Sabtu malam. Malam Minggu. Hari yang sering kali memunculkan kegalauan bagi sebagian orang. Lihatlah tayangan-tayangan di media sosial, ada quote-quote yang membahas tentang kesendirian dan kesepian. Tak jarang yang menunjukkan betapa menderitanya masih sendiri di usia sekian. Aku meyakini bahwa tiap generasi dengan kekhasannya masing-masing, memiliki tantangannya tersendiri. Namun, melalui berbagai alasan, kita juga bisa menjelaskan mereka dengan berbagai latar belakang itu bahwa nggak masalah kok dengan "sendiri". It's ok being alone.
Baca juga: Trauma Bonding, Luka yang Sering Disangka Cinta
Menjadi lajang bukanlah hal yang memalukan. Mengalami kegagalan dalam hubungan juga bukanlah aib. Semua orang menjalani prosesnya masing-masing.
Menjadi Lajang
Suatu kali kutemukan thread dari seorang perempuan usia pertengahan 30-an. Nadanya terbaca positif dan optimis. Namun di dalam kalimat-kalimatnya juga terselip kekhawatiran: kalau aku masih akan sendiri dalam tahun-tahun ke depan, kira-kira gimana caraku memanfaatkan waktu?
Sebetulnya kocak juga, ya, seorang perempuan mandiri masih bertanya tentang apa yang bisa dilakukan. Urusan relasi dan percintaan memang sering kali bikin orang kehilangan kepercayaan diri. Bisa jadi TS baru putus hubungan. Gamang harus menjalani kesehariannya kembali ke mode awal, tanpa pasangan. Padahal jika mau kembali membuat reviu dari perjalanan hidup yang sudah dilewati, selama sendiri fine-fine aja, toh?
Banyak, kok, keuntungan menjadi seorang lajang:
- Memiliki kebebasan dalam membuat pilihan. Pilihan ini bisa berupa hal-hal sederhana dalam keseharian, maupun pilihan untuk hal-hal besar dalam perjalanan hidup.
- Bisa lebih optimal memberi perhatian ke diri sendiri. Kadang, sebagai sebuah pribadi, kita masih memiliki PR untuk menjadi diri sendiri seutuhnya. Dan "being single" akan memudahkan dalam menuntaskan PR-PR tersebut.
- Keleluasaan waktu. Pengorganisasian waktu seutuhnya kita yang pegang dan atur. Hal ini memungkinkan kita untuk melakukan aktivitas-aktivitas yang kita pilih, termasuk barangkali hobi-hobi yang tak biasa.
- Potensi kemandirian. Menjadi lajang membutuhkan keberanian untuk mencukupkan kebutuhan diri sendiri. Kemandirian pun bertumbuh seiring dengan rasa percaya diri yang ikut berkembang.
Memilih menjadi lajang juga lebih membebaskan kita untuk pengembangan diri, belajar tentang hal-hal baru. Menulis di blog bisa menjadi salah satu pilihan. Aneka tema bisa dipilih sesuai dengan minat, misalnya blog gaya hidup, blog kecantikan atau kesehatan, blog tentang relasi, blog tentang keuangan, blog tentang binatang peliharaan.
Atau yang di masa sekarang juga banyak dilakukan, menjadi vlogger. Bagi yang gemar membuat tayangan video, dengan segala macam tema seperti perjalanan, atau kuliner, olahraga, dan lain-lain bisa dipilih.
Nggak mau yang heboh-heboh? Menikmati saat santai sendiri bisa dengan membaca buku, menonton film, atau menikmati musik di ruang mungil yang nyaman. Pendek kata menjadi lajang juga bisa hidup dengan normal. Jadi, nggak perlu lagi bertanya: gimana cara mengisi hari-hari di usia sekian yang masih sendiri?
Baca juga: Berdamai dengan Inner Child
Hubungan Gagal Bukan Berarti Dunia Berakhir
"Aku patah hati, aku nggak mau punya pasangan lagi. Aku mau hidup sendiri saja!"
Eaaaaaaa...
Memilih tidak berpasangan itu bukan dalam rangka menghukum diri sendiri, ya. Bukan pula untuk menghukum orang lain yang dianggap punya andil dalam kegagalan sebuah hubungan. Gagal merupakan hal yang sangat mungkin terjadi di wilayah mana pun. Termasuk dalam urusan relasi. So, kalau sebuah hubungan tidak berhasil yang kemudian membawa kita kepada setingan awal--sendiri lagi--ya jalani saja. Nikmati saja, enjoy aja.
Tapi, kenapa gagal terus, ya?
Bisa jadi pertanyaan itu muncul di benak kita.
Berapa kali kita menjalani hubungan dan gagal? Dua kali? Enam kali? Lima belas kali? Pengalaman yang bisa jadi menyudutkan kita pada pertanyaan: Kok aku tidak bisa seperti orang-orang pada umumnya? Kok aku tak cocok dengan satu orang pun? Apa aku yang tidak normal? Bahkan ada yang bikin penghakiman atas diri sendiri: Mungkin aku terkena kutukan sehingga selalu gagal.
Untuk menjadikannya clear, barangkali kita perlu menyisihkan waktu khusus untuk membuat evaluasi. Lakukan dengan jernih, tanpa asumsi, tanpa penghakiman, terhadap orang lain, terlebih kepada diri sendiri.
Buatlah daftar, apa saja yang selama ini menjadi pencetus bubarnya hubungan. Tentu saja berangkat dari diri sendiri.
- Apakah selama ini aku terlalu fokus terhadap diri sendiri?
- Apakah selama ini aku terlalu tinggi menaruh ekspektasi?
- Apakah selama ini aku terlalu bergantung sama pasangan?
- Apakah selama ini aku telah bertindak seolah tidak membutuhkan pasangan?
Dan lain-lain bisa ditambahkan sesuai dengan kondisi riil masing-masing. Ingat, ini untuk mencari penyebab, bukan untuk menghakimi diri sendiri.
Setelahnya, membuka diri lagi. Kali dengan sikap batin yang lebih siap. Termasuk membuka ruang dialog, menyisihkan waktu untuk melakukan sesi bicara dari hati ke hati. Tidak ada sosok yang sempurna, pun dua orang tak pernah ada yang seragam. Yang ada hanyalah upaya untuk saling mengisi dan melengkapi kekurangan.
Nah, ketika upaya sudah dilakukan ternyata masih gagal, tak soal. Tak semua yang hadir dalam hidup kita akan tinggal selamanya. Bisa jadi mereka hanya hadir untuk memberi pelajaran. Terutama pelajaran-pelajaran yang sebelumnya kita belum lulus. Jangan lelah bertumbuh untuk menjadi pribadi yang lebih baik, ya.
Being single? Why not ... as long as you enjoy your choice.
Baca juga: Mengapa Perempuan Perlu Bekerja

No comments