Kalangan relijius sering memberikan saran, "Beribadahlah, maka hidupmu akan tenang." Apakah benar demikian? Seorang kawan yang rajin salat lima waktu, puasa ini dan itu, kapan hari bercerita sedang dalam kondisi tak tenang. Pikirannya ruwet, batinnya terusik. Begitu pula seorang kawan yang rajin mengikuti misa minggu, mengalami depresi berkepanjangan dan harus konsumsi ini dan itu demi meredakan ketegangan yang muncul nyaris sepanjang waktu saat kondisi buruknya kambuh. Jadi, buatku, ketenangan pikiran dan batin tak ada sangkut pautnya dengan ibadah. Persoalannya terletak pada kemampuan mengelola batin dan pikiran.
Baca juga: Kesehatan Mental dan Skala Hawkins
Pengarahan kekalutan pikir ke arah ibadah tak lain karena alasan keterlibatan Tuhan. Bahwasanya dengan mengadu kepada Tuhan, segala sesuatunya akan dimudahkan. Tentu saja itu keyakinan yang tak perlu dibantah. Tapi betulkah Tuhan akan membantu ketika kita tak ada daya upaya untuk melaksanakan tugas kita, yakni melakukan kontrol atas pikiran kita?
Mengapa Kita Mengalami Stres?
Setiap orang pasti pernah mengalami stres, dengan penyebab tertentu, pada skala tertentu. Namun yang sering kali terjadi adalah pengulangan yang berlangsung terus, tanpa ada kesadaran untuk membenahi. Atau pembenahan yang dilakukan hanya bersifat selebrasi, seperti bergabung dalam persekutuan doa, meningkatkan frekuensi ibadah, dll, tanpa mencari tahu penyebabnya dan mencari jalan keluarnya.
Mengutip sejumlah situs kesehatan online, stres adalah respon tubuh terhadap ancaman, tekanan, dan tuntutan yang muncul. Hal ini dapat dialami oleh siapa saja, kapan saja, dengan penyebab yang beragam, baik berangkat dari diri sendiri maupun lingkungan sekitar. Karena yang disebut dengan ancaman bisa secara objektif memang berupa ancaman, namun bisa pula sebagai reaksi yang berlebihan dari pikiran kita atas sesuatu yang kemudian otak kita menerjemahkannya sebagai ancaman. Akibatnya, sistem saraf dalam tubuh kita mengeluarkan hormon kortisol dan adrenalin. Gejala yang muncul secara umum adalah jantung yang berdetak lebih kencang, otot tubuh yang menegang, napas tak teratur, serta terjadinya lonjakan tekanan darah.
Seperti halnya penyakit, stres juga dibedakan dalam dua jenis. Pertama, stres akut, yaitu stres yang muncul dalam jangka pendek dan hilang segera dengan sendirinya. Misalnya stres jelang ujian. Atau stres karena mendadak berhadapan dengan bahaya.
Kedua, stres kronis, yaitu stres yang berlangsung dalam jangka panjang. Kurun waktunya bisa dalam hitungan minggu atau bulan. Misalnya karena persoalan finansial atau masalah dalam rumah tangga yang berlangsung terus menerus.
Masalah keuangan memang hal yang cukup khas menjadi penyebab terjadinya stres. Penyebab lainnya antara lain masalah dalam pekerjaan, menderita penyakit tertentu, adanya perubahan yang signifikan memberikan pengaruh terhadap kondisi mental seperti perceraian, kematian, bencana, dll. Tuntutan dari keluarga dan lingkungan juga menjadi pencetus munculnya stres. Apalagi jika sebelumnya sudah dihadapkan pada konflik interpersonal atau benturan dengan masalah sosial di sekitar. Lengkaplah. Ditambah lagi dengan tidak adanya kepastian akan masa depan.
Khusus soal pekerjaan, bagi anak-anak muda atau fresh graduate yang mau nyemplung ke dunia kerja, cek-cek, deh, tips melamar kerja dari Shinbi House, untuk mendapatkan hasil yang efektif. Semangat, yaaa.
Baca juga: Doa, Meditasi, dan Vibrasi Energi
Beberapa orang mengalami hal-hal di bawah ini, baik salah satu maupun keseluruhan:
- Merasa kelelahan
- Mengalami sulit fokus
- Gampang terpantik marah
- Merasakan takut, cemas, dan khawatir secara berlebihan
- Mengalami gangguan tidur
- Menderita sakit kepala
Buat yang sering menegasi kondisi badan, cek-cek, deh, poin di atas. Kalau salah satu atau lebih dirasakan, yup, kamu sedang mengalami stres.
Selain gejala umum di atas, ada lagi gejala-gejala lain yang lebih spesifik, baik terkait gejala emosi maupun fisik. Seperti pengalamanku kapan hari, pusing yang terus menerus. Dengan kecurigaan HB sedang turun, meluncurlah ke lapak sate kambing. Biasanya dalam hitungan satu-dua jam kondisi akan membaik. Jika masalahnya adalah HB. Faktanya tak membaik. Menghubungi seorang kawan dokter, disarankan untuk konsumsi paracetamol 500mg. Dalam setengah jam, aman. Tentu saja obat itu hanya meredakan gejala. Sumbernya masih di tempat.
Untuk gejala yang menunjukkan tingkat keparahan tertentu, sebaiknya memang melakukan konsultasi dengan psikolog atau dokter kejiwaan.
Tidak bisakah kita melakukan tindakan kuratif mandiri?
Mengontrol Pikiran untuk Mencegah Stres Berkepanjangan
Kedamaian datang dari dalam. Jangan mencarinya di luar. (Buddha)
Banyak di antara kita yang sebetulnya menyadari apa saja yang menjadikan diri kita stres. Tapi, alih-alih mengidentifikasi, kita lebih memilih untuk menghindar dengan berbagai alasan. Merasa lebih banyak hal yang butuh penyelesaian, atau ada hal lain yang lebih penting, atau berserah saja pada sang waktu. Kenyataannya bukan waktu yang menyelesaikan melainkan diri kita sendiri.
Baca juga: Apakah Kita Boleh Marah?
Menulis tentang hal ini juga menjadi salah satu caraku dalam mengingatkan diri sendiri. Betapa aku melewatkan masa dengan pening yang berkelanjutan, dan betapa banyak persoalan yang menetap di kepala. Mengoleksi sampah! Yang punya pengalaman serupa, 'cung!
So, mari kita coba bereskan satu per satu.
Apa yang perlu kita lakukan agar terhindar dari stres berkepanjangan?
Mengidentifikasi penyebab. Ini menjadi kemestian. Tak bisa tidak. Tanpa melakukan identifikasi, tak pernah ditemukan solusi. Apakah sumbernya dari beban pekerjaan, kekhawatiran akan masa depan, relasi yang tak baik, persoalan finansial, masalah yang dihadapi di tengah lingkungan sosial, dan sebagainya.
Mencari solusi. Setiap masalah, ada solusinya. Termasuk untuk meninggalkan masalah tersebut. Kenapa tak ditinggalkan, kalau ternyata dari hasil identifikasi sebetulnya itu bukan masalah kita.
Mencari pertolongan profesional. Jika upaya yang dilakukan secara mandiri menemui jalan buntu, saatnya untuk membuat janji dengan psikolog atau psikiater atau siapa pun yang dianggap punya kapasitas tertentu untuk membantu menyelesaikan masalah.
Jangan dibiarkah berlama-lama, ya. Seperti halnya penyakit fisik, stres pun dapat memunculkan komplikasi yang berdampak tak hanya kondisi psikis namun juga fisik.
Apa yang dapat kita lakukan untuk mencegah?
- Istirahat yang cukup. Utamakan kualitas, bukan kuantitas.
- Kembali lakukan hobi dan hal-hal menyenangkan yang lama diabaikan.
- Konsumsi makanan dengan gizi seimbang.
- Lakukan olah raga, tak perlu ke pusat kebugaran. Cukup olah raga ringan setengah jam sehari.
- Lakukan sosialisasi. Kecenderungan orang yang mengalami stres berat adalah menghindari pertemuan dengan orang lain.
- Secara berkala, relaksasi dan meditasi.
Satu hal yang penting dan mendasar adalah perkara pengelolaan pikiran. Over thinking seperti menjadi bagian dari "penyakit" masa kini. Mengacu pada apa yang digarisbawahi kaum stoik: "jangan pikirkan hal-hal yang tidak bisa kita kontrol". Berfokuslah pada hal-hal yang memang bisa kita kontrol. Yang tidak bisa kita kontrol itu, dipikirkan sampai jungkir balik pun tidak akan melahirkan solusi. Ye, kaaan?!
Baca juga: Stoikisme dan Upaya Melakoni Hidup yang Lebih Baik
Ada, lo, hal yang tidak bisa kita kontrol tapi cukup mempengaruhi hidup kita. Yup, dan kita juga tak bisa mengabaikannya begitu saja. Kembali yang bisa kita lakukan adalah mencari solusi. Mengambil dari sisi atau bagian yang memang bisa kita kontrol. Kalau tidak, tinggalkan. Saatnya untuk belajar menerima keadaan. Penerimaan juga menjadi bagian penting dalam pengelolaan pikiran kita. Hal yang ikut andil dalam ketenangan dan kebahagiaan kita.
Yuk, kita kelola pikiran dan batin kita dengan lebih baik. Semoga semua makhluk berbahagia. Namaste.
No comments