March of The Penguins, Belajar tentang Cinta dari Penguin

Film diawali dengan seekor penguin yang melompat dari lubang air, dan berdiri di hamparan es Antartika. Berdiri tegak, gagah dan indah. Bagian kepala dan paruh, hitam. Warna orange-kuning menghiasi sisi samping leher. Sayap dan punggung hitam mengkilat, dengan warna putih benderang di tubuh bagian depannya. Tapi penguins tidak pernah sendiri. Penggambaran berikutnya, muncul penguin lain dalam jumlah besar. Cerita pun dimulai, March of The Penguins. Film dokumenter lama, yang kutonton ulang. 



Baca juga: The Intouchable, Film yang Hangat tentang Relasi Manusia

Aku nonton film ini tak lama dari kemunculannya, 2005. Aku suka cerita satwa. Kupikir cerita dokumenter sekadarnya. Ternyata pada bagian tertentu sempat membuatku berderai air mata. 


Ritme Hidup Penquin

Bulan Maret adalah awal perjalanan para penguin untuk sebuah kehidupan baru. Maret adalah bulan ketika lautan memadat menjadi dataran es, dan matahari hanyalah semburat sinar. Dalam jumlah besar mereka berbondong-bondong dalam dinginnya Antartika di bawah 58 derajat celcius. Penguin adalah jenis unggas, yang tidak terbang dan tidak juga betul-betul berenang. Mereka berjalan. Sehingga yang tampak adalah deretan  pejalan kaki dengan mantel tebal menyelimuti tubuhnya. Tampak seperti manusia yang tengah melakukan perjalan hijrah. 

Tiba di jarak sekitar 7 mil, mereka berhenti. Saatnya menemukan pasangan. Entah ukurannya apa, tapi mereka, masing-masing menemukannya. Proses perkawinan dimulai. Penguin betina dibuahi dan bersiap untuk menghasilkan telur. Bukan proses yang sederhana, butuh waktu berbulan-bulan, tanpa makanan dan harus berhadapan dengan alam. Sampai kemudian penguin betina bertelur. Sebutir. 

Penguin adalah jenis hewan monogami. Mereka hidup layaknya keluarga. Dan pasca keluarnya telur, terjadi serah terima tanggung jawab perawatan, dari sang ibu kepada ayah. Sang ibu akan melakukan perjalanan panjang menuju laut untuk mendapatkan makanan. Berbulan-bulan tanpa makanan, dan kini harus berhadapan dengan badai dan predator. Tapi itulah proses yang harus dijalani jika tidak ingin mati kelaparan.

Baca juga: Black Book, Kisah Perjuangan Perempuan Yahudi

Yang menarik adalah proses serah terima telur, dari ibu kepada ayah. Ada perlakuan khusus agar telur selamat. Pasangan muda sangat mungkin menjatuhkan telur, dan menjadikannya kering dan pecah. Selesailah garis keturunan. Sementara mereka yang cukup berpengalaman akan ekstra hati-hati memindahkan telur yang dihimpit sang ibu di bawah bagian tubuhnya, di atas dua belah jari-jari kaki. Sang ayah akan mengemban amanah itu hingga ibu pulang. Waktunya lebih dari sebulan! Maka, dalam eraman ayah, sang jabang bayi menetas. Tidak ada makanan untuk bayi penguin. Yang tersisa adalah makanan yang tersimpan di tenggorok sang ayah. Jumlahnya tentu saja tidak banyak. 

Menjadi persoalan kemudian ketika ibu tak juga pulang dan ayah mulai kelaparan. Ayah dihadapkan pada dilema mempertahankan hidup anak untuk keberlangsungan garis keturunan atau mempertahankan hidup sendiri karena kelaparan yang mendera. Belum lagi harus berhadapan dengan tiupan badai Antartika yang berasal dari kutub selatan. Beruntung kalau kemudian sang ibu berhasil pulang, berhasil melewati perjalanan panjang, menghadapi badai, dan luput dari intaian predator, anjing laut misalnya. 

Sebagian anak mungkin mati, atau sebaliknya, sebagian ibu mungkin juga mati. Yang masih tersisa akan mengadakan reuni keluarga yang berakhir dengan penyerahan anak dari ayah ke ibu. Dan kini, giliran ayah untuk merantau, mencari makanan buat dirinya sendiri. 


Film Dokumenter yang Mengaduk Emosi

Sang sutradara, Luc Jacquet membuat cerita dokumenter tentang penguin ini begitu menarik. Mulai dari penggambaran alam Antartika yang indah --dari saat langit cerah sampai hari-hari yang merupakan malam panjang-- hingga penggambaran adegan-adegan yang sangat menyentuh. Luc berhasil mengaduk-aduk emosi penontonnya! Betapa romantis pertemuan antara pasangan penguin, betapa mengharukan melihat reuni keluarga, betapa menyedihkan membayangkan penguin dihadapkan persoalan dilematis: membiarkan anaknya sendiri-atau dia sendiri yang akan mati, betapa takut membayangkan para ibu penguin harus berhadapan dengan predator, betapa miris menyaksikan telur-telur bergelimpangan karena ketidaksanggupan bapak menjaga, atau melihat tangis ibu yang mendapati anaknya sudah membeku. Atau betapa gembira melihat anak-anak penguin tumbuh dengan baik, dengan ekspresi lucu saat muncul dari balik badan sang ayah. Senang membayangkan anak-anak itu belajar jalan dan berenang.

Membayangkan para film maker Indonesia membuat film serupa. Dengan subjek garapan yang berbeda tentunya, satwa eksotis di tanah air tak kurang banyaknya. Selain aneka rekomendasi drama seri yang mereka garap. 

Baca juga: Film Mafia yang Perlu Dipilih sebagai Teman Bermalam Minggu 

Sungguh, Luc Jacquet dan kawan-kawan yang meliput rombongan penguin ini patut diacungi jempol. Pembuatan film ini membutuhkan waktu selama satu tahun penuh melawan dingin dan cuaca tidak bersahabat Antartika. Beberapa orang kru juga perlu dirawat selama satu bulan penuh setelah terjebak badai Antartika.

Film ini meraih penghargaan sebagai film dokumenter terbaik pada Academy Award 2006. Film yang dirilis di bioskop-bioskop Amerika Utara pada bulan Juni 2005 ini meraup keuntungan sebesar $77 juta. 

March of The Penguins memang bercerita tentang kehidupan penguin kaisar di benua Antartika. Tetapi bukan hanya itu. Seperti dituturkan Morgan Freeman dengan suara beratnya, March of The Penguins bukan sekadar film tentang penguin. This is a story about love.

No comments