Cantik Itu Luka, Kisah Perempuan-perempuan dengan Luka

Cantik Itu Luka menghipnotisku sejak kalimat pertama. Belum pernah kualami lagi terbius oleh bacaan sejak kalimat pembuka setelah "Bumi Manusia"-nya Pram yang kubaca berpuluh tahun silam. Tak lantas langsung menghabiskan halaman demi halaman dalam sekian kurun waktu membaca. Tetap butuh berhari-hari, berselang-seling dengan bacaan buku lain dan upaya untuk rutin menulis. Tapi bahwa buku karya Eka Kurniawan ini meninggalkan kesan yang mendalam buatku, iya. 



Baca juga: Perempuan-perempuan dalam Karya Pramoedya Ananta Toer

Cantik Itu Luka terhitung cukup lama bercokol di rak buku. Mungkin bahkan sudah melewati sekian versi kover. Buku yang kubeli edisi cetakan ke-7, tahun 2015. Kapan hari singgah ke Gramedia Merdeka, Bandung, sudah kudapati  buku ini dalam cover yang berbeda. Entah, tahun ini, sudah masuk cetakan ke berapa. Yang sontak membuatku membayangkan berapa besar kira-kira royalti yang diterima Eka Kurniawan.


Sinopsis

Cerita diawali dengan suasana mencekam pekuburan. Dewi Ayu bangkit dari kematian. Mantan pelacur legendaris kawasan Halimunda itu berjalan menuju rumah yang dulu dihuninya bersama Roshina. Ia memilih untuk mati dan meninggalkan bayinya yang lahir dengan buruk rupa. Bayi yang diberi nama Cantik itu telah menjadi bukti bahwa kutukannya berhasil, untuk memiliki anak yang tidak cantik, seperti kedua anaknya terdahulu. 

Kisah pun berjalan mundur, menuju masa muda Dewi Ayu dengan kehidupan yang sangat layak sebagai warga keturunan. Dewi lahir dari ayah Belanda dan ibu campuran Indonesia. Sebuah perkawinan terlarang karena mereka bersaudara satu ayah. Maka demikianlah, Dewi Ayu ditinggalkan kedua orang tuanya dan dirawat oleh neneknya. Kondisi memburuk saat Jepang datang ke Indonesia. Mereka tak segan untuk membunuh orang Belanda dan keturunnannya, sebaik-baiknya mereka adalah mengusir orang Belanda dan keturunannya kembali ke negeri asalnya. Selebihnya, menjadi tahanan. Itu yang menimpa Dewi Ayu. Awalnya. Karena berikutnya, bersama beberapa perempuan lain ia dipaksa menjadi pelacur. 

Pekerjaan terakhirnya itulah yang kemudian melekat erat dengan nama Dewi Ayu. Pelacur dengan kecantikan purna sekaligus mengundang berahi tiap lelaki. Pelacur dengan penampilan elegan yang disegani segenap komponen masyarakat, tak lelaki maupun perempuan.  yang lantas memutuskan menjadi pelacur, didesak oleh kondisinya saat itu. Jenis pekerjaan yang mengharuskannya berhubungan dengan banyak lelaki itu lantas membuahkan kehamilan yang tanpa ia tahu siapa bapak dari si jabang bayi. Dari rahimnya lahir tiga putri cantik dan si bungsu yang buruk rupa. 

Baca juga: Lima Cerita, Saat Seorang Desi Anwar Berkisah

Bakal terlalu panjang kalau harus menceritakan sinopsis novel ini. Dengan tingkat kerumitan cerita, tokoh yang segudang, dan tebal novel mencapai 496 halaman, kusarankan untuk membacanya langsung saja. Paling tidak, biar kutuliskan sejumlah nama yang ada di novel ini, Selain Si Cantik, tiga anak Dewi Ayu yang lain, yakni Alamanda, Adinda, dan Maya Dewi. Lalu, menantu-menantu Dewi Ayu, Sang Shodancho, Kamerad Kliwon, dan Maman Gendeng  yang pernah jatuh cinta padanya namun kemudian menjadi suami anaknya. Ada Ma Gendik dengan kisah tragisnya. Ada sang penggali kubur. Ada si preman yang tak bisa mati. 


Cerita yang "Edan"

Kata itu memang yang sempat tercetus dari mulutku saat membaca bab pertama. Bagaimana tidak, bab awal saja sudah disuguhi dengan cerita satu sosok, Dewi Ayu, yang bangkit dari kubur. Proses kematiannya pun tak biasa, kematian yang dirancangnya sendiri tanpa melakukan bunuh diri. Ia membungkus dirinya dengan kain kafan, lalu tidur untuk menunggu waktu kematian. Permintaan yang tampaknya dikabulkan semesta. Pada hari keduabelas, Dewi Ayu menghembuskan nafasnya yang terakhir. Tak pelak ini membuatku bertanya-tanya, ini novel horor atau apakah? Aku memang tak mau membaca sinopsis dan reviu orang lain saat memilih bacaan. 

Selanjutnya, dari penggambaran Dewi Ayu dengan kecantikannya yang melegenda, beralih ke sosok yang menjadi anak bungsunya. Sosok yang nyaris tak menyerupai manusia. Penggambarannya nyaris terasa tak masuk akal, adakah manusia yang seburuk itu mukanya? Eka mendisikripsikannya seperti ini: "... sebab anak-anak akan menjerit dan menangis sepanjang hari dan orang-orang jompo akan segera demam dan mati dua hari kemudian." (hal. 19)

Bukan hanya penceritaan secara deskriptif yang membuat pembacanya terbawa seram, yang juga terasa edan dari jalan cerita yang dipaparkan Eka adalah lompatan-lompatan waktu yang membuat pembacanya berasa kejar-kejaran. Tokoh-tokohnya, yang semula kuduga sang ibu dan anak bungsu itulah yang menjadi salah dua tokoh utama, ternyata tidak. Sejumlah tokoh mendapatkan peran penting dan porsi cukup seimbang. Waktu yang berlompatan, tokoh yang banyak, dan cerita yang rumit menjadi satu. Untungnya, Eka menceritakan setiap komponen, manusia dan alur cerita yang berliku dengan rapi. Pembaca, setidaknya buatku tak akan nyasar. Atau tak sampai membuat buka-buka halaman sebelumnya untuk memastikan cerita atau tokoh yang dimaksud. 

Beragam hal dan tema dicemplungkan Eka dalam novel ini. Ada nuansa horor, ada bagian-bagian yang kocak dan membuatku terbahak, ada suspense yang membuatku terbawa tegang, romansa sudah pasti ada, sejarah dan politik saling berkelindan, perihal seks, pendek kata semuanya ada. 

Ah, ya, bicara soal seks, ini novel dewasa yang sebaiknya dibaca oleh mereka yang berusia di atas 20 tahun. 

Baca juga: Sequoia, Catatan Seorang Lelaki untuk Anaknya


Serba Telanjang

Eka menuliskan kisah dalam Cantik Itu Luka ini demikian telanjang. Tentang kekuasaan, cinta, berani, dendam, amarah. Kisah perkosaan ia paparkan dengan bahasa yang telanjang. Kehidupan liar beberapa tokohnya, saat dan hasrat dan berahi berkuasa. Bagaimana amarah demikian menjadikan seseorang mampu melakukan hal-hal yang tak masuk akal. Saking banyak bagian yang menunjukkan ketelanjangan, sisi yang bisa jadi ingin ditampilkan Eka sebagai metafor, tak terbaca demikian. Mungkin itu juga, ya. Seperti saat ia bercerita tentang hantu komunis. Apakah ia sedang membuat metafor ataukah semata kisah horor?

Ketelanjangan dalam cerita karya Eka Kurniawan ini, meski kita temukan di mana-mana, namun tak terkesan "maksa" namun memang sudah selayaknya sebagai bagian dari cerita. Karena tampaknya memang itulah yang mau digarisbawahi dari pembuatan judul novel ini, ketika sebentuk keindahan yang diwakili dengan kata cantik disandingkan dengan luka yang timbul akibat berbagai bentuk kekerasan yang terjadi. Ada yang meganggap judul itu sebagai metafor dari sosok perempuan yang bisa diartikan sebagai bumi pertiwi yang terus diambil paksa segala isinya oleh keserakahan manusia. Mungkin komentar Eka: terserah aja, deh, mau diartikan apa 😀 


Judul: Cantik itu Luka 

Penulis: Eka Kurniawan

Penerbit: Gramedia Pustaka Utama (GPU), Cetakan ke-7, 2015

Tebal: 496 halaman


Baca juga: World Without End, Kisah Percintaan Berlatar Sejarah Kelam Gereja Katolik


No comments