Menjajal Kuliner Khas Pasar Cihapit Bandung

Suatu hari, seorang kawan menawariku ngopi. Di Los Cihapit, begitu katanya. Tak terlintas, Los Cihapit itu posisi di sebelah mana. Yang kuingat ada beberapa kedai kopi di Jalan Cihapit. Ternyata adanya di dalam pasar. Pasar Cihapit yang membuatku takjub: "loh, kok menarik gini?" Sudah 30 tahun di Bandung dan baru hari itu aku memasuki kawasan Pasar Cihapit yang melegenda itu. Bukan hanya ngopi, hari itu aku mencicipi menu dari kedai makan yang telah bertahan sejak Soekarno menjadi Presiden RI. Warung Nasi Mak Eha.



Baca juga: Menjelajahi Taman Hutan Raya Juanda

Pada beberapa bulan lalu, sempat dengan sengaja datang ke Pasar Kosambi, Jalan Ahmad Yani, Bandung. Semata untuk melihat dari dekat kondisi lantai dua yang konon terdapat aneka kedai. Asyik juga, melihat perbedaan Pasar Kosambi yang sebelumnya, dengan yang pasca renovasi. Nah, setelah mengunjungi Cihapit, lantas kupikir, mungkin konsep Pasar Kosambi mengadopsi dari Pasar Cihapit. Bedanya, Pasar Kosambi jauh lebih besar. 


Pasar Cihapit, Sejarah dan Perkembangannya

Pasar Cihapit dikenal pertama kali pada sekitar 1947. Awalnya lokasi ini adalah sebuah lahan terbuka, bersebelahan dengan area pemandian kuda. Karena adanya kebutuhan akan keberadaan pasar, mulai dibangunlah pasar sederhana. Di kemudian hari, bangunan pasar ini tumbuh berkembang dengan baik, bahkan sering dijadikan contoh untuk pasar sejenis. 

Mundur berpuluh tahun ke belakang, perkembangan Pasar Cihapit terkait erat dengan perkembangan kawasannya terutama sejak 1920-an. Masa itu ada rencana pemindahan ibu kota Hindia Belanda dari Batavia ke Bandung. Cihapit menjadi kawasan yang disiapkan sebagai daerah hunian untuk pegawai pemerintah. Saat itu tengah berlangsung pembangunan gedung-gedung perkantoran di area Gedung Sate.

Ariyono Wahyu Widjajadi, pegiat Komunitas Aleut, seperti dikutip Bandung Bergerak mengatakan bahwa jejak perumahan masa itu dalat dilihat di kawasan Gempol untuk pegawai rendahan. Sedangkan bentuk perumahan untuk pejabat tinggi, bisa dilihat di sepanjang Jalan Riau. Komplek pemukiman pejabat menengah ke bawah juga dibangun di sekitar Taman Pramuka dan Cihapit. Diperkirakan ada sekitar 800 rumah tinggal yang berhasil dibangun hingga awal 1930-an. Pembangunan tak berlanjut akibat berlangsungnya krisis ekonomi dunia. Jejaknya bisa kita temukan di kawasan Jalan Cihapit dan Jalan Sabang.

Baca juga: Pendakian Gunung ala drh Nyomie dan Max

Catatan lain dalam sejarah terkait kawasan Cihapit adalah saat pendudukan Jepang. Masa ini melahirkan kisah kelam, tawanan perempuan dan anak-anak dirumahkan di kawasan hunian Cihapit yang dialihfungsikan sebagai kamp. Tercatat, tak kurang dari 14 ribu tawanan pernah menghuni kamp tersebut pada kurun akhir November 1942 hingga Desember 1944. Tahun berikutnya barulah dipindahkan ke beberapa kota lainnya. Menurut Ariyono, sebagian besar tawanan adalah warga Eropa. 

Dari kawasan yang awalnya dibangun bagi pekerja kelas rendahan itu, Cihapit kini telah berkembang pesat dan menjadi bagian dari peradaban kota. 


Mencicipi Menu Mak Eha dan Kopi Los Cihapit

Saat Mak Eha mulai membuka warungnya, Pasar Cihapit tentu saja belum seperti sekarang. Pedagang sedikit, sebagian besarnya pedagang sayuran. Awalnya warung nasinya bernama Warung Bu Nok. Lalu berkembang pesat dan dinamai namanya, Mak Eha. Para pesohor negeri ini pernah mencicipi masakan Mak Eha. Ini dapat dilihat di dinding bagian kiri warung. Tampak foto-foto, di antaranya Presiden Soekarno. 

Beruntung, saat ada dalam antrean pengunjung yang mengambil makanan, aku melihat sosok Mak Eha yang tengah membereskan bumbu-bumbu dapur di tampah. Tubuhnya sudah membungkuk, tapi masih terlihat sehat. Untuk urusan operasional warung sudah diserahkan Mak Eha ke anak-anaknya. 

Warung Mak Eha masih menerapkan model "warung kejujuran" seperti sejumlah warung Sunda yang aku pernah kunjungi. Pengunjung memilih makanan yang dimaui, lalu langsung bisa memakannya tanpa dihitung terlebih dahulu. Bayangkan, berapa banyak kerugian kalau di antara pengunjung tidak menyebutkan secara jujur makanan apa saja yang sudah dikonsumsi? Atau mungkin hal itu sudah masuk dalam hitungan untung-rugi mereka, ya? Entahlah, lain waktu mungkin perlu kutanyakan. 



Pagi itu aku memilih tumis leunca dan ikan bakar. Ada tambahan keciwis rebus dan sambal terasi. Nyam-nyam. Bagi penggemar masakan Sunda, banyak sekali pilihan yang menggoda. Ada soto Bandung,  gepuk, ayam goreng/bakar, perkedel, aneka pepes, otak-otak, limpa, rendang, dan masih banyak yang lainnya. Sayangnya aku tak bisa makan banyak ragam lauk sekaligus. Makan pagi pun ditutup dengan teh tawar hangat yang nikmat.

Di depan Warung Nasi Mak Eha ada lapak lotek. Sebagian pembelinya menikmati santapannya di meja yang sama dengan pengunjung Warung Mak Eha. Di sisi seberang, ada toko jajanan pasar yang juga sibuk melayani pembeli. Sebagiannya ikut mengunyah bersama mereka yang makan berat. Suasana sarapan yang hangat.

Baca juga: Tujuh Bangunan Bersejarah di Bandung

Hari itu masih cukup pagi. Beberapa lapak makanan tampak masih tutup, konon baru buka di atas jam 11. Di bagian lain, pasar basah juga cukup ramai oleh pengunjung. 

Aku kemudian memilih untuk melanjutkan rencana semula, ngopi. Warkop yang menjadi tujuan, Los Cihapit ada di jalur tak jauh dari area pintu masuk kanan. Yang kumaksud kanan adalah pintu masuk pasar jika kita ambil jalur gang di seberang Kantor Polisi Bandung Wetan. Sedangkan pintu masuk utama pasar langsung menyasar area pasar basah. 

Begitu memasuki area kedai mungil itu, aku langsung suka. Suasananya hangat. Sesama pengunjung saling bersapa. Bahkan banyak yang saling bersalam tangan. Padahal di antara mereka belum tentu kenal. Los Cihapit menyajikan beberapa macam penyajian kopi, dengan pilihan kopi Ciwidey. Aku cukup memilih kopi tubruk saja, seperti biasa. Kalau kata Kang Bayu, pemilik kedai, sebelum pandemi tempat itu juga sering dijadikan tempat diskusi. Dengan berbagai topik, seperti peristiwa sosial budaya, musik, seni, atau bedah buku. Kulihat di sisi kedai ada dua rak buku yang isinya penuh. Pengunjung bisa ngopi sambil baca-baca. 



Untuk area pasar basah aku tak menilik secara khusus. Tapi secara selintas yang kulihat kondisinya bersih dan rapi, tidak seperti sebagian pasar basah lainnya. 

Buat warga Bandung, Pasar Cihapit dikenal sebagai salah satu kawasan kuliner yang direkomendasikan. Ada di area tengah kota dengan nilai sejarah yang kental. Selain lokasinya yang bersih dan menjadi rujukan pengembangan pasar-pasar tradisional. Bagi penggemar traveling, kalau ke Bandung, jangan lupa singgah. Mbak Wati, blogger Semarang, berkabar yooo kalau ke Bandung dan pengin ke sini. Tak temani.

Seperti halnya aku yang sudah 30 tahun di Bandung dan baru kali ini masuk Pasar Cihapit, aku hampir yakin, banyak warga Bandung yang seumur-umur tinggal di Bandung pun ada yang belum pernah mencoba ngulik area dalam pasar. Cobalah. Selain aneka kedai dan toko di sepanjang kiri kanan Jalan Cihapit, area dalam pasar menjanjikan banyak pilihan. Beberapa fotonya disimpan di sini.

Baca juga: Braga, Kawasan Penting Bandung Tempo Dulu

No comments