Merayakan Seno Gumira Ajidarma

Aku mengenal namanya setelah kuliah, di Bandung. Seno Gumira Ajidarma (SGA). Manusia Kamar adalah cerpen pertamanya yang kubaca dan membuatku takjub. Sejak jatuh cinta itu, aku berusaha untuk mengumpulkan bukunya. Menyisihkan rupiah dari jatah bulanan yang tak seberapa. 



Baca juga: Pseudonim, Kisah Pertarungan Idealisme Dunia Penulisan

Pada 19 Juni lalu SGA berulang tahun. Yang ke-65. Angka yang sontak membuatku nyletuk, "Waaah, Seno sudah berumur, yaaa." Tapi langsung kusambar sendiri, "Iya, lu juga udah tuwak!" 😂


SGA dan Karyanya

Awal kuliah aku mulai menjadi pembaca karyanya. Dia, saat seumuranku itu, karyanya sudah dimuat di media massa. Di majalah yang terhitung besar dan menjadi majalah legendanya Bandung, Aktuil. Tulisan awalnya bukan cerpen --seperti yang kuduga sebelumnya, melainkan puisi. Lalu, saat masuk kuliah di IKJ, ia juga sudah tercatat sebagai wartawan.     

Beberapa bukunya yang sudah kubaca dan kukoleksi, beberapa di antaranya hilang. Ada yang meminjam dan tak kembali. Huh!

Ini dia di antaranya. Manusia Kamar (cetakan bertahun berikutnya diganti judul: Matinya Seorang Penari Telanjang), Penembak Misterius, Saksi Mata, Dilarang Menyanyi di Kamar Mandi, Sebuah Pertanyaan untuk Cinta, Negeri Kabut, Iblis Tak Pernah Mati, Sepotong Senja Untuk Pacarku, Linguae, Jazz, Parfum, dan Insiden, Kitab Omong Kosong, Biola Tak Berdawai, Wisangeni Sang Buronan, Naga Bumi I Jurus Tanpa Bentuk. Lumayan banyak, kan?

Ya, cerpen-cerpen SGA langsung membuatku takjub. Sebelum tinggal di Bandung, yang artinya belum berkenalan dengan lebih banyak orang dan lebih banyak sumber pengetahuan, aku sudah melahap banyak buku. Dari berbagai genre. Di antaranya sudah pasti buku-buku bagus. Tapi kali pertama membaca SGA seperti langsung kesetrum. Sesuatu yang tak biasa. Yang ganjil. Tapi aku suka. Rentang tema dalam cerpen-cerpen SGA panjang sekali. Dan dia menuliskan semua tema dan genre itu dengan sangat baik. Dari kisah yang bernuansa manis, tragis, magis, realis, buatku masing-masing memiliki pesonanya. 

Baca juga: Menjadi Penulis, Hobi atau Pekerjaan?


Menjadikannya Fiksi, Ketika Jurnalisme Tak Sanggup Bersuara

Hal yang konon diakui SGA soal profesinya adalah sebagai wartawan. Ia mengaku nyaman sebagai wartawan, profesi yang sampai kini masih dilakoninya. Sebutan sastrawan membuatnya jengah. Meski kita pun tahu, karyanya sudah tak terhitung banyaknya. Apalagi ia juga adalah Doktor Ilmu Sastra Universitas Indonesia.

Kalau menyebut karyanya yang monumental dan terkait dengan profesinya, tentu saja adalah kumpulan cerpen Saksi Mata (1994). SGA menerima penghargaan Dinny O’Hearn Prize for Literary pada 1997 atas karyanya tersebut. 

Sebelumnya, pada awal 1992, Seno dibebastugaskan dari posisinya sebagai Redaktur Pelaksana Jakarta Jakarta. Kebijakan itu diberlakukan terkait pemberitaan tentang insiden kekerasan Dili pada 1991. Cerpen-cerpen yang terangkum dalam Saksi Mata itu tak satu pun menyebut istilah Timor Leste. Meski demikian, bagi yang hidup pada masa itu, bahkan mengikuti berita sekadarnya saja, bisa menebak kalau apa yang dikisahkan SGA adalah soal konflik berdarah yang berlangsung di Timor Timur (namanya saat itu). 

Pada masa itu tidak satu pun media yang bisa (baca: berani) mengungkap berbagai bentuk kekerasan yang terjadi di Timor Leste. Maka itulah yang kemudian dilakukan SGA. Ia mengetahui semua faktanya, memiliki datanya, maka ia pun mengolahnya menjadi bentuk lain. Bukan karya jurnalistik melainkan karya sastra. 

Uniknya, saat ia menuliskan cerpen-cerpen tersebut, ia tak sedang berada di Dili. Ia mencoba menerapkan imajinasi ala Karl May.

Alkisah, jauh-jauh waktu, ketika masih bocah, SGA sangat menyukai cerita Old Shatterhand dan kepala suku Apache, Winnetou. Mulai dari kisah itu dibacakan ibunya, hingga ia membacanya sendiri. Seperti halnya banyak penulis lain, kisah petualangan karya Karl May itu begitu mempengaruhinya. Sejak membaca kisah-kisah itu, SGA menetapkan keinginan besarnya: menjadi pengembara. Di kemudian hari ia kecele. Ternyata Karl May membuat kisah semata berdasarkan imajinasi. Penulis Jerman itu tak pernah datang ke negerinya orang Indian. SGA merasa kecele, tapi mencoba menerapkan imajinasi ala Karl May itu dalam tulisannya tentang aneka kisah di tanah Timor Leste. Dan ia berhasil. 

Baca juga: Jangan Pelihara Kucing, Kerja Sama Perdana dengan Penerbit Epigraf

Seno Gumira Ajidarma, penulis karya sastra, watawan, dan belakangan banyak bergelut di bidang fotografi. Sudah lama aku tak membaca karya-karya barunya. Tampaknya perlu berburu lagi. Sukses terus, Mas SGA!



No comments