22 Agustus 2014. Pada jelang tengah hari aku
meninggalkan Denpasar, menuju Ubud. Berbagai detail Bali yang unik langsung
menyerbu dan menjejali bilik-bilik ingatanku. Dulu, pada dua kedatanganku ke
Bali sebelumnya, sebagian besar detail itu luput dari pengamatanku. Kini
beberapa hal tampak lebih jelas.
Setiap bangunan memiliki Sanggah Pamerajan.
Orang biasanya cukup menyingkatnya dengan Sanggah atau Merajan. Sanggah adalah
sanggar yang artinya tempat suci; Pamerajan berasal dari praja yang artinya
keluarga. Jadi Sanggah Pamerajan merupakan tempat suci bagi sebuah keluarga. Di
masa lalu, orang menyiapkan bentuk fisik sanggah sendiri, baik yang menggunakan
material kayu maupun bangunan bersemen. Kini, sanggah banyak dijual dalam
bentuk siap pakai. Bukan hanya sanggah kecil (Sanggah Pamerajan Alit, milik
satu keluarga kecil) namun juga sanggah yang relatif besar. Baik untuk satu
garis keturunan (Sanggah Pamerajan Dadia) maupun untuk satu wilayah desa
(Sanggah Pamerajan Panti). Sanggah ‘siap pakai’ ini bisa dijumpai di banyak
wilayah di Bali, pada sepanjang tepi jalan.
Inilah Bali, yang di mataku menarik pada
setiap jengkal tanahnya. Pura yang telah berdiri ratusan tahun bisa dijumpai di
cukup banyak lokasi. Demikian pula bangunan-bangunan baru yang menjadikan situs
kuno itu sebagai acuan model. Pemandangan unik yang mengundang minat para
wisatawan untuk menjadikan Bali sebagai salah satu tujuan wisata. Tak semata
bangunan bersejarah, namun ritual religi yang masih dijalankan dan tradisi yang
juga masih terjaga. Pada tiap pagi, siang, dan petang, kita bisa saksikan
perempuan-perempuan Bali mengenakan kebaya dengan selendang mengikat pinggang.
Mereka menyajikan persembahan yang bagi orang luar terlihat sebagai ritual
unik. Berbagai upacara adat digelar, baik dalam skala besar maupun kecil.
Upacara adat di Bali terdiri dari lima macam
yadnya atau disebut Panca Yadnya. Kelima yadnya itu adalah Dewa Yadnya, Pitra
Yadnya, Rsi Yadnya, Manusia Yadnya, dan Bhuta Yadnya. Sebagai contoh, upacara
Dewa Yadnya misalnya Purnama-Tilem, Pagerwesi, Tumpek, Hari Raya Saraswati,
Galungan, Kuningan, dan lain-lain. Selain itu juga pada upacara pembangunan dan
peresmian pura, dan hari raya pemujaan (sanggah) atau odalan. Pitra Yadnya
seperti prosesi ngaben mulai dari meninggal hingga proses nyekah dan
ngelinggihang. Orang-orang suci atau Rsi, Pendeta, atau Sulinggih memegang
peranan penting dalam hubungannya dengan agama Hindu. Karena itu umat Hindu
memberikan penghormatan melalui Rsi Yadnya. Sementara Manusia Yadnya merupakan
upacara terkait hidup manusia, mulai dari pernikahan, kehamilan, kelahiran,
tiga bulanan, 6 bulanan (otonan), potong gigi, dll. Sebelum melangsungkan
keempat upacara tersebut, ada upacara lain yang wajib dilakukan yakni Butha
Yadnya. Selain untuk memohon ke hadapan Hyang Widhi agar diberi kekuatan lahir
batin, juga untuk menyucikan dan menetralisir kekuatan-kekuatan yang bersifat
negatif yang disebut bhuta kala. Jika semua upacara Panca Yadnya ini dilakukan
dengan semestinya, hampir sepertiga dari waktu yang dimiliki masyarakat Bali
adalah untuk aktivitas ritual. Beruntung pada perjalananku menuju Ubud, aku
menemui salah satunya. Upacara perayaan 6 bulanan pura yang disebut piodalan.
Lewat tengah hari, dari jauh tampak beberapa
perempuan mengenakan kebaya dan kain panjang. Masing-masing dengan banten di
kepalanya. Mereka menuju sebuah pura yang berhias cukup meriah. Ya, pura di
Desa Sayan, Kecamatan Ubud ini tengah melangsungkan piodalan. Sudah memasuki
hari ketiga atau terakhir. Seorang ibu yang kujumpai bercerita dengan ramah.
Setiap keluarga bisa datang kapan saja untuk memberikan persembahan. Namun ada
juga yang dikoordinir oleh pemangku desa adat. Ia lalu menunjukkan arah, tempat
dua banjar tengah mempersiapkan kelompok untuk memberikan persembahan secara
bersama. Aku pun menuju ke arah yang ditunjuk, sekitar 200 meter dari pura. Dan
pemandangan yang menakjubkan kujumpai di sana. Hari ini peringatan hari
terakhir dalam 3 hari rangkaian piodalan. Ada dua banjar yang kali ini bertugas
menyiapkan persembahan. Tak kurang dari 50 perempuan mengenakan kebaya warna
putih dengan tali pinggang merah. Bisa jadi pemandangan ini cukup banyak kita
temukan di televisi dan media lain termasuk kartu pos yang dijajakan para bocah
di hampir tiap kawasan wisata di Bali. Tapi percayalah, dengan melihat langsung
kita bisa merasai aura yang berbeda. Terlebih jika kita bisa membuka percakapan
dengan mereka yang terlibat.
Masyarakat Bali, setidaknya yang kujumpai,
tampak tak canggung dengan orang baru. Mungkin karena mereka sudah terbiasa
dengan aneka macam turis yang hadir di negerinya. Mereka juga tak kikuk dengan
kamera. Tak menghindar dan sebaliknya juga tak ambil posisi sebagai subjek
gambar. Seorang ibu paruh baya tengah merapikan banten yang baru dibawanya.
Seorang gadis kecil mengikutinya. “Adik juga sudah bisa bawa Banten,” sapaku
pada ibu dan cucunya. “Sudah, untuk yang ringan-ringan sudah biasa,” jawab sang
nenek sambil tersenyum. Lantas ia pun mulai disibukkan dengan kedatangan
perempuan-perempuan lain dengan banten masing-masing. Mereka meletakkan di atas
pagar tembok di sisi jalan. Warna-warni. Tapi ada komponen yang sama dalam tiap
susunan banten. Dalam ajaran Hindu, banten bukan semata sesaji. “Banten
mapiteges pakahyunan, nga; pakahyunane sane jangkep galang” yang artinya banten
itu adalah buah pemikiran atau pemikiran yang lengkap dan bersih. Bentuk banten
mengandung simbolis filosofis yang mendalam. Banten kemudian dipakai untuk
menyampaikan rasa cinta, bakti dan kasih. Unsur yang ada dalam banten merupakan
simbol dari hal yang lebih dalam. Begitupun dengan tatanan banten, memiliki
makna yang tak sekadarnya.
Banten pokok yang digunakan pada upacara adat
Bali, Panca Yadnya adalah Pejati Banten. Pejati berasal bahasa Bali ‘jati’ yang
artinya sungguh-sungguh atau benar-benar. Banten Pejati adalah sekelompok
banten yang dipakai sarana untuk menyatakan rasa kesungguhan hati ke hadapan
Hyang Widhi dan manifestasiNya. Sebagai sarana bermohon untuk dipersaksikan dan
diberikan keselamatan. Banten Pejati ini dihaturkan kepada Sanghyang Catur Loka
Phala, yakni Sanghyang Siwa, Sanghyang Brahma, Sanghyang Wisnu, dan Sanghyang
Mahadewa.
Sekitar setengah jam persiapan, seorang
laki-laki yang tampaknya mewakili desa adat, mengatur barisan. Beberapa
perempuan tampak masih berdatangan dari berbagai arah. Terlambat. Dengan banten
yang tentunya tak ringan, tapi bergegas masuk ke dalam barisan. Kelompok
penabuh gamelan berada di bagian belakang barisan. Ketika semua peserta sudah
terkumpul, rombongan ini pun diberangkatkan. Dengan banten di kepala, mereka
berjalan teratur dalam satu lajur menuju pura. Gamelan Bali mengiringi langkah
mereka. Indah dan khidmat.
Aku pun meninggalkan Desa Sayan dengan
gembira yang meruah.
No comments