Stoikisme dan Upaya Melakoni Hidup yang Baik

Di zaman yang serba modern, serba tergesa, serba bersaing, pada titik tertentu orang akan merasa kelelahan lantas mencari solusi untuk menemukan kedamaian. Sumbernya bisa beragam, bergantung pada wilayah pengetahuan dan pengalaman mereka sebelumnya. Yang sebelumnya kuat dalam hal keagamaan, pencariannya akan masuk lebih jauh dalam pengetahuan keagamaannya. Yang berkiblat pada spiritualisme, akan memperdalamnya pula di wilayah tersebut. Begitu pula yang gandrung pada filsafat, mencoba menemukan kedamaian dari tinjauan filsafat. Seperti yang akhir-akhir ini marak dibicarakan. Stoikisme. Sebetulnya stoikisme bukan hal baru, bahkan disebutkan sebagai filsafat kuno.  


Baca juga: Kesadaran Spiritual, Hidup dalam Perspektif Baru

Obrolan tentang stoikisme ini baru kutemukan dalam sebuah lingkaran pertemanan baru-baru ini. Terus terang aku belum pernah dengar sebelumnya. Padahal merujuk pada banyak referensi, apa yang ditawarkan oleh stoikisme sudah banyak dijalankan atau telah menjadi bagian dari "the way of life" banyak orang. Termasuk di Indonesia.

Manusia terganggu bukan oleh hal-hal, tetapi oleh pandangan yang dia ambil dari mereka. ~Epictetus~

Muasal Stoikisme

Stoicism atau stoikisme didirikan di Athena, sekitar tahun 301 SM. Awalnya dinamai Zenonisme karena para pendirinya adalah pedagang Fenisia Zeno dari Citium. Setelah titik pertemuan yang dipilih adalah stoa poikile (teras) atau painted porch, persisnya tangga Agora di Athena (pasar sentral), bergantilah nama. Di tempat inilah pembelajaran tentang stoikisme dimulai.  

Digelar di tempat terbuka, area publik, menjadikan "kuliah" tentang stoikisme ini bukan hanya milik orang-orang Stoa, melainkan siapa saja yang kebetulan lewat dan tertarik. Bahkan akhirnya ikut bergabung dan terlibat dalam pembahasan maupun perdebatan. Orang lantas ada yang menamai stoikisme sebagai "filosofi jalanan", sebagai pembanding dari filosofi yang didominasi kalangan bangsawan.

Sejak saat itu hingga hampir lima abad lamanya, stoikisme menjadi salah satu aliran filsafat yang populer di tengah masyarakat. Karena siapa saja bisa mempraktikkannya, si kaya dan si miskin, si kuat dan si lemah, si tampan dan si buruk rupa, si sehat dan si penyakitan. Stoikisme menjadi bagian dari laku mereka yang ingin menjalani kehidupan yang baik. 

Tak terjelaskan, mengapa aliran ini kemudian menghilang. Berabad lamanya dan baru kembali muncul secara luas pada dekade 70-an. Salah satu yang dianggap sebagai faktor pendorong bahasan ini naik ke permukaan adalah  terbitnya buku William Irvine dan Ryan Holiday soal Terapi Perilaku Kognitif. 

Di kemudian hari, banyak yang menyebut stoikisme sebagai Buddhisme dari tanah Yunani. 

Baca juga: Letting Go, Sistem Melepaskan Diri dari Keterikatan dan Hambatan


Prinsip-prinsip dalam Stoikisme 

Prinsip utama dari stoikisme adalah menjaga pikiran tetap tenang dan rasional, apa pun yang sedang kita alami;  mengajak kita untuk fokus pada apa yang dapat kita kendalikan, tidak khawatir dengan hal-hal yang tidak dapat dikendalikan. Mengapa di masa kini, begitu banyak orang jatuh dalam frustasi, ketakutan dan kecemasan yang berlebihan, karena pikirannya berfokus pada hal-hal yang berada di luar kendali. 

Jika ingin mencoba menjalani laku hidup berdasarkan stoikisme, berikut beberapa hal mendasarnya yang bisa disiapkan:

1. Memilah hal-hal yang dapat kita kendalikan dan apa yang di luar kendali kita. Pikiran dan tindakan adalah kita sendiri. Di luar itu, peristiwa, situasi, pikiran dan pendapat orang lain, baik terhadap kita atau apa pun dan siapa pun, adalah di luar kendali kita. 

Selagi kita sibuk berusaha mengendalikan hal-hal di luar kendali kita, akan muncul sedih, marah, kecewa, patah hati, patah arang, hingga frustasi.

2. Mengelola harapan sekaligus mempersiapkan skenario terburuk. Menyimpan harapan tentu saja tidak salah. Menjadi tidak  ketika berharap terlalu tinggi terhadap sesuatu. Alhasil, ada kesenjangan yang antara harapan dan kenyataan. Kesenjangan inilah yang melahirkan kekecewaan. Jadi, proporsional saja.

Malah, disarankan untuk menciptakan skenario yang buruk. Menjadi kebalikan dari harapan yang muluk-muluk, skenario buruk artinya kita diajak untuk realistis menyikapi segala kemungkinan. 

3. Berdamai dengan emosi. Ada banyak cara yang bisa dilakukan untuk bisa berdamai dengan emosi kita. Misalnya dengan menciptakan jarak, dan menjadikan diri kita semata pengamat. Prakteknya tak mudah, tapi bisa dilatih. Yang perlu dilatih juga adalah menjaga batin kita tetap "hangat"; menjaga jarak emosi pada tingkatan ekstrem dapat menempatkan kita pada perasaan yang plain, datar, dingin, bahkan tak peduli. Hati-hati, karena bukan itu tujuannya.

4. Mengamini kalau tak ada yang abadi dalam hidup ini. Segala hal yang kita miliki, baik materi maupun nonmateri, pada saatnya akan hilang atau mati. Tak terkecuali. Maka yang terbaik adalah menghindari kemelekatan. 

5. Menghargai waktu. Menurut kaum Stoa waktu adalah aset terbesar kita. Jika kepemilikan kita terhadap sesuatu hilang, akan ada benda pensubstitusi. Tidak demikian halnya dengan waktu. Sekali hilang, kita tak akan mendapatkannya kembali. Kecuali dalam film-film fantasi yang tokoh saktinya dapat memutar kembali waktu yang terlewat. 

Stoikisme menyarankan penggunaan waktu yang sebaik-baiknya dan menghargai apa pun yang ada di sekitar kita. 

6. Hidup selaras dengan alam. Filsafat kuno ini gabungan dari metafisik dan spiritual. Stoikisme berdedikasi dalam memahami sifat alam semesta mencari tahu cara kerja ilmu pengetahuan terkait alam semesta. 

Tercatat, banyak orang yang mengalami hidup lebih damai dengan melakoni cara hidup berpegang pada stoikisme. Yang namanya laku dalam kehidupan tentu saja bukan hal yang instan. Butuh proses. Butuh pembelajaran, pemahaman, dan pembiasaan.

Baca juga: Berkenalan dengan Laku Spiritual melalui Buku Tantra


Mari Berlatih 

Ada beberapa poin yang dapat dijadikan acuan dalam melatih disiplin mengikuti ajaran Stoik. 

1. Berfokus pada Hal-hal yang Bisa Dilakukan

Banyak hal di dunia ini yang di luar kendali kita. Atau persisnya, sangat sedikit hal di dunia ini yang berada di bawah kendali kita. Bayangkan, jika kita terlalu sibuk dengan hal yang kita tak punya kapasitas dalam mengelolanya. 

Hal sederhana yang bisa kita jumpai di keseharian. Jalanan macet. Berapa jam dalam sehari kita berkendara? Berapa hari dalam seminggu kita berada di jalanan? Kemacetan menjadi hal yang lumrah. Namun, kalau kita mau ingat-ingat lagi, seberapa sering kita kehilangan kendali atas diri kita untuk hal yang tak bisa kita telibat ini? Kemacetan saja bisa menyebabkan kemarahan dan frustasi. Baru satu contoh. Pasti masih banyak lagi contoh lain, hal-hal sepele yang demikian mudah menyulut rasa frustasi kita. 

2. Atur Waktu dengan Baik

Yang selama ini terbilang abai dengan pengaturan waktu, bisa mulai mengevaluasi dan membuat opsi-opsi baru. Menyadari bahwa waktu adalah sesuatu yang sama sekali hilang dan tanpa pengganti jika kita menyia-nyiakannya. 

Buat perencanaan yang lebih baik tentang apa-apa yang bisa dikerjakan langsung dan cepat dan mana saja yang masih bisa ditunda. Penundaan dengan perencanaan, bukan atas alasan malas, bahkan atas nama mood. 

3. Jangan Memanipulasi Kebahagiaan. Semua orang tentunya ingin berbahagia. Tapi ada pula yang sekadar "ingin terlihat bahagia", yang akhirnya memanipulasi kondisi yang ada. Membeli barang-barang mewah hanya demi mengesnkan orang lain. Memilih gaya hidup tertentu hanya agar dipandang orang. Bahkan berusaha menyenangkan orang lain dengan memberi, karena menyangka ada kebahagiaan dengan melakukan itu. 

Stoikisme mengajak kita untuk membebaskan diri dari pandangan orang lain. 

4. Buang Ego dan Kesombongan

Stoikisme mengajari kita untuk berendah hati. Ego diri dan kesombongan menutup peluang kita untuk belajar lebih banyak. Pertumbuhan kita pun terhenti. 

5. Abaikan Gangguan

Pada masa modern ini, begitu banyak hal yang dengan mudah mengalihkan perhatian dan fokus kita. Hal-hal yang di masa lalu sulit didapatkan, kini lalu lalang dengan leluasa. Hiburan, makanan, benda-benda kegemaran, dan banyak hal lain yang bisa jadi akan membuat kita bingung menentukan pilihan. Kembalilah berfokus pada tujuan. 

Baca juga: Mengenali Karakter Orang lewat Zodiak dan Temperamen

6. Tuangkan Pikiran dalam Tulisan

Tindakan refleksi perlu dilakukan tiap hari. Baik dalam upaya menempuh jalan stoik maupun upaya membangun diri dalam konteks lain. Menuangkannya ke dalam jurnal memberikan nilai lebih. Menuliskan apa yang menjadi refleksi kita, selain membantu kita mengingat apa saja yang sudah kita lakukan dan yang pernah direncanakan, juga menjadi warisan bagi pembacanya kelak. 

Bentuknya bebas, senyamannya kita saja. Mungkin bisa lihat contoh jurnal syukur seperti yang dibuat Mbak Rani Noona.

7. Membuat Skema Terburuk

Alih-alih berfokus pada hal-hal yang positif, filsafat kuno ini justru menyarankan kita untuk merancang skema terburuk demi kita tak terjebak dalam harapan semu. Dengan melakukan pembiasaan ini, kita dapat lebih leluasa dalam menerima kenyataan.

8. Mengingat Kematian dan Menerima Takdir

Kaum Stoa berpendapat bahwa dengan berpikir tentang kematian, kita dapat memupuk sikap rendah hati dan membangun semangat untuk hidup. Berpikir tentang kematian dalam kerangka positif. Meyakini bahwa kita bisa mati kapan pun, maka mari kita membuat pilihan yang tepat untuk setiap yang kita lakukan, katakan, dan pikirkan.

Begitu pun dengan takdir. Stoikisme mengajak kita untuk menerima apa pun yang kita miliki dan sebaliknya, hal-hal yang tak bisa kita raih. Pun keadaan atau peristiwa yang sedang menimpa kita, dan sebaliknya, bersiap untuk menerima kenyataan akan kondisi yang kita angankan tapi tak terjangkau. 

Berat? Mungkin tidak. Tapi, tak terlalu mudah, iya. Tapi inilah stoikisme, yang belakangan hari banyak dijadikan pilihan bagi yang ingin melakoni hidup yang baik. Mau mencoba?

No comments