Perjalanan Menulis dan Fragmen 9 Perempuan

Akhirnya tuntas sudah proses pembuatan buku kumpulan kisah FRAGMEN 9 PEREMPUAN. Dari yang awalnya menulis untuk tujuan lain, membuat buku nulis bareng, akhirnya menjadi buku solo. Yang awalnya ragu untuk menyeriusi, akhirnya bisa mengalahkan ketidakpedean. Dalam kurun mempersiapkna buku ini, aku menuliskan catatannya di akun facebook. Aku akan menyalinnya di sini, catatan Perjalanan Menulis-nya Ibu Meong.


Baca juga: Jangan Pelihara Kucing, Kerjasama Perdana dengan Penerbit Epigraf

Meski menulis menjadi kegiatanku yang nyaris tanpa putus sejak di bangku kuliah, nyatanya tak pernah mudah buatku untuk mempublikasikannya secara luas. Benar-benar dibutuhkan kekuatan dewa untuk bisa mendorong si saiyah ini untuk berani malu #eh untuk percaya diri 😊 Bagi yang sudah membacanya di FB, jangan bosen, ya. 


UKM, Kegiatan Menulis, dan GSSTF

(Perjalanan Menulis #1 - 12 Mei 2023) 


Memang benar adanya ketika seorang kawan mencandaiku dengan kalimat, "Kayaknya waktu kuliah, seangkatan cuma kamu sendiri yang orang Trenggalek." Setidaknya di UNPAD, dapat kupastikan, iya. Tapi, ya, apa bedanya dengan kawan lain yang satu-satunya dari Cilacap? Atau kota kecil lainnya, yang respon orang setelah tanya adalah, "Itu ada di peta?" Nggak beda, kan? Jadi, bukan perkara itu kalau kemudian aku tak PD. Memang dari dulu anaknya minderan. 

Awal masuk kuliah, aku tak mencoba mencari tahu unit kegiatan apa yang bisa kuikuti. Padahal ada unit pingpong, olah raga yang dari SD aku jalani. Ada unit basket, yang dari SMP sering ikut pertandingan. Ada unit pecinta alam, hal yang aku suka tapi tak pernah dapat kesempatan. Ada GSSTF yang mestinya bisa membantuku menggali kembali kesukaanku menulis. Aku ikut pilihan teman kost, paduan suara. Tapi akhirnya batal, karena sewaktu ada acara perkenalan diminta datang mengenakan pakaian pesta. Baju dari mana, bah! Bekal dari kampung saja cuma 3 stel untuk kuliah. Entah panitia ketika itu pertimbangannya apa. Tak ikut UKM apa pun. Jadinya malah nyemplung ke komunitas Kristen yang eksklusif dan hipokrit #eh.

Sebetulnya, kalau dipikir-pikir mestinya aku masuk GSSTF. Ya, waktu SD aku suka nulis. Bahkan sempat mau ikut lomba. Tapi batal, karena seorang guru mensyaratkan untuk berlatih menulis di rumahnya. Guru yang penuh muslihat membagongkan. Akhirnya mengundurkan diri saja. Dan sejak itu sama sekali mengubur kegemaran menulis. 

Entah, kemudian kok takdir malah kembali mempertemukanku dengan urusan tulis menulis dengan diterima di Jurnalistik Unpad. Lalu, seiring perjalanan waktu, lingkaran pertemananku merapat ke kawan-kawan alumni GSSTF. Padahal kalau gabung dengan mereka sedari awal, mungkin aku sudah jadi penulis terkenal 😜 Atau jangan-jangan malah kepincut sama penyair entahlah-entahlah 😁 Atau jadi vokalisnya grup keroncong ☺ 

Ah, hidup memang begitu, sih, ya. Tak tertebak. Yang pasti sampai hari ini aku masih disuruh untuk terus belajar menulis. Menulis apa saja. Termasuk sekadar status panjang yang kalian baca ini 😅

Selamat berreuni dan beracara, ya, Kawan-kawan GSSTF. Selamat bergembira. 


#kenangankuliah

#ceritaibumeong

#perjalananmenulis

#menuliskankisah

#menulisuntukmelepaskan

#menulisuntukmengekalkaningatan

💋

Baca juga: Alaya, Kisah tentang Mimpi yang Mewujud, Takdir, dan Cinta


Menuliskan Cerita Lalu = Tidak Bisa Move On? Nope! 

(Perjalanan Menulis #2 - 19 Mei 2023) 


Seorang kawan pernah berkomentar, "Yang sudah lewat, biar jadi kenangan saja", dalam sebuah statusku tentang cerita lalu. Seolah aku menuliskan kisah yang sudah lewat karena aku tak bisa move on, terjebak di masa lalu. Nope. Tapi, ya, aku tak perlu membela diri. Biar saja. Apa pun yang kita tuliskan dan publikasikan sangat mungkin mendapat tanggapan yang beragam, dan bisa jadi jauh dari niatan kita menulis. Tak jadi masalah. 

Sesungguhnya ada empat hal yang melatari. Pertama, saat ini aku sedang dalam mode bertahan. Tak ada yang perlu diceritakan, jika semata yang terdengar adalah kesah. Karena semua orang punya masalah. Biarlah hal yang lucu dan menggembirakan saja yang kita nikmati sama-sama ☺

Kedua, buatku menulis adalah salah satu upaya untuk melepaskan. Ada bagian cerita lalu yang masih kuat bercokol. Bukan, bukan tak bisa move on. Tapi sebagiannya telah hidup dalam alam bawah sadar. Ada cara penanganan lain yang tentunya kulakukan, tanpa perlu di-uar-uar. Cukuplah cerita pernak-perniknya. Dan itu lumayan membantu. Jauh-jauh hari, ada kawan penulis yang mengajakku melakukan itu. Ia yang telah banyak melahirkan buku, ternyata sebagian besar idenya berangkat dari cara dia untuk "mengatasi persoalan di masa lalunya". Semacam terapi. Upaya pelepasan sekaligus memicu kreativitas. Melepaskan bukan hanya soal yang terjadi di masa lalu, tapi juga di masa kini. Menuliskan hal-hal yang sulit dipahami dan diterima, bisa dengan serta merta sekaligus melepasnya. 

Ketiga, buatku menulis untuk mengekalkan ingatan. Kadang menulis itu --khususnya saat ngacapruk di FB-- tak disertai ingatan tertentu. Tapi saat menuliskannya, begitu saja, ingatan bermunculan. Kalau sengaja dingat-ingat, malah lupa atau tak keluar. Aku menjumpai banyak hal yang menarik dari aktivitas itu. 

Keempat, menulis, mau tak mau mengajak kita untuk berada di "saat ini". Berada dalam sebuah kesadaran. Dan itu menjadi latihan yang penting untuk hidup yang lebih berkesadaran. 

Demikianlah, aku masih akan tetap berusaha menulis di sini, meski mungkin tak memberikan nilai apa pun. Setidaknya membantu kalian membunuh waktu karena tak ada hal lain yang perlu dikerjakan selain membaca tulisan ini 😁


#ceritaibumeong

#menulisuntukmelepaskan

#menulisuntukmengekalkaningatan

#perjalananmenulis

#menuliskankisah

💋


Berkah dari Tulisan

(Perjalanan Menulis #3 - 26 Mei)


Pertama membuat catatan di blog tahun 2006-an. Wordpress. Isinya macam-macam. Reviu lagu, film, buku. Tentu saja termasuk curhatan ini dan itu. Sebetulnya tak terlalu banyak, sih, curhatannya. Tapi seorang kawan pernah berkomentar, "Perasaan blognya isinya curhatan semua." Sungguh seorang kawan yang julid #lirikseseakang ☺ Tapi tak urung, begitu ada multyply, membuat akun baru. Di blog yang ini lebih banyak menulis artikel populer dan feature dari pengalaman perjalanan. 

Alkisah, suatu kali didesak oleh kebutuhan untuk menutup rapat rumah aka tidak membiarkan kucing-kucing berkeliaran di luaran. Dengan luas rumah yang terbatas, mau tak mau harus ada penambahan bagian luar. Sekaligus untuk tetap memberikan akses udara. Direncanakanlah untuk membuat catio. Sekadar bercerita di FB. Terutama ingin mendengarkan pengalaman para manusia kucing. Tak dinyana, ada yang berkirim pesan di inbox. Mengatakan ingin membiayai pembuatan catio buat pasukan meong. Wah, siapakah? Namanya tak familiar. Cek profil, rupanya sudah lama mengajukan pertemanan tapi sepertinya tak kunjung kuterima karena sama sekali tak ada mutual friend. Lalu terjadilah obrolan itu.

(+) Kok tiba-tiba berniat membantu, gimana ceritanya? Tahu saya dari mana?

(-) Saya pernah cari informasi tentang biara pertapaan. Nyasar di blognya mbak.

(+) Oya? Wah, senang bisa memberikan manfaat.


Tak lama berselang, masuklah transferan ke rekening, yang angkanya sangat lumayan buat ibu meong. 

(+) Waduh, ini transfernya banyak sekali.

(-) Nggak apa-apa, berbagi rezeki. Itung-itung itu ongkos saya baca informasinya.


Wooowww, mahal sekali informasi dari si saiyah 😁 Langsung berangkatlah itu pembuatan catio. Si catio masih ada hingga kini, dengan beberapa penambalan. Dan sampai dengan hari ini aku belum pernah berjumpa dengan beliau. Sungguh-sungguh pertolongan tanpa imbal balik. Hatur nuhun 🙏 

Itu salah satu berkah dari tulisan. Bukan soal uang, bukan soal materi. Tapi lebih pada hati yang tergerak berkat membaca tulisan, meski itu pun tak langsung. Hal lain, yang kemudian meyakinkanku adalah bahwa setiap tulisan memiliki pembacanya sendiri. Seberapa pun melow atau sebaliknya ngehe-nya, bermanfaat atau sekadar ajang melepaskan emosi, dengan penulisan detail maupun sekadarnya, tulisan kita akan dibaca oleh mereka yang menyukai atau memang membutuhkan. Di luar perkara yang belakangan menjadi salah yang disyaratkan dalam setiap tulisan yang dipublikasikan secara daring: SEO. Artinya, tak perlu ragu, malu, nggak PD untuk menulis. 

Bukan soal uang dan materi, kalau kemudian aku bisa gembira mendapati respon para teman (yang adalah pembaca cerita) Naga Chan. Meski sepotong-sepotong, apa yang dibagikan Naga Chan lewat status-statusnya di FB adalah cerita. Dan teman-temannya menyimak. Entah berapa kali aku dibuat takjub oleh detail yang aku sendiri bahkan tak ingat. Itu hal kecil membahagiakan yang tak tergantikan oleh materi. Maka, saat menerbitkan buku Dongengan Naga, aku PD saja. Karena bersembunyi di balik nama Naga Chan #eh. 

Tapi memang betul, sekalipun kubilang "setiap tulisan memiliki pembacanya sendiri" aku belum pernah PD untuk menerbitkan tulisan sendiri. Khawatir buruk, tak disukai, bahkan dicela. Begitu takut untuk dinilai. Itulah yang kemudian membuatku tahun kemarin menantang diri sendiri: sanggup nggak nerbitin buku sendiri?

Dan diriku menyanggupinya. Naskahnya sudah berada di laptop penyunting. 

💋


Baca juga: Menuliskan Ulang Kisah Perempuan


Soal Finansial dan Tantangan Menerbitkan Buku 

(Perjalanan Menulis #4 - 2 Juni 2023)


"Kamu lagi punya masalah keuangan, kenapa malah nerbitin buku?" Demikian respon seorang kawan saat aku cerita soal rencanaku akhir bulan ini. Komentar yang wajar dan masuk akal, karena aku menerbitkan buku lewat jalur vanity publiser yang artinya melakukan pembiayaan sendiri. 

Beberapa tahun terakhir aku berjibaku dengan diri sendiri. Ada perubahan-perubahan yang cukup deras. Soal pekerjaan, relasi, spiritualitas, cara pandang baru terhadap sesuatu, dan hal-hal lain yang dibarengi dengan aneka peristiwa kebetulan yang ajaib. Aku mencoba menerjemahkannya ke dalam detail yang lebih riil. Salah satunya terkait ketidakpedean dalam menulis. Yang sebetulnya, malah bukan semata soal menulis, melainkan hal yang lebih mendasar. Aku yang takut untuk dikritik. Yang lebih memilih menghindari konflik. Yang mudah remuk saat menerima celaan. Dan hal-hal lain dalam diri sendiri yang belum tuntas. Jadi, menuliskan ulang rangkaian kisah ini lebih pada tantangan itu. Bahwa aku bukanlah sosok yang terbatasi oleh ketakutan dan traumaku. Buatku, ini adalah sebuah langkah awal. Setelah berhasil melewatinya, apakah aku akan terus menulis atau tidak, persoalan lain. Siapa tahu, setelah ini aku menantang diri untuk buka warung rujak petis ☺

Jika soal pembiayaan itu disandingkan dengan perihal arus kas yang sedang tersendat, buatku sih tak terlalu menjadi persoalan. Aku selalu meyakini Semesta punya cara untuk menyediakan kebutuhanku. Bahkan soal merugi seperti yang dikhawatirkan si kawan, tak jadi soal juga. Karena buatku ini adalah proses, dan dalam proses tidak ada untung-rugi. Cuma, kalau kalian gak pesan bukunya, ya, AWAS! 😆

Lantas, mengapa "perempuan"? Pertama, ya, karena aku perempuan. Isu yang sangat dekat denganku. Dan perempuan itu unik. Dengan segala keterbatasan dan kelebihannya, mereka unik. Kisah-kisah yang kubagikan ini adalah kisah yang kutemukan di sekitar. Bisa jadi menyerupai kisahmu. Atau orang-orang dekatmu. 

Fragmen 9 Perempuan bisa mulai dipesan pada 5 Juni mendatang, ya. Tersedia dalam 2 versi warna kover. 

💋




MA dan FSP

(Perjalanan Menulis #5 - 9 Juni 2023)


Seseorang berkirim DM di Instagram. Sebut saja MA. Ingin memesan buku. Aku cek obrolan terakhir kami, Oktober tahun lalu. Aku ingat, waktu itu aku sedang menjajal nulis novel. Seperti apa, sih, rasanya menulis maraton? Menyiapkan outline, mengumpulkan bahan, memulai riset kecil-kecilan. Salah satu yang saat itu kucari bahan pendukungnya adalah tentang kuliah dan hidup di Jerman. Nama MA yang kemudian melintas. 

MA adalah mahasiswaku di PAKT, program D3-nya Fikom Unpad. Saat itu aku pegang mata kuliah terkait penyiaran (radio). Tak ingat ngajar dia tahun berapa. Kemungkinan 2005-an. Dia cukup menyita perhatianku. Dia rajin, tapi tampangnya jutek. Dia bertampang jutek, tapi sebetulnya ramah. Keramahan yang tak dibuat-buat semata karena aku pengajarnya. Selain di Fikom, MA juga ambil kuliah Sastra Jerman. 

Tak lama lulus, dia melamar jadi pekerja sosial di sebuah lembaga di Jerman. Setelah beberapa tahun, dia ambil kuliah lanjutan di sana. Saat gawe di sebuah tabloid bulanan, aku sempat minta tulisannya tentang pernak-pernik tinggal di luar negeri. Ketika itu dia bilang, "Ibu itu salah satu dosen favoritku, lho." Etdah! Bisanya?! Aku lo, tak pernah PD sebagai pengajar. Merasa tak punya bakat. Bisa wae ngabubungah ni anak! 

Nah, dalam obrolan Oktober tahun lalu itu, alih-alih memanggilku "ibu" seperti sebelumnya, ia berinisiatif memanggilku "teteh".

"Berasa kagok manggil ibu. Masih muda. Kayanya umurnya gak terlalu jauh." #uhuk Biasanya orang lebih sering meledekku dengan "sudah uzur". Agak beda memang 😁

"Bebaaas. Memang kamu kelahiran tahun berapa?"

Tersebutkanlah kalau perbedaan usia kami 11 tahun. Owh, oke. Selama ini dengan orang yang beda 20 tahun juga masih kupanggil akang atau teteh sih. Tapi sebetulnya aku mah dipanggil apa aja, ndak soal. Asal jangan BUNDA. Sumprit, alergi! 

Demikianlah, sejak obrolan itu dia memanggilku teteh. Terakhir ngobrol tahun lalu itu dia juga cerita kalau sudah menikah. Suaminya orang Denmark.

Lalu, bagaimana kelanjutan novelnya? Entahlah, kehabisan energi. Sejauh ini belum dilanjutkan. Apakah dengan MA yang membuka kontak kembali itu penanda aku perlu meneruskan? Yang jelas, sosok dalam novel itu ada di buku Fragmen 9 Perempuan. Buku ini awalnya kujuduli dengan angka 8, karena isinya memang hanya 8 cerita. Lalu editor menyarankan 9. "Lebih enak terdengarnya," katanya. Maka kucomotlah si tokoh dalam novel itu untuk menggenapkan ke angka 9.

💋


Perempuan yang Menyimpan Rahasia

(Perjalanan Menulis #6 - 16 Juni 2023) 


"Ada hati yang harus dijaga. Perasaan orang tua, terutama mama. Makanya kubiarkan saja informasinya mengambang. Karena nyatanya memang tak semua hal bisa dibuka," ungkap Kinan sambil matanya tak meninggalkan layar telepon selulernya. 

Kinan, sudah setahun ia berpisah dari suaminya. Ditinggalkannya ibu kota, dan memilih Bandung sebagai tempat tinggalnya. Kebetulan sejak sebelum pandemi berlangsung, kedua anaknya sudah bersekolah di Bandung, menemani kakek neneknya. Ia saja yang selama ini bolak-balik Bandung-Betawi. Pandemi pula yang menyelamatkannya, menjadi alasan untuk tak kembali ke Jakarta dalam waktu lama. 

"Kira-kira, apa yang akan terjadi ketika mama tahu kamu sudah bercerai?"

"Entahlah. Aku belum bisa memikirkannya. Terlalu rumit. Anak mama tinggal aku satu-satunya. Sejauh ini tak memberitahu orang tua adalah pilihan terbaikku. Apalagi sudah dua bulan terakhir ini aku memutuskan keluar dari pekerjaan."

"Tak memberi tahu orang tua juga?"

Kinan hanya menggeleng. Aku tak bertanya lebih lanjut. Khawatir berada di posisi yang sok tau, apalagi sok bijak. Aku tak paham persis apa yang dialaminya. Yang aku tahu, dia perempuan kuat. Dia tahu pilihan-pilihannya dan konsekuensi yang perlu dilakoninya. Aku hanya bisa menjanjikan telinga yang siap mendengar setiap kesahnya. 

Kusodorkan kopi susu gula aren pesanannya. Langit Bandung melembayung. Dari perangkat suara kedai kopi, suara Sting mengalun pelan.... 

On and on the rain will fall

Like tears from a star, like tears from a star

On and on the rain say

How fragile we are

How fragile we are. 

*

Kisah para perempuan tak ada habisnya. Mereka yang bertahan untuk segala yang mereka yakini. Mereka yang bisa menghabiskan waktunya sepanjang hari hanya untuk menangisi sebuah kehilangan, tapi lantas bergegas bangkit  untuk sebuah cerita yang baru. Atau yang pada suatu ketika diserang rasa lelah dan marah, yang dengan mudah terhapuskan jejaknya oleh secangkir kopi. Mereka yang melatih diri kuat, bukan untuk dirinya sendiri namun juga orang-orang yang mereka cintai. 

Apa ini kisah yang dibukukan Ibu Meong? Bukan. Tapi bisa saja untuk kumpulan cerita yang lain. Yang pasti, 9 kisah yang siap dibaca ada di Fragmen 9 Perempuan. 

💋

Baca juga: Perempuan dalam Karya Pramoedya Ananta Toer 


FSP dan Ingatan Tugas Kuliah pada Sebuah Masa

(Perjalanan Menulis #7-fin) 


"Lihat, tuh, Teh. Mobil itu udah yang kedua kalinya lewat," katanya seraya mengarahkan telunjuknya ke sebuah sedan yang berjalan pelan mengitari Alun-alun Bandung. 

Aku lupa namanya. Pemuda bertubuh lumayan tinggi, ramping, kulit terang, dan berambut ikal. Usianya mungkin beberapa tahun di atasku. Saat itu aku mahasiswa semester 5 yang sedang mengerjakan tugas mata kuliah Penulisan Feature. Tema yang kuambil waktu itu adalah seputar homoseksualitas. Begitu ke lapangan, ternyata banyak hal yang belum kuketahui. Akhirnya berkenalan dengan banyak orang dan komunitas. Dari Gaya Parahyangan hingga Srikandi Pasundan, dari dikenalkan ke mantan ratu waria se-Asia Tenggara hingga berkenalan dengan kehidupan malam di area pusat Kota Bandung. 

Pemuda itu, sebut saja Agus (punten, Kang Agus, nambut jenenganana 😁). Kutemui di alun-alun, saat aku bengong, bingung mau ke mana lagi. Hari sudah malam. Lupa selarut apa. Yang jelas di atas jam 10. Dipikir-pikir lagi, hade si saiyah, sendirian di belantara kota. Nah, Agus ini adalah penjaja seks komersial laki-laki (dan melayani laki-laki). Dia punya pelanggan tetap yang menjemputnya di hari-hari tertentu. Itulah kenapa dia tahu perilaku para pencari seks komersial di area tersebut. Agus yang saat itu sedang "on duty", mungkin iba melihatku sendirian. Ia mengajakku ke sebuah pub di bilangan Asia Afrika. Dikenalkannya aku ke teman-teman lesbiannya. Malam itu sungguh penuh pengalamanku. Dan makin bingung apa yang mau ditulis, haha! Tapi Bang Sahat, dosenku, memberiku A untuk tugas itu. Kang Agus, di mana pun, hatur nuhun 🙏

Saat menuliskan karya jurnalistik, aku cukup percaya diri. Paling saat dalam kelas, ketika harus mengajukan topik yang akan diangkat, stres tingkat dewa 🤣. Persoalan mendasarku adalah tidak PD menyampaikan opini. Itulah juga kenapa nilai mata kuliah Artikel-ku jeblok. 

Tulisan fiksi dan nonjurnalistik juga masuk kategori ini. Makanya, seperti kubilang saat memutuskan untuk membukukan kisah perempuan dalam FRAGMEN 9 PEREMPUAN itu sesungguhnya aku betul-betul tak PD. Sampai editor penerbit bilang, "Sejujurnya aku merasa heran dengan pertanyaanmu: apakah cukup layak? apakah ada yang perlu dibenahi? ada yang harus diganti? Hei, tidak. 9 cerita itu sudah bercerita dengan sendirinya, tanpa perlu ada yang harus diganti." Baiklah, akhirnya betul-betul direalisasikan ☺

Terima kasih banyak, ya, teman-teman yang sudah mengapresiasi dan memesan bukunya Ibu Meong. Buku sedang dalam proses cetak. Semoga Senin sudah mulai bisa dikirim. Matur suksma 🙏❤

💋


Demikian cerita perjalanan menulisku saat menyiapkan lahirnya FRAGMEN 9 PEREMPUAN. Bukunya sudah siap, dan bisa dibelanja di  lokapasar, Tokopedia dan Shopee atau WA Ibu Meong

Terima kasih sudah menyediakan waktu untuk membaca 🥰

#ceritaibumeong #ceritadhenok #perjalananmenulis #menulisuntukmelepaskan #FSP #menuliskankisah  #menulisuntukmengekalkaningatan #Fragmen9Perempuan



No comments