Umbi dan Cerita Masa Kanak


Beberapa hari lalu guyub obrolan di grup wa kawan-kawan kampung halaman. Tentang umbi-umbian yang akrab dengan kami di masa kanak. Adalah: uwi, gembolo, gembili, garut, ganyong, katak, suweg... Obrolan yang membuatku mensyukuri pernah tumbuh di desa dan mengenali aneka tanaman, hidup di antaranya, dan kini mengingatnya sebagai bagian perjalanan yang menarik.




Wacana tentang menjadikan umbi sebagai salah satu bahan pangan sumber karbohidrat sudah bertahun terakhir diwacanakan. Padahal di masa lalu, umbi telah menjadi sumber makanan yang sudah biasa di kalangan masyarakat. Utamanya masyarakat bawah. Apa pasal? Karena rezim orde baru menekankan ‘nasi..nasi..dan nasi’. Alhasil, sumber karbohidrat di luar beras seolah kelas kedua dan dikonsumsi masyarakat kelas kedua. Ah, tapi lupakan perihal kebijakan ini dan itu. Aku hanya ingin mengenang saja, mengenang cerita masa kanak. Masa kanakku di Dusun Bendo, Desa Bendorejo, Kecamatan Pogalan, Kabupaten Trenggalek 😀
 
Umbi Suweg

Pernah kuceritakan sebelumnya (baca: Cerita rumah masa kecil), aku tinggal di sebuah petak tanah dengan kebun singkong di sekitar kami. Tanaman utamanya memang singkong atau ubi kayu. Di bagian belakang rumah. Sedangkan sebelah kanan dan kiri ada tanaman lain, baik yang sengaja ditanam maupun tumbuh sendiri. Ubi jalar termasuk yang sengaja ditanam. Daun mudanya bisa direbus, dijadikan kulup. Ada suweg yang tumbuh sendiri. Ini jenis tanaman yang biasanya kami hindari. ‘Bikin gatal’..begitu kata ibu. Tapi umbinyaaa..enak banget. Saat siap panen, umbi dalam volume besar bisa dibagi dengan tetangga. Biasanya dikukus lalu dimakan bersama kelapa parut dan garam. 
Umbi Talas
Pada sisi kiri rumah, pada sisi-sisi selokan berjajar talas yang tumbuh liar. ‘Tanaman tolak mlarat’ kalau istilah ibu. Bagaimana tidak.. pohon mungil ini daunnya bisa dipake pembungkus ikan asin, digoreng. Batangnya dibuat lodeh. Dan umbinya bisa dikukus. 


Lalu nun jauh di sebelah utara, menyeberangi tegalan, adalah tanah yang punya aneka macam uwi. Tanah itu sebetulnya menjadi milik keluarga kami ketika aku kelas 5 SD. Ibu membelinya dengan harga murah. Tapi belum ada cukup uang untuk mendirikan bangunan di atasnya. Material dibeli sedikit demi sedikit hingga akhirnya bangunan berdiri saat aku kelas 2 SMP, saat kami sekeluarga pindah dari rumah dengan kebun singkong; rumah magersari milik Pak Lurah yang menaungi kami bertahun-tahun sebelumnya. Nah di tanah inilah ada banyak uwi yang entah tumbuh sendiri atau ditanam oleh pemilik sebelumnya. Satu yang unik dan tak terlupakan adalah umbi bernama katak. Aku belum menemukan ini kata latinnya apa. Dan istilah di daerah lain apa.

Katak adalah umbi gantung. Ada umbi besar di tanah, tapi pada dahan-dahannya yang menjalar, bermunculan umbi-umbi kecil ini. Besarnya tak lebih dari kelereng. Kami punya alat masak berupa panci-panci kecil dari gerabah. Dengan perapian dari batu bata yang kami temukan di lokasi, kayu seadanya, jadilah acara masak memasak si katak. Saat matang, tinggal pencet sedikit..kelupas, kunyah. Inilah cemilan anak kampung. Dan umbi-umbian memang menjadi salah satu cemilan kami. Hanya karena bentuknya yang besar dan butuh usaha ekstra untuk menggali, maka memang si kataklah yang cukup familiar di kalangan para bocah.

Umbi Garut
Ah ya, ada lagi: ganyong dan garut. Di tegal tetangga, yang masih tanah milik Pak Lurah, banyak tumbuh garut dan ganyong. Kalau kancil nyolong timun, maka kami nyolong garut dan ganyong hehe.. Sesungguhnya tak ingat persis apakah kami mencuri, mengingat tanaman umbi-umbian itu memang mendadak muncul di musim hujan. Mungkin awalnya memang ditanam, tapi berikutnya mereka tumbuh sendiri dan rasanya..rasanya memang tak pernah ada yang memanen (ga mau disebut mencuri 😂 ).
 
Umbi Ganyong
Aku suka ganyong. Bentuknya seperti lengkuas. Umbinya lebih empuk, dengan semburat rasa manis. Sedangkan garut ada tekstur serat dan terasa renyah, tidak empuk. Warnanya gading cantik, memanjang dengan ujung mengerucut. Di perkampungan dengan tanah pertanian dan perkebunan yang lebih luas, tanaman umbi-umbian ini lebih banyak ditemukan. Beberapa jenis umbi biasanya kami dapatkan dari oleh-oleh kerabat yang berkunjung, kerabat yang tinggalnya di daerah yang lebih kampung dari kami. Dan saat itu, selama berhari-hari umbi akan jadi cemilan. Pendek kata tak pernah terdengar kata “buuuuu, jajan....” , tak ada sampah plastik jajanan yang bertebaran, tak terlalu banyak keinginan. Seadanya, tapi semua tersedia dan tak perlu meminta lebih. Kenangan pada kesederhanaan yang membahagiakan..

Ada yang punya pengalaman yang sama?

No comments