Showing posts with label cerita kehidupan. Show all posts

Pernikahan dan Jatah Mantan

Awalnya agak takjub mendapati istilah "jatah mantan". Kupikir hanya semacam becandaan. Barulah beberapa waktu lalu kutemukan sebuah thread di twitter, saling cuit berbagi pengalaman. Baik pengalaman mereka sendiri maupun teman-temannya. Ramai! Dan itu rupanya hal yang banyak ditemukan dalam sebuah hubungan terutama saat jelang pernikahan. 



Baca juga: Stoikisme dan Upaya Melakoni Hidup yang Baik

Seperti contoh hasil capture di bawah. Berapa panjang urusan jika ternyata si perempuan hamil dan anak yang dikandungnya adalah dari hasil hubungannya dengan sang pacar yang bukan suaminya? Laki-laki yang hanya berstatus mantan itu bisa jadi sudah ada di antah berantah yang lain. Tak bertanggung jawab dengan darah dagingnya. Apa si perempuan ini sanggup abai terhadap fakta itu seumur hidupnya? Hati kecilnya tak akan terusik? Bagiamana pula jika ia berlandaskan hukum Islam yang terkait erat dengan persoalan wali nikah dan sebagainya? Rumit bukan? Jadi, kenapa pula mesti memberikan "jatah mantan"?

Apa, sih, Jatah Mantan?

Sejauh yang bisa kusimpulkan, istilah itu mengacu pada hubungan seksual antara pacar atau kekasih yang dilakukan pada jelang pernikahan salah satu pihak. Baik pada masa sebelumnya mereka memang sudah terbiasa melakukan aktivitas seksual, maupun belum sama sekali. "Jangan sampai penasaran." Demikian salah satu alasannya bagi yang sebelumnya menjaga diri untuk tidak melakukan persetubuhan di luar nikah.

Barangkali, jika tak ada konsekuensi lanjutan, tak akan jadi soal. Tak ada bakal anak dalam hubungan satu malam itu. Semata having fun, bersenang-senang. Kecuali suatu kali muncul rasa bersalah yang akan menghantui seumur hidup pernikahan. Atau mengacu pada istilah karma, bahwa tindakan kita adalah tanggung jawab kita. Karma sebagai siklus batin yang kita ciptakan sendiri.

Baca juga: Kesadaran Spiritual, Hidup dalam Perspektif Baru


Mantan? Buang ke Laut Aja!

Tentu saja kalimat di atas semata sarkasme. Terkait hubungan dengan mantan masih berlanjut sekadar silaturahmi atau sama sekali terputus, tentu menjadi keputusan masing-masing pribadi. Mengapa ada istilah mantan? Karena sudah tak ada komitmen untuk menjalin hubungan lagi. Sudah lewat masa kebersamaannya. Jadi, mantan hanyalah masa lalu. 

Simak, deh, apa kata Keanu Reeves! Aku pernah mengutipnya dan menayangkannya di twitter.

Yup, jika tak diperjuangkan, hubungan macam apa yang kita jalin? Dalam arti, jika seseorang memang worth it untuk dipilih sebagai pasangan, perjuangkan. Jika tidak, tinggalkan, abaikan, pergi sejauh-jauhnya darinya. 


Pernikahan

Di sini aku bicara berangkat dari anggapan umum saja. Tak punya kapasitas untuk dijadikan bahan rujukan. Tak punya pengalaman menikah, pun bekal keilmuan soal itu. Tak akan pula menyampaikan pandangan pribadi karena bisa jadi akan sangat berbeda bahkan berseberangan dengan pandangan umum. 

Menurut KBBI, nikah adalah perjanjian perkawinan antara laki-laki dan perempuan sesuai dengan ketentuan hukum dan agama. Dalam tataran global, ada perbedaan, misalnya sejumlah negara telah memberikan kesempatan bagi pernikahan sesama jenis. Dengan kata lain, pernikahan merupakan perjanjian antara dua orang yang berpasangan yang diresmikan berdasarkan norma hukum, agama, dan sosial. 

Ada prasyarat tertentu bagi dua orang yang melangsungkan pernikahan, di antaranya mampu secara finansial, matang secara biologis, dan siap secara emosional. Pernikahan dilakukan dengan alasan yang beragam. Ada yang semata pertimbangan agama yang menganggap pernikahan sebagai ibadah, ada yang demi memiliki keturunan secara legal dan diakui agama, ada pula yang berangkat dari hal yang lebih hakiki, seperti mewujudkan visi dan misi hidup secara bersama. 

Baca juga: Berkenalan dengan Laku Spiritual lewat Buku Tantra

Pernikahan bukanlah akhir dari perjalanan, melainkan sebuah babak lain. Sebuah babak baru bagi yang memutuskan untuk menjadikan pernikahan sebagai pilihan. Ada demikian banyak persoalan dan tantangan yang dihadapi dalam pernikahan.

Mari kita sebut beberapa di antaranya. Persoalan yang muncul dalam pernikahan yang bahkan berakhir dengan perceraian. 

1. Persoalan finansial. Ada begitu banyak contoh yang menunjukkan bahwa persoalan finansial menjadi satu hal super penting dalam kehidupan berumah tangga. Pernikahan bukanlah ajang berspekulasi, "Ah, nanti juga ada rezekinya." Maka sebaiknya memastikan sedari awal kesiapan masing-masing secara finansial.

2. Kekerasan dalam rumah tangga (KDRT). Kasus KDRT kerap kita dengar, baik di lingkungan terdekat hingga mereka yang terpapar media massa. Baik kekerasan fisik, maupun kekerasan verbal. Seperti contoh baru-baru lalu, pasangan selebritas yang kasusnya viral karena kejadian KDRT. Yang tak terungkap? Banyak! KDRT pada wanita terutama. Tahun lalu seorang mantan tetangga "curhat" perihal KDRT yang dialaminya selama menikah. Hal yang sama sekali tak kuketahui sebagai tetangga. Ia menyimpan rapat-rapat. Ya, kasus KDRT ada di sekitar kita, mereka yang berada dalam lembaga pernikahan. 

3. Keterlibatan keluarga besar. Bagi sebagian orang, keterlibatan keluarga besar ini terasa receh. Eits, jangan salah. Pada kasus-kasus tertentu, keterlibatan keluarga besar bisa menjadi penyebab perang Bharatayuda #eh perang dalam rumah tangga. Yang ujung-ujung dihadapkan pada pilihan, "Kamu pilih aku atau keluargamu?"

4. Pengkhianatan. Kasus WIL/PIL sudah kudengar sejak aku masih bocah. Dan bahsan tentang pengkhiatan dalam kehidupan pernikahan tak pernah surut. Terlebih di masa kini, dengan kemudahan yang ditawarkan oleh fasilitas internet, perjumpaan-perjumpaan virtual kerap menjadi awal dari hadirnya orang ketiga dalam kehidupan pernikahan. 

5. Perubahan pandangan politik agama/kepercayaan. Ininocak! Tapi ini betul-betul terjadi. Bagaimana pandangan politik yang berbeda dari sebuah pasangan dapat menjadi penyebab goncangan. Pun dengan perubahan haluan dalam memahami kehidupan religi dan spiritualitas. Perbedan yang mencolok acapkali tak bisa didamaikan. Perpisahan pun tak jarang menjadi pilihan.

Itu beberapa saja yang kutemukan dan kuamati. Kemungkinan ada sekian potensi masalah lain dalam kehidupan pernikahan. Tidak hadirnya anak, misalnya. Bahkan ketidaksamaan pendapat dalam kepemilikan binatang peliharaan dapat menjadi sumber masalah. Intinya, pernikahan bukan hal yang sederhana. Jadi, wahai para pemburu kenikmatan ragawi, masihkah mau mempertahankan tradisi "jatah mantan"? 

Catatan ini tanpa pretensi menghakimi. Pun aku bukan orang yang normatif. Cuma, please, pernikahan bukan legalisasi dari hubungan seksual. Ada nilai-nilai baik yang semestinya dijunjung dan tak dinodai dengan hal remeh temeh seperti memenuhi ego hewani kita. Maka, stop bucin, dan buanglah mantan pada tempatnya.

September, Lagu Apa yang Terhubung dengan Kisahmu?

September, bulan yang sering dilekatkan pada suasana hati tertentu. Dilekatkan pada nuansa percintaan. Maka, bersliweranlah lagu-lagu dengan tema September. Entah sejak kapan September memberikan arti tersendiri untuk suasana melankoli. Yang jelas, cukup banyak lagu bertema September yang bisa kita temukan. Setidaknya dibandingkan lagu dalam tema bulan yang lainnya. Lagu-lagu yang lantas menghubungkan kita pada kisah-kisah yang lalu.


Baca juga: Karya James F Sundakh yang Tak Lekang oleh Waktu

Di tanah air, setidaknya ada dua lagu yang cukup dikenal. September Ceria dan September Pagi. Eh, referensi saiyah jadul pisan, ya? Coba-coba, tolong sebutkan, lagu tema September terbaru adakah? 

Di belahan dunia lain, kita bisa sebut juga beberapa lagu dalam dekade yang berbeda. Masing-masing dalam nuansanya sendiri.

Kutuliskan beberapa referensiku, lagu-lagu yang pernah menemaniku di masa lalu dan menjadi bagian dari siaran. 


September Ceria


Di ujung kemarau panjang

yang gersang dan menyakitkan

kau datang menghantar

berjuta kesejukan


Kasih

kau beri udara untuk nafasku

kau beri warna

bagi kelabu jiwaku


Tatkala butiran hujan

mengusik impian semu

kau hadir di sini

di batas kerinduanku


Kasih

kau singkap tirai

kabut di hatiku

kau bawa harapan baru

untuk menyongsong

masa depan bersama


September ceria

september ceria

september ceria

september ceria milik kita bersama


Ketika rembulan tersenyum

di antara mega biru

Kutangkap sebersit

isyarat di matamu


Kasih

kau sibak sepi di sanubariku

kau bawa daku berlari

di dalam asmara

yang mendamba bahagia


Menyebut kata 'September' untuk lagu Indonesia, sudah dapat dipastikan jika lagu ini yang bakal muncul. 'September Ceria' milik Nama Vina Panduwinata. Lagu ini dirilis bersama album kedua Vina, Citra Pesona.

James F Sundakh, sang pencipta, mengatakan,"Seluruh dunia merasakan perubahan pada bulan September. Negara yang empat musim, biasanya bulan September masuk ke musim gugur. Kemudian yang di bagian selatan musim semi, dan negara tropis seperti kita biasanya masuk musim hujan." Maka tak aneh, jika memasuki musim penghujan yang syahdu, lagu ini bakal kerap kita nikmati. Baik dalam versi Vina maupun penyanyi lainnya.

Baca lengkapnya: September Ceria by Vina Panduwinata


September Song


Our love is as strong as a lion

Soft as the cuts on you lying

Times we got hot like an iron

You and I

Our hearts had never been broken

We were so innocent darling

Used to talk 'til the morning

You and I


We had that mixtape on every weekend

Had it repeating

Had it repeating


You were my September song

Summer lasted too long

Time moves so slowly

When you're only 15

You were my September song

Tell me where have you gone?

Do you remember me?

We were only 15


And I, I remember the chorus

They were singing it for us

You were my September song

Tell me where have you gone?

Do you remember me?

We were only 15


Sometimes I think that I see your

Face in the strangest of places

Down on the underground station passing by

I get a mad sense of danger

Feel like my heart couldn't take it

Cause if we met we'd be strangers

You and I

Still I play that mixtape every weekend

Got it repeating

Got it repeating


You were my September song

Summer lasted too long

Time moves so slowly

When you're only 15

You were my September song

Tell me where have you gone?

Do you remember me?

We were only 15


And I, I I remember the chorus

They were singing it for us

I hear that September song

That I'm singing along

Thinking about you and me

Oh, what a melody


And as the years go by

You will still be my, be my (September song)

You are my (September song)

You were my September song


Summer lasted too long

Time moves so slowly

When you're only 15

You were my September song

Tell me where have you gone?

Do you remember me?

We were only 15


And I, I remember the chorus

They were singing it for us

You were my September song

I remember the chorus

They were singing it for us


John Paul Cooper atau dikenal sebagai JP Cooper. Lagunya yang bertajuk 'September Song' menceritakan kisah percintaannya di masa remaja. Lucunya, kisah yang Cooper alami di usia kisaran 15 tahun tersebut demikian melekat dalam ingatan. 

Lagu yang rilis bersama album Under Grey Skies pada 2016 ini terbilang berjaya di tangga lagu. Berhasil bercokol hingga posisi ke-7.

Baca juga: Angka Unik pada September 2021


Try to Remember


Try to remember the kind of September

When life was slow and oh, so mellow

Try to remember the kind of September

When grass was green and grain was yellow

Try to remember the kind of September

When you were a tender and callow fellow

Try to remember and if you remember

Then follow, follow


Try to remember when life was so tender

That no one wept except the willow

Try to remember the kind of September

When love was an ember about to billow

Try to remember and if you remember

Then follow, follow


Deep in December, it's nice to remember

Although you know the snow will follow

Deep in December, it's nice to remember

The fire of September that made us mellow

Deep in December, our hearts should remember

And follow, follow, follow


Kenal lagu ini pertama kali saat awal nyemplung dunia radio. Radio segmen dewasa, dengan banyak program yang menyajikan lagu-lagu lama. 'Try to Remember' dari versinya The Brothers Four. 

Karya lama dari kolaborasi Tom Jones dan Harvey Schmidt yang khusus dibuat untuk komedi musikal The Fantasticks pada 1960. Saat itu dipanggungkan lewat suara Jerry Orbach. Versi ini sudah ditayangkan dalam ribuan kali pementasan. 

Versi populer yang dikenal berikutnyanya adalah saat dibawakan Gladys Knight and The Pips pada 1975. Sejumlah penyanyi lain kemudian membawakan dalam versi mereka. Selain The Brothers Four, ada Ed Ames, Roger Williams, dan Nana Mouskouri. Lagu ini juga dibuat dalam berbagai versi bahasa. 



Wake Me Up When September Ends

Summer has come and passed
The innocent can never last
Wake me up when September ends

Like my fathers come to pass
Seven years has gone so fast
Wake me up when September ends

Here comes the rain again
Falling from the stars
Drenched in my pain again
Becoming who we are

As my memory rests
But never forgets what I lost
Wake me up when September ends

Summer has come and passed
The innocent can never last
Wake me up when September ends

Ring out the bells again
Like we did when spring began
Wake me up when September ends

Here comes the rain again
Falling from the stars
Drenched in my pain again
Becoming who we are

As my memory rests
But never forgets what I lost
Wake me up when September ends

Summer has come and passed
The innocent can never last
Wake me up when September ends

Like my father's come to pass
Twenty years has gone so fast
Wake me up when September ends
Wake me up when September ends
Wake me up when September ends

Vokalis Green Day, Billie Joe Armstrong begit berduka saat ayahnya meninggal dunia, setelah cukup lama menderita kanker. Selepas pemakaman, ia mengurung diri di kamar. Menangis. Saat sang ibu mengetuk pintu, ia berujar, "Wake me up when September ends." Jawaban yang kelak dijadikannya judul lagu. Lagu wajib mereka yang berduka di bulan September. 

Ayah Billie meninggal dunia pada 1 September 1982. Wake Me Up When September Ends awalnya akan dimasukkan dalam album kompilasi Greenday, Shenanigans. Mereka membatalkannya, dan akhirnya rilis bersama 'American Idiot', 20 tahun setelah kepergian sang ayah. Namun, klip yang digarap Samuel Bayer tak menunjukkan kesedihan personal Billie, melainkan mencoba membuat refleksi atas peristiwa serangan 11 September. Mengapresiasi pekerjaannya sendiri, Bayer yang juga menggarap klip "Smells Like Teen Spirit"-nya Nirvana ini menyebut karyanya itu sebagai "hands down the greatest thing I've ever done." 



September Pagi

Basah kaca jendelaku
Di pagi yang sejuk ini
Setelah sekian lama kemarau mencekam
Kini tiba saatnya
Hujan pun segera kan datang ah?

Selintas wajahmu kasih
Membersit di sanubari
Setelah sekian lama kita melangkah
Dalam suka dan duka perjalanan cinta kita

Chorus :
September pagi ini
September kita
September pagi ini
Ingin ku mengucap terima kasih Tuhan
Atas segala nikmat yang tlah Kau beri

September pagi ini
September kita
September pagi ini
Memberi sejuta arti dalam hidup ini oh?
Setelah sekian lama kita melangkah
Dalam suka dan duka perjalanan cinta kita 

September Pagi rilis bersama album kedua Ruth Sahanaya yang bertajuk 'Tak Kuduga'. Penyanyi mungil ini berhasil menggebrak khasanah musik Indonesia bahkan negeri jiran, saat berhasil melahirkan album pertama. Album keduanya pun tak kalah sukses. Salah satu yang berjaya adalah lagu yang ia bawakan bersama Harvey Malaiholo tersebut. Sang pencipta, sebelumnya telah sukses dengan lagu bertema September yang dibawakan Vina Panduwinata, James F Sundakh.



September 

Do you remember the 21st night of September?
Love was changing the minds of pretenders
While chasing the clouds away

Our hearts were ringing
In the key that our souls were singing
As we danced in the night
Remember how the stars stole the night away

Hey hey hey
Ba de ya, say do you remember
Ba de ya, dancing in September
Ba de ya, never was a cloudy day

Ba duda, ba duda, ba duda, badu
Ba duda, badu, ba duda, badu
Ba duda, badu, ba duda

My thoughts are with you
Holding hands with your heart to see you
Only blue talk and love
Remember how we knew love was here to stay
Now December found the love that we shared in September
Only blue talk and love
Remember the true love we share today

Hey hey hey
Ba de ya, say do you remember
Ba de ya, dancing in September
Ba de ya, never was a cloudy day

There was a
Ba de ya, say do you remember
Ba de ya, dancing in September
Ba de ya, golden dreams were shinny days

The bell was ringing
Our souls were singing
Do you remember, never a cloudy day

There was a
Ba de ya, say do you remember
Ba de ya, dancing in September
Ba de ya, never was a cloudy day

There was a
Ba de ya, say do you remember
Ba de ya, dancing in September
Ba de ya, golden dreams were shinny days

Ba de ya de ya de ya
Ba de ya de ya de ya
Ba de ya de ya de ya de ya

Ba de ya de ya de ya
Ba de ya de ya de ya
Ba de ya de ya de ya de ya

Lagu yang menghangatkan, yang sering dimunculkan di tengah hingar pesta dan suasana gembira lainnya. Sang penulis lirik, Allee Willis, menyebut lagu ini sebagai 'Joyful Music.' Willis menulis lagu ini bersama Maurice White dan Al McKay dari Earth, Wind & Fire, namun sesungguhnya lagu ini karya pertama dia. 

'September' rilis bersama album the greates hits mereka, 'The Best of Earth, Wind & Fire, Vol. 1' yang mencapai sukses penjualan di tingkat dunia. 

Temukan aneka artikel musik di pecandumusik.com.

Demikianlah, lagu sering membawa kita pada kondisi dan suasana hati yang tak begitu baik. Mungkin bisa mengganti dengan lagu-lagu yang memberikan nuansa yang lebih menggembirakan. Atau berpindah aktivitas, misalnya olah raga, nonton, baca buku, baca blog kawan, mempercantik diri di salon, dan sebagainya. Disadari saja kalau kondisi diri sedang tak baik. It's okay not to be okay, kooook..

Nah, sudah teringatkah, lagu-lagu bertema September selain jajaran lagu di atas? Lagu mana yang terhubung dengan kisahmu? 





Jangan Pipis Sembarangan, Peduli Liyan

Orang Bandung sudah pasti hafal istilah cimol. Bukan cimol seperti yang kita kenal belakangan hari, makanan yang terbuat dari aci dengan padu padan bumbu bervariasi. Cimol yang ini plesetan dari cimall a.k.a cingogo di mall. Lapak yang penjual dan pembelinya cingogo. Cingongo adalah Bahasa Sunda yang artinya jongkok. Yup, di Cimol orang-orang memilih aneka produk baju bekas sambal berjongkok. Tapi versi lain menyebut Cimol singkatan dari Cibadak Mall. Ya ya, masih plesetan juga. Saya tidak mengajak bernostalgia. Mungkin lain waktu kita obrolkan tentang kenangan belanja cingogo ini. Kali ini mau ngobrolin soal pipis sembarangan. Memang apa hubungannya dengan Cimol?

Tahun 90 jelang akhir, selagi masih kuliah dan bekerja di sebuah stasiun radio, saya mendengar keluhan dari pemilik rumah di Jalan Cibadak. Keluhannya tentang para pedagang Cimol ini. Kondisinya tak seperti sekarang tentu saja. Yang pernah mendatangi kawasan Otto Iskandar Dinata dan Cibadak, tahu betul betapa sesaknya kawasan tersebut. Toko aslinya nyaris tak kebagian ruang. Terlebih di Cibadak yang jalannya lebih sempit. Nah, terbayang kan, dengan fasilitas umum yang terbatas, sangat terbatas jika dibandingkan dengan jumlah pemilik lapak, di mana mereka buang hajat? Untuk keperluan BAB mungkin mereka masih bisa memaksakan diri mencari masjid atau mushola terdekat yang menyediakan toilet umum. Tapi BAK? Ga yakin kan? Dan memang itulah yang terjadi. Ketika lapak sudah sepi, dan hembusan angin lebih leluasa, maka ngahililiwirlah itu aroma-aroma yang sudah pasti mengganggu. Pagi, buka toko, selain bau pesing, tak jarang botol-botol berisi air kencing ditinggalkan begitu saja. Hari demi hari itu yang dialami para pemilik toko. Maka sungguh dapat dipahami, pada satu titik mereka marah. Tapi tak tahu marah pada siapa. Karena sudah coba dilaporkan ke pamong setempat, tak ada kebijakan yang mengubah adab para PKL itu. Yang bisa dilakukan hanya mengeluhkan ke stasiun radio. Dan saat itu saya pun hanya berusaha menjadi pendengar yang baik, bagi ibu yang bercerita dengan dibarengi sesenggukan tanpa henti.

sumber foto: info bandung

Di kemudian hari ada kebijakan dari Pemerintah Kota Bandung untuk merelokasi Cimol. Ke Pasar Kebon Kalapa, dan terakhir ke Pasar Gede Bage. 

Persoalan pipis sembarangan di Cimol ini hanya satu dari sekian banyak kasus di sekitar kita. Barangkali tak sekental persoalan Cimol di Bandung, tapi bisa jadi merupakan persoalan menahun yang tak kelar-kelar. 


Mengapa sih orang suka pipis sembarangan? Ada beberapa alasan:

1. Tak ada fasilitas toilet. Seperti cerita tentang Cimol di atas, para pedagang kaki lima tersebut beralasan tak ada toilet. Di area publik lain banyak terjadi hal serupa. Tak heran kalau kita temui bau pesing di taman yang notabene dibuat untuk memperindah kota.

2. Tak mau keluar uang. Toilet ada tapi tak mau mengeluarkan seribu-dua ribu perak. Sebagai contoh di terminal. Begitu bebasnya para punggawa perusahaan otomotif dan para pencari rejeki di kawasan ini  yang begitu saja buang hajat di area-area yang agak tertutup dari pandangan. Di stasiun KA kini sudah tak ada pungutan di toilet. Sepertinya perkara rupiah ini cukup berdampak.

3. Sudah menjadi kebiasaan. Saat ‘pipis sembarangan’ ditolerir, tanpa sanksi,  maka lahirlah kebiasaan. “Ah sudah biasa..” Begitu katanya. Terlebih para orang tua yang juga abai terhadap kebiasaan buruk ini. Alih-alih mengajari, mereka malah mengajak anak-anaknya untuk pipis di mana saja.


Padahal, pipis sembarangan bukan perilaku sehat dan melanggar aturan. Beberapa fakta:

1. Perpindahan kuman. Pipis bukan di tempat yang peruntukannya, berpotensi mengundang penyakit. Betul, tak semua MCK yang jadi fasilitas umum teruji kebersihannya. Namun risiko pipis di lokasi yang bukan peruntukannya bisa lebih besar. Kuman yang bisa saja menempel di alat vital dan berkembang menjadi penyakit. Dan sebaliknya, jika dalam urinnya terkandung bibit penyakit, maka orang yang pipis sembarangan punya andil menyebarkan penyakit.

2. Mencemari lingkungan. Pencemaran terhadap air, tanah, dan udara. Pencemaran terhadap tanah dan air mungkin tak berdampak langsung. Namun sedikit banyak akan memberikan pengaruh, terutama jika bertemu dengan senyawa kimia yang lain. Para ahli menyebutkan, urin adalah senyawa kimia yang rumit. Ada 3.000 senyawa dalam urin. Dan senyawa tersebut muncul dari pertumbuhan bakteri, sedikitnya ada 72. Ditambah dari tubuh yang jumlahnya hampir 1.500, dan dari luar lebih dari 2 ribu. Komposisi urin sendiri berasal segala yang dikonsumsi manusia seperti makanan, obat-obatan, kosmetika, ditambah lagi paparan lingkungan seperti polusi. Yang jelas, urin meninggalkan jejak aroma yang tak menyenangkan.

3. Menyalahi aturan. Di berbagai kota di tanah air sudah memiliki payung hukum. Di DKI Jakarta, ada Pergub DKI Jakarta 221/2009 yang melarang warga membuang air besar dan/atau kecil di jalan, jalur hijau, taman, sungai dan saluran air. Pelaku yang melanggar terancam pidana kurungan paling singkat 10 hari dan paling lama 60 hari,  atau denda paling sedikit Rp 100 ribu dan paling banyak Rp 20 juta. Di Kota Bandung, ada Perda K3 (Keamanan, Ketertiban, dan Keindahan) yang diundangkan pada 2005 lalu. Pelanggar terancam denda Rp 250.000.


sumber foto: solo pos


Lalu apa solusinya?

1. Pemerintah lebih serius penerapan sanki. Aturan sudah ada, mengapa implementasinya tak jalan? Seandainya penerapan sanksi lebih tegas, barangkali tak akan kita jumpai para pelaku pipis sembarangan ini.

2. Pemerintah lebih serius menyiapkan fasum terkait kebutuhan buang air. Mengacu ke poin pertama, prasyarat aturan diberlakukan adalah kondisi sudah harus ideal. Dalam hal ini memang pemerintah kudu terkebih dahulu menyiapkan fasilitas umum berupa toilet di lokasi-lokasi strategis.

3. Menjadikan ‘jangan pipis sembarangan’ sebagai bagian dari pembelajaran di institusi pendidikan dan agama, yang seharusnya masih menjadi lembaga yang dihormati.

4. Setiap orang mau menjadi pelaku kampanye. Seandainya orang mau lebih berempati, memikirkan orang kain dan tak semata kebutuhan sendiri, bisa jadi perilaku ‘pipis sembarangan’ ini tak berkembang. Namun tentu saja tak bisa menyerah pada kondisi tersebut, karena setiap orang juga dimampukan untuk membawa pengaruh positif terhadap orang lain di wilayah geraknya masing-masing.


Komunitas Jangan Pipis Sembarangan


Sebuah komunitas yang peduli urusan pipis sembarangan ini dibentuk pada pertengahan 2020 lalu. Namanya Komunitas Jangan Pipis Sembarangan (JPS). Tujuannya tak lain untuk mengajak semua orang lebih peduli pada lingkungan sekitar. Mendapatkan udara segar dan lingkungan yang bersih dan sehat adalah hak semua orang. 

Pada 18 September lalu, sang founder komunitas, Ivan Nisero, merilis single yang sekaligus dapat menjadi jingle dari komunitas ini. Lagu bertajuk 'Jangan Pipis Sembarangan’ yang dikemas dalam irama reggae ini diharapkan jadi pengingat untuk tak berlaku seenaknya dan merugikan orang lain. Liriknya sederhana dan mudah untuk diikuti.  

Untuk yang tertarik bergabung dengan komunitas dan ingin terlibat kampanye Jangan Pipis Sembarangan, bisa cus langsung ke akun-akun Media Sosial Komunitas JPS:

IG: @janganpipissembarangan_

twitter: @KomunitasJPS

fanspage: komunitasJPG

Jangan lupa dengerin lagunya: https://youtu.be/i1nFBBp1UO0


Menyikapi Kritik dan Penilaian Negatif

Sebagai makhluk sosial yang berinteraksi dengan manusia lain, tentu saja kita tak lepas dari penilaian orang. Penilaian yang datang dapat bernuansa positif maupun negatif. Cara penyampaiannya pun beraneka. 



Penilaian positif dapat disampaikan dengan cara ‘negatif’ dan sebaliknya. Negatif dalam tanda petik mewakili ungkapan-ungkapan yang berupa olok-olok atau dengan cara kasar. Jika disampaikan oleh orang yang memang saling mengenal, tak jadi soal. Tapi tidak sebaliknya. Alih-alih ingin memberikan nilai positif, karena disampaikan dengan cara tak tepat akhirnya malah memunculkan masalah baru. Demikian pula dengan penilaian negatif, ada yang disampaikan togmol kalau dalam istilah Sunda, atau secara lugas, ada pula yang dibungkus kalimat-kalimat manis. Untuk kalimat positif, relatif tak ada masalah. Yang sering memberikan efek tak baik adalah kritik dan penilaian negatif. Nah, bagaimana kita menyikapinya? Abaikan? Jangan! Setidaknya lewati dulu beberapa tahapan sampai kemudian memutuskan untuk mengabaikan.


Berikut ini tahapan yang perlu kita lakukan untuk menyikapi kritik dan penilaian negatif. Tentu saja versi saya, dari pengalaman dan pengetahuan sekian tahun hidup sebagai makhluk sosial. 


Tidak defensif


Hal yang alami dilakukan orang saat dikritik atau dikasih penilaian negatif adalah munculnya perasaan diserang. Lebih buruk lagi, perasaan terhina dan dilecehkan.  Maka yang dilakukan adalah membuat pembelaan diri. Contoh-contohnya dapat dengan mudah kita temukan di media sosial. Medsos menjadi salah satu saluran katarsis bagi mereka yang membutuhkan pembelaan diri. 


Apakah sebetulnya sikap defensif itu dibutuhkan? Jawabnya adalah tidak. Defensif adalah sikap emosional yang bakal melelahkan jika diikuti. Ambil nafas panjang, berdiam barang tiga menit untuk menetralisir beban batin. Lalu lakukan introspeksi.


Introspeksi


Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia disebutkan, introspeksi adalah peninjauan atau koreksi terhadap (perbuatan, sikap, kelemahan, kesalahan, dan sebagainya) diri sendiri. Apakah kritik dan ungkapan negatif tersebut hanya untuk menjatuhkan, apakah memang betul kita melakukan hal yang tak tepat, ataukah karena cara pandang yang berbeda. 


Pada poin yang terakhir orang yang memberikan kritik atau penilaian negatif karena memang demikianlah cara pandangnya. Konon, orang cenderung ingin melihat apa yang ingin ia lihat dari orang lain. Mereka tak bisa atau tak mau melihat kita dari berbagai aspek dan kemungkinan. Tentu saja kita tak bisa memaksa mereka mengubah cara pandangnya. Lalu dengan cara apa melakukan introspeksi? 


Cek kembali hal-hal yang menjadi prinsip kita


Kembali ke dalam diri. Lepaskan segala ego dan upaya pembelaan diri. Jika mendapati ada hal-hal yang tak tepat yang kita lakukan, koreksi. Perbaiki. Barangkali ini tak selalu mudah. Terutama untuk hal-hal yang sudah jadi kebiasaan bertahun-tahun. Tapi dapat dicoba pelan-pelan. 


Jika saat ‘kembali ke dalam diri’ tak kita temukan kesalahan, kita sudah menjalankan prinsip utama, misal ‘berlaku manusiawi’, ya sudah, saatnya mengabaikan. Lepaskan. Jangan pernah biarkan hal-hal tak menyenangkan menjadi kerak di batin kita.


Bersikap positif


Orang bijak mengatakan’segala sesuatu pasti ada hikmahnya’. Terdengar klise, tapi itu benar adanya.

  • · Saat mendapatkan apresiasi positif, kita akan berusaha untuk meningkatkan sikap positif kita.

  • · Saat menerima kritik dan penilaian negatif, kita akan introspeksi. Jika nyata salah, kita dapat melakukan perbaikan.  Jika tak ada hal salah yang kita lakukan, kita akan mengambil sikap untuk tak melakukan hal serupa pada orang lain. Hal yang membuat kita lebih bijak.

Upaya ini kita lakukan untuk mendapatkan hasil utama yaitu nilai kebaikan. Bukan untuk meninggikan diri sendiri, dan sebaliknya, merendahkan orang lain. Melainkan nilai kebaikan. Semata nilai kebaikan



Sabbe Satta Bhavantu Sukhitatta



*Catatan ini dibuat setelah berbulan-bulan hibernasi alias mengikuti dorongan malas dan mengabaikan blog. Mari kita menulis lagi 😀 Catatan ini juga sekaligus mengakhiri peran utama Si Shiroy, laptop Asus mungil saya yang memang sudah bolak-balik ngadat. Semoga di perangkat penggantinya mendatang, si sayanya akan lebih rajin 😍

Ulang Tahun dan Ingatan akan Peristiwa Kematian


Lalu, apabila kematian adalah keperkasaan kodrati, maka kehadirannya, bahkan baru gejalanya, sudah mampu membungkam segala gejolak rasa. (Ahmad Tohari) 


Tahun lalu aku pernah mencetuskan obrolan tentang kematian kepada dua kawan. Dengan redaksi lebih kurang: “Beberapa waktu terakhir aku memikirkan kematian...” Pernyataan ini mendapat tanggapan yang berbeda. Kawan satu membagikan cerita tentang seseorang, penyintas kanker yang (kemudian) berpulang beberapa bulan lalu. Sepertinya menduga aku tengah berputus asa menghadapi masalah (yang entah apa), dan berharap aku mau belajar dari orang lain dengan masalah kesehatan yang berat. Kawan dua menanggapi dengan, “Kamu keur loba masalah meureun...sok atuh diselesaikan hiji-hiji (kamu lagi banyak masalah mungkin, selesaikan satu per satu.”

Bisa jadi topik kematian itu muncul ketika aku dihadapkan pada masalah. Tapi sesungguhnya tak persis demikian. Karena aku bukan jenis manusia yang gampang putus asa, menyerah, apalagi memutuskan bunuh diri...hiiiii.. Ya, mungkin saat dalam kepenatan menghadapi masalah, pertanyaan itu muncul. Bukan aku merasa ingin mati, melainkan: “Apa yang akan terjadi kalau aku mati? Dunia akan baik-baik saja kan? Mengapa bicara tentang kematian selalu dibarengi dengan kengerian? Bukankah kematian adalah sebuah keniscayaan bagi setiap makhluk hidup? Tidak bisakah kita bicara tentang kematian seperti bicara tentang topik-topik lain sambil minum kopi?” Pertanyaan ini bertalu di kepala sedari terbilang muda. Biasanya langsung ditepis. Pamali kalau kata orang Sunda.

Demikianlah adanya, kita (seolah) telah dibiasakan untuk menabukan bahasan tentang kematian. Pernahkan topik ini jadi bahasan khusus antara anak dan orang tua? Sepengalamanku sendiri, tak pernah. Sesekali paling ya tak jauh-jauh dari ketika orang tua mengingatkan untuk rajin belajar, “Sekolah yang bener, dapat kerjaan bagus, biar nanti ibu/bapak bisa meninggalkan kalian dengan tenang.” Sebatas hal yang klise. Tapi tak pernah memunculkan bahasan untuk memaknai peristiwa kematian, menghadapi kehilangan dan pembelajaran apa yang didapat dari peristiwa kematian. Tak sedikit, mereka yang ditinggalkan orang-orang terdekat mengalami kecewa, sedih, frustasi dan tak bisa move on. Baik kehilangan orang tua, anak, saudara, sahabat, kekasih, atau orang-orang yang dalam ‘relasi yang belum tuntas’ sehingga sebuah peristiwa kematian menyisakan pertanyaan ‘kenapa’ yang tak kunjung usai.

Aku sendiri telah nyaris terbiasa menghadapi peristiwa kematian. Sebagai single parent dari puluhan kucing 🐈🐈🐈, aku sering dihadapkan pada peristiwa itu. Mereka kan ‘cuma’ kucing? Ada yang punya pertanyaan itu? Jangan pernah disampaikan ulang kepada para manusia kucing ya...bisa kena cakar 😹 Karena kucing adalah keluarga. Kucing memberikan andil dalam perjalananku. Kehilangan mereka tak pernah mudah. Aku juga memiliki orang tua yang mengalami sakit menahun. Artinya sudah jauh-jauh hari pula untuk menyiapkan diri kehilangan mereka. Namun ada sejumlah peristiwa yang tak urung juga menyisakan sejumlah tanya.

Peristiwa kematian saat aku kecil adalah perginya kawan bermain. Kami terbilang akrab, satu sekolah dan satu gereja. Tapi pada hari itu dia bermain bersama tetangga-tetangga dekat saja. Mereka bermain di sungai kampung kami. Lalu terjebak pada pusaran air. Ia, dan dua orang yang lebih dewasa yang sedianya terjun untuk menolong, ditelan pusaran. Bertiga mereka meninggal. Jenasah kawanku ditemukan tiga hari kemudian. Sungguh peristiwa mengenaskan di masa kecil. “Mengapa sekecil itu dia pergi?” Aku hanya bertanya pada diri sendiri, sambil mengamati buku-buku jarinya yang membengkak dan biru. 

Beberapa bulan lalu seorang kawan masa kecil, tiba-tiba dikabarkan berpulang. Mendadak buatku. Dan menyisakan rasa tak nyaman. Bagaimana tidak...sekitar sebulan sebelumnya, aku mengabaikan teleponnya. Betul, memang secara teknis sedang tak bisa terima telepon. Tapi sesungguhnya aku bisa menyusulkan pesan pendek atau menelepon balik waktu berikutnya. Sayangnya itu tak kulakukan, hingga kabar kematiannya membuatku tepekur. “Harusnya aku bisa melakukan hal yang baik,” sesalku.

Sebuah peristiwa kematian yang lain.. Kematian dari seseorang yang pernah membuat luka di masa lalu. Saat sedang mengalami sakit serius untuk ke sekian kali, aku merasa itu akan menjadi saat terakhirnya. Kukirim pesan pada seorang kawan: “Apakah aku perlu mengunjunginya (untuk sekadar mengucap selamat jalan)?” Sang kawan menjawab: “Jika menurutmu itu baik, lakukan. Tapi kalau justru malah membuat tak nyaman, tak usah. Doakan saja.” Aku memilih mendoakan saja. Sungguh, jauh-jauh hari aku sudah memaafkan. Hanya aku merasa tak mampu menjumpainya di saat jelang kematiannya. Ketika akhirnya ia pergi, aku tak menyesalkan apa pun.

Peristiwa kematian lain yang aku pernah terlibat, jauh-jauh waktu lampau. Ketika seseorang yang sempat bersamaku pada sebuah malam, ditemukan meninggal dunia. Serangan jantung, di tepi jalan tak jauh dari tempat kami bertemu terakhir kalinya. Belum ada alat komunikasi secanggih sekarang. Aku baru mendapatkan kabar keesokan harinya. Dengan redaksi: “Dia ditemukan jam 9 lewat. Tapi dari pengecekan tim medis, kemungkinan serangan jantung dialami beberapa jam sebelumnya. Bahkan secara medis dia sudah meninggal jam 9 malam.” Jam yang notabene aku masih berbincang dengannya, tentang kawan-kawan kami. Peristiwa yang membuatku terguncang untuk waktu yang terbilang lama. 

Lain lagi cerita seorang kawan yang mengalami ‘near death experience’. Tak mendapatkan cerita detilnya. Namun sang kawan satu ini malah ingin segera mengalami peristiwa kematian lagi. Kematian yang sesungguhnya. “Hidup ini sudah terlalu melelahkan..” Begitu katanya. Dalam hal ini aku tak sepakat. 

Aku seorang yang ‘nrima’ untuk setiap hal yang diberi oleh Sang Maha Kuasa. Kehidupan dengan segala perniknya. Tentunya kondisi itu terjadi setelah melewati proses yang lama. Berapa banyak aku jatuh, tersesat, bangun, bangkit, hingga menemukan seni menjalani kehidupan. Trima ing pandum, begitu kata orang Jawa. Pun ketika pada akhirnya dihadapkan pada peristiwa kematian. Aku meyakini, peristiwa kematian dapat menjadi sebuah titik tolak pembelajaran. Dan tak harus mengalami ‘near death experience’ kan untuk mau belajar? Cukuplah belajar dari peristiwa kematian orang lain. 

Hari ini aku 45 tahun. Entah akan ada berapa banyak peristiwa kematian yang akan menjadi pembelajaranku, kelak. Atau mungkin justru kematiankulah yang akan menjadi bahan pembelajaran bagi orang lain...

* ilustrasi, chinese painting dari Indri