Jelang Lebaran dan Kenangan Akan Simbok Mutiah

Simbok Mutiah adalah nenekku. Nenek dari sisi ibu. 'Mbok' adalah panggilan dari ibu bersaudara buat ibu mereka tersebut. Entahlah, kenapa kami tak diajari panggil mbah ke si-mbok seperti lazimnya cucu panggil mbah kakung-mbah putri ke kakek-nenek mereka. Sejauh yang kuingat, sedari kecil memang kami, para cucu-semua cucu ikut memanggilnya 'mbok'. Mbok Mut dinikahkan di usia yang sangat muda, 12 tahun. Ia melahirkan 11 anak, konon seorang meninggal dunia selagi kecil.

 
Mbok Mut berdagang baju bekas di pasar, ‘karir’ yang kemudian diikuti beberapa anaknya, termasuk ibuku. Lapaknya kecil, sekitar 1,5x2 meter. Aku ingat, ada lemari di bagian belakang. Lemari pendek, tak sampai 1,5m. Warnanya biru pudar. Saat buka lapak, isi lemari dikeluarkan, dipajang berlipat di sisi kiri-kanan lapak. Sebagian digantung. Di bagian depan lapak, sepatu berjajar di atas plang kayu, menggunakan sedikit lorong jalan. Di lorong ini, selain Mbok Mut, ada 3 pedagang baju bekas yg lain. Satu di sisi kiri, dua di kanan. Lapak paling kiri dan kanan lebih besar dari dua lainnya. Sebelah kanan lapak Mbok adalah nenek-nenek perokok. Lapaknya berasap. Sebelahnya lagi milik nenek-nenek berkaca mata yang rajin menjahit pakai tangan. Tak pernah berdiam diri. Namanya Mbah Jum. Sisi kiri lapak simbok, aku tak ingat persis. Empat lapak ini menghadap ke pantat lapak depan. Lapak-lapak yang tersembunyi. Semacam lapak kelas ke sekian. Mungkin karena retribusinya memang murah. Sedangkan lapak depan adalah grosir jajanan.

Pasar tempat Mbok berjualan ini posisinya di Trenggalek kota. Keluargaku sendiri tinggal di desa, wilayah kecamatan lain. Saat SMA, aku sering mampir ke pasar. Lalu Mbok akan membelikanku minuman kunyit asem dalam gelas besar. Atau bubur sumsum. Tapi sebelum cerita masa remaja, biar kupanggil dulu ingatanku tentang si Mbok di masa kanakku.

Masih terekam jelas perasaan gembiraku setiap kali mendapat kunjungan Mbok Mut ke rumah. Rumah bilik kami yang disesaki lima anak di Dusun Bendo. Ada angkutan berupa L-300 menuju rumah kami. Gembira, kami menyambut kedatangan Mbok Mut di jalan raya. Mbok selalu berpakaian jarik/kain dan berkebaya, rambutnya digelung sekadarnya. Mbok bertubuh berisi, dengan tinggi tak lebih dari 150cm. Ia datang dengan membawa tas kecil dan gembolan. Biasanya lalu kami mengambil alih gembolan dari tangan Mbok. Gembolan itu adalah sebuah kain, mungkin taplak, yang di dalamnya berisi oleh-oleh aneka penganan. Belum musim plastik kresek masa itu. Yang dipakai adalah gembolan, yang notabene ramah lingkungan. Bawa gembolan ke rumah, lalu kami menyerbu, memilih penganan yang disukai.

Saat diajak ibu ke kota dan mampir ke lapak Mbok Mut, aku sering ditawari aneka barang. Biasanya ibuku langsung berbisik, “Halah wis padha bosok!” Tapi entahlah, ketika itu aku merasa bakal menyenangkan hati Mbok kalau aku mengambil dagangannya. Dan yaaa...barang-barang bekas yang dijual di kampung seringkali memang ‘bekas sungguh’ dalam arti sudah rusak. Beda halnya dengan yang kemudian hari kujumpai di dagangan ibuku yang kulakannya saja ke Surabaya. Yang kebanyakan orang jual baju karena bosan, bukan karena rusak. Pernah aku mengambil sebuah sepatu. Aku ingat, warnanya merah-putih glossy. Sudah kelihatan ada paku kecil di bagian tumit. Tapi kurasa itu sepatu cukup lucu kalau kupakai ke sekolah. Alhasil, sebagai anak yang terbilang lumayan aktif, mucunghul-lah itu paku. Nancep di tumit. Nyeri, jendral! 😀 Akhirnya pulang ke rumah sepatu digiwing..

Hal yang selalu muncul dalam kenanganku saat memasuki bulan puasa adalah kolak bikinan Mbok Mut. Sebetulnya kolaknya macam-macam. Tapi yang paling kuingat adalah kolak waluh (labu kuning). Tiap bulan puasa, lihat kolak waluh, ingatanku selalu melayang ke simbok. Kolak waluh dengan santan yang tak terlalu kental, mungkin biar hemat karena menyediakan untuk banyak orang. Lalu makan dengan sayur bobor bayam campur labu panjang. Nah, kok jadi ingat..labu panjang itu apa namanya ya? Masih ada ga sih? Rasanya lama tak pernah lihat. Simbok itu orangnya lucu. Sering menceritakan hal-hal lucu sambil terkikik, geli sendiri. Hal yang sering bikin aku tak habis pikir adalah anak-anaknya yang tak begitu perhatian sama Mbok Mut. Kulihat anak-anak Mbok lebih menyayangi bapak mereka, mbah kung. Mungkin mereka memiliki pengalaman masa kecil yang tak cukup baik dengan ibu mereka ini. Entahlah.Tapi Mbok Mut tak pernah mengeluh. Tak mengeluh dengan sejumlah keterbatasan dalam hidupnya..tak mengeluhkan pula beberapa anak yang sering bersikap kasar. Sepertinya ia selalu mensyukuri segala kondisi yang diterimanya.

Simbok orangnya juga kadang sok tau. Ada anaknya yang dengan sadis menyebutnya keminter. Aku sih melihatnya sebagai sesuatu yang lucu.

Alkisah, suatu hari, ada seorang perempuan yang mau mencari penjahit baju. Carinya di area lapak baju bekas. Aneh juga sih.. Bertambah aneh karena si perempuan, sebut saja Bunga ini, bicaranya ‘tinggi’. Mengaku dari kalangan atas, punya banyak uang bla bla bla.. Tapi cari penjahitnya di pasar 😂 Dan kok ya lucunya Mbok Mut ini menyanggupi. Padahal dia tak pernah mengenal pola baju. Mesin jahit –yang kemudian dimilikinya, hasil keringatnya sendiri itu- biasanya hanya untuk membetulkan jahitan baju dagangan. Tak lebih. Tapi dengan cukup pede Mbok Mut menyanggupi, dan menjanjikan selesai besoknya. Dan betul, besoknya Bunga ambil baju ke rumah Mbok. Apa yang terjadi? Ngamuk! Bunga ngamuk sengamuk-ngamuknya. Mbok dengan santai saja menghadapinya. Aku lupa waktu itu penyelesaiannya seperti apa. Apakah diberikan kain pengganti, atau Mbok bisa ngeles. Yang kuingat aku kok gembira melihat simbokku berhasil mengelabuhi Bunga yang sok keren itu 😂

Aku sempat tinggal setengah tahun di rumah kakek-nenekku ini. Saat awal masuk SMA. Pada tengah malam Mbok suka tahajud. Lalu pada jelang subuh sudah bangun, dan berangkat ke masjid yang jaraknya hanya 100 meter dari rumah. Berdua mbahkung. Sampai usia tuanya Mbok masih ke pasar. Masih sibuk menjahit juga, menggunakan mesin yang diputar pakai tangan, karena kakinya sudah tak cukup kuat. Ia tak pernah malas-malasan. Mandi tiap pagi  berpupur wangi, pakai baju bersih, lalu ke pasar. Kalau lagi tak ke pasar, di rumah saja, tak diam juga. Ada saja hal yang dikerjakan.

Aku sayang Mbok Mut. Aku sayang Mbok dengan segala keunikannya itu. Dan aku yakin ia pun menyayangiku. Waktu mulai kerja magang, aku ingin menyisihkan uang buat Mbok. Sayangnya tak pernah berhasil. Uangnya hanya cukup buat ngangkot dan makan. Apalagi ketika kemudian kiriman orang tua semakin sedikit, lalu aku minta sekalian dihentikan. Tapi Mbok Mut masih melihatku sebagai cucu kecilnya, yang dulu sering datang ke lapak, diberi baju-sepatu dagangan, dijajanin.. Terakhir ketemu, waktu pamitan akan pulang ke Bandung, Mbok nyangoni tiga ribu rupiah. Aku ingat betul karena itu membuatku sedih, tak mampu ninggali sepeserpun buat Mbok, malah dibekali. Pada 2001 (belum ingat bulannya), dapat kabar dari kampung kalau simbok sakit. Masih berharap bisa ketemu, aku bergegas pulang. Tiba di kampung, jenasah sudah siap diberangkatkan. Dan aku hanya bisa mengucapkan selamat jalan.

Mboooook..putumu kangeeeeen. Damai-damai dalam pelukan Ilahi ya, Mbok...

No comments