Ulang Tahun dan Ingatan akan Peristiwa Kematian


Lalu, apabila kematian adalah keperkasaan kodrati, maka kehadirannya, bahkan baru gejalanya, sudah mampu membungkam segala gejolak rasa. (Ahmad Tohari) 


Tahun lalu aku pernah mencetuskan obrolan tentang kematian kepada dua kawan. Dengan redaksi lebih kurang: “Beberapa waktu terakhir aku memikirkan kematian...” Pernyataan ini mendapat tanggapan yang berbeda. Kawan satu membagikan cerita tentang seseorang, penyintas kanker yang (kemudian) berpulang beberapa bulan lalu. Sepertinya menduga aku tengah berputus asa menghadapi masalah (yang entah apa), dan berharap aku mau belajar dari orang lain dengan masalah kesehatan yang berat. Kawan dua menanggapi dengan, “Kamu keur loba masalah meureun...sok atuh diselesaikan hiji-hiji (kamu lagi banyak masalah mungkin, selesaikan satu per satu.”

Bisa jadi topik kematian itu muncul ketika aku dihadapkan pada masalah. Tapi sesungguhnya tak persis demikian. Karena aku bukan jenis manusia yang gampang putus asa, menyerah, apalagi memutuskan bunuh diri...hiiiii.. Ya, mungkin saat dalam kepenatan menghadapi masalah, pertanyaan itu muncul. Bukan aku merasa ingin mati, melainkan: “Apa yang akan terjadi kalau aku mati? Dunia akan baik-baik saja kan? Mengapa bicara tentang kematian selalu dibarengi dengan kengerian? Bukankah kematian adalah sebuah keniscayaan bagi setiap makhluk hidup? Tidak bisakah kita bicara tentang kematian seperti bicara tentang topik-topik lain sambil minum kopi?” Pertanyaan ini bertalu di kepala sedari terbilang muda. Biasanya langsung ditepis. Pamali kalau kata orang Sunda.

Demikianlah adanya, kita (seolah) telah dibiasakan untuk menabukan bahasan tentang kematian. Pernahkan topik ini jadi bahasan khusus antara anak dan orang tua? Sepengalamanku sendiri, tak pernah. Sesekali paling ya tak jauh-jauh dari ketika orang tua mengingatkan untuk rajin belajar, “Sekolah yang bener, dapat kerjaan bagus, biar nanti ibu/bapak bisa meninggalkan kalian dengan tenang.” Sebatas hal yang klise. Tapi tak pernah memunculkan bahasan untuk memaknai peristiwa kematian, menghadapi kehilangan dan pembelajaran apa yang didapat dari peristiwa kematian. Tak sedikit, mereka yang ditinggalkan orang-orang terdekat mengalami kecewa, sedih, frustasi dan tak bisa move on. Baik kehilangan orang tua, anak, saudara, sahabat, kekasih, atau orang-orang yang dalam ‘relasi yang belum tuntas’ sehingga sebuah peristiwa kematian menyisakan pertanyaan ‘kenapa’ yang tak kunjung usai.

Aku sendiri telah nyaris terbiasa menghadapi peristiwa kematian. Sebagai single parent dari puluhan kucing 🐈🐈🐈, aku sering dihadapkan pada peristiwa itu. Mereka kan ‘cuma’ kucing? Ada yang punya pertanyaan itu? Jangan pernah disampaikan ulang kepada para manusia kucing ya...bisa kena cakar 😹 Karena kucing adalah keluarga. Kucing memberikan andil dalam perjalananku. Kehilangan mereka tak pernah mudah. Aku juga memiliki orang tua yang mengalami sakit menahun. Artinya sudah jauh-jauh hari pula untuk menyiapkan diri kehilangan mereka. Namun ada sejumlah peristiwa yang tak urung juga menyisakan sejumlah tanya.

Peristiwa kematian saat aku kecil adalah perginya kawan bermain. Kami terbilang akrab, satu sekolah dan satu gereja. Tapi pada hari itu dia bermain bersama tetangga-tetangga dekat saja. Mereka bermain di sungai kampung kami. Lalu terjebak pada pusaran air. Ia, dan dua orang yang lebih dewasa yang sedianya terjun untuk menolong, ditelan pusaran. Bertiga mereka meninggal. Jenasah kawanku ditemukan tiga hari kemudian. Sungguh peristiwa mengenaskan di masa kecil. “Mengapa sekecil itu dia pergi?” Aku hanya bertanya pada diri sendiri, sambil mengamati buku-buku jarinya yang membengkak dan biru. 

Beberapa bulan lalu seorang kawan masa kecil, tiba-tiba dikabarkan berpulang. Mendadak buatku. Dan menyisakan rasa tak nyaman. Bagaimana tidak...sekitar sebulan sebelumnya, aku mengabaikan teleponnya. Betul, memang secara teknis sedang tak bisa terima telepon. Tapi sesungguhnya aku bisa menyusulkan pesan pendek atau menelepon balik waktu berikutnya. Sayangnya itu tak kulakukan, hingga kabar kematiannya membuatku tepekur. “Harusnya aku bisa melakukan hal yang baik,” sesalku.

Sebuah peristiwa kematian yang lain.. Kematian dari seseorang yang pernah membuat luka di masa lalu. Saat sedang mengalami sakit serius untuk ke sekian kali, aku merasa itu akan menjadi saat terakhirnya. Kukirim pesan pada seorang kawan: “Apakah aku perlu mengunjunginya (untuk sekadar mengucap selamat jalan)?” Sang kawan menjawab: “Jika menurutmu itu baik, lakukan. Tapi kalau justru malah membuat tak nyaman, tak usah. Doakan saja.” Aku memilih mendoakan saja. Sungguh, jauh-jauh hari aku sudah memaafkan. Hanya aku merasa tak mampu menjumpainya di saat jelang kematiannya. Ketika akhirnya ia pergi, aku tak menyesalkan apa pun.

Peristiwa kematian lain yang aku pernah terlibat, jauh-jauh waktu lampau. Ketika seseorang yang sempat bersamaku pada sebuah malam, ditemukan meninggal dunia. Serangan jantung, di tepi jalan tak jauh dari tempat kami bertemu terakhir kalinya. Belum ada alat komunikasi secanggih sekarang. Aku baru mendapatkan kabar keesokan harinya. Dengan redaksi: “Dia ditemukan jam 9 lewat. Tapi dari pengecekan tim medis, kemungkinan serangan jantung dialami beberapa jam sebelumnya. Bahkan secara medis dia sudah meninggal jam 9 malam.” Jam yang notabene aku masih berbincang dengannya, tentang kawan-kawan kami. Peristiwa yang membuatku terguncang untuk waktu yang terbilang lama. 

Lain lagi cerita seorang kawan yang mengalami ‘near death experience’. Tak mendapatkan cerita detilnya. Namun sang kawan satu ini malah ingin segera mengalami peristiwa kematian lagi. Kematian yang sesungguhnya. “Hidup ini sudah terlalu melelahkan..” Begitu katanya. Dalam hal ini aku tak sepakat. 

Aku seorang yang ‘nrima’ untuk setiap hal yang diberi oleh Sang Maha Kuasa. Kehidupan dengan segala perniknya. Tentunya kondisi itu terjadi setelah melewati proses yang lama. Berapa banyak aku jatuh, tersesat, bangun, bangkit, hingga menemukan seni menjalani kehidupan. Trima ing pandum, begitu kata orang Jawa. Pun ketika pada akhirnya dihadapkan pada peristiwa kematian. Aku meyakini, peristiwa kematian dapat menjadi sebuah titik tolak pembelajaran. Dan tak harus mengalami ‘near death experience’ kan untuk mau belajar? Cukuplah belajar dari peristiwa kematian orang lain. 

Hari ini aku 45 tahun. Entah akan ada berapa banyak peristiwa kematian yang akan menjadi pembelajaranku, kelak. Atau mungkin justru kematiankulah yang akan menjadi bahan pembelajaran bagi orang lain...

* ilustrasi, chinese painting dari Indri

2 comments

  1. Kematian adakah keniscayaan. Tidak bisa ditolak, Tidak bisa diminta mundur atau maju waktu kematian.

    Tubuh kita itu terdiri dari jiwa (ruh), jasad dan Zat Tuhan.

    Jasad kita akan hancur dimakan tanah. Tetapi ruh atau jiwa, dan Zat Tuhan akan tetap hidup sampai ditiupkan sangkakala (terompet) malaikat yang bertugas untuk itu pada hari Kiamat, dan kita akan dihidupkan kembali pada tiupan sangkakala kedua, untuk pertanggungjawaban kita di hadapan Tuhan semesta Alam.

    Istilah guru saya, kematian saat ini hanyalah "pindah sare" (pindah tempat tidur).

    Kematian, bisa terjadi kapanpun, waktu kematian adalah misteri, supaya Tuhan dapat menilai perbuatan baik kita.

    Kematian bukan hal yang harus dihindari, Tetapi disikapi sebagai sebuah proses dalam kehidupan abadi, kehidupan setelah kematian.

    Ada kehidupan setelah kematian. Kita ini diberikan kesempatan hidup 3 kali, pertama kehidupan di alam rahim (sejak kandungan 120 hari, sampe kurang lebih 9 bulan 10 hari), kedua, kehidupan sejak lahir didunia sampe waktu tertentu, ketiga kehidupan setelah kematian.

    Tentu hal ini terkait, dengan jiwa.

    Kematian hanyalah sebuah titik dalam proses kita sebagai manusia. Kematian tidak perlu ditakuti, Tidak bisa dihindari.

    Kapan kita mengalami kematian? Pada saat, seluruh rezeki dan semua ketentuan dan takdir telah diberikan kepada kita.

    Bagaimana kita menyikapi kematian? Jangan risau, hadapi saja.***





    ReplyDelete