Supata Sangkuriang, Ketika Legenda menjadi Cerita Nyata

Pernah nggak, baca novel yang menyeretmu pada pertanyaan: "Jadi, cerita itu sesungguhnya beneran, nggak, sih?" Karena itu yang kualami waktu baca novel ini. Sekian lama mengenal kisah Sangkuriang-Dayang Sumbi-Tangkuban Parahu sebagai semata legenda. Tapi begitu membaca Supata Sangkuriang ini, berasa ikut mempertanyakan. Alexandreia Wibawa sukses mengulik daya imajinasiku sebagai pembaca. 



Baca juga: Menerbitkan Buku Antologi secara Mandiri

Warga Jawa Barat dan siapa pun yang pernah tinggal di berbagai kota di provinsi ini, sudah bisa dipastikan pernah mendengar legenda Tangkuban Parahu. Kisah anak yang jatuh cinta kepada ibunya sendiri. Terlebih yang pernah menjajaki lokasi dimunculkannya kisah itu, Gunung Tangkuban Parahu yang ada di Kabupaten Subang.


Sinopsis

Supata Sangkuriang ini terbagi menjadi dua bagian cerita yang tersebar berselang-seling acak sepanjang novel. Satu bagian ada di masa kini, dengan setting waktu tahun 2006. Bagian lainnya adalah sebuah masa lampau, muasal legenda Sangkuriang. Dua masa ini terhubungkan oleh peristiwa kriminal yang memakan korban beberapa perempuan. Mereka mati dalam kondisi mengenaskan, diambil organ penting tubuhnya. 

Di masa kini, tersebutkan 4 sosok anak muda, Fajar, Riyan, Aris, dan Bagas. Empat mahasiswa beda kampus yang tersatukan oleh kegemaran mereka yakni beraktivitas di alam. Peristiwa ditemukannya salah satu sosok perempuan korban membuat mereka terjebak dalam upaya pencarian pelaku peristiwa pembunuhan tersebut. Satu per satu masalah terurai. Berbarengan dengan hal tersebut, masalah di masa lampau dan kaitannya dengan para pemegang rahasia Supata Sangkuriang pun mulai terbuka. Pertanda alam yang terjadi pada masa itu, akhirnya mempertemukan semua orang yang terlibat. 

Menarik mendapati satu per satu fakta yang terbuka. Antara satu peristiwa dengan peristiwa lain, antara satu tokoh dengan tokoh lain, saling bertalian. Cukup lama aku sengaja tidak menyelesaikan langsung buku ini, meninggalkan bab penutup. Rasanya sudah lama tak membaca novel jenis serupa. Rasanya sayang untuk segera mengakhirinya. Penasaran ujungnya seperti apa? Baca sendiri, yaaa... 

Baca juga: Memang, Selera Kopi Tak Dapat Diperdebatkan


Ramuan Kisah Lokal yang Seru

Alexandreia Wibawa meramu dengan baik berbagai komponen, dari bagian legenda maupun fakta, sehingga bisa mengalir dengan baik, dan sungguh, berhasil memunculkan pertanyaan di kepalaku, "Jadi, cerita itu sesungguhnya beneran, nggak, sih?" 😀 Meski cerita berselang-seling, antara kisah lalu dan kejadian di masa kini, perpindahannya tak membuat bingung. Masih bisa diikuti dengan baik. Selain pemilihan hurufnya dibuat berbeda, nuansa yang dimunculkannya pun berbeda. 

Aku merasakan pengalaman unik saat membaca bagian kisah lalu. Pengalaman yang agak mistis, kendati tak terlalu jelas. Ya, ada nuansa keu-eung yang tak bisa kuterjemahkan. Tapi, lupakan saja bagian ini. Di lain kesempatan, jika sudah ketemu jawabannya, akan kubagikan. 

Yang kusayangkan dari buku ini adalah cukup banyak kutemukan kesalahan penulisan. Ada typo, penggunaan huruf besar-kecil dalam dialog tag dan dialog action, kesalahan tanda baca. Pun kalimat-kalimat yang kurasa tak efektif. Bagi penikmat cerita, bisa jadi ini bukan persoalan penting. Namun buatku, yang sering berurusan dengan aksara, cukup mengganggu. Maafkan, ini memang masalah bagi sebagian besar tukang edit. Tiap kali membaca, mata akan otomatis menandai bagian yang perlu diedit 😜

Tapi secara keseluruhan novel yang mengambil waktu tahun 2006 ini menarik dan layak koleksi.


Judul: Supata Sangkuriang

Penulis: Alexandreia Wibawa dan Sir Poel Kalek

Penerbit: Langgam Pustaka, Cetakan Pertama 2019

Tebal: 431 halaman


Baca juga: Reviu Buku dan Tips Membuat Bookstagram

No comments