Showing posts with label wisata sejarah. Show all posts

Menjenguk Makam KAR Bosscha

“Bapak mah baik, penyayang binatang juga,” ujar ibu Upir yang kami jumpai tengah membersihkan taman sekeliling tempat peristirahatan akhir KAR Bosscha. Menurut Ibu Upir, ia dan suaminya adalah generasi ke-8 penjaga makam orang Belanda yang punya banyak memberikan sumbangsihnya pada Indonesia tersebut.

Rumah Boscha

Setelah melewatkan perjalanan kaki yang cukup melatih otot, kami, aku dan kawan-kawan permeongan, tiba juga di pemakaman Bosscha. Sebetulnya jika ditarik garis lurus, jarak antara penginapan Malabar dan makam Bosscha tak cukup jauh. Kurasa tak sampai 2 km. Tapi kami sekaligus melewatkan pagi dengan berjalan-jalan mengitar melalui perkenan teh. 



Dari luar, tampak tempat peristirahatan terakhir Bosscha dikelilingi pagar, dinaungin pohon menjulang. Teduh dan adem. Sebuah jalan bersemen dibangun menuju lokasi makam, dengan prasasti ditanam di tengah jarak pintu dan makam, bertuliskan tanda jasa dan penghargaan yang diterima Boscha. Makam tampak terawat baik. Pusara bertutup kubah ala arsitektur Eropa. Makam yang indah namun tampak sederhana. 


Nama lengkapnya Karel Albert Rudolf Bosscha. Ia lahir di Den Haag, Belanda, pada 15 Mei 1865. Bosscha adalah seorang kaya Belanda yang dianggap memiliki kepedulian terhadap pribumi Hindia Belanda. Ia diperkirakan datang ke Indonesia pada tahun 1887 dengan minat khususnya terhadap teh. Pada Agustus 1896, Bosscha mendirikan Perkebunan Teh Malabar. Tiga puluh dua tahun lamanya ia mengelola perkebunan teh. Ada dua pabrik teh masa itu,  yakni Pabrik Teh Malabar (kini Gedung Olahraga Gelora Dinamika) dan Pabrik Teh Tanara (kini Pabrik Teh Malabar).


Bosscha mencintai bumi yang ia tinggali. Ia juga dicintai penduduk sekitar. Tak jauh dari rumah tinggalnya, ia mendirikan rumah-rumah panggung untuk para pegawai perkebunan. Pada tahun 1901 ia mendirikan sekolah dasar yang dinamai Vervoloog Malabar. Kaum pribumi, utamanya anak-anak karyawan dan buruh perkebunan teh Malabar diberi kesempatan belajar secara gratis. Di kemudian hari, sekolah ini berganti nama menjadi Sekolah Rendah, lalu berubah menjadi Sekolah Rakyat, dan terakhir menjadi Sekolah Dasar Negeri Malabar II.



Sebuah rumah panggung masih tersisa. Diberi nama ‘Rumah Hitam’. Konon dulu semua rumah memang dicat hitam. Pun rumah tinggal Bosscha. Satu yang tersisa bisa dijumpai di sekitar 500 meter arah kiri komplek penginapan Malabar. Rumah panggung lainnya masih terhitung baru. Kini  perumahan karyawan perkebunan teh ini mencapai satu RW dengan 7 RT di dalamnya. Rumah Hitam dihuni oleh keluarga Pak Wawan, yang sayangnya tak bisa kujumpai di siang aku berkunjung. Hanya tampak dari luar kondisi rumah sudah tak lagi memadai. Tapi tampaknya akan terus dipertahankan, menandai lamanya usia.



Rumah tinggal Bosscha sendiri masih berdiri utuh, dengan banyak perbaikan secara berkala tentunya. Rumah ini berdiri di tengah area penginapan Agrowisata N8 Malabar, menjadi sentral sekaligus menghadirkan nuansa sejarah masa lalu. Dari pintu masuk pertama akan langsung terlihat bangunan bagian samping. Pada sisi tepi kiri Rumah Bosscha berupa jajaran kamar penginapan.


Sedangkan dari arah pintu masuk kedua, bendera Merah Putih menyambut kedatangan para tamu. Pada sisi kanan Rumah Bosscha berdiri bangunan ramping memanjang yang difungsikan sebagai front office penginapan. Di balik bangunan memanjang ini terhampar tanah lapang yang dipagari 7 rumah kayu yang disewakan sebagai penginapan.

Pada sisi dalam Rumah Bosscha, perkakas tertata dengan sederhana tapi manis. Beberapa furnitur masih asli, sedangkan sebagian lainnya sengaja disediadakan untuk memenuhi kebutuhan tamu. Misalnya meja makan memanjang yang bisa dimanfaatkan untuk bersantap para tamu. Perapian masih terawat dengan baik dan sekali waktu masih difungsikan. 



Bosscha diyakini punya peran dalam pendirian Sciete Concordia atau yang kini di kenal dengan nama Gedung Merdeka, Bandung. Pada tahun 1921 gedung ini merupakan gedung pertemuan terlengkap dan termewah. Dirancang oleh arsitek Belanda ternama, CP Wolf Schoemaker, dengan sentuhan seni art Deco,  Sciete Concordia menjadi tempat pertemuan orang Belanda, tempat rekreasi, sekaligus hotel.


Bosscha punya peran penting dalam pendirian Technische Hoogeschool te Bandoeng yang merupakan sekolah tinggi teknik di Hindia Belanda (sekarang ITB). Ia menjabat sebagai Ketua College van Directeureun (Majelis Direktur) yang bertugas mengurus kebutuhan material bagi TH Bandung mulai dari pembangunannya hingga kegiatan akademik berjalan. Proses selanjutnya diambil alih oleh Pemerintah. Sebagai penghargaan terhadap jasanya, tahun 1924 komplek laboratorium fisika TH Bandung dinamakan Bosscha-Laboratorium Natuurkunde.

KAR Bosscha

Pada tahun 1923, Bosscha menjadi perintis dan penyandang dana pembangunan Observatorium Bosscha yang telah lama diharapkan oleh Nederlands-Indische Sterrenkundige Vereeniging (NISV). Bersama Dr. J. Voute, ia pergi ke Jerman untuk membeli Teleskop Refraktor Ganda Zeiss dan Teleskop Refraktor Bamberg. Observatorium selesai dibangun pada tahun 1928. Atas perannya, Bosscha mendapat anugerah sebagai Warga Utama kota Bandung dengan penyerahan yang dibuat dalam upacara kebesaran yang dilakukan Gemente di Kota Bandung. Sayang ia tidak sempat menyaksikan bintang melalui observatorium yang didirikannya. Pada 26 November 1928 KAR Bosscha meninggal dunia. Karena kecintaannya pada Malabar, ia meminta jasadnya disemayamkan di antara pepohonan di Perkebunan Teh Malabar.

Emak2 meong rempong, ki-ka: Susan (alm), Nda Unyil, Teh Nining, ibunya Susan

Informasi tentang penginapannya bisa cek di sini.

Menguji Dingin Pangalengan Dan Menengok Makam Bosscha

Tanpa perencanaan, akhirnya terjadilah itu yang namanya berlibur. Senin lalu terima voucher menginap di Agrowisata N8 dari Sonora FM (Radio aku bersiaran), Selasa ada gank emak-emak kucing ke Bandung, lalu diputuskan Rabu memanfaatkan vouchernya. Perkebunan Malabar, Pangalengan pilihannya.



Perjalanan ke Pangalengan membutuhkan waktu sekitar dua jam dari Bojongsoang, titik aku berjumpa dengan gank emak kucing yang malam sebelumnya sudah menginap di Bandung kota. Jalanan berliku, naik-turun, dengan kejutan-kejutan. Kejutan karena terakhir aku ke Pangalengan rasanya tak seramai ini. Sudah jauh berubah dibandingkan sekitar 5 tahun lalu aku bertandang. Namun hal yang sama masih kutemui, kabut yang menyergap saat memasuki area perkebunan teh. Pada jelang Maghrib, kami tiba di area penginapan milik PTPN VIII. Aku tahu penginapan Agrowisata 8 tak jauh dari makam Bosscha. Tapi aku tak tahu kalau rumah tinggal Bosscha masih ada dan menyatu dengan penginapan. 




Itulah tempat kami bermalam. Berada di sisi paling luar dari 7 rumah kayu di komplek penginapan ini. Tujuh rumah kayu ini memagari tanah lapang, dengan kapasitas berbeda. Selain rumah kayu, Agrowisata 8 menyediakan 11 kamar Guess House dan 2 wisma. Tarifnya variatif, mulai dari Rp 275.000. Selengkapnya bisa googling ‘agrowisata8’. 


Memasuki rumah, agak terkejut juga mendapati penginapan tak dilengkapi dengan alat memasak. Yang kutahu, penginapan Agrowisata 8 di Ciater dilengkapi dengan dapur untuk memasak. Salahnya, aku tak tanya. Lalu apa masalahnya kalau tak ada dapur? Tak usah dibikin susah. Yang biasa ‘nggelandang’ alias ‘mbambung’ kalau kata orang Jawa, keterbatasan fasilitas tak jadi soal. Ada dapur penginapan yang bisa digunakan. Bagi yang mau berlibur dan tak tak mau ribet dengan urusan masak, makanan bisa dipesan ke penjaga. Namun rikues harus segera disampaikan, karena mereka memang tak preparing untuk makanan tamu kecuali untuk yang wajib disajikan yakni menu sarapan. Jadilah menu makan malam adalah mi instan yang ramai-ramai kami masak di dapur, lalu disantap di meja kursi yang terletak di antara mushola dan bangunan utama.



Agrowisata 8 berada di ketinggian 1.550 meter dpl. Suhu malam kemarin mencapai 13 derajat celcius. Jadiii.. bagi yang berniat menginap, jangan lupa bawa serta baju hangat. Saat ngobrol santai di ruang tamu, masih terasa cukup hangat. Serangan dingin justru terjadi di ruang tidur. Tapi ya itulah nikmatnya tidur di area perkebunan teh. Terlebih di musim kemarau seperti sekarang. 



Malam pun berlalu dan segera berganti pagi. Dingin yang sangat menyengat. Tapi masa iya jauh-jauh datang hanya untuk bergelung di bawah selimut. Kami pun bergerak. Tea walk, sekaligus mengunjungi makam Bosscha. Kami mengalami banyak perjumpaan. Dengan anak-anak sekolah. Dengan para pekerja kebun teh. 
  


Lalu...angkutan bersiap jalan..



Akhirnya, bye bye Malabar...

Ibu meong bergaya dulu..



Perjumpaan dengan Kebijaksanaan Baduy

Inilah perjalananku bersama Bandung Heritage awal bulan lalu. Menjumpai Sultan Banten, mengunjungi WWF dengan garapannya badak bercula satu, lalu berujung pada perjumpaan dengan masyarakat Baduy Dalam. Bercengkerama dengan kebijaksanaan salah satu masyarakat adat di tanah Jawa ini.




1/
Kampung Cijahe, Desa Kebon Cau, Kecamatan Bojongmanik. Tengah hari kami tiba. Berharap akan menikmati santap siang ala kampung, sebelum melanjutkan perjalanan memasuki Baduy Dalam. Yang kami jumpai hanyalah warung kelontong dengan pilihan karbohidrat yang paling memungkinkan membuat kenyang: mie instan. Tentu sedikit mengecewakan. Bayangan yang tergambar dari sebuah desa adalah yang tradisional. Tapi modernitas dengan segala yang serba instan memang sudah bergerak memasuki area pelosok. 

Menunggu mie tersaji, kulihat sekeliling. Kang Sarta dan Kang Karta duduk bersama kawan-kawan rombongan dari Bandung. Bersama sejumlah pemuda dan bocah Baduy Dalam. Sosok-sosok yang sederhana. Kucoba berbagi senyum pada mereka. Tak semua membalas. Tapi mereka tak menolak ketika kuambil gambar. 

Selidik punya selidik, pintu masuk Baduy melalui Kampung Cijahe masih terbilang baru. Bukan jalur biasa. Jalur reguler yang biasa dijadikan pintu masuk pelancong adalah Desa Ciboleger. Opa Felix sengaja membawa kami mengunjungi Baduy Dalam terlebih dahulu. Sekitar 4 km dari titik kami jeda. Seorang laki-laki mengabari: 5 ribu untuk masing-masing orang. Semacam retribusi. Kang Sarta n the gank tidak dihitung. Mereka akan memandu kami perjalanan kami. Beberapa di antaranya bertugas sebagai porter, membawakan barang-barang yang dianggap cukup berat.  

Penunjuk waktu di HPku menyebut pukul 14.23 ketika kami memulai perjalanan. Bersebelas, Opa Felix, Kang Adi, Mas Adi, Kang Ivan, Kang Tata, Kang Ery, aku dan Jean dari Radio Sonora-Raka FM Bandung, ditambah Cici (Lely) dan Arlien dari Bandung Heritage dan Kang Iwan Podol yang bergabung belakangan. Bersama gank Kang Sarta, ditemani bayangan awan dan gerimis kecil. 

2/
Perkampungan Baduy berada di wilayah Kanekes. Baik Baduy Dalam maupun Baduy Luar. Persisnya berada di kaki pegunungan Kendeng, Desa Kanekes, Kecamatan Leuwidamar, Kabupaten Lebak-Rangkasbitung, Banten. Wilayah Kanekes berjarak sekitar 40 km dari kota Rangkasbitung. 

Pada perjalanan kota, 4 kilometer bukan jarak yang sulit. Tapi pendakian jalanan gunung, dibarengi gerimis yang kadang berganti menjadi hujan, terasa cukup memberatkan. Tak ada yang mengeluh. Semuanya terengah dalam gembira. Bersatu dengan alam. Padi di kiri kanan jalan, pepohonan besar di antaranya. Pun aneka tanaman ladang. Pada satu titik, Sarip, pemanduku minta ijin singgah ke sebuah gubuk di tengah ladang. "Mau ambil trubuk dulu," katanya seraya memisahkan diri dari rombongan. Belakangan aku baru tahu yang dimaksud. Namanya terubuk. Sering disebut tebu telur karena terlihat seperti telur ikan. Aku agak samar teringatkan pada kenangan masa kecil. Kurasa dulu aku pernah makan. Terubuk memang banyak dijumpai di daerah pedesaan. Dengan tubuh serupa tebu tapi memiliki bunga dengan selaput yang membungkusnya memanjang. Bunga inilah yang dimanfaatkan sebagai campuran sayur. Dan terubuk menjadi sajian paling nikmat pada makan malam kami di rumah Kang Sarta. 

Sekitar 2,5 kilometer perjalanan dari titik berangkat, kami berhadapan dengan sebuah jembatan bambu panjang. "Di sini terakhir boleh ambil foto." Begitu Sarip lebih kurang memberi tahu kami. Masyarakat adat Baduy Dalam melarang pengunjung mengabadikan gambar dengan kamera. Mereka menjaga kemurnian tradisi dengan tanpa campur tangan pihak luar.


3/
15.40. Kampung Cikertawana menyambut kami. Inilah perkampungan Baduy Dalam. Rumah-rumah kecil berderet rapi. Ah, bukan rumah. Itu adalah sekumpulan lumbung milik warga. Mereka menyimpan padi hasil sawah yang akan dimanfaatkan ketika hasil panen sedikit atau buruk. Tak jauh dari situ barulah tampak rumah warga. Sepi, seolah tanpa penghuni. "Mungkin semua orang tengah berladang," kata salah satu dari kawan Baduy. Kami menyempatkan diri diam barang sejenak. Duduk di kayu panjang yang diletakkan di depan rumah. Cikertawana adalah satu dari tiga kampung Baduy Dalam, selain Cikeusik dan Cibeo. Kampung yang akan kami tuju adalah Cibeo. 

Sekitar dua puluh menit perjalanan dari Cikertawana, kami tiba di Cibeo. Rumah panggung beratap daun enau berbaris rapi. Dinding-dindingnya terbuat dari bilik bambu. Empat kayu terlihat menyangga pada tiap sisinya. Semua rumah di Baduy Dalam menghadap utara atau selatan. Saling berhadapan, atau membelakangi. Suasananya tak jauh beda dengan Cikertawana. Tapi terkesan lebih padat. Jarak antar rumah lebih kerap, lebih kurang 3 meter. Sedangkan sisi-sisi rumah jaraknya lebih rapat lagi. "Lebih dari 100-lah," kata Kang Sarta saat kutanya jumlah rumah di Kampung Cibeo. Setelah keringat cukup kering, bersama Jean aku masuk ke bagian dalam rumah. Sedangkan sebagian kawan masih asik berbincang di beranda. Yang kusebut beranda di sini adalah ruang terbuka sekitar 1x2,5 meter, terbuat dari bambu dan tampaknya memang berfungsi sebagai beranda atau teras. 

Istri Kang Sarta datang membawa singkong rebus hangat disuguhkan. Ditemani dengan gula merah. Perempuan itu berpakaian sama dengan suaminya, baju atasan warna putih gading dengan bordir di tepian lubang leher dan lubang lengan. Bedanya, modelnya blus. Di lehernya melingkar kalung mote. Ia cukup ramah dibandingkan dengan perempuan-perempuan Baduy yang sempat kujumpai di sekitar. Aku mengiyakan saat Kang Sarta menawari kopi. Kupilih tanpa gula. Tampaknya nikmat membayangkan kopi pahit yang diminum setelah segigit gula merah. Tradisi ngopi ala kampung yang sempat kuingat.  

Kami menikmati sajian sore itu di bagian depan rumah panggung Kang Sarta. Duduk beralas tikar. Tak jauh dari kami  duduk ada tungku. Sebuah tungku lain terlihat di dalam bilik. Sebetulnya tak bisa disebut bilik. Lebih menyerupai ruang di dalam ruang, rumah di dalam rumah (panggung). Ini menunjukkan ada dua keluarga di rumah ini. Anak perempuan kedua Kang Sarta sudah menikah dan tinggal bersama mereka. Ruang yang terbuka buat tamu biasanya di bagian luar bilik, pada sisi kiri dan kanan pintu masuk.    

Menuju petang kawan-kawan yang awalnya bercakap di beranda mulai bergeser masuk. Menikmati kopi atau teh panas.  Singkos rebus kini ditemani labu. Kenikmatan lalu terganggu keinginan buang air kecil. Di gelap malam tanpa penerangan? Yup! Sorenya Kang Sarta sempat memberi tunjuk jalan menuju sungai. Baik area untuk laki-laki maupun untuk perempuan. Namun tampaknya tak tega membiarkan kami sendiri. Aku dan Jean ditemani Kang Sarta, berjalan hanya dengan penerangan senter. Hati-hati menuju sungai.

4/
Begitulah. Rasanya malam tiba dengan sangat segera. Dari yang sore datang, bercakap, melihat sejenak sekitar, malam malam, tiba-tiba saja dunia demikian senyap. Di perkotaan, bahkan di desa sekalipun, hari bisa terasa lebih panjang karena ada penerangan atau aneka hiburan yang bisa menjadi teman. Masyarakat Baduy Dalam menerangi biliknya dengan lampu berbahan bakar minyak kelapa. Lampu akan segera dipadamkan begitu kebutuhan untuk berjaga telah tercukupi. Gelap seantero kampung. Sempat sedikit riuh saat mereka menawarkan souvenir. Baik yang disediakan Kang Sarta dan keluarga, maupun beberapa pemuda yang juga menawarkan aneka souvenir seperti gelang, tas, dan baju. Riuh sejenak, untuk kemudian hening.

Butuh waktu cukup lama untuk aku terlelap. Bukan karena gelap atau dingin. Aku terbiasa tidur dalam gelap. Perihal dingin, salah satu hal yang terlewat kupersiapkan adalah kantong tidur. Tapi pada musim hujan, udara terasa lebih hangat dibandingkan saat kemarau. Konon itulah kebijaksanaan alam. Musim kemarau akan memberimu perjalanan yang mudah. Tanah yang kering dan tak perlu repot bermantel hujan atau berpayung. Tapi malamnya akan memberimu dingin yang menggigit. Sedangkan musim hujan, ia memang memberimu basah dan lembab. Tapi malamnya cukup bersahabat. Dingin iya, tapi masih bisa ditorelansi. Aku cukup berjaket, bersarung, dan berkaos kaki.

Ya, gelap dan dingin tak menggangguku. Aku mengumpulkan ingatan dari catatan dan apa yang diceritakan Opa Felix sepanjang perjalanan dari Bandung. Masyarakat Baduy Dalam adalah orang-orang yang sangat sederhana. Banyak orang yang menghubungkan masyarakat Baduy Dalam dengan hal-hal yang berbau mistik. Ada juga yang mengaitkan mereka dengan kesaktian, barangkali tercampur aduk dengan jawara Banten. 

Ada sejumlah pendapat yang berbeda memang tentang asal-usul masyarakat Kanekes atau Baduy ini. Ada pendapat yang mengaitkan masyarakat Baduy dengan Kerajaan Sunda yang sebelum keruntuhannya pada abad ke-16 berpusat di Pakuan Pajajaran (sekarang sekitar Bogor). Wilayah ujung barat pulau Jawa ini awalnya merupakan bagian penting dari Kerajaan Sunda. Saatw itu belum berdiri Kesultanan Banten. Sementara Banten sendiri merupakan pelabuhan dagang yang cukup besar. Berbagai jenis perahu berlayar di Sungai Ciujung. Mereka mengangkut hasil bumi dari wilayah pedalaman. Karena pentingnya peran sungai tersebut, diperintahkanlah sepasukan tentara kerajaan yang terlatih untuk menjaga dan mengelola kawasan berhutan lebat dan berbukit di wilayah Gunung Kendeng tersebut. Inilah yang dianggap sebagai cikal bakal masyarakat Baduy. Pendapat ini berbeda dengan yang disebutkan Van Tricht.

Van Tricht adalah seorang dokter yang pernah melakukan riset kesehatan pada tahun 1928. Menurut Van Tricht, orang Kanekes atau Baduy adalah penduduk asli daerah tersebut yang memiliki daya tolak kuat terhadap pengaruh luar.  Orang Baduy sendiri juga menolak disebut pelarian dari Pajajaran, ibu kota Kerajaan Sunda. Penelitian lain menyebutkan bahwa orang Baduy adalah penduduk setempat yang dijadikan penjaga kawasan suci secara resmi oleh raja. Mereka berkewajiban memelihara kabuyutan atau tempat pemujaan leluhur/nenek moyang. Kebuyutan di daerah ini dikenal dengan kabuyutan "Jati Sunda" atau "Sunda Asli" atau "Sunda Wiwitan". Sunda Wiwitan juga menjadi agama asli penduduk Kanekes. 


Ya, seperti kata Opa Felix, orang Baduy adalah orang-orang sederhana. Tak perlu bergesa karena memang tak ada yang dikejar. Karena segala sesuatunya memiliki waktunya sendiri. Maka ketika orang berlomba untuk memiliki kendaraan, orang Baduy memilih untuk berjalan kaki. Itu pun tanpa alas kaki! Hal ini juga menjadi aturan yang harus dianut oleh orang Baduy Dalam. Selain tak menggunakan  kendaraan untuk transportasi, aturan lainnya adalah:
  • Pintu rumah harus menghadap ke utara atau selatan.  
  • Rumah Pu'un atau ketua adat sebagai pengecualian. 
  • Tidak menggunakan peralatan elektronik atau teknologi. 
  • Pakaian yang dikenakan berwarna hitam atau putih dengan bahan dari katun dan dijahit tangan.

Suasana rumah makin hening. Sebagian sudah terlelap. Sesekali terdengar suara kucing. Tak banyak kujumpai kucing di perumahan warga Baduy. Satu yang sempat kujumpai di rumah dekat sungai. Bulu kuning, yang diam saja saat kuelus. Ah baiklah, mungkin aku pun perlu tidur.

5/
Dingin pagi menusuk jari kaki. Dari ujung ruang bunyi alarm berkejaran. Suara yang pasti mengganggu warga sekitar. Entah aku terjaga karena dingin atau bunyi alarm. Kuputuskan untuk bangun. Mematikan alarm yang salah satunya ternyata dari tas ranselku. Alarm HP yang ku-set di jam 05.30. Lupa kumatikan. 

Hujan di luar. Berbalut kain sarung, aku duduk di beranda. Serangkaian tulisan terbaca di dinding belakang rumah depan. Nama-nama. Entah siapa saja. Orang Baduy tidak mengenal sekolah. Pendidikan formal bertentangan dengan adat-istiadat mereka. Sejauh ini mereka menolak usulan pemerintah untuk membangun fasilitas sekolah di desa-desa mereka. Tak heran jika mayoritas orang Baduy tidak dapat baca-tulis. Apa yang menjadi adat-istiadat, kepercayaan/agama, dan cerita nenek moyang hanya tersimpan di dalam tuturan lisan. Tapi seperti yang terbaca pada dinding-dinding bambu, tak semua buta huruf. Anak-anak muda belajar membaca dengan cara mereka. Bahkan kemudian aku mendapati seorang pemuda, Doni (20th)-yang kemudian menjadi favoritku, tampak antusias menggunakan potongan-potongan kata berbahasa Inggris. 

Ya, mereka belajar membaca dari kertas apapun yang mereka jumpai. Karena buku pun jarang ditemukan. Sebelumnya tak diperbolehkan. Tapi kini, konon bisa ditoleransi selagi secukupnya; tak banyak, tak berlebih. Pembalajaran informal dengan instrukstur atau pengajar pun tidak ada. Jadi kemampuan membaca-menulis sangat bergantung pada antusiasme masing-masing anak dalam belajar. Beruntunglah masih ada semangat kompetisi meski sangat samar. Melihat temannya bisa baca, yang lain terpacu untuk bisa pula.

Kang Sarta keluar dari ruangan. Diikuti anak ketiganya. Perempuan berusia sekitar 5 tahunan. Ia mengambil tabung bambu yang disandarkan berjajar di dinding beranda. Rupanya tabung bambu tersebut adalah perangkat mengambil air dari sumber air. Sebelumnya aku sempat bertanya-tanya tentang benda mirip kentongan bambu itu. Si gadis kecil diminta tinggal di rumah. Tapi bersisikukuh ikut si bapak. Berdua mereka menembus gerimis ke arah belakang rumah. 

Menuju siang dan gerimis mulai berhenti, ada sesuatu yang harus dicoba: mandi! Karena bukan sembarang mandi, tapi mandi dari pancuran, di ruang beratap langit dan berdinding pepohonan. Ahaaaayyy! 😀

Sebagian warga  Cibeo mandi di sungai. Sepertinya tak banyak yang memanfaatkan pancuran. Kang Sarta menyebutnya sebagai ‘kamar mandi tamu’ 😊 Ke ‘kamar mandi’ inilah kami, aku dan Jean menuju. Sebuah bak air terbuat dari batang kayu dengan ceruk di bagian tengah. Menyerupai kano. Air mengucur dari pancura yang terbuat dari batang bambu ramping. Pada pintu masuk tersedia bambu anyam dengan batang yang cukup tinggi, sekitar sejajar dada. Tapi beberapa sampah berserak. Di lantai kamar mandi. Di balik bak air. Di sela-sela rumpun tanaman semak. Siapa yang menggunakan shampoo? Siapa pemakai pembalut wanita? Siapa yang merokok? Tak satupun orang Baduy yang melakukannya. Artinya, semuanya adalah ulah pengunjung. Dapat dibayangkan kalau kawasan Baduy Dalam ini aksesnya dibuka lebar, bakal menjadi apa desa tradisional ini. Barangkali tak ubahnya perkampungan di dalam kota dengan aneka produk modern yang menghasilkan banyak sampah. Agak mengherankan.  Di benakku, orang yang mau repot-repot menempuh perjalanan jauh untuk sampai lokasi mustinya orang yang mengapresiasi positif kebijaksanaan penduduk lokal. Tapi bayangan dalam benakku tampaknya meleset. Barangkali ada cukup banyak orang yang beranggapan, travelling ke Baduy Dalam itu seksi. Peduli mah urusan nomor 127. Ah, entahlah..

Begitulah, acara mandi berjalan dengan sukses. Diawali dengan tengok kanan-kiri-atas, kali-kali ada orang lewat. Tapi berikutnya sudah: emang gue pikirin! 😂 Segarnya air pancuran menghilangkan kekhawatiran bakal dilihat orang atau hadirnya binatang-binatang yang tak terduga. Acara mandi pagi yang luar biasa. Rasanya tak ingin beranjak 😀


6/
Jelang siang, saatnya melakukan perjalanan pulang. Botol air minum diisi. Jas hujan disiapkan. Kali ini kami mengambil jalur Ciboleger. Artinya kami akan menempuh perjalanan sekitar 12 kilometer. Ini yang diagendakan Opa Felix dari awal, untuk kami membuat perbandingan antara perkampungan Baduy Dalam dan Baduy Luar. Perjalanan yang berat karena sepanjang jalan hujan bersetia menemani kami. Jalanan licin, naik turun, menyeberangi sungai tanpa jembatan. Dua kali aku terjatuh, dengan luka lecet di siku. Pemanduku, Sarip, segera mencarikan beberapa tanaman untuk mengeringkan luka. Beberapa kawan juga mengalami hal yang sama. Jatuh terpeleset, jatuh di sungai.. Perjalanan sempat berhenti di beberapa titik, jeda istirahat, tapi akhirnya tiba juga dengan selamat di Ciboleger. Waktunya 5,5 jam. Tahukah, berapa lama jarak tersebut biasa ditempuh penduduk Baduy Dalam? Satu setengah jam sajo! Bayangkan betapa berusaha bersabarnya kawan-kawan Baduy Dalam menyertai perjalanan kami 😃

Titik akhir perjalanan adalah kedai makan yang menyediakan meja kursi cukup banyak, lengkap dengan toilet (bertulis MC 😁). Sebagian kawan membersihkan diri di kamar mandi, sebagian makan atau ngopi, sambil melanjutkan berbincang dengan kawan-kawan Baduy Dalam. Kebetulan ada seorang bule nyasar yang berjumpa dengan kami di perjalanan. Bule Spanyol itu akhirnya bergabung dalam obrolan. Beberapa pemuda Baduy Dalam tampak antusias untuk mencoba berbahasa Inggris. Karena sejauh ini warga asing tak diperbolehkan masuk ke perkampungan Baduy Dalam. Riuh dan hangat. 

Akhirnya tiba juga wancinya untuk pamit pisah. Kang Sarta and the gank akan melanjutkan perjalanan kembali pulang. Diawali dengan foto-foto bersama, akhirnya kami pun bersalam perpisahan dibarengi dengan harapan untuk berjumpa lagi.

Terimakasih banyak, kawan-kawan Baduy Dalam yang –dalam waktu sehari semalam- telah banyak mengingatkan tentang kesederhanaan dalam hidup. Semoga masih ada kesempatan untuk kita berjumpa kembali. Semoga pula masih kujumpai kalian, kaum muda Baduy Dalam, dalam kebersahajaan yang sama. Tanpa terpengaruhi produk-produk modernitas. Terus bertahan menjaga tradisi dan  alam sekitar.

Terimakasih banyak juga untuk kawan-kawan Bandung Heritage yang telah mengajakku terlibat dalam perjalanan ini.