Mengenang Sahala Tua Saragih, Dosen Jurnalistik yang Dihindari sekaligus Disayang

Pak Sahala berpulang pada Jumat (2/5/2025) pekan lalu. Tapi ingatanku rasanya masih sulit beranjak. Beragam postingan dari kawan-kawan satu almamater dan mereka yang tak kukenal, masih terus bermunculan. Dan ingatanku akan sejumlah hal tercongkel, ada hal-hal yang luput kuceritakan. Baiklah, biar kutuliskan di sini. Menulis untuk melepaskan sekaligus mengekalkan ingatan. 



Kabar kematian sering kali menyisakan nuansa kosong. Bukan soal kedekatan, kekerabatan, atau bentuk relasi lainnya. Namun, ingatan betapa sosok almarhum telah memberikan banyak kontribusi dalam perjalanan kita. Begitu pun sosok Pak Sahala, yang dalam penceritaan kenangan kawan-kawan pasti tak lepas dari ketegangan semasa kuliah, tapi namanya akan terus kami kenang karena andilnya dalam "membentuk" kami. 


Siapakah Pak Sahala?

Nama lengkapnya Sahat Sahala Tua Saragih Manihuruk, lahir pada 17 Maret 1953 di Sumatera Utara. Persisnya, bersama keluarga besarnya, Sahala menjadi warga desa pesisir Danau Toba, Hutaimbaru, Kabupaten Simalungun. Sahala merupakan putra ke-6 enam dari 11 bersaudara yang lahir dari pasangan St EM Manihuruk dan RP Br Haloho. 

Pada 1976, Sahala hijrah ke Kota Bandung pasca kelulusannya dari salah satu Sekolah Menengah Atas Negeri (SMAN) di Kota Pematangsiantar. Ia melanjutkan kuliahnya Publisistik, Unpad (sekarang menjadi Fakultas Komunikasi). Menjadi jurnalis memang menjadi keinginan besar Sahala. Dunia jurnalistik sudah ditekuninya sejak di bangku SMA. 

Setelah lulus (1982), Sahala menjadi pekerja media. Pilihannya saat itu adalah Harian Suara Karya, Jakarta. Enam bulan kemudian ia memutuskan pindah ke koran sore, Harian Sinar Harapan untuk kantor perwakilan Bandung. Media ini dibredel pemerintah pada 9 Oktober 1986. Tahun berikutnya, Sahala diterima sebagai staf pengajar di kampus almamaternya. Tak lama setelah itu, Harian Sinar Harapan membangun media baru yang dinamai Suara Pembaruan. Masih terbit pada sore hari. Sahala kembali berkarya sebagai wartawan di perusahaan media yang pernah menaunginya itu. 

Sekitar sepuluh tahun lalu, penyakit mulai menyambangi Sahala. Kanker. Pengobatan intensif mulai dilakukan. Aku tak mengikuti perkembangan sakitnya secara detail, hingga pada tahun-tahun terakhir laporannya sesekali muncul di WAG alumni, saat akan menjalani terapi. Atau bahkan mendoakan kawan anggota WAG yang sakit atau jika ada kerabat yang meninggal. Aku sama sekali tak terbayang kalau Pak Sahala bakal berpulang pada hari-hari ini. Yang ada di kepalaku ya Pak Sahala yang itu, yang selalu bersemangat dalam setiap pembicaraan. Ini membuatku bertanya ke diri sendiri: mengapa aku tak berusaha menyapa Bapak padahal berapa kali ia berbagi kabar tentang perkembangan kesehatannya. 



Pak Sahala dalam Ingatanku sebagai Mahasiswanya

Aku bukan tipe mahasiswa favorit dosen. Pemalu, tak punya inisiatif, lebih memilih tak terlihat daripada tampil. Dihadapkan pada gaya mengajar Pak Sahala yang mengajak mahasiswa untuk aktif, sungguh membuatku stres tiap kali mengikuti kuliah Pak Sahala. 

Ada 5 mata kuliah yang diajar Pak Sahala pada masa kuliahku. Kalau tak salah ingat, mata kuliah Wawancara di semester 3, Penulisan Karangan Khas (Feature) di semester 4, Penulisan Artikel (Opini) di semester 5, Penulisan Pelaporan Mendalam (Dept Reporting) di semester 6, dan Jurnalistik Pembangunan di semester 7. Bayangkan, stres hampir di semua semester, haha!

Memang apa, sih, yang bikin stres?

Di semua mata kuliah Pak Sahala, tiap satu semester dibagi dalam dua masa. Setengah semester pertama membaca dan membuat reviu buku--satu buku per minggu, lalu menyiapkan topik untuk praktik lapangan. Tiap buku harus dipresentasikan di depan kelas. Biasanya dibuka tawaran, yang siap maju dipersilakan. Namun, tak jarang begitu tawaran disampaikan, kelas mendadak super hening ... krik-krik-krik, hanya suara jangkrik di kejauhan yang terdengar. 

Nah, salah satu trik agar tidak maju ke depan adalah dengan sengaja memasukkan tugas terlambat. Kami biasanya menyerahkan tugas susulan ke kantor Pak Sahala, Suara Pembaruan di Jalan Patuha. Untuk sementara, aman. Berikutnya kembali berhadapan dengan ketegangan baru, presentasi ajuan topik untuk tugas lapangan. Bikin keder. Belum lagi saat sudah presentasi, dicecar dengan aneka pertanyaan: "Memang topik itu menariknya di mana menurut Anda?" 

Sungguh kutak sanggup, haha!



Rasa keder ini bukan cuma dialami oleh mahasiswa sepertiku yang nggak gaul dan nyalinya setipis bulu ucing. Hal yang sama rupanya juga dialami kawan-kawan yang bahkan terbiasa ambil peran dalam diskusi-diskusi mahasiswa. 

Pada dasarnya kami semua menyadari bahwa Pak Sahala telah melakukan tugasnya sebagai dosen dengan baik. Mengajak mahasiswa berpikir kritis dan berlatih untuk menyampaikan argumen. Cuma yaaa... gimana, yaaa... Tegang, cuy!

Meski ketat sangat, Pak Sahala tidak pelit nilai. Selagi rajin kuliah, mengumpulkan setiap tugas, dan mengikuti ujian, nilai terjamin. Ia menghargai proses, bukan semata hasil. Soal hasil, tugas-tugas mahasiswa yang dianggap layak dan punya nilai, ia rekomendasikan untuk tayang di media cetak. 

Kuliah bersama Pak Sahala adalah masa-masa penuh ketegangan. Tapi nyaris semua mahasiswanya--setidaknya kami dari jurusan Jurnalistik--menganggap Pak Sahala sebagai salah satu dosen terbaik. Pak Sahala pula yang membekali kami soal etika bekerja di media, hal mendasar yang menjadi pegangan kami saat berkarya di wilayah mana pun.

Di kemudian hari, pasca lulus S1, aku diundang untuk terlibat mengajar di program terapan, D3-nya FIKOM UNPAD. Ada kesempatan untuk ketemu Pak Sahala pada jadwal aku mengajar.

"Sekarang kita kan sama-sama dosen, panggil saya Abang saja ya, Dek," kata Pak Sahala sambil menyalamiku. 

Dalam kurun 5 tahun itu nyaris seminggu sekali kami berjumpa dan bicara apa saja meski cuma selintas-selintas. Sosok bapak, abang, dan guru yang hangat.

Selamat jalan, Bang Sahat Sahala Tua Saragih. Selamat beristirahat dalam keabadian. 



No comments