Apakah Kita Boleh Marah? (Tips Mengatasi Amarah)

Setiap orang pasti pernah dihadapkan pada situasi yang memancing kemarahan. Yang membedakan adalah cara mengeksekusinya. Apakah dengan meluapkan kemarahan dengan teriakan, dengan menekannya hingga ambang batas kemampuan, dengan menyerang orang lain atau sebaliknya, dengan menyakiti diri sendiri. Proses hidup seseorang tentunya akan mempengaruhi cara menyikapi kemarahannya. Tapi, sebetulnya apakah kita boleh marah?



Baca juga: KBS dan Upaya Membebaskan Diri dari Kemelekatan

Sebetulnya, ya sah-sah saja orang memutuskan menyalurkan kemarahannya dengan cara apa. Namun banyak referensi yang menyebutkan, kemarahan hanya memunculkan luka yang lebih dalam. Baik luka untuk diri sendiri maupun orang lain yang terkena imbasnya. 


Every time you get angry, you poison your own system.

~Alfred A Montapert~


Mari kita kenali dulu, rasa marah itu sebetulnya makhluk apa. 

Mengutip dari tinjauan dunia kesehatan, medicinenet.com menyebutkan rasa marah sebagai keadaan emosional dengan intensitas beragam, mulai dari yang ringan hingga kemarahan intensitas tinggi. Kemarahan pada umumnya memberikan efek fisik seperti meningkatkan tekanan darah, detak jantung, serta tingkat adrenalin dan noradrenalin. Penyebabnya pun aneka macam. Namun biasanya dipicu oleh beberapa kebiasaan buruk yang berakibat pada kurangnya waktu tidur, adanya gangguan kecemasan bahkan hingga depresi, dan gangguan fisik akibat hormon yang tak stabil. 


Jadi, kita nggak boleh marah? Boleh saja, selagi sehat. Marah yang sehat seperti apa sih?

Begini. Pernah nggak berjumpa dengan kasus orang mengungkapkan ketidaksukaannya, kekesalannya, kemarahannya berulang kali? Atau kita sendiri mungin pernah melakukannya. Padahal, sebuah peristiwa yang memunculkan rasa tak nyaman, jika disampaikan berulang, lagi dan lagi, seolah memberinya pupuk untuk makin tumbuh kuat. 

Rasa marah dibutuhkan jika ada hal yang salah terjadi di sekitar kita. Hal yang mengganggu idealisme atau prinsip kita, atau menyinggung wilayah personal kita. Jika sudah menyampaikan rasa tak nyaman atau bahkan keberatan kita, tapi tak digubris, saatnya menunjukkan kemarahan. Tunjukkan, sampaikan, selesai. 

Semestinya selesai. Kalau yang terjadi ada cerita yang sama kembali disampaikan ke orang lain lagi, ke banyak orang, itu kemarahan yang berujung bencana. Bukan lagi kemarahan yang sehat. Bukan bencana terhadap orang lain, melainkan ke diri sendiri. Memendam sumber penyakit.

Mengutip catatan dari pengobatan tradisional China, kemarahan memberikan ketegangan tertentu terhadap tubuh kita. Tidak rileks. Badan pun mengalami kelelahan. Selain itu beberapa dampak ikutannya antara lain mengalami kerontokan rambut, jantung berdebar, mata merah, tangan kebas, kepala terasa panas, pikiran liar tak terkendali, dan kesulitan tidur atau tidur tidak nyenyak.

Baca juga: Kesadaran Spiritual, Hidup dalam Perspektif Baru


Apa yang bisa kita lakukan agar bisa berdamai dengan pemicu kemarahan dan menjalani hidup yang lebih sehat?

Ada cukup banyak upaya yang dapat kita lakukan agar kita tidak lepas kontrol saat berada dalam kemarahan. 

Mengunci mulut. Mungkin ada yang menyarankan untuk berteriak. Oke, berteriak di tempat yang aman dan tak mengganggu orang lain, bisa diterima. Tapi, selebihnya, tutup mulut dan menjaga bicara, lebih baik. Dalam kondisi emosi yang tak terkontrol, bisa berupa gerutuan, omelan, bahkan omongan-omongan kasar disertai teriakan. Hal-hal yang sebetulnya tak sungguh-sungguh ingin dilakukan, kalimat-kalimat yang tak ingin dikatakan. Jangan sampai akhirnya malah melukai orang yang mendengarnya. 

Melakukan relaksasi. Ada beberapa pilihan relaksasi, bisa disesuaikan dengan kebiasaan dan karakter diri. Misalnya:

1. Bernapas dengan teratur. Bernapas adalah hal yang bukan hanya mudah dan murah, namun juga harus dilakukan demi pasokan oksigen di tubuh kita. Masalahnya, saat emosi marah mengusai, pola bernapas kita pun cenderung tidak teratur. Terburu-buru dan makin membuat kita lelah.

Ambil jeda barang sebentar, untuk menstabilkan pernapasan. Yang pertama, ambil napas pelan melalui hidung, lalu lepaskan perlahan melalui mulut. Niatkan sekalian melepaskan emosi yang tersimpan. Saat sudah mulai agak nyaman, bernapas seperti biasa, tarik dan keluarkan lewat hidung. Pelan dan teratur. Sadari setiap tarikannya. Jika sudah terbiasa, pola pernapasan ini bisa diteruskan smabil melakukan aktivitas lainnya. 

2. Mendengarkan musik. Pilih musik yang disukai, yang mendatangkan nuansa riang. Atau pilih yang temponya membuat suasana nyaman dan mengahdirkan rasa tenang, seperti musik klasik, akustik, atau instrumentalia. Musik bersifat universal. Meskipun belum kenal dengan musik tertentu, jika sesuai yang dibutuhkan tubuh, pasti akan ternikmati. Secara umum musik membantu melepaskan hormon dopamin, si pencipta rasa senang dalam tubuh. 

3. Berhitung. Aku sendiri belum pernah melakukannya. Tapi layak coba. Barangkali berhitung ini bisa dilakukan tepat saat emosi marah baru muncul. Solusi pertama sebelum melebar ke mana-mana. Berhitung mulai dari angka satu hingga jumlah yang diinginkan, ulang. Lakukan hingga perasaan lebih longgar. 

4. Pergi ke spa atau tempat pijit. Kemarahan dan emosi negatif menarik tubuh ke dalam kondisi lelah secara fisik. Tak ada salahnya untuk sekalian memanjakan diri dengan mengunjungi spa atau tukang pijit langganan. Pijatan itu selain melemaskan otot yang kaku, dapat membantu meredakan kelelahan psikis. 

Baca juga: Berkenalan dengan Laku Spiritual melalui Buku Tantra


Melakukan aktivitas fisik/nonfisik. Pilihan kegiatannya juga beragam, misalnya:

1. Berolahraga. Aktivitas fisik dapat melancarkan peredaran darah. Tubuh pun lebih bugar. Idealnya, yang namanya olah raga memang harus dilakukan teratur. Namun saat rasa marah menyerang, cobalah untuk melakukan olah raga ringan, seperti lari kecil atau lompat tali. Kalau masih terlalu berat, bisa melakukan jalan kaki. Gerakan fisik itu menjadikan tubuh memproduksi hormon positif. 

2. "Berdialog" dengan hewan dan atau tanaman. Berdialog dalam tanda petik, karena tak semua orang nyaman melakukannya. Namun bagi yang memiliki kedekatan dengan binatang dan tanaman, upaya ini sangat membantu. Apakah sekadar melampiaskan kekesalan yang dipendam, atau bicara tentang hal-hal yang lain. Belum pernah coba? Coba, deh, siapa tahu cocok.

3. Menulis. Tuliskan apa yang mengganggu pikiran, apa-apa yang menjadi keresahan. Kemarahan hanyalah dampak, pencetusnya yang perlu dicari tahu. Dengan menuliskannya, siapa tahu bakal ketahuan apa yang menjadi penyebab kemarahan. Tuliskan saja emosi yang muncul. Atau menuliskan hal-hal yang belakangan menjadi masalah. Tuliskan saja tanpa memikirkan sistematika tulisan. Dengan menuliskan, setidaknya memindahkan sebagian beban di pikiran ke media lainnya. 

4. Mengucapkan kata-kata positif dan afirmasi. Kata-kata itu punya kuasa, lo. Pilih kata-kata yang tepat, dan jadikan serupa mantra. Ucapkan secara berulang. Misalnya sekadar "semua akan baik-baik saja" atau "semua akan indah pada waktunya" atau "ada hal yang baik yang datang setelah ini", dsb. Secara psikologis, pengucapan "mantra" tersebut dapat membantu meredakan emosi, dan kemarahan pun berangsur hilang. 

5. Mengalihkan fokus ke kegiatan spiritual. Perihal spiritualitas ini beragam implementasinya. Bagi kaum beragaman mungkin akan mendekatkan diri kepada Sang Pencipta melalui ritual keagamaan. Sementara kalangan spiritualis memilih untuk melakukan meditasi. Misalnya. Tapi dari pengalaman, spiritualitas membawa ketenangan dalam diri. 

Ketika upaya yang dilakukan secara mandiri tersebut tidak memberikan hasil yang memadai, mungkin sudah membutuhkan saran dari orang yang kompeten di bidangnya seperti psikolog, psikiater, atau terapis. Dengan latar belakang keilmuan dan pengalaman mereka, persoalan emosi yang meledak atau kemarahan bisa diurai penyebabnya dan dibantu carikan jalan keluar. 

Baca juga: Stoikisme dan Upaya Menjalani Hidup yang Lebih Baik

Hal lain yang bisa dilakukan untuk membarengi semua upaya itu adalah dengan mengikuti tips para spiritualis Timur, yakni perihal makanan. Mereka menyarankan kita konsumsi lebih banyak sayuran dan buah-buahan dan sebisa mungkin menghindari daging merah. Memilih makanan yang tepat juga dapat membantu kita “membersihkan” jiwa. 

Semoga beberapa tips di atas cukup membantu, ya. Jadi, apakah kita boleh marah? Selagi kita tahu betul batasnya. Semoga bisa terjaga, fisik dan psikis kita, dan bisa menjalani hidup lebih bahagia. Namaste.




No comments