Wuni, Buku tentang Persekutuan Manusia dengan Makhluk Gaib

Nyaris tak berniat melanjutkan baca buku ini. Pertama mulai baca, pada jelang tengah malam. Baru sampai pada bagian perjalanan dalam bus, ada sosok yang hanya dapat dilihat oleh sang pencerita, mendadak bulu tengkuk meriap. Haiiissss... Tapi, begitu besoknya coba baca ulang, aman-aman saja. Wuni, sebuah novel dari Ersta Andantino yang berkisah tentang persekutuan manusia dengan makhluk gaib.



Baca juga: FSP di Kajian Jumaahan dan Pengajian Sastra

Banyak kepercayaan yang mengisahkan tentang hubungan yang terjalin antara manusia dengan makhluk lain, dalam penamaan yang beragam. Kepentingannya tak jauh dari urusan hasrat; hasrat untuk kaya atau berkuasa karena memiliki kedigdayaan tertentu. Aku cukup familier dengan isu ini saat masih tinggal di kampung halaman nun di Jawa Timur. Mama Rani, kawan blogger yang bahas soal parenting dan teman-teman blogger lainnya mungkin bisa ikut cerita, pengalaman di kawasan tinggalnya masing-masing. 


Sinopsis

Adalah Jaka, alumni Insitut Pertanian Bogor (IPB) yang sejak lulus kuliah memilih bertahan di kawasan kampusnya berada. Cita-citanya ingin menjadi PNS bidang pertanian dan menjalani hidup wajar seperti anak muda sepantarannya pada umumnya. Mungkin sesekali ikut bergabung dengan Yudhis, kawan kuliahnya yang punya usaha studio foto dan video. Namun takdir berkata lain. Sebuah panggilan datang dari kampung halaman, ia harus segera pulang.

Jaka bertanya-tanya tentang panggilan mendadak itu. Selama dalam perjalanan berkereta menuju kampung halamannya, Klaten, pikirannya terus menduga-duga. Ketika akhirnya mendapatkan jawaban, ternyata itu adalah sesuatu yang sama sekali di luar dugaannya. Sesuai isi surat wasiat yang ditinggalkan kakeknya, Jaka mewarisi setengah bagian kekayaan yang ditinggalkan sang kakek. Yang menjadi masalah besarnya adalah bahwa ada konsekuensi yang Jaka harus tanggung; sesuatu di luar nalarnya. Bahwa harta kekayaan yang diwariskan oleh sang kakek diperoleh dengan cara yang tidak wajar. Harta itu didapatkan dari perjanjian dengan makhluk gaib. Dalam kurun waktu dimulai perjanjian hingga waktu terakhir, ada saja anggota keluarga yang menjadi korban atau mengalami hidup tak normal. Ada yang masuk penjara karena ngemplang utang, ada yang terjerat narkoba, ada yang mengalami gangguan jiwa. Dalam perjanjian itu tersebutkan, perjanjian itu diputihkan jika diserahkan kepada keturunan si Mbah yang memiliki tanda tertentu. Dan yang memiliki tanda itu adalah sang cucu, ya si Jaka itu.

Setelah melewati sekian pertimbangan, Jaka memutuskan untuk menerima. Ia mulai mengamati detail pekerjaan Mbah Putri yang mendapat limpahan tanggung jawab mengelola aset yang ditinggalkan Mbah Kakung. Lalu mulailah teror demi teror berdatangan. Hal-hal yang berbau mistis, yang sebelumnya nyaris tak pernah dihiraukan Jaka, kini, mau tak mau ia cermati. Serangan-serangan santet, kemunculan pertanda-pertanda ganjil, termasuk hadirnya satu sosok yang seolah mengikuti ke mana pun Jaka pergi. 

Di luar urusan warisan dan dunia gaib, tentu saja ada kisah percintaan yang dirawikan di buku ini. Ada dua sosok yang hadir dalam kehidupan Jaka. Pertama, Euis, perempuan Sunda kawan kuliahnya yang belakangan menyita perhatiannya. Dan, kedua, Sukesi, sepupunya yang belakangan ia ketahui adalah anak dari paman yang berniat mencelakainya karena menghendaki warisan.

Baca juga: Jangan Pelihara Kucing, Kerja Sama Perdana dengan Penerbit Epigraf


Sebuah Kisah Mistis yang Terjalin Rapi

Membaca novel ini, terasa rapi runutan kisahnya. Pun penulisannya. Tertib dan rapi. Sehingga kisahnya terasa nyaris datar, tak cukup banyak gejolak. Sebagai bukan penggemar genre horor dan cenderung menghindarinya, tadinya kupikir akan banyak yang membuatku terkaget-kaget atau bahkan menghindar. Hanya di awal saja, sempat terbawa merinding. Tapi setelahnya, tak terlalu melibatkan emosi. Malah jadi terasa datar.

Bukan berarti tidak menarik. Kisah yang konon berangkat dari pengalaman pribadi penulis ini tetap menarik sebagai bacaan. Kisah dibuat dalam sudut pandang Jaka sebagai pencerita. Btw, nama ini di awal membuatku mengerenyitkan jidat: orang Klaten kok namanya Jaka, bukan Joko? Entah, kelaziman nama Jawa adalah Joko. Biasanya nama Jaka dipakai oleh orang Sunda. Mungkin penulis mencoba menawarkan hal yang tak biasa. Cerita percintaan juga menjadi warna yang menarik. Ada detail yang kurasa tak terlalu diperlukan, misalnya soal sosok perempuan yang satu perjalanan dengan Jaka ke Jakarta. Awalnya kupikir akan jadi bagian dari cerita berikutnya, ternyata tak muncul lagi. 

Pemaparannya mudah diikuti karena menggunakan alur maju. Mundur-mundur sebentar hanya kilatan atas peristiwa lalu saja. Bahasa yang digunakan pun tak rumit, tak membuat orang berkerung mikir. Dari sisi desain sampul aku suka. Elegan. 

Ingin tahu lebih lengkap petualangan Jaka melawan entitas-entitas jahat? Baca sendiri, yaaa..


Baca juga: Book Sleeve, Pembaca Wajib Punya


Judul: Wuni

Penulis: Ersta Andantino

Penerbit: Javanica

Tebal buku: 330 halaman


No comments