Mengenal Sabotase Diri dan Mekanisme Koping

Frasa self-sabotage baru kudengar Minggu lalu. Padahal ternyata ini bukan bahasan baru. Dan, ya, ternyata selama ini aku mengalaminya tanpa kusadari. Bahkan mungkin sudah menahun. Cek pengertian detailnya di mesin pencari, disebutkan self-sabotage atau sabotase diri adalah tindakan yang disengaja oleh seseorang untuk memperlambat atau mencegah diri sendiri melakukan apa yang diperlukan untuk meraih tujuan. Kemudian muncul istilah lain: mekanisme koping. Wah, banyak yang perlu dipelajari.



Baca juga: Mengapa Tak Perlu Membenci

Alkisah, pasca terjadinya equinox jelang akhir bulan lalu, aku ambruk. Gejalanya menyerupai omnicron. Hanya lebih ringan. Sedikit bertanya-tanya, jangan-jangan tipus, karena demam yang tinggi, naik-turun, disertai sakit kepala. Saat demamnya menghilang, batuk menggila. Batuk yang berdampak pada sakit kepala. Berjibaku dengan aneka gejala itu lebih dari dua minggu. Cukup mengganggu karena tetap harus menyelesaikan kerjaan yang sedang berjalan. Hingga pada satu titik aku menyadari kalau gangguan kesehatanku ini bukan semata fisik. Sepertinya ada hal lain yang menjadikannya tak kunjung reda. Dan itulah respon yang disampaikan seorang kawan saat kubilang perihal kemungkinan hal lain yang mengganggu kesehatanku.

Baiklah, mari kita cari tahu apa itu self-sabotage.

Secara sederhana, perilaku self-sabotage dikatakan sebagai sesuatu yang dengan sengaja dilakukan oleh diri sendiri, memperlambat atau mencegah diri sendiri melakukan apa yang diperlukan untuk meraih tujuan. Tentu saja hal ini bukanlah sesuatu yang wajar. Dapat dikatakan, tindakan sabotase diri itu dilakukan tak berdasarkan alasan yang rasional. Ada sejumlah hal yang menjadikan perilaku itu sebagai sesuatu yang tak dilakukan dengan sepenuh kesadaran. 

Mengutip Very Well Mind, awalnya, sabotase diri dilakukan sebagai mekanisme mengatasi kondisi stres dan trauma masa lalu. Mekanisme koping, yakni strategi yang dilakukan seseorang ketika sedang menghadapi perasaan yang membuat dirinya tak nyaman, seperti sedih, stres, cemas, khawatir, dll. Setiap orang melakukan mekanisme koping, dengan caranya masing-masing sebagai upaya untuk meredakan rasa tak nyamannya dan membantu mereka beradaptasi dengan aneka perubahan. 

Mekanisme koping sendiri ternyata membutuhkan penjelasan yang panjang. So, mari kita pelajari dulu apa itu mekanisme koping.

Baca juga: Berdamai dengan Inner Child


Coping Mechanism atau Mekanisme Koping

Istilah ini mengacu pada cara seseorang untuk keluar dari stres atau trauma, dan membantu mereka mengelola emosi yang menyakitkan. Dengan melakukan mekanisme koping, individu akan merasa terbantu untuk beradaptasi dengan peristiwa-peristiwa yang menyebabkan stres. Seraya mereka berusaha mempertahankan kondisi emosionalnya tetap terjaga tenteram dan bahagia.

Menurut Good Therapy, seperti dikutip Tirto dot id, mekanisme koping terbagi menjadi dua, yakni mekanisme koping baik atau adaptif dan mekanisme koping buruk atau maladaptif. 

Senada dengan namanya, mekanisme koping baik tentunya mengarah pada penyelesaian masalah. Caranya dengan mengurangi stres dan segala bentuk kekhawatiran serta ketakutan yang dirasakan. Bentuk mekanisme koping adaptif:

Mencari dukungan 

Caranya dengan menceritakan apa yang sedang dirasakan kepada orang yang tepat dengan harapan meringankan stres yang sedang dihadapi.

Relaksasi

Melakukan relaksasi bisa dengan berbagai cara. Misalnya dengan berendam air hangat, sekadar duduk santai menikmati alam, mendengarkan musik yang menenangkan, atau melakukan meditasi. 

Pemecahan masalah

Melakukan identifikasi masalah merupakan langkah utama dalam menemukan solusi. Berikutnya barulah membuat langkah-langkah yang lebih detail dan tepat dalam pengelolaan stres.

Humor

Konon, hati yang gembira adalah obat. Meskipun humor tak menyelesaikan masalah, upaya ini dinilai cukup efektif dalam mencegah situasi menjadi lebih buruk.

Berolahraga

Olahraga memampukan tubuh memproduksi hormon endorpin. Keterlibatan hormon ini akan membantu upaya meredakan stres. 

Menjalankan aneka hobi

Hobi ini meliputi hal-hal yang menyenangkan, seperti membaca buku, memasak, berkebun atau bertaman, bermain dengan binatang, menggambar atau melukis, menulis, dsb.

Baca juga: Stoikisme dan Upaya Melakoni Hidup dengan Lebih Baik


Sementara itu, mekanisme koping yang buruk adalah perilaku koping yang tidak berusaha menyelesaikan masalah dalam jangka panjang, melainkan hanya mengatasi gejalanya saja. Menjadi semacam upaya melarikan diri. Alih-alih mengatasi aneka gangguan emosional, yang terjadi malah munculnya kerusakan. Dalam jangka pendek barangkali akan mampu meredakan perasaan. Perasaan, bukan meredakan masalah. Dan untuk jangka panjang dapat mengakibatkan kerugian secara fisik, emosional, dan finansial. Lebih buruknya lagi melakukan tindakan yang melanggar hukum.

Contoh tindakan mekanisme koping maladaptif, antara lain:

Menenangkan diri dengan hal-hal yang tidak sehat, misalnya dengan makan secara berlebihan. Atau minum minuman beralkohol. Atau menggunakan jaringan internet untuk tayangan yang tak bermanfaat dalam waktu yang lama. Yang terjadi, stres tidak hilang, malah jadi kecanduan. 

Mengisolasi dan menarik diri dari dari orang-orang dan lingkungan sekitar sering dijadikan pilihan mereka yang tengah stres. 

Mematikan rasa. Memang bisa, ya? Orang yang tengah mengalami stres berusaha untuk mematikan perasaannya agar tidak merasa terganggu oleh sakit yang dirasakannya. Menekan semua rasa sakit sehingga kehilangan rasa. 

Melakukan sesuatu yang kompulsif dan hal-hal berbau risiko tinggi. Orang yang tengah stres merasa butuh meningkatkan adrenalinnya dengan perilaku kompulsif yang sekaligus berisiko tinggi, seperti judi, melakukan eksperimen dengan obat-obatan, mengemudi sembarangan atau melanggar aturan, mencuri, atau melakukan hal-hal yang bertentangan dengan etika yang berlaku di masyarakat.

Melukai diri sendiri juga menjadi salah satu solusi. Tindakan itu memunculkan kepuasan yang dalam waktu pendek terasa seperti menjauhkan diri dari masalah.

Sabotase diri, menahan diri untuk melakukan perbaikan yang diperlukan atau mencari solusi yang tepat karena tak ingin mengalami persoalan yang sama di kemudian hari. 

Pada mekanisme koping maladaptif ini orang berfokus pada masalah dan emosi. Strateginya adalah mengendalikan perasaan, dan bukan berfokus pada mengubah situasi. Ketenangan yang didapatkan hanya sementara, sedangkan masalahnya sendiri bakal berlarut. 

Kita kembali ke self-sabotage.

Baca juga: Evaluasi Diri atau Bikin Resolusi?


Apa penyebab terjadinya sabotase diri ini?

Ada beberapa hal yang disebut-sebut sebagai penyebab orang melakukan self-sabotage, yakni:

Tumbuh dalam keluarga disfungsional

Hal yang terjadi pada masa lalu tampaknya memang memiliki peran penting dalam perilaku self-sabotage ini. Yang pertama berangkat dari keluarga. Perilaku orang tua yang tidak memberikan contoh yang baik. Orang tua yang tidak mengayomi dan memperhatikan anak-anaknya. Kondisi ini dapat menjadikan anak tak pintar dalam menyikapi banyak peristiwa dengan tepat. Misalnya jika seseorang dibesarkan oleh orang tua yang menyikapi segala sesuatu dengan kemarahan, bisa jadi ia merasa "marah adalah solusi". 

Pernah mengalami hubungan toxic

Memang, menjadi tak adil bagi orang yang baru. Namun demikian adanya, pengalaman buruk dalam hubungan percintaan yang terjadi sebelumnya dapat mempengaruhi kemampuan komunikasi seseorang dalam hubungannya yang baru. Hal ini berlaku bagi hubungan apa pun, namun hubungan percintaan paling banyak ditemukan kasusnya karena intensitas komunikasinya. 

Jika dalam hubungan toxic yang terjadi sebelumnya seseorang mengalami kekerasan verbal atau sebaliknya mengalami silent threatmen, pada umumnya ia akan menjadi seseorang yang lebih sensitif. Selain itu, ia pun punya potensi untuk merusak hubungannya sendiri, misalnya dengan memutuskan hubungan dengan alasan yang tak jelas, atau berselingkuh. 

Disonansi kognitif

Disonansi kognitif adalah kondisi yang mengacu pada konflik mental yang terjadi saat perilaku, keyakinan, dan sikap seseorang tidak selaras. 

Perasaan insecure dan rendah diri

Orang yang insecure, saat sudah mendekati impiannya, bisa begitu saja mundur perlahan. Menjauh. Merasa tidak pantas atau tidak layak untuk mendapatkan kesuksesan atau mimpinya terealisasi.

Orang yang rendah diri sangat rentan terhadap self-sabotage, karena sering kali tanpa sadar mereka selalu menegaskan keyakinan negatif tentang diri mereka sendiri. 

Takut gagal

Bagi banyak orang, gagal itu tak menyenangkan. Memalukan. Menyedihkan. Perasaan takut gagal ini membuat seseorang menyabotase dirinya sendiri, bertahan di zona nyaman, menghindari perubahan dan kemungkinan perjumpaan dengan kegagalan.  

Dalam banyak kasus, self-sabotage yang dibiarkan tanpa dibarengi penanganan yang tepat akan menyebabkan dampak buruk bagi kesehatan fisik maupun mental.

Baca juga: Empati dan Seni Berkomunikasi


Contoh sabotase diri yang sering kita jumpai: 

  • Menyalahkan orang lain ketika berada dalam situasi tak menyenangkan atau tak menguntungkan
  • Kebiasaan menunda-nunda, dan kesulitan mengatur waktu untuk menyelesaikan pekerjaan.
  • Mempertahankan hubungan dengan pasangan yang toxic
  • Memandang rendah ke diri karena merasa tidak berharga
  • Dalam dunia kerja, membiarkan diri sendiri tetap berada di posisi dan tanggung jawab yang sama; menghindari kemungkinan gagal 
  • Melarikan diri ke penyalahgunaan obat-obatan dan minuman keras 
  • Dll.

Lalu, apa yang bisa kita lakukan untuk bisa keluar dari kondisi ini? Agar berhenti melakukan sabotase diri?

  • Adanya kesadaran bahwa diri kita memang tengah melakukan sabotase diri.
  • Cari tahu penyebabnya. Apa saja yang menjadi pemicu sabotase diri tersebut.
  • Hentikan kebiasaan menunda pekerjaan atau aktivitas lainnya. 
  • Buatlah target bertingkat, baik dari dari sisi skala maupun waktu. Tentukan target secara masuk akal. Target yang terlalu besar, saat gagal bisa memunculkan kekecewaan dan masalah lainnya. 
  • Terima kegagalan. Jika ternyata gagal, sikapi kegagalan dengan sewajarnya saja. 
  • Apresiasi setiap usaha yang sudah dilakukan oleh diri sendiri. 
  • Berkomitmen untuk keluar dari kondisi berupa kebiasaan sabotase diri. Bersetia jalani prosesnya. 

Merasa tak sanggup menjalani proses perbaikan, mungkin saatnya untuk meminta bantuan profesional. Bisa hubungi psikolog atau psikiater jika kondisinya memburuk dan membutuhkan pengobatan. 


No comments