detail model pengajaran diserahkan ke masing-masing sekolah. Dengan begitu, rasanya sulit, ya, untuk membuat evaluasinya.
Sayangnya aku tak berhasil menemukan sumber informasi terbaru soal kebijakan pendidikan seks ini dikaitkan dengan kurikulum sekolah. Tolong ingatkan, ya, kalau memang pasca UNESCO mengeluarkan rekomendasi pembelajaran tentang pendidikan seks ada kebijakan baru dari pemerintah.
Sejauh ini, dalam bayanganku detail pendidikan seksual ini diserahkan ke masing-masing institusi. Kemudian menjadi penting apa yang harus disiapkan orang tua. Bagaimana topik-topik soal pendidikan seks bisa dijadikan bagian dari parenting modern. Orang tua membekali anak-anaknya dengan pemahaman yang tepat perihal seksualitas. Tak perlu dilakukan pembatasan aktivitas anak jika mereka memahami pilihan tindakannya.
Dengan kelonggaran akses internet, keingintahuan anak-anak perihal seksualitas dapat dengan mudah dipenuhi oleh internet, yang berpotensi melahirkan perbedaan nilai. Tetap, menjadi PR bagi orang tua agar anak-anak memiliki pemahaman yang tepat tentang seksualitas. Pada saatnya, mereka tahu cara menempatkan diri di tengah lingkungannya, tak lagi gagap saat ada persoalan datang. Mereka akan menjadi anak-anak yang memahami tubuh dan dirinya secara utuh, dapat melindungi diri dari pelecehan dan kekerasan seksual, dapat berlaku adil terhadap sesama.
Pendidikan seks yang tepat dapat membawa generasi muda menuju masa depan yang sehat. Tanpa asumsi, tanpa prasangka, tanpa penghakiman, menghargai tubuh, dan menghormati pilihan orang lain.
Baca juga: Kekerasan Verbal dan Trauma Healing
Kamu Punya Perilaku Manipulatif? Kamu Punya Trauma yang Belum Dipulihkan?
Suatu kali aku mendapati satu pos yang dibagikan seorang kawan di salah satu platform media sosial. Ia membagikan sebuah tayangan video tentang trauma dengan pengumpamaan air dalam gelas. Ia memberi takarir: "stop di kamu." Wajar, sih, lalu apa anehnya? Anehnya adalah si kawan ini pelaku kekerasan verbal. Pertanyaannya, apakah sikap manipulatif itu ia lakukan secara sadar, dalam artian bahwa itu merupakan pilihan sikap yang selama ini ia terapkan dalam kehidupannya, ataukah itu adalah buah atau mekanisme koping dari trauma yang ia derita dan tak coba dipulihkan.
Baca juga: Trauma Bonding, Luka yang Sering Disangka Cinta
Lebih detailnya, video tersebut memperlihatkan gelas berisi air berwarna gelap. Isi gelas tersebut dipindahkan ke gelas berikutnya. Lalu dipindahkan lagi ke gelas ketiga. Di gelas terakhir ini ada penambahan air jernih yang dikucurkan pelan-pelan dan membuat air gelap terdorong meluber, keluar dari gelas. Dengan dikucurkan secara terus menerus, maka gelas terakhir ini pun bebas dari warna gelap. Yang tersisa hanya air jernih semata. Yup, istilah "stop di kamu" mengacu pada sosok yang tidak melanjutkan tradisi yang memunculkan trauma dalam garis keluarga.
Perilaku Manipulatif
Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia:
ma.ni.pu.la.si --psikologis: upaya memengaruhi individu dengan mengendalikan segala keinginan dan gagasan yang ada di bawah sadar, juga menggunakan sugesti.
Sebelum memunculkan dampak negatif, baik yang disadari oleh korban maupun orang lain yang memberikan perhatian, perilaku manipulatif ini barangkali tak cukup dikenali. Malah yang muncul adalah anggapan bahwa sang pelaku sedang melakukan kebaikan. Tak terendus adanya agenda tersembunyi. Hingga pada titik terjadi kekecewaan, tujuan si pelaku tak terpenuhi, maka bakal muncullah karakter aslinya yang manipulatif.
Dari berbagai sumber, kukutipkan, apa saja sih ciri-ciri orang manipulatif:
- defensif, tidak mau mengakui kesalahan
- berbohong, bahkan menyalahkan orang lain
- mengabaikan perasaan orang lain
- menyodorkan fakta yang berbeda dari yang sesungguhnya terjadi
- membuat orang lain merasa bersalah
- membuat orang lain meragukan diri sendiri
Mengapa orang melakukan manipulasi? Ada banyak alasan. Tentu saja hal utamanya adalah karena mereka hanya berfokus kepada diri sendiri. Memang, mereka memberikan bantuan, baik materi maupun nonmateri. Namun, hal itu mereka lakukan bukan semata untuk alasan kebaikan melainkan untuk menciptakan ketergantungan hingga pada saat dibutuhkan, mereka akan bersiap untuk mengorbankan diri. Perilaku manipulatif dapat dijumpai dalam berbagai bentuk relasi. Sering terjadi dalam hubungan romantis, namun banyak kasus pula terjadi dalam hubungan kerja, bahkan dalam lingkungan keluarga, dan dalam hubungan sosial lainnya.
Perilaku manipulatif sangat mungkin dilakukan secara sadar sebagai sebuah upaya sistematis. Pada kasus lain, sikap manipulatif lahir sebagai strategi yang terbangun di bawah sadar akibat trauma yang mereka derita.
Baca juga: Mengenal Sabotase Diri dan Mekanisme Koping
American Psychological Association (APA) menyebutkan bahwa trauma dapat menyebabkan seseorang mengembangkan strategi manipulatif untuk mengontrol orang lain dan lingkungan sekitar, serta untuk menghindari perasaan tidak nyaman.
Faktor trauma yang memengaruhi perilaku manipulatif ini antara lain:
1. Kontrol dan kekuasaan. Pengalaman traumatis dapat membuat orang tidak terkendali dan merasa tak berdaya. Mereka akan berusaha mengambil kontrol dan pegang kendali dengan melakukan manipulasi.
2. Pengalihan emosi. Ketidakmampuan mereka dengan trauma dalam mengolah emosinya, membuat mereka mencari jalan keluar dengan pengalihan. Caranya ya dengan melakukan tindakan manipulatif.
3. Ketergantungan. Orang dengan trauma membutuhkan orang lain untuk bergantung, baik secara emosional maupun fisik. Kebutuhan ini mereka penuhi dengan cara manipulatif agar tercipta ketergantungan. Alhasil, seolah orang lain yang bergantung, padahal sebetulnya mereka.
4. Pikiran negatif. Pola pikir orang dengan trauma cenderung negatif. Mereka menilai diri rendah, dipenuhi rasa bersalah, tidak berharga. Salah satu cara yang dilakukan mereka adalah mendapatkan validasi atau pengakuan dari orang lain. Caranya adalah dengan menempatkan orang lain dalam posisi diri mereka.
Baca juga: Body Process, Upaya Memulihkan Diri dari Depresi
![]() |
Tertarik? Hubungi WA Ibu Meong |
Apa Itu Trauma Healing?
Bagaimanapun suksesnya seseorang menjalankan kehidupan yang penuh manipulasi, ia tak akan menjalani hidupnya dengan tenang. Karena ia terus menerus memikir upaya manipulasi yang tak mungkin berhenti, berkesinambungan. Hidup dipenuhi drama. Bagi siapa pun yang menyadari perilaku manipulatif sebagai dampak dari trauma yang dialami, yak ada jalan lain selain melakukan pengobatan dan pemulihan. Mudahnya, kita sebut trauma healing. Di sinilah istilah "stop di kamu" betul-betul diterapkan.
Trauma healing adalah upaya mengatasi post traumatic stress disorder (PTSD) dan pemulihan gangguan psikologis sebagai dampak dari peristiwa traumatis, baik dari peristiwa di masa lalu (masa kecil) maupun masa yang belum terlalu jauh terlewati. Banyak studi yang sudah menunjukkan bahwa trauma memberikan dampak buruk bagi penderitanya terutama terkait masalah emosional. Pada akhirnya hal tersebut berdampak pada kualitas hidup, kualitas hubungan dengan orang lain dan kehidupan sosial, serta menggerogoti kesehatan fisik.
Peristiwa traumatis yang menyebabkan gangguan emosional itu antara lain:
- kekerasan yang dilakukan orang tua atau orang-orang dekat dalam keluarga pada masa kanak, baik secara fisik maupun verbal
- kekerasan atau pelecehan seksual
- perpisahan atau perceraian orang tua
- perundungan di sekolah, lingkungan sekitar, atau tempat kerja
- kecelakaan lalu lintas dengan cedera serius
- bencana alam besar
- KDRT
- PHK atau kehilangan pekerjaan secara mendadak
- lain-lain
Baca juga: Menemukan Makna Hidup Bersama Viktor E Frankl
Membayangkan jika setiap orang mampu bertanggung jawab terhadap masa depan orang-orang yang berinteraksi atau berelasi dengan mereka, barangkali tidak ada sikap yang menyakiti. Tidak ada kekerasan yang terjadi. Namun, jika peristiwa sudah kadung terjadi, tentunya perlu penanganan lanjutannya.
Trauma healing jika sekiranya masih berada di kasus yang belum rumit, bisa melakukan pemulihan mandiri, misalnya dengan meditasi, yoga, membuat jurnal, rajin menulis di blog seperti kawan blogger di blog sunglow.me. Namun, jika kondisi sudah berlanjut, segera cari pertolongan ke mereka yang kompeten di bidangnya. Untuk bantuan profesional, baik psikolog maupun psikiater adalah banyak pilihan terapi. Misalnya dengan terapi kognitif-behavioral (CBT) yang bertujuan membantu mengurai pola pikir yang tidak sehat. Ada banyak metode lain.
Trauma healing mungkin bisa dilakukan dengan pendekatan religi dan spiritual. Barangkali ada ustad, pastor, atau pendeta --dengan catatan memiliki kapabilitas terkait psikologi manusia, bisa dimintakan bantuannya. Atau melalui terapi energi yang saat ini juga banyak pilihan.
Yang pasti, jika saat ini kamu baru menyadari sisi dirimu yang manipulatif, atau mendapati kawan atau anggota keluarga dan orang-orang dekat dengan kasus serupa, berikan saran untuk segera melakukan trauma healing. Demi kehidupan yang lebih baik, dapat menjaga emosi, mengelola stres. Semoga semua makhluk berbahagia. Namaste.
Baca juga: Mengapa Perselingkuhan Terjadi?
Trauma Bonding, Luka yang Sering Disangka Cinta
Barangkali tak cuma sekali dua kali kita menyaksikan orang-orang dekat, baik kenalan atau keluarga yang berada dalam hubungan yang tidak sehat tapi terus berjalan. Kemungkinan besar tengah berlangsung trauma bonding di dalam relasi tersebut. Salah satu pihak menyadari bahwa tengah berada dalam hubungan yang tidak sehat namun sulit untuk lepas atau mengakhiri. Pada setiap pertengkaran memang membuat sakit, namun pada kesempatan lain ada banyak momen manis dan terasa dipenuhi cinta sehingga membuat kembali mereka berharap. Demikian terjadi hingga berkali-kali.
Baca juga: Berdamai dengan Inner Child
Coba lihat sekeliling, adakah teman-teman, keluarga, kenalan, yang mengalami trauma bonding ini. Bukan bermaksud ngepoin kehidupan orang lain, lo. Sekadar berjaga, karena bisa jadi suatu kali mereka membutuhkan pertolongan. Atau, jangan-jangan kamu sendiri yang tengah mengalaminya?
Apa itu Trauma Bonding?
Istilah trauma bonding muncul pertama kali pada 1997. Diperkenalkan oleh seorang terapis yang juga pakar kecanduan seksual, Dr. Patrick Carnes. Ia bekerja sebagai direktur klinik di The Meadows, Arizona dan sebagai direkstur eksekutif di Pine Grove Behavioral Center, Mississippi. Tentang trauma bond ini Carnes menulis dalam bukunya bertajuk The Betrayal Bond: Breaking Free of Exploitive Relationships. Ada ringkasan dalam bentuk pdf yang juga bisa didapatkan dengan mudah melalui internet.
Menurut Carnes, bond atau ikatan trauma ini merupakan akibat siklus kekerasan dan perilaku manis yang berlangsung lama dalam sebuah hubungan. Biasanya, setelah melakukan kekerasan, baik fisik maupun verbal terhadap korban, pelaku akan memanipulasi korban dengan sikap yang baik. Ada yang langsung menyatakan dalam pernyataan penyesalan, ada pula yang menggantinya dengan sikap yang manis. Keadaan akan kembali normal untuk beberapa lama, lantas kembali terjadi pola serupa. Keadaan ini awalnya terasa asing bagi korban, hingga kemudian merasa menikmati dan malah bergantung kepada pelaku.
Baca juga: Empati dan Seni Berkomunikasi
Mengutip sequoiabehavioralhealth dot org, ada 7 tahapan dalam trauma bonding.
Love bombing
Tahap awal ini seperti permulaan relasi pada umumnya, dengan ragamnya masing-masing. Ada yang terasa seperti love at first sight, ada yang malu-malu, ada yang sudah langsung hangat. Tak terdeteksi adanya kemungkinan manipulasi dalam hubungan. Pelan tapi pasti, sejak awal ini seseorang akan melimpahi aneka hal menyenangkan, perhatian, ungkapan cinta, kasih sayang, hadiah, dsb.
Disebutkan bahwa kasih sayang dan hadiah yang berlebihan perlu dicurigai dari awal. Tapi menurutku tak melulu berlebihan. Seorang yang manipulatif juga dapat melakukannya secara halus.
Creating Trust and Dependency
Ketika hubungan mulai berjalan, pelaku akan mulai memasukkan wacana tentang masa depan. Rencana terkait pernikahan, anak, liburan yang menyenangkan, bisnis bersama, dan lain-lain, hal yang kira-kira diinginkan pasangan.
Criticism
Bayangan akan stabilitas di masa depan membuat seseorang akan serus berpikir tentang hubungan jangka panjang. Siapa yang tak menginginkan? Tapi perkembangan berikutnya, perhatian mulai memudar. Love bombing mulai surut. Berbagai keluhan terhadap pasangan mulai dimunculkan. Berbagai aksi yang menyakiti mulai dirasakan oleh pasangan. Sayangnya si pasangan segera bisa menerima kembali ketika pelaku menyampaikan permintaan maaf dan biasanya dibarengi dengan pemberian hadiah dan pujian serta hal-hal menyenangkan lainnya.
Gaslighting
Ini merupakan taktik manipulasi emosional yang bertujuan menjadikan korban meragukan dirinya sendiri. Saat pasangan sudah berhasil di-gaslight, yang terjadi adalah mereka seolah mentolerir perbuatan pelaku. Seolah yang yang dilakukan pelaku bukanlah hal yang salah. Tidak menyadari jika diri sedang diperlakukan tidak layak. Korban juga sering disudutkan pada posisi orang yang bersalah.
Resignation
Pada tahap ini, sudah tidak ada lagi komunikasi yang membangun. Jika ada komunikasi, hanya untuk menjaga keberlangsung hubungan sehari-hari. Persoalan-persoalan yang lebih penting dan membutuhkan penanganan tidak mendapatkan perhatian. Akibatnya apa-apa yang mestinya menjadi bahasan untuk kepentingan masa depan hubungan seolah menemui jalan buntu. Di titik ini pasangan mulai merasakan ada yang tidak beres, namun seolah tak memiliki energi untuk pergi. Selalu menemukan alasan untuk bertahan. Apakah itu kenangan indah, rasa iba, atau --kalau istilah temanku-- dorongan untuk menjadi pahlawan. Bertahan dan berharap pelaku akan "sembuh".
Loss of Self
Ketidakmampuan untuk pergi menjadikan pasangan makin bisa menerima perlakuan buruk pelaku. Tak sadar ia telah membiarkan pelaku menguasai perasaan korban. Ia bahkan kehilangan kebutuhan dan keinginan dari dirinya sendiri. Yang ia lakukan adalah memenuhi apa yang diinginkan pelaku. Ia lupa dengan kondisi dirinya, kebahagiaannya, kesehatannya, harapan-harapannya. Ia pun menjauhkan diri dari orang-orang dekatnya. Di masa ini love bombing terus dijalankan oleh pelaku saat korban sedikit saja terlihat mulai protes.
Emotional Addiction
Ini nyata adanya. Aku menjumpai beberapa kenalan mengalami kecanduan secara psikologis terhadap hubungan yang penuh kekerasan. Entah proses kimia apa yang terjadi dalam tubuh korban sehingga mereka bisa memetik kepuasan tertentu dalam siksaan fisik dan batin yang ia alami.
Ada berapa banyak kasus trauma bonding di sekitar kita? Ah, kalau dari angka belum pernah kutemukan penelitiannya. Namun dari pengalaman pribadi, ada cukup banyak kasusnya. Mungkin saiyah perlu titip pertanyaan ke kawan blogger Teh Okti yang masih banyak turun lapangan, bikin semacam survei kecil-kecilan.
Baca juga: Body Process, Upaya Membebaskan Diri dari Depresi
Apakah Trauma Bonding Bisa Diakhiri?
Kembali ke awal, pertanyaannya: mengapa hal ini bisa terjadi?
Trauma bonding muncul karena perpaduan rasa takut, harapan, dan manipulasi. Seseorang takut akan kehilangan pasangan; khawatir mengalami kesepian. Kebaikan hati si pasangan ini selalu mencuatkan harapan bahwa pelaku dapat berubah.
Berhasil menemukan kontra dari jawaban tersebut, merupakan tahap penting bagi seseorang untuk bisa lepas dari kondisi ini. Dibutuhkan keyakinan diri bahwa:
• Tidak ada masalah dengan menjalani hidup sendiri. Ada banyak aktivitas pilihan untuk mengatasi rasa kesepian. Begitu pula orang-orang baik di sekitar, pun binatang-bintang peliharaan.
• Bukan tugas kita untuk menjadikan orang lain berubah. Sebagai orang dewasa, setiap orang terus meng-upgrade diri untuk melakukan perubahan ke arah yang lebih baik. Jika dalam kurun waktu yang lama perubahan tak kunjung ada, bisa jadi yang bersangkutan memang tak mau berubah.
Yang sulit memang ingatan akan hal-hal yang baik dan indah yang pernah terjadi. Bagaimana selama ini si pelaku memberikan dukungan, baik materi maupun mental. Rasa hangat yang dihadirkan karena kepeduliannya. Humor yang menyenangkan yang tercipta di antara percakapan. Semua hal yang pernah sangat mencukupkan kebutuhkan afeksi ini seolah menciptakan rasa bersalah jika harus meninggalkan pelaku.
Padahal pertanyaan besarnya: Apakah semua peristiwa menyenangkan itu mampu menyembuhkan luka yang sudah mereka berikan?
Kemungkinan besarnya tidak. Karena luka, sekali dibuat akan meninggalkan jejaknya. Begitu datang luka baru, akan memperlebar atau memperdalam. Begitu seterusnya. Luka itu tak akan pernah benar-benar sembuh. Apalagi bagi mereka yang telah punya pengalaman traumatis.
Baca juga: Mengenal Sabotase Diri dan Mekanisme Koping
So, tak ada jalan lain selain mengakhirinya.
Bagi yang mulai merasakan potensi terjadi trauma bonding dalam hubungan, bisa segera mencari pertolongan. Jika mampu menyelesaikan sendiri, lakukan. Jika tidak, carilah orang-orang yang dapat dipercaya, baik dari kalangan dekat maupun tenaga profesional.
Dalam sesinya, prosfesional akan membantu korban untuk mencari faktor apa saja yang menjadi penguat terjadinya trauma bonding untuk dicarikan cara mengatasinya. Selain itu korban juga akan dibimbing untuk membuat batasan bagi diri sendiri agar tak terjebak dalam masalah serupa dalam relasi di kemudian hari, dan bisa memetik hal berharga dari pengalaman yang sudah dilaluinya.
Jika kamu adalah orang yang didatangi oleh korban, baik sekadar bercerita aupun meminta pertolongan, hal pertama yang perlu dilakukan alah untuk tidak menghakimi. Yakinkan bahwa dia tidak sendiri dan jika merasa tak cukup sanggup untuk membantu mencari jalan keluar, arahkan korban untuk mencari pertolongan profesional. Semoga semua makhluk berbahagia. Namaste.
Baca juga: Mengapa Tak Perlu Membenci
Mengapa Perselingkuhan Terjadi?
Ini pertanyaan klise, bukan? Tapi nyatanya ini pertanyaan yang terus mengemuka dari waktu ke waktu. Dalam beberapa hari ini aku dihadapkan pada cerita tentang dua kawan yang mengalami masalah dalam rumah tangganya. Yang seorang sudah mengakhiri pernikahannya, seorang lagi sedang dalam proses perceraian. Salah satu penyebabnya adalah perselingkuhan. Mengapa "salah satu"? Karena dalam banyak kasus, perselingkuhan bukanlah penyebab tunggal. Jadi, mengapa perselingkuhan bisa terjadi?
Baca juga: Menemukan Makna Hidup dari Viktor E Frankl
Perihal perselingkuhan menjadi topik yang tak akan habis dibahas. Kasusnya banyak kita temukan di sekitar, bahkan di antara kita barangkali adalah "korban" atau sebaliknya, "pelaku". Tetap, aku perlu membubuhkan tanda petik karena alasan-alasannya bisa jadi masih perlu diperdebatkan. Saking mudahnya menemukan kasus perselingkuhan, ada diskusi yang menyebutkan bahwa baik laki-laki maupun perempuan mengakui pernah menjalani hubungan selain dengan pasangan (sah) mereka. Besarannya mencapai lebih dari 31 persen untuk laki-laki dan 20 persen untuk perempuan; dalam rentang usia antara 40 hingga 50 tahun. Sesungguhnya, apa sebab terjadinya perselingkuhan?
Kapan Sebuah Hubungan Disebut Terjadi Perselingkuhan?
Belakangan aku banyak bermain di media sosial X. Bahasan soal perselingkuhan ini kerap sekali muncul. Terutama dari komunitas tertentu. Sebagian besarnya berkisah tentang perselingkuhan yang terjadi dalam hubungan pacaran. Pertanyaannya, apakah saat dalam hubungan pacaran, ketidaksetiaan terhadap pasangan sudah bisa disebut perselingkuhan? Bukankah masa berpacaran adalah proses pencarian, dan wajar saja mereka berproses sekaligus dengan beberapa orang? Tak sedikit yang menyebutkan bahwa yang namanya selingkuh, ya, bisa terjadi dalam berbagai bentuk hubungan. Bukan soal telah disahkan oleh lembaga pernikahan dengan legitimasi dari negara atau tidak.
Aku sendiri lebih cenderung sepakat dengan pemahaman bahwa istilah selingkuh bisa diterapkan dalam berbagai hubungan. Apalagi jika melihat kondisi akhir-akhir ini, ketika orang tak lagi mensakralkan perjanjian pernikahan oleh lembaga negara atau agama. Bukan dengan maksud hidup suka-suka, melainkan lebih percaya pada komitmen dengan pasangan. Tentu saja jika pasangan berada di sumpah pernikahan, konsekuensinya bakal lebih rumit.
Sebelumnya, sebagai disclaimer, catatan ini semata pertimbanganku yang pernah akrab dengan lingkungan yang dipenuhi perselingkuhan, pernah menjadi korban, pernah pula mengiyakan begitu saja untuk berelasi dengan orang yang sudah berpasangan.
Baca juga: Mengelola Pikiran Agar Terhindar dari Stres Berlebihan
Penyebab terjadinya perselingkuhan:
1. Perasaan diabaikan. Adalah hal yang manusiawi ketika seseorang merasa diabaikan, merasa tak lagi punya nilai di mata pasangannya, ia akan mencari perhatian dari orang lain. Ini dapat terjadi pada laki-laki maupun perempuan.
2. Keinginan membalas dendam. Hal ini terjadi jika sudah ada pemicu peristiwa sebelumnya. Apakah peristiwa itu terkait dengan perselingkuhan, atau hal lain. Penyebabnya soal lain, namun pembalasan yang dilakukan hanya bisa berupa perselingkuhan, maka itulah yang dipilih. Perasaan dikhianati dan disakiti itu memunculkan keinginan membalas dendam.
3. Kebutuhan seksual yang tak terpenuhi. Ada dua kemungkinan. Secara nyata memang pasangan menolak melakukan hubungan seksual, atau semata tidak puas. Dua hal yang sama-sama bisa didiskusikan untuk mencari jalan keluar.
4. Hilangnya chemistry. Manusia berubah, perasaan berubah. Orang membutuhkan sensasi "letupan emosi" seperti kali pertama jatuh cinta. Lalu pencariannya bukan kembali ke dalam diri pasangan melainkan keluar.
5. Komitmen yang rendah. Harus diakui tak semua hubungan berpasangan, bahkan menikah sekalipun dilandasi dengan komitmen yang serius. Bisa jadi hanya sebagai syarat. Maka, soal perselingkuhan pun bukanlah pasal kesalahan yang serius.
6. Terjebak dalam kondisi tak biasa. Kondisi tak biasa itu misalnya berada dalam kesibukan yang memunculkan ketegangan sehingga membutuhkan pelepasan. Ini sering kali kaitannya dengan aktivitas seksual. Hasilnya bisa jadi sekadar peristiwa selewat, atau berlanjut menjadi sebuah peristiwa perselingkuhan yang melibatkan perasaan yang lebih dalam.
7. Perasaan rendah diri. Hal semacam ini banyak kita jumpai kasusnya pada orang-orang dengan trauma. Mencari pelarian atas rasa tak percaya dirinya melalui hubungan (seksual) dengan banyak orang.
8. Keingin mencari variasi alias memang "penyakit". Orang yang ada di golongan ini adalah mereka yang memang ingin mendulang banyak pengalaman dengan orang lain untuk memenuhi kebutuhan materiil maupun keinginan seksual.
Baca juga: Kesehatan Mental dan Skala Hawkins
Yang Bisa dan Tidak Bisa Dihindari
Terlalu naif jika kita mengharapkan akan menjumpai pasangan kita sebagai orang yang sama persis dengan yang kita jumpai pertama kali. Dalam perjalanan waktu pastinya akan terjadi banyak perubahan. Intensitas pertemuan dan komunikasi di antara pasangan akan memberikan kontribusi bagi masing-masing untuk berubah. Maka, apa penyebab perselingkuhan bukan hal yang penting lagi. Yang lebih penting tentu saja adalah bagaimana menerima segala bentuk perubahan dari masing-masing pribadi yang berpasangan dan menjadikannya tetap selaras. Karena jika tidak, barangkali tak ada lagi yang bisa diselamatkan.
Jadi, apa yang masih bisa dihindari dari kemungkinan terjadinya perselingkuhan?
Buatku yang utama adalah persoalan komunikasi.
Aku pernah berjumpa dengan kawan lelaki yang pada suatu masa menceritakan kehidupan pribadinya. Ia mengaku tak mendapatkan kepuasan dari hubungan seks dengan istrinya. Seperti ada yang kurang.
Kutanya,"Apakah istrimu merasakan kepuasan?"
Dan jawabannya membuatku takjub karena dia bahkan tidak tahu apakah istrinya mengalami kepuasan secara seksual atau tidak. Aku tidak tahu juga, tidak menanyakan lebih jauh, apakah memang ada anggapan dari budaya atau ajaran agama yang tidak membolehkan pasangan membahas hal semacam itu.
Tapi kasus di atas bisa menjadi salah satu contoh betapa suatu hal dianggap sebagai masalah secara sepihak, tapi tidak upaya untuk membahasnya bersama pasangan. Begitu pun pada kasus-kasus lain, aku cukup meyakini bahwa komunikasi memegang peran yang sangat penting. Tentu saja kehendak untuk meluruskan asumsi atau menyelesaikan masalah harus datang dari kedua belah pihak.
Baca juga: Body Process, Upaya Membebaskan Diri dari Depresi
Dari 8 poin di atas, apakah semuanya bisa diselesaikan melalui komunikasi yang baik. Kalau dalam pertimbanganku, "iya", KECUALI nomor 8.
Aku pernah berhadapan dengan orang-orang yang memang betul-betul menjadikan seks sebagai petualangan. Mereka ini akan selalu mencari celah untuk berselingkuh. Tidak ada soal afeksi dalam hubungan tersebut.
Jadi, sekali lagi, menurutku hanya poin 8 saja yang tak akan berhasil dengan upaya apa pun. Anggap "selesai" saja, tinggalkan, lupakan.
Tujuh poin yang lain masih sangat mungkin dibicarakan. Jika memungkinkan, cukup selesaikan berdua saja. Sayangnya tak semua orang mahir dalam mengeluarkan apa yang ada di pikiran. Kalau itu yang terjadi, dapat melibatkan pihak ketiga. Apakah orang tersebut adalah kawan, keluarga, atau profesional. Mungkin kamu membutuhkan saran dari psikolog atau konsultan pernikahan.
Perasaan manusia dapat berubah. Komitmen tidak. Selagi komitmen untuk menjalani hubungan sebagai pasangan masih datang dari kedua pihak, hubungan masih dapat dipertahankan. Bagaimana jika tidak? Bagaimana jika segala upaya di atas tidak menemukan hasil? Barangkali memang sudah saatnya untuk berserah. Berserah, bukan menyerah, ya.
Dalam konteks ini, dalam pemahamanku, kondisinya sudah betul-betul di luar kendali kita. Apa pun yang kalian percayai. Apakah menganggap itu sebagai kehendak Ilahi. Atau sebagai takdir. Atau bagian dari karma. Hanya akan menemukan jalan buntu jika kita bersikukuh untuk menyelesaikan hal yang memang di luar kendali kita. Solusinya cuma satu: menyerahkan kepada Semesta, atau apa pun entitas yang kalian percayai sebagai sosok yang berkuasa atas hidup manusia. Tak akan mudah, tapi, cobalah. Tinggalkan yang sudah berlalu, rangkullah masa depan. Namaste.
Baca juga: Mengenal Sabotase Diri dan Mekanisme Koping
NB: Lalu, apa yang terjadi ketika banyak perempuan terjebak dalam perselingkuhan yang sebetulnya tidak diinginkan? Lain waktu mungkin aku akan menuliskannya.
Body Process, Sebuah Upaya Membebaskan Diri dari Depresi
Baru-baru ini aku belajar Body Process (BP). Apa itu body process? Nanti kita bahas, ya. Mungkin secara khusus BP tak cukup banyak. Namun ada referensi lain yang bisa dibagikan terkait Access Conciousness sebagai pencetus metode ini. Yang pasti ini merupakan bagian dari upaya untuk meningkatkan kualitas hidup dengan membebaskan diri dari persoalan kesehatan mental seperti depresi, gangguan kecemasan, stres, gangguan makan/tidur, Obsessive-Compulsive Disorder (OCD), gangguan emosional akibat trauma, dll. Syukur-syukur jika nantinya bisa memberikan kontribusi bagi orang lain.
Baca juga: Stoikisme dan Upaya Melakoni Hidup Lebih Baik
Kapan hari secara random sedikit ngobrol dengan kenalan di satu media sosial. Membahas soal depresi. Pertanyaanku: dalam kondisi apa seseorang bisa menyebut diri sebagai depression survivor? jawab si kawan: semua yang berhasil bertahan hidup dari depresi boleh menyebut diri survivor, kok. Aku tak ingin memperpanjang dengan mencari tahu soal istilah ini. Hanya mencoba menggarisbawahi --setidaknya dari pengalaman orang yang kutanya baik pengalaman dirinya sendiri maupun orang-orang di sekelilingnya, bahwa setiap orang pernah mengalami depresi. Kadarnya saja yang mungkin berbeda. Pun cara penanganannya.
Mari Kenali Kondisi Kejiwaan Diri
Minggu lalu aku mendapat kunjungan keponakan. Generasi Z. Konon ia sedang mengalami stres yang berdampak pada pengerjaan skripsi yang tak tuntas-tuntas. Atau skripsinya yang membuat ia stres. Itu informasi awalnya. Tak ingin membahas si keponakan secara khusus. Sekadar memberikan gambaran bahwa gangguan kesehatan mental begitu mudah kita temukan di sekitar kita. Bahkan kita sendiri bisa jadi belum terbebas dari permasalahan tersebut.
Mengacu pada istilah yang dikeluarkan World Health Organization (WHO), kesehatan mental diartikan sebagai kondisi kesejahteraan mental yang memungkinkan seseorang mampu menghadapi tekanan dalam hidup, mengekspresikan kemampuannya, belajar dan bekerja dengan baik, serta berkontribusi bagi masyarakat dan lingkungan sekitarnya. Sebaliknya, mereka yang mengalami gangguan mental berpengaruh terhadap kondisi emosi, pikiran, dan perilaku mereka.
Masalah mental bukanlah hal yang remeh-temeh dan bisa dipandang sebelah mata. Terlebih jika gangguan yang lebih serius terjadi secara terus menerus. Selain membuat penderitanya merasa tidak bahagia juga mengakibatkan produktivitas terganggu. Perlu segera dicari solusi agar bisa lebih berdamai dengan diri sendiri dan keadaan, sehingga dimampukan untuk melakoni kehidupan dengan lebih sehat.
Buatku, solusi pertama adalah menyadari dan mengakui jika diri punya masalah dengan mental. Setelahnya, barulah menemukan solusi berikutnya.
Baca juga: Doa, Meditasi, dan Vibrasi Energi
Ada banyak metode yang disarankan untuk mengatasi aneka gangguan mental, mulai dari hal-hal sederhana yang bisa dilakukan sendiri maupun dengan bantuan profesional.
Pertama: jaga kesehatan fisik. Kita mencatat pemeo lama yang menyebutkan bahwa dalam tubuh yang sehat terdapat jiwa yang sehat.
Kesehatan fisik dapat dimulai dari apa yang masuk ke tubuh kita. Pilih makanan dengan gizi seimbang. Hindari konsumsi makanan dan minuman olahan, yang sebagian besarnya sangat royal dengan gula dan natrium yang tak bermanfaat bagi kesehatan jika dikonsumsi secara berlebihan. Konsumsi alkohon juga sebaiknya dikurangi atau dihindari. Jadwal makan juga disarankan untuk diperhatikan, agar tak mengalami masalah dengan lambung. Stres dan gangguan lambung sering kali berjalan beriringan. Bagi para perokok, perlu dipertimbangkan juga untuk menghentikan kegemarannya tersebut.
Fisik yang terjaga juga dipupuk lewat latihan. Olahraga. Aktivitas fisik ini dapat menghasilkan endorfin, senyawa kimia dalam otak yang punya peran memunculkan rasa gembira, meningkatkan mood, mengurangi stres. Jika dilakukan secara teraktur dapat meningkatkan kualitas tidur. Bagaimanapun tidur yang nyenyak memberikan pengaruh signifikan terhadap keseimbangan kimia di otak, sehingga membantu menjaga kesehatan mental. Olahraga apa yang tepat, bisa didiskusikan dengan dokternya jika sudah memiliki gangguan kesehatan. Atau bisa dibicarakan dengan pelatihnya.
Aku sendiri memulainya dengan berjalan kaki, minimal 5000 langkah sehari. Dan itu sudah sangat membantu.
Kedua: melakukan meditasi dan mngembangkan keterampilan koping
Meditasi merupakan salah satu yang banyak disarankan sebagai solusi mengatasi persoalan gangguan mental seperti stres, cemas, depresi, dan gangguan lainnya. Saat bermeditasi, kita diminta untuk berfokus pada pernapasan. Tujuannya adalah meningkatkan kesadaran diri, untuk menikmati masa "kini" dan tidak membiarkan pikiran berkelana. Apalagi pikiran-pikiran yang mengganggu dan menjadi pencetus masalah mental.
Sedangkan keterampilan koping adalah kemampuan dalam membuat strategi dalam mengelola emosi, mengubah pola pikir, memanfaatkan atau mengatur waktu dengan tepat, dll. Ketreampilan ini dibutuhkan dalam menghadapi tantangan dan tekanan hidup yang berpotensi memberikan dampak terhadap kesehatan mental.
Belakangan ada metode baru yang mulai banyak dipakai, yakni Metode Sedona atau Sedona Methode. Selain membantu mengatasi aneka gangguan mental, metode ini juga mengarahkan kita untuk mendapatkan apa yang menjadi manifestasi kita dengan law of attraction. Salah satu hal yang --menurutku-- cukup signifikan memunculkan masalah gangguan mental ini adalah ketidaksesuaian antara ekspektasi dan kenyataan. Cukup penting untuk tak sekadar berekspekstasi namun juga melakukan praktik manifestasi.
Ketiga: menyerahkannya kepada profesional. Dalam hal ini bisa berkonsultasi kepada psikolog atau psikiater jika membutuhkan pengobatan. Atau terapi alternatif yang lainnya, seperti hipnoterapi. Aku sendiri pernah melakukan ketiga-tiganya.
Terapi psikologis penting dilakukan jika kita tak mampu menemukan masalah kita sendiri. Mereka yang profesional di bidang ini memiliki metodologi dalam menggali informasi yang mereka butuhkan. Dengan cara itu mereka akan melakukan identifikasi persoalan dan menentukan strategi dalam menghadapi atau mengatasinya.
Baca juga: Hidup Sehat dengan Reiki
Mengenal Body Process (BP)
Persisnya adalah Access Body Process karena metode ini dikembangkan oleh Access Consciousness. Tetapi untuk memudahkan kita singkat BP saja. Access Consciousness sendiri adalah gerakan New Age pseudoscientific yang didirikan oleh Gary Douglas pada 1995 di Santa Barbara, California.
BP merupakan teknik penyembuhan dengan pendekatan yang unik. Titik berangkatnya adalah tubuh. Tujuannya adalah mengaktifkan kemampuan alami tubuh dalam memulihkan diri sendiri. Karena tubuh kita menyimpan banyak potensi. Selain mampu menyembuhkan dirinya sendiri, tubuh pun dapat kita ajak kerja sama dengan menyampaikan permintaan. Tekniknya adalah dengan menggunakan sentuhan ringan pada tubuh dengan permintaan melepaskan energi yang terjebak. Bukan hanya pada aspek fisik, melainkan juga aspek emosional dan mental. Dengan BP, kita tak hanya merawat dan memelihara tubuh kita, namun juga memberikan ruang kepada tubuh untuk hidup lebih berdaya dan bebas dari batasan.
Sebelum BP, ada metode lain dari Access Consciousness yang lebih dulu dikenal, yakni Access Bars (AB). Ini merupakan salah satu metode yang belakangan banyak dimanfaatkan dalam menangani depresi. Metode terapinya dengan memberikan sentuhan di 32 titik di kepala. Melalui sentuhan itu, tubuh akan melepaskan pikiran, perasaan, dan emosi yang mengganggu. Dengan begitu, terlepaslah trauma, redalah stres, pergilah depresi. Tentu saja tak mudah, terlebih untuk persoalan yang sudah berkarat. Barangkali dibutuhkan proses yang lama dan berulang.
Prinsip yang mendasari teknik, baik pada BP maupun AB sama, yakni meng-unlock segala yang selama ini tersembunyi, terpendam, tertutupi, baik yang dilakukan secara sadar maupun tidak, bahkan hal-hal yang bisa jadi sebetulnya tak dimaui oleh tubuh. Misalnya nilai-nilai tertentu yang ditanamkan oleh keluarga dan lingkungan yang sebetulnya tak sejalan dengan pemikiran kita sendiri.
Baca juga: Apakah Kita Boleh Marah?
Baik praktisi AB maupun BP tidak menyalurkan energi kepada klien. Klien juga tidak perlu menceritakan apa yang menjadi persoalannya. Tubuh klien yang akan memulihkan dirinya sendiri. Para praktisi hanya menjalankan fungsi sebagai mediator, sama sekali tidak ada upaya mempengaruhi klien. Urusan klien sendiri jika tubuhnya memutuskan untuk tidak melepaskan beban dalam dirinya. Praktisi memberikan ruang bagi tubuh untuk membuat pilihan.
Dalam tata laksana terapi dengan metode AB, klien akan diminta untuk berbaring secara rileks. Berikutnya praktisi akan melakukan sentuhan di 32 titik di kepala. Sedangkan pada BP, praktisi hanya meletakkan dua telapak tangan di dua lokasi. Ini untuk BP yang pernah kupelajari. Ada banyak titik lain dengan peruntukannya masing-masing. Durasi terapi bervariasi, kisaran 30-60 menit. Namun bisa jadi lebih cepat jika tubuh memberi isyarat untuk berhenti, dan sebaliknya isyarat untuk lanjut.
Bagaimana efeknya?
Aku pernah menjadi klien AB. Tak lama mendapatkan sentuhan di beberapa titik di kepala, disergap rasa tenang lalu berubah menjadi kantuk. Aku tertidur dalam waktu sekitar setengah jam dan bangun dalam kondisi lebih segar. Sedangkan BP, aku pernah berperan sebagai klien, pernah pula sebagai praktisi. Sebagai klien, rasanya lebih kurang sama dengan efek AB. Sedangkan sebagai praktisi, aku merasakan sensasi yang berbeda. Ada rasa membahagiakan. Barangkali karena sebelumnya dibekali kekhawatiran di benakku dipenuhi pikiran. Ternyata tidak. Bisa menjalankan fungsi praktisi dengan baik.
Seru, tapi masih buanyak sekali yang masih perlu dipelajari. Ada yang tertarik? Boleh kontak saiah kalau berminat, ya, di sini. Baik untuk belajar maupun sebagai klien.
Ini berbagi pengalaman dari sebagai pembelajaranku untuk hidup lebih sehat, dan terbebas dari depresi. Semoga bermanfaat. Namaste.
Baca juga: Memilih Batu Kristal yang Selaras dengan Energi Kita
Menemukan Makna Hidup bersama Viktor E. Frankl
Buku Man’s Search for Meaning oleh Viktor E. Frankl ini cukup lama bersemayam di tumpukan. Rasanya bukan buku yang kubeli. Entah dari mana, tak ingat persis. Sebelumnya aku tak punya cukup referensi, sedangkan di mataku, desain sampul versi penerbit Nuansa ini kok enggak banget. Sempat terpikir kalau ini buku tentang kekristenan dan sudah masuk boks buku-buku yang akan dijual. Hingga suatu kali lihat tayangan kawan Threads soal buku ini, dengan sampul yang berbeda. Dari sedikit obrolan, dikatakannya ini buku yang sangat recomended. Akhirnya mulai dibukalah, setelah sekian abad membisu. Perasaanku langsung tertohok. Kisah tentang penderitaan sekaligus keberanian menjalani hidup.
Baca juga: Veronika Memutuskan Mati
Dalam buku terbitan Nuansa tak kutemukan muasal Frankl berada di kamp konsentrasi. Cek sejumlah referensi, tersebutkan bahwa psikiater keturunan Yahudi yang bermukim di Wina, Austria ini menerima undangan dari Konsulat AS untuk mendapatkan visa imigrasi. Saat itu Frankl tengah mengembangkan gagasannya yang ia sebut sebagai Logoterapi. Mestinya ia berangkat. Namun ia ragu. Ia merasa tak mungkin meninggalkan kedua orang tuanya yang ia tahu cepat atau lambat akan ditangkap dan dimasukkan ke kamp konsentrasi. Ia memilih untuk tinggal. Pada saatnya ia pun diseret ke kamp yang mengerikan itu.
Buku ini terbagi dua bagian, kisah Frankl selama di kamp dan teorinya tentang Logoterapi.
Kamp Konsentrasi, Ketika Hidup dan Mati Begitu Dekat
Membaca bagian pertama buku ini rasanya seperti dihadapkan pada hal-hal baru yang sama sekali belum pernah kujumpai, bukan dalam makna yang menakjubkan, melainkan mengerikan. Hidup yang mengerikan adalah hidup yang tak memiliki kebebasan untuk memilih. Berapa banyak di antara kita yang pernah mengatakan "aku tak punya pilihan" dengan suara memelas? Tidak punya pilihan itu seperti yang dialami Frankl dan mereka yang berada dalam kamp konsentrasi ini. Hidup dan mati bukan milik mereka, namun milik penjaga, milik serdadu.
Meski demikian, buat Frankl tetap ada pilihan. Satu-satunya pilihan itu adalah memberi makna peristiwa yang tak pernah mereka ketahui akhirnya seperti apa.
Kehidupan punya potensi untuk memiliki makna, termasuk dalam kondisi yang paling menyedihkan.
Baca juga: Berdamai dengan Inner Child
Bayangkan, orang yang baru saja bercakap denganmu, tak berapa lama kalian sudah lihat berubah menjadi asap. Gumpalan putih yang terbang dari cerobong kamar gas. Hanya karena kamu terlihat kurus, malas, lemas, tak bertenaga di mata pengawas, atau sekadar berdasarkan ketidaksukaan, kamu sudah harus meninggalkan kehidupan.
Ketika itu yang terjadi, yang bisa dilakukan adalah mencari untuk kemudian memberi makna waktu yang bisa dimiliki. Apakah Frankl selalu bisa bersikap positif dan optimis? Tidak. Frankl juga menceritakan bagaimana dirinya marah dan mengalami frustasi.
Kurun 3 tahun (1942-1945) di tiga kamp konsentrasi yang berbeda, Teresienstadt, Auschwitz-Birkenau, Kaufering, dan Turkheim adalah waktu yang sangat lama untuk Frankl bisa mengumpulkan apa-apa yang diamatinya dari sekitar. Bagaimana kecemasan setiap orang yang hidupnya terus dibayangi kemungkinan akan dikirim ke kamar gas, lalu menghilang begitu saja dari eksistensinya sebagai manusia. Sementara fisik mereka pun tertindas. Bekerja keras, hanya dengan upah berupa makanan sangat tidak layak. Miris membayangkan semangkuk sup dengan air berlimpah dan secuil roti. Pada bagian lain, Frankl menggambarkan bagaimana kedekatan dengan pengawas cukup menguntungkan, setidaknya ia bisa mendapatkan sendokan dasar panci sup. Artinya mendapatkan kacang lebih banyak. Kondisi yang semuram itu telah membuat para tahanan frustasi. Banyak yang akhirnya menyerah dengan membunuh dirinya sendiri.
Apa pun bisa dirampas dari manusia. Kecuali satu: kebebasan terakhir seorang manusia yaitu kebebasan untuk menentukan sikap dalam setiap keadaan. Kebebasan untuk memilih jalannya sendiri.
Baca juga: Empati dan Seni Berkomunikasi
Menentukan makna hidup merupakan hal penting agar terhindar dari keputusasaan. Menurut Frankl, makna hidup dibentuk oleh pikiran kita. Kita yang menciptakan, bukan mencari dari luar diri. Kita tak perlu mencari apalagi menunggu hal-hal ideal di luar diri kita untuk bisa menjalankan kehidupan yang lebih baik, melainkan membuat sendiri makna hidup dari kondisi kita alami. Di penjara, Frankl memotivasi diri dengan memikirkan hal bahagia yang akan dia lakukan setelah bebas dari kamp. Pemikiran itulah mampu bertahan dari kehidupan kamp yang mengerikan.
Logoterapi sebagai Upaya Menemukan Makna Hidup
Kata logos mengambil dari istilah dalam bahasa Yunani yang artinya "makna." Logoterapi percaya bahwa perjuangan untuk menemukan makna hidup dalam diri seseorang merupakan motivator utama orang tersebut. Menurut Frankl, inti dari Logoterapi adalah keinginan untuk mencari makna hidup. Hal ini dikatakan Frankl untuk menunjukkan bahwa Logoterapi berbeda dengan Psikoanalisis-nya Sigmund Freud yang menyebutkan tentang prinsip kesenangan atau keinginan untuk mencari kesenangan. Berbeda pula dengan will to power atau keinginan untuk mencari kekuasaan seperti didengungkan oleh aliran psikologi Adler. Di kemudian hari, Logoterapi juga dikenal sebagai "Aliran Psikoterapi Ketiga dari Wina".
Menurut Logoterapi, ada tiga cara yang dapat ditempuh untuk menemukan makna hidup, yaitu:
- Melalui pekerjaan atau karya dan perbuatan
- Melalui seseorang atau hal-hal dan kondisi yang disayangi
- Melalui penyikapan terhadap penderitaan (bahwa penderitaan tidak bisa dihindari)
Hiduplah seakan-akan Anda sedang menjalani hidup untuk kedua kalinya, dan hiduplah seakan-akan Anda sedang bersiap-siap untuk melakukan tidakan salah untuk pertama kalinya.
Baca juga: Mengenal Sabotase Diri dan Mekanisme Koping
Lewat kalimat di atas, Frankl mengingatkan bahwa Logoterapi pada intinya adalah mengajak orang untuk bertanggung jawab terhadap dirinya sendiri. Dalam terapi-terapinya, pasien diberi kesempatan untuk memilih, untuk apa, kepada apa, atau kepada siapa ia merasa bertanggung jawab. Logoterapi tidak menggurui, tidak menghakimi, tidak pula menawarkan pemikiran logis maupun nasihat moral. Menurut Frankl, manusia selalu menuju dan dituntun kepada sesuatu atau seseorang di luar dirinya. Ini dapat dalam bentuk makna yang harus ditemukan, atau manusia lain yang akan ia jumpai. Semakin kita melupakan diri sendiri -dengan mengabdi pada suatu perkara atau orang lain yang kita cintai- maka kita menjadi semakin manusiawi.
Masih cukup panjang penjelasan Frankl perihal Logoterapi. Aku masih mencoba membacanya pelan-pelan. Ada banyak istilah psikiatri yang bikin jidat berkerut. Sila baca langsung sendiri untuk mendapatkan penjelasan detailnya, ya.
Penderitaan itu sejatinya tidak memiliki makna; kitalah yang memberi makna pada penderitaan melalui cara kita menghadapinya. (Harold S. Kushner, pengantar)
Intinya, bukan keadaan yang menentukan siapa diri kita, melainkan sikap dan respons kita saat menghadapinya dan keputusan-keputusan apa yang kita buat.
Judul: Man's Search for Meaning
Penulis: Viktor E. Frankl
Penerbit: Nuansa, 2004
Tebal: 233 halaman
Baca juga: The Kite Runner, Layang-layang dan Hal yang Berubah
Mengenali Diri Sendiri lewat Model Johari Window
Pernah nggak punya pengalaman diingatkan oleh orang lain tentang sesuatu yang merupakan bagian dari karakter kita, tanpa kita sadari? Dulu, aku tak menyadari kalau aku adalah seseorang yang nyaris tak punya obsesi. Hingga ada di satu momentum yang memunculkan pernyataan itu dari direktur kantor aku kerja dulu. Sebetulnya mungkin aku tahu kondisinya, namun tak pernah menamai kondisi itu sebagai sesuatu. Hanya menjalaninya tanpa sadar. Nah, dalam komunikasi (dan psikologi) ada teori yang disebut Johari Window.
Baca juga: Mengenal Sabotase Diri dan Mekanisme Koping
Sebetulnya aku mengenal teori ini saat kuliah (komunikasi). Dijabarkan dalam bukunya Pak Jalaluddin Rahmat, Psikologi Komunikasi. Entah kenapa itu pelajaran tak nancep di otak, hoho! Inti dari teori ini adalah tentang konsep diri, yang tak hanya berfokus pada perspektif diri sendiri, namun juga dari perspektif orang lain. Melalui metode dari teori Johari Window ini dapat diketahui bagian mana dari diri kita yang perlu dikurangi atau dihilangkan, dan sebaliknya, bagian mana yang masih bisa dioptimalkan karena potensinya.
Perbaiki komunikasi dengan berangkat dari diri sendiri
Pada intinya, mengapa orang belajar tentang berbagai ilmu yang mempelajari tentang manusia, tak lain adalah sebagai upaya agar terjalin hubungan yang baik antarmanusia. Tak heran jika buku-buku untuk tujuan upgrade kapasitas diri banyak dicari di pasaran. Terlepas dari tujuan-tujuan lain yang barangkali sangat personal, sangat politis, dan sangat-sangat yang lain. Sebelum bicara tentang subjek yang dituju, yang perlu ditelisik pertama kali tentunya adalah diri sendiri.
Secara ideal, manusia, sebagai makhluk sosial yang bertumbuh akan selalu berupaya untuk melakukan perbaikan atas dirinya dan hubungannya dengan orang lain serta lingkungannya. Kalau ada manusia yang memilih untuk mawa karep sorangan, meureukeudeung --dua istilah Sunda yang lebih kurang bermakna hanya mau dimengerti orang lain, ya sudah, itu tak masuk dalam bahasan kita. Biarlah itu urusan dunia lain.
Baca juga: Berdamai dengan Inner Child
Nah, salah satu metode yang bisa dipakai adalah dari teorinya Joseph Luft dan Harry Ingham ini. Johari Window. Teori ini dipublikasikan oleh jurnal “The Western Training Labroratory in Group Development” dari University of California Los Angeles pada 1955. Berikutnya, teori ini banyak digunakan para akademisi di bidang Psikologi. Istilah “Johari” diambil dari nama depan kedua psikolog tersebut. Sedangkan istilah “Window”, bahasa Inggris dari jendela, dipilih karena bentuk konsep dari teori ini adalah diagram dengan empat kuadran yang terlihat seperti jendela.
Keempat bagian dalam jendela itu mewakili:
Open area
Kuadran pertama ini merupakan area terbuka yang meliputi hal-hal yang diketahui diri sendiri (known to self) dan orang lain (known to others). Misalnya hal-hal yang memang secara kita kenali dari diri sendiri dan secara terencana ditunjukkan kepada orang lain sehingga terbaca dengan mudah.
Blind area
Area buta pada kuadran kedua ini mewakili hal-hal yang tidak diketahui diri sendiri (not known to self), namun diketahui oleh orang lain (known to others). Kadang kita sudah sangat biasa dengan diri sendiri sehingga tak menyadari kelebihan dan kekurangan diri sendiri, namuan malah disadari oleh orang lain.
Hidden area
Area tersembunyi di kuadran ketiga adalah tentang hal-hal yang diketahui diri sendiri (known to self), namun tidak diketahui orang lain (not known to others). Hal ini terkait hal-hal yang sangat pribadi yang memang sengaja maupun tidak, tidak akan dibagikan kepada orang lain.
Unknown area
Terakhir, area yang sama sekali tidak diketahui oleh siapa pun, baik oleh diri sendiri (not known to self) maupun orang lain (not known to others). Kuadran keempat ini terkait potensi diri yang sama sekali masih terpendam.
Baca juga: Evaluasi Diri atau Bikin Resolusi?
Ada tes yang cukup banyak tersedia di berbagai laman dengan spesifik bahasan psikologi. Bisa dicari, untuk memastikan bagian mana saja dari diri kita yang kita kenali dan tidak. Perihal apa saja yang masih perlu kita gali, dan sebaliknya, kita buang.
Pada intinya teori Johari Window ini adalah untuk meningkatkan kesadaran akan diri sendiri. Caranya dengan memperluas area open self.
Selain itu, secara sederhana kita bisa membuat pertanyaan-pertanyaan untuk diri kita sendiri untuk kuadran pertama, dan ke orang lain untuk kuadran-kuadran lainnya. Tentang: "Aku ini orang yang seperti apa, sih? Apa yang kira-kira dilihat orang lain dari diriku?” Itu pertanyaan utamanya, dan berikutnya bisa dibuat pertanyaan turunannya yang lebih spesifik.
Tentu saja pertanyaan-pertanyaan perlu dijawab dengan jujur, tanpa ada yang ditutupi. Begitu pula jika ditujukan kepada orang lain, tak perlu ada ewuh-pakewuh karena memang pertanyaan bertujuan untuk mendapatkan jawaban secara telanjang. Bukan berarti semua yang dijawab oleh orang lain tentang kita otomatis sebagai kebenaran. Tetap perlu disaring, mana yang bisa kita pakai dan tidak.
Untuk area blind spot, dibutuhkan momentum untuk kita menemukannya. Atau bisa jadi dari area ini tak akan pernah kita temukan jawabannya.
Baca juga: Empati dan Seni Berkomunikasi
Memang, apa sih pentingnya mengenal diri sendiri?
Pengenalan terhadap diri sendiri tentu saja penting. Kita bisa lebih memahami hal-hal yang menjadi kelebihan dan kekurangan kita. Dengan begitu kita bisa meningkatkan rasa percaya diri, tahu betul bagaimana harus bersikap saat menghadapati kesulitan, hambatan, dan peluang. Dapat menyikapi tekanan hidup dan stres secara sewajarnya saja.
Itu yang pertama. Berikutnya, dengan pengenalan yang baik terhadap diri sendiri kita pun dapat meningkatkan hubungan secara lebih positif dengan orang lain.
Teori Johari Window ini mestinya perlu dicoba di lingkungan kerja atau komunitas, agar sesama pekerja dan tim bisa saling memahami setelah mengetahui dan mengenali sifat dan karakter masing-masing. Dengan begitu efektivitas komunikasi dalam tim dapat terjaga. Aku sendiri, selama beberapa kali berada dalam lembaga kerja belum pernah mendapati uji coba tes bersama teori ini. Ya, nggak soal jika segala sesuatunya berjalan dengan baik. Komunikasi yang terjaga dan terciptanya saling penghargaan di antara pertemanan dan rekan kerja.