Info Obat Kebun, Mahkota Dewa, dan Buah Simalakama

Musik pengantar mengalun mengawali program yang disiarkan seminggu sekali. Lagunya disuarakan oleh Waljinah, Suwe Ora Jamu. Nama programnya Info Obat Kebun, disiarkan di Radio Mara 106,85 (sekarang 106,7) FM Bandung setiap Sabtu, pukul 12.00-13.00 WIB. Tak lama berselang, suara perempuan bertimbre berat muncul. Ibu Aty Kusmiaty, pengasuh Info Obat Kebun yang sesungguhnya tercatat sebagai staf RRI Kota Bandung.



Baca juga: Pohon Sala atau Burahol?

Mengapa kita nggak bikin aja buku "Obat Kebun bersama Ibu Aty Kusmiaty"? Begitu kami pernah berwacana ketika itu. Sebagai sebuah ide bisnis, cukup menarik, mengingat sudah jelas siapa pembacanya. Sudah ada segmen sasaran. Sayangnya sebelum terealisasi, kru bubar, Bu Aty berpulang. Di kemudian hari, yang ramai justru bisnis obat herbal berbahan mahkota dewa yang pernah jadi bahasan favorit dalam program tersebut.


Mahkota Dewa, si Buah Simalakama

Berapa banyak di antara kalian yang iseng mencari tahu apa itu buah simalakama? Nama yang kita kenal sejak duduk di bangku sekolah dasar, dalam pelajaran Bahasa Indonesia. "Seperti makan buah simalakama", begitu bunyi peribahasa yang ada di dalam teks. 

Yakin, deh, tak banyak yang berusaha mencari tahu. Apalagi di masa lalu. Hanya memastikan mengetahui saja makna dari peribahasa tersebut--yang menggambarkan sebuah kondisi yang serba salah, ketika kita dihadapkan pada pilihan yang sama-sama rumit dan tidak menyenangkan--dianggap sudah cukup.  

Menurut sejumlah referensi dan blog bisnis, istilah "simalakama" berasal dari bahasa Melayu. Kata ini merujuk pada "mala" yang artinya bencana dan "karma" sebagai nasib buruk (padahal itu bukan pengertian yang tepat, ya!). Demikian buah simalakama ini kemudian dijadikan simbol nasib sulit, yang dimasukkan ke dalam peribahasa. 

Lalu kenapa mahkota dewa punya nama lain simalakama?

Mahkota dewa memiliki nama ilmiah Phaleria macrocarpa. Tanaman ini diketahui berasal dari kawasan timur Indonesia, yakni daerah Papua dan Maluku. Istilah simalakama ditempelkan ke tanaman karena si buah memiliki dua mata pisau, bermanfaat sekaligus berbahaya. Tentu saja berbahaya jika tak tahu cara pengolahannya. Jika diolah dengan tepat, buah ini memiliki manfaat kesehatan yang cukup beragam, mulai dari meningkatkan daya tahan tubuh, memperlambat proses penuaan, mengurangi kadar glukosa dalam darah, hingga melawan kanker. Sementara jika salah, si biji yang beracun dapat menyebabkan sariawan, mabuk, bahkan kejang. 

Tanaman mahkota dewa memiliki tinggi standar tanaman perdu, yakni setinggi 1 hingga 2,5 meter. Batangnya bulat, berkayu sekaligus bergetah, dengan permukaan yang kasar. Saat berbunga, mahkota dewa menyebarkan aroma wangi. Bunganya berbentuk tabung kecil dengan warna putih. Pohon ini berbunga dan berbuah sepanjang tahun.

Baca juga: Permakultur dan Kunjungan ke Kebun Igirmranak


Mahkota Dewa sebagai Komoditas

Pada masanya, aku ingat betul ada beberapa orang (pendengar) yang menyatakan tertarik untuk menjadi sponsor jika Bu Aty berminat untuk mengolah mahkota dewa sebagai produk. Sayangnya almarhumah memang tidak tertarik untuk berbisnis.

Aku mau kutipkan cerita sukses yang dituliskan oleh tim portal berita Detik.

Media ini mengangkat cerita Ning Harmanto yang telah sukses mengembangkan ekstrak buah mahkota dewa menjadi aneka produk herbal. Ning lahir dan tumbuh besar di lingkungan tradisional di Yogyakarta yang memang telah akrab dengan pengolahan tanaman untuk kebutuhan pengobatan. Yang uniknya, awalnya Ning mengembangkan pengolahan buah mahkota dewa untuk membantu kesembuhan ibunya. Bukan untuk tujuan komersial. Kala itu sang ibu tengah menderita komplikasi penyakit. Dokter telah memberikan vonis bahwa usia sang ibu hanya akan ada dalam hitungan hari. Setelah mengonsumsi jamu yang disiapkan Ning, kondisi kesehatan sang ibu berangsur membaik. Ia bertahan hidup selama 3 tahun sebelum akhirnya berpulang pada usia 80 tahun. 

Dalam prosesnya, Ning tidak mengolah jamu sendiri,. Ia mengajak serta para tetangga sekitar rumah (di kawasan Rawa Badak, Jakarta Utara). Sebagai sebuah upaya yang lebih serius dan berkelanjutan, Ning mendirikan perkumpulan yang dinamainya Kelompok Wanita Tani Bunga Lili. Kelompok ini secara bersama-sama melakukan pengolahan mahkota dewa mulai dari menanam, meracik, hingga mengemas hasil racikan. 

Dalam perkembangan berikutnya, kelompok ini menghadapi persoalan keterbatasan lahan. Tak kehilangan akal, kelompok ini mengembangkan pola tanam vertikultur. Kelompok petani kota initerus mengembangkan inovasinya dengan melakukan penelitian khasiat lain buah mahkota dewa serta aneka kombinasi ramuan dengan bahan tanaman obat. 

Pelan tapi pasti upaya kelompok ini berubah menjadi sesuatu yang lebih serius. Diawali dengan menjadi jawara pada lomba pekarangan produktif yang digelar oleh Pemerintah DKI Jakarta (1999), lalu pendirian  Klinik Mahkota Dewa atau Klinik Herbal Ny. Ning Harmanto (sekarang Griya Sehat Mahkota Dewa, 2002), dan semakin serius dengan didirikannya PT Mahkota Dewa Indonesia yang menunjukkan upaya mereka telah merambah wilayah komersial.

Usaha yang didirikan Ning makin berkembang luas. Karyawan yang awalnya hanya 10 orang terus bertambah, jumlah produk yang diedarkan di pasaran pun makin meningkat, bangunan pun tentu saja ikut bertambah. Menurut Ning, jamu mahkota dewa produksinya berhasil terjual tak kurang dari 2.000 botol dan meraup omzet Rp250 juta--Rp 300 juta per 1 bulan. Pemasarannya pun sudah meluas hingga ke Eropa. Meski demikian, Ning terus bergiat untuk melakukan penelitian lanjutan untuk menyempurnakan produk.

Seru, kan? Menarik, kan? Gimana, tertarik? Kali ini mahkota tak bermakna simalakama. Selagi tertarik dan mau menggarap dengan serius dan penuh cinta seperti Bu Ning ini, bisa jadi kesuksesan bakal menjadi milikmu. 

Baca juga: Nimba, Pohon dengan Banyak Kasiat

No comments