Alaya, Kisah tentang Mimpi yang Mewujud, Takdir, dan Cinta

Sekilas melihat ilustrasi kover Alaya, sudah langsung terbayang, buku ini berkisah tentang Tibet. Yang sontak mengingatkanku pada film yang kutonton pada 1998, Seven Years in Tibet. Diakui oleh sang penulis, Daniel Mahendra (DM), film tersebut memang salah satu yang menginspirasinya untuk melakukan perjalanan, selain tentu saja kisah terdahulu yang menjadikan Tibet sebagai mimpinya sedari kanak, Tintin in Tibet.    



Baca juga: Berkenalan dengan Laku Spiritual melalui Buku Tantra

Cerita diawali dengan muasal rencana perjalanan, tentang mewujudkan mimpi masa kanak. Berlanjut proses adminitrasi dan cerita perjalanan pra Tibet. Perjalanan di Tibet sendiri, baru kita temukan di halaman 145. Tibet yang sama sekali berbeda dengan yang dibayangkan penulis. Bagaimana tidak? Film Seven Years in Tibet yang rilis pada jelang akhir 90-an saja menampilkan setting lokasi empat dekade sebelumnya. Persisnya, film yang diangkat dari memoar Heinrich Harrer (1952) itu mengisahkan pengalaman pendaki Amerika tersebut di Tibet pada kurun antara 1944 dan 1951. Tapi menjejaki negeri yang sudah mengisi impian sekian lama, tentu saja tetap merupakan keajaiban. Banyak hal menarik yang dipaparkan penulis. Perihal perjalanannya sendiri, berkereta hingga 44 jam, dengan segala persoalan manusia di dalamnya. Fasilitas kereta, kebiasaan-kebiasaan orang, perbedaan bahasa, kepedulian terhadap liyan. Hampir dua hari dalam kereta, melalui aneka dataran, cuaca cerah hingga dingin bersalju area pegunungan berketinggian 4000 mdpl. Banyak hal yang terjadi. Pun berikutnya, perjalanan menggunakan bis dalam paket wisata yang diikuti penulis.

Seru! Mengikuti penuturan DM, berasa mengintili ke mana dia pergi. Ikut merasakan yang ia alami. Seperti saat penulis terserang mountain sickness, berasa ikut mengalami demam. Membayangkan, aku yang sepertinya tak bakal sanggup berada di ketinggian. Kehabisan oksigen, sakit kepala, mual.

Ketidaknyamanan penulis saat mengunjungi Potala Palace juga mengingatkan pada kunjunganku ke Bali beberapa tahun silam. Orang yang abai terhadap prosesi keagamaan. Ambil foto, wara-wiri di area ibadah, sambil riuh bersuara. "Tiba-tiba aku merasa malu menjadi turis yang berkunjung ke Tibet." Begitu ujar DM, setelah ia menyaksikan para pengunjung bergegas, berlalu lalang, bahkan menyenggol para biksu yang khusu' merapal doa. Meski akhirnya ia pun lantas menginsyafi hal tersebut sebagai bagian dari perkembangan peradaban. (Peradaban?)


Kuinsafi: apa pun persoalan dan liku jalannya, hidup memang selalu berjalan ke depan. Tak ada kondisi yang selamanya serupa. Biarlah sejarah yang mencatatnya. Bukankah Majapahit pun sirna? Ya, aku mesti belajar menerima kenyataan.


Baca juga: Coffee, Selera Memang Tak Bisa Diperdebatkan 

Perjalanan penulis, pada akhirnya bukan semata mewujudkan mimpi masa kanak. Ada banyak hal penting yang bukan semata perjalanan itu sendiri, melainkan aneka pembelajaran di dalamnya. Banyak hal menarik yang dikisahkan penulis dari obrolan-obrolannya dalam perjumpaannya di setiap sudut wilayah. Ada yang membawaku merenung, ada yang memunculkan nuansa sedih, tak sedikit yang membuatku terbahak. Kurasa DM cukup berhasil menyajikan humor dalam tulisannya.


Mimpi

Berapa banyak di antara kita yang mempertahankan mimpi, menempatkannya sebagai bagian dari masa depan, bukan sekadar bunga tidur?

Lewat Alaya, DM menyodorkan cerita tentang mimpi yang mewujud. Bagaimana kisah dalam bacaan masa kanaknya, Tintin in Tibet, tersimpan kuat dalam memorinya dan berharap kelak betul-betul dapat berada di negeri atap dunia tersebut. Mimpi, dan keterkaitannya dengan law of attraction. Hukum alam ini menyebutkan, apa pun yang menjadi pikiran kita, kita akan menariknya ke dalam diri. Saat kita terhubung dengan semesta, saat pikiran berada dalam satu frekuensi dengan frekuensi semesta, maka apa yang tersimpan dalam benak itu, pada saatnya akan mewujud menjadi sebuah peristiwa nyata. 

Bersikukuh dengan mimpi sepertinya memang perlu. Setidaknya itu yang bisa dicontohkan penulis, mimpi masa kanaknya terwujud saat ia sudah berusia pertengahan 30-an. 

Takdir

Ada banyak bagian dari kisah perjalanan dalam Alaya yang mengacu pada 'takdir'. Tapi aku ingin ambil bagian perjumpaan penulis dengan gadis Perancis, Jeane. Aku suka bagian ini. Chemistry yang terbangun dari keduanya, terasa alami. Membayangkan berdua bersampan di danau menikmati matahari senja. Dan betapa sendu ketika akhirnya perpisahan tiba.

"Ah, alangkah dahsyatnya cinta. Kita bisa bersemangat sekaligus terlunta-lunta karenanya," ungkap DM perihal peristiwa perpisahan itu.

Muncul pertanyaan iseng: Apa jadinya kalau penulis memutuskan ikut Jeane ke India? Atau, kalaupun bukan saat itu, apa yang akan terjadi jika hubungan mereka berlanjut?

Ada sejumlah tanda yang seolah semesta secara sengaja mempertemukan mereka. Untuk menjadi pasangan. Tapi nyatanya itu tak terjadi. Seperti yang dituturkan penulis kepada anaknya, perjalanan itu bermuara pada keberaniannya untuk mengambil keputusan. Menikahi perempuan yang kelak menjadi ibu dari anaknya. 

Baca juga: Sequoia, Catatan Seorang Lelaki untuk Anaknya

Cinta

Menyambung perihal takdir, andaikan penulis memutuskan untuk menemui Jeane, si gadis Perancis, mungkin 'Alaya' tak pernah lahir. Atau lahir dalam versi yang berbeda dari yang kini kita baca. Apa pasal? Karena penulis mendedikasikan buku ini buat anaknya, Sekala. 

Catatan khusus buat Sekala ini ia rawi dalam lembaran-lembaran antar bab yang ditandai dengan tulisan berhuruf miring. Semacam warisan untuk sang bocah yang kelak akan menjalani kehidupannya sendiri, dan bagaimana ia nantinya merawat dan mewujudkan mimpi-mimpinya. Guratan cinta terbaca sungguh dari catatan-catatan itu.

Pada akhirnya, buku ini memang tak semata berkisah tentang perjalanan. Melainkan sesuatu yang memberikan makna lebih. 

Proses untuk mencapai sesuatu acap kali jauh lebih bermakna ketimbang tujuan itu sendiri. 


Ini sejalan dengan kesirikanku selama ini terhadap para pejalan, traveller, yang kaya. Bukan sesuatu yang sifatnya materi, melainkan pengayaan karena demikian banyaknya bahan pembelajaran dari perjumpaan-perjumpaannya sepanjang perjalanan. 

Banyak catatan menarik yang disampaikan DM lewat tulisannya. Catatan pengingat tanpa pretensi menggurui. Sila baca langsung bukunya. 

Judul: Alaya - Cerita dari Negeri Atap Dunia 

Tebal: 413 halaman

Penulis: Daniel Mahendra

Penerbit: Epigraf

Cetakan pertama, September 2018

Baca juga: Gemulung, Kisah Pelarian dan Kegetiran Hidup


Ah ya, yang bertanya-tanya tentang 'apa sih Alaya?', tak perlu tergesa. Karena jawabannya baru akan tertemukan jauuuh, di halaman belakang.



15 comments

  1. saya setuju dengan pendapat DM tentang bising di tempat sakral sebagai bagian peradaban
    Peradaban membaca bergeser menjadi visual/menonton sehingga gak mampu memaknai apa yang dilihat
    Mirip membaca novel dengan menonton film yang merupakan adaptasi dari novel
    Jauh banget hasilnya kan?

    ReplyDelete
  2. jadinya ini novel atau memoar, ya? lebih mirip memoar karena tampaknya diangkat dari kisah nyata penulisnya, ya?

    ReplyDelete
    Replies
    1. iya, memoar. salah tulis ^^ udah diedit, tengkyuuuuu

      Delete
  3. Daniel mah keren. Baca Tintin in Tibet, nonton film Seven Years in Tibet trus jadi beneran ke Tibet, sekian tahun kemudian. Aku baca komik yang sama tapi ya udah, baca aja :))
    Tapi cara Daniel menuturkan pengalaman perjalanannya memang asik. Yang nggak pernah jalan-jalan kayak aku jadi serasa ikut jalan-jalan.


    ReplyDelete
  4. Dennise SihombingJune 2, 2022 at 6:56 PM

    Aku lagi masa kanak-kanak pernah punya mimpi, rumah yang indah. Namun mimpi itu baru terwujud puluhan tahun kemudian. Ada beberapa orang yang meyakini law of attraction bisa terwujud. Aku pernah coba tetapi karena gak serius, ha...ha...ha...gak terwujud deh. Penasaran nih baca novel Alaya

    ReplyDelete
  5. Wah bagus banget nih bukunya, jadi kalau mau tahu apa itu Alaya, langsung ke halaman belakang ya. Eh tapi nggak seru kalau baca bukunya nggak dari depan.

    Mimpi masa kecil, akupun masih ada satu mimpi masa kecilku yang belum tercapai mbak. Tapi aku masih yakin suatu saat akan bisa mencapainya

    ReplyDelete
  6. Aku paling suka buku dengan genre seperti ini, perjalanan dengan aneka bumbunya. Membuat kita belajar banyak hal. Budaya, keindahan alam dan lain-lain.
    Makasih kan reviewnya. Gaya nulisnya renyah, enak dibaca...

    ReplyDelete
  7. mulailah dari sebuah mimpi dan bangunlah untuk mewujudkannya. jadi mulai sekarang jangan takut untuk bermimpi, karena banyak hal besar yang dilakukan oleh orang besar juga bermula dari suatu mimpi

    ReplyDelete
  8. buku merupakan literasi, jadi wajib aku baca nih ... novel perjalanan daniel mahendra

    ReplyDelete
  9. Baca tentang Alaya dan mimpinya jadi menginspirasi daku bahwa ya memang perlu bermimpi dan wujudkan. Jangan biarkan jadi bunga tidur aja

    ReplyDelete
  10. Mimpi masa kecil perlu diingat baik, atau bahkan jadi pemantik menuju cita-cita

    ReplyDelete
  11. Buku sampai dengan hari ini masih terus jadi sajian yang menarik untuk dibaca dan diambil hikmah yang terkandung di dalamnya. Review novel dari kakak sangat bagus dan menambah wawasan saya pastinya. Dah lama nih gak baca novel karena sibuk dengan dunia pendidikan hehe. Sampai skrg jarang baca buku2 novel. Ada versi story tellnya gak kak/versi online?

    ReplyDelete
  12. Seven Years in Tibet itu film berkesan banget yaaa buat generasi 90-an. Hehehe. Apalagi penulis juga terinspirasi salah satu tokoh kartun favoritnya, Tintin.

    Sepertinya ini bukan ke novel, ya gak sih mba. Soalnya penulis terinspirasi dari kisahnya sendiri. Hehehe. Atau mungkin sedikit sekali yg non-fiksinya.

    ReplyDelete
    Replies
    1. iyaaaaa.. haha, ngga tau kenapa kemarin kok nulis 'novel'. mungkin terpengaruh judul di lokapasar. makasih mengingatkan.

      Delete
  13. Aku belum pernah baca karyanya DM. jadi penasaran pengen baca karyanya yang alaya ini. Pasti banyak inspirasi yang bisa didapat dari sini.

    ReplyDelete