Pulihkan Trauma dan Ciptakan Hidup Sehat Selaras dengan Terapi BCR

Trauma healing merupakan topik yang sering kuangkat di blog. Mengapa? Karena aku tahu persis. Aku menghadapi orang-orang yang mengalaminya. Aku sendiri mengalaminya. Aku merasakan dampaknya, baik bagi pertumbuhan mental dan batin diri sendiri maupun dalam interaksi dengan orang lain. Bukan cuma sekali-dua kali aku mencari solusi. Mulai dari pengobatan psikiatri hingga pengobatan alternatif lainnya. Terakhir, aku dipertemukan dengan Body Communication Resonance (BCR), sebuah metode energi terkait kesadaran dan kesehatan yang dikembangkan oleh dr. Dhavid Avandijaya Wartono.


Baca juga: Trauma Bonding, Luka yang Sering Disangka Cinta


Aku menuliskan ini sebagai bagian dari perjalanan panjang trauma healing. Titik mulanya adalah saat aku sudah di Bandung, masih berstatus mahasiswa sekaligus bekerja di sebuah radio siaran di Bandung. Saat itu menemukan kawan senior yang kurasa pas sebagai tempat bercerita. Trauma terkait pelecehan seksual yang dilakukan oleh orang-orang dekat dan kekerasan verbal yang dilakukan orang tua. Usai bercerita, aku seperti mengalami korslet. Barangkali karena terlalu lama menyimpan cerita itu sendirian, mencoba mengelola emosi sendirian. Ini awal perkenalanku dengan obat-obatan dari psikiater. Namun, ini sekaligus menjadi pengantar aku melakukan upaya untuk hidup lebih baik.


Pengalaman Traumatis dan Perkenalan dengan Terapi BCR


Pada banyak catatanku tentang trauma, aku selalu mengingatkan tentang pentingnya kesadaran bahwa diri kita memiliki trauma. Karena hal itu merupakan solusi pertama sebelum menemukan solusi berikutnya. Banyak terjadi orang menafikan trauma yang digendongnya bertahun-tahun. Selalu berusaha menutupi rasa sakit, takut, dan emosi lain yang menyertai dengan mengatakan "aku baik-baik saja" atau "aku oke, kok". Kalimat-kalimat yang memanipulasi kondisi diri sendiri tersebut pada akhirnya tanpa disadari telah memengaruhi pikiran bawah sadar, tentang bagaimana kita memandang dunia, pola interaksi sosial, hingga pertimbangan-pertimbangan dalam mengambil keputusan. 

Trauma bisa dialami oleh siapa pun. Skalanya saja yang berbeda. Selain itu juga bergantung pada cara menyikapinya. Tapi, aku yakin, setiap orang memiliki trauma. Sayangnya tak semua mau mengakui apalagi berusaha untuk memulihkannya.

Aku sendiri memilih untuk pulih, untuk hidup lebih sehat, dan jika memungkinkan bisa memberikan andil bagi sekitar. Prosesku terbilang lama, mengalami pasang surut, bolak-balik ke kondisi awal. Kini, dengan sekian pengalaman terbaru, kusadari dalam prosesku selama ini ada masalah dalam receiving. Selain itu, karena berulang kali salah dalam mengambil keputusan akhirnya terus terjebak dalam masalah yang sama. 

Seperti yang kutulis di pengantar, aku mengawali upaya pemulihan dengan berkonsultasi ke psikolog, yang lalu disarankan menemui psikiter. Kebetulan psikolog dan psikiater ada di lingkaran aku kerja. Cukup dimudahkan. Pada tahun-tahun berikutnya sempat menghilang, tak peduli dengan aneka trauma yang membuatku makin tenggelam dalam keputusan-keputusan yang semakin menjauhkanku dari "sehat secara mental". 

Baca juga: Kamu Punya Perilaku Manipulatif? Kamu Butuh Trauma Healing


Singkat cerita, aku kembali menemukan "cahaya" yang hilang, mencoba menelusurinya kembali dan berusaha meraih kesadaran diri yang bertahun raib. Hingga ada di titik pertemuan dengan komunitas Hidup Ceria di acara Sunday Ceria yang dibawakan oleh dr. Dhavid Avandijaya Wartono.

Seorang kawan mengabariku agenda zoom meeting, salah satu tema di Halloween Series. Cek website, hubungi admin untuk tanya beberapa hal, lalu begitu saja nyemplung ke kegiatan mereka. 

Beruntung, tak lama dari perkenalan itu, ada sesi gift yang ditawarkan oleh dokter yang akrab disapa dok Dhave ini. Terapi BCR jarak jauh. Tentu saja aku langsung tertarik. 

Terapi jarak jauh ini menggunakan media whatsapp. Belakangan kuketahui bahwa terapi ini merupakan upaya dr. Dhave mematangkan modalitas barunya. Sepanjang bulan Desember 2024 berlangsung sesi jarak jauh sebanyak 4 batch, masing-masing butuh waktu 4 hari; dengan rincian per harinya untuk: 

  1. Trauma dan luka batin (phobia traumatic event, nontraumatic event, depresi, anxiety)
  2. Healing pain
  3. Chakra, meridien, elemental clearing
  4. Energy and entities experience 


Aku mengikuti 3 kali sesi jarak jauh. Tidak di semua hari dan pengalaman sensasinya berbeda-beda. 

Misalnya pada sesi jarak jauh pada 9 Desember, kusampaikan pengalamanku: 

"Saya merasakan hangat, lebih lapang, lebih gembira. Apa artinya saya sudah baik-baik saja, dok? Karena saya berjibaku dengan poin satu ini udah lama banget. Mulai dari psikiater dan aneka terapi. Terakhir hypnotherapy yang sampai muntah-muntah terus sepanjang sesi. Belakangan sudah lebih baik, tapi masih gampang ketrigger."

Dr. Dhave memberikan responsnya: 

"Keren, dong. Jangan dikenang. Seperti BAB di WC, flush and goodbye for good. Jangan dicari, jangan dikorek, jangan diungkit lagi."

Baca juga: Berdamai dengan Inner Child


Selain sesi jarak jauh, ada tawaran untuk mencoba sesi "touch". Senang sekali. Kurasa ini bakal lebih seru dibandingkan sesi berjarak. Dan memang demikian adanya. 

Pada sesi touch pertama, kucatat: 

"Diawali rasa hangat yang menjalar ke seluruh badan. Lalu terasa ada yang dicabut dari dada. Beberapa kali. Tidak terlalu sakit, tapi terasa saja. Lalu dada rasanya seperti sesak, pengin keluar. Jadilah batuk terus. Lucunya, berasa seperti lihat prosesnya. Melihat dan seolah tidak terlibat. Misalnya, tiba-tiba menangis. Saya sadar kalau menangis, tapi sekaligus juga bertanya: kenapa saya menangis? Seperti melihat orang lain. Begitu pula saat anggota badan bergerak sendiri. Saya tidak menyuruh, tidak pula menahan. Hanya bilang dalam hati: ih, kok badanku gerak sendiri?" 

Pada sesi touch 23 Desember: 

"Sensasinya beda sekali dengan yang pertama. Tidak mengalami sakit sama sekali. Yang pertama terasa pendaran di jidat. Datang berulang. Lalu ada beberapa titik yang saya merasa dilempar ke tempat luas yang serba putih, lalu ngantuk sangat. Terjaga, muncul sensasi yang lain. Lalu dikembalikan ke area putih.

Yang menakjubkan terjadi di 2/3 waktu. Seperti dibangunkan oleh tamparan cahaya. Awalnya putih, lalu berganti emas. Warna emasnya lama sekali. Setelahnya baru berubah-ubah. Pelangi. Saya merasa sedang tersenyum dan menitikkan sedikit air mata. Tapi tidak menangis. Setelahnya berjalan lebih tenang, sampai selesainya."


Pada awal Januari 2025 aku mengalami peristiwa yang bikin jebol pertahananku. Bahkan aku melakukan hal yang sebelumnya tak pernah terpikir bisa kulakukan. Hal yang menyakiti diri sendiri. Kok bisa? Aku pun kini mempertanyakannya ke diriku. Kondisi mentalku jeblok lagi. Rasanya harus merangkak lagi dari bawah. 

Setelah peristiwa itu, ada dua sesi touch lagi yang kuikuti. Pelan tapi pasti, aku menemukan diriku. Aku menemukan kembali tujuanku. Aku bisa memilih dengan sepenuh kesadaranku.   


"Segala sesuatu terjadi pasti ada alasannya." Ini hal yang sering kita dengar. Betul adanya. Tapi dr. Dhave memberiku kalimat yang lebih spesifik yang buatku itulah hal penting yang harus kujadikan alasan.

"Kamu diberikan pengalaman itu karena kamu mampu. Kamu bisa menjadikan pengalaman itu sebagai kontribusi dalam tugas di hidupmu. Dengan kontribusi itu kamu bisa membantu mereka yang punya pengalaman sama denganmu. Karena itu, kalau ada apa-apa, don't take it personal, don't make it significant. Terima saja." Begitu kata dr. Dhave dalam suatu sesi.


Hal penting lainnya yang diingatkan oleh dr. Dhave adalah penggunaan "bahasa korban". Ciri dari bahasa korban adalah menganggap diri lemah, inferior, dan orang lain sebagai penyebab.

Bahasa korban: aku nggak mampu, aku nggak bisa, gara-gara dia aku begini, aku disakiti orang, aku dihina orang, aku sedih gara-gara dia, aku sakit, aku menderita, dll. 

Bahasa itu energi. Bahasa memiliki kuasa. Biasakan untuk memilih kalimat sehari-hari tanpa kata yang melimitasi.

Biasakan: aku tahu, aku mampu, aku bisa, aku mahir, aku menyadari, aku baik, aku berdaya, dll.


Perkenalanku dengan BCR lewat sesi-sesi gift yang diberikan dr. Dhave mendorongku untuk bisa mempelajarinya lebih jauh. 

Baca juga: Mengenal Sabotase Diri dan Mekanisme Koping


Berkenalan dengan BCR


Apa itu BCR? Dr. Dhavid Avandijaya Wartono:

Terus terang belum ada kata yang tepat untuk menggambarkan apa itu BCR. Bisa dikatakan BCR adalah modalitas yang memenuhi seluruh energy works seperti cakra, meridien, limfatik, elemental, energi, dll yang digunakan untuk men-delete limitasi kita, mengubah sesuatu dan memberdayakan hidup. Melahirkan perubahan yang signifikan.


Dokter Dhave ini telah bertahun-tahun lamanya  mendalami dunia energi. Ia merupakan salah satu Certified Access Facilitators Indonesia, Talk to the Entities Certified Facilitator, sekaligus praktisi Access Bars, Facelift, Talk to Entities, Talk to Animal, X-Men, ESSE, Abuse Hold, dan praktisi dari berbagai Access Body Process.

Dari pengalamannya memfasilitasi berbagai kelas, dr. Dhave menemukan banyak partisipan atau peserta kelas yang akhirnya bisa menjalankan kesehariannya dengan lebih baik. Di antaranya karena mereka berhasil sembuh dari psikosomatisnya, terbebas dari depresi dan gangguan kecemasan, dan rasa percaya diri yang meningkat. Selain perasaan nyaman arena berbagai perubahan tersebut, hal terpenting adalah bahwa mereka memiliki keberanian untuk menentukan jalan terbaik bagi kehidupannya.

Pada 2024 lalu, dr. Dhave menciptakan Body Communication Resonance (BCR), yang merupakan gabungan dari berbagai ilmu dan pengetahuan di bidang energi, mental, dan spiritual. BCR merupakan modalitas energi untuk mengenal jati diri, memberdayakan kesadaran, hingga melatih peningkatan frequensi, serta melepaskan trauma dan luka batin. Dengan memahami sinyal di tubuh sendiri, kita dapat belajar mengelola, menyalurkan, dan mengarahkan energi secara sadar untuk menciptakan harmoni dan transformasi dalam kehidupan kita.

Baca juga: Menemukan Makna Hidup dari Viktor E Frankl


Proses dalam mengolah modalitas baru ini, menurut dr. Dhave sudah dimulai dari tiga tahun sebelumnya. Dari awal mendapatkan insight untuk mengembangkan modalitas ini, menyiapkan materi, dan mempraktikkannya secara langsung. Untuk mematangkan modalitas baru ini, dr. Dhavid memberikan sesi terapi jarak jauh, yang selama bulan Desember kemarin pesertanya mencapai 200 orang. Sedangkan terapi sentuh (touch) hingga minggu lalu sudah terwakili oleh 60 orang, tersisa 40 orang dari jumlah peserta yang ditargetkan.

Pendekatan terapi BCR adalah dengan melihat tubuh sebagai energetic being, dengan 144 chakra dan 20 meridien yang memengaruhi keseimbangan serta kesehatan. Ada banyak manfaat yang bisa diperoleh melalui terapi BCR ini, baik bagi kesehatan fisik maupun psikis. 

Dr. Dhave mencontohkan dalam menangani cakra ajna. Selama ini kita hanya tahu cakra ini hanya ada satu yang letaknya di dahi, sedikit di atas garis antara mata kiri dan kanan. Padahal cakra ajna memiliki 4 titik, dua di antaranya terkait posibility dan prosperity. Nah, terapi BCR dapat membantu yang cakra ajna yang overactive atau sebaliknya, underactive.


Cakra mata ketiga yang terlalu aktif dapat menyebabkan aktivitas mental terasa membebani, dan dapat menyebabkan distorsi persepsi. 

Distorsi persepsi ditunjukkan melalui gejala: 

  • Halusinasi 
  • Delusi 
  • Mimpi buruk 
  • Paranoia
  • Kesulitan berkonsentrasi
  • Obsesi terhadap kemampuan psikis
  • Disosiasi (dari dunia fisik)


Sebaliknya, cakra mata ketiga yang kurang aktif yang juga dikenal sebagai ketidakseimbangan cakra ajna, dapat menyebabkan sejumlah gejala, antara lain:

  • Sakit kepala
  • Masalah penglihatan
  • Gangguan suasana hati
  • Kurangnya fokus
  • Kebingungan
  • Keyakinan yang membatasi diri
  • Merasa terputus dari diri sendiri atau memiliki pikiran negatif 
  • Insomnia

Baca juga: Kesehatan Mental dan Skala Hawkins


Pada 14-16 Februari 2025 mendatang dr. Dhave mengadakan kelas pelatihan BCR. Ini merupakan kelas pertama. 

Siapa saja yang bisa ikut pelatihan? Siapa pun yang tertarik. Termasuk yang tak pernah belajar dan bersentuhan dengan modalitas berbasis energi. Pembelajarannya akan dilakukan dari dasar. 

Aku sendiri sebetulnya cukup banyak mempelajari soal healing berbasis energi. Namun, terasa masih mengawang-ngawang, merasa belum mendapatkan manfaat optimal. Selain soal perceiving, menurut dr. Dhave ada kemungkinan selama ini tak cukup diarahkan untuk memahami betul modalitas yang dipelajari.

"Kenapa belum bisa bekerja? Ya, gimana, subtle bodies nggak ngerti, healing hands belum jalan, generator cakra utama masih kecil. Menjangkau semestamu sendiri saja belum selesai. Kamu masih belum paham skill-nya." 


Dr. Dhave memastikan untuk pelatihan BCR pada 14-16 Februari nanti peserta akan dilatih mulai dari hal paling mendasar yakni mengalami sensasi di telapak tangan. Berikutnya berlanjut ke hal-hal yang lebih dalam. BCR bisa menjadi dasar penting bagi pengembangan modalitas lain untuk pemulihan kesehatan baik fisik maupun psikis. 

Aku sudah mendaftar untuk bergabung. Kamu tertarik? Boleh hubungi aku via nomer WA-ku seperti tercantum di flyer




Baca juga: Stoikisme dan Upaya Melakoni Hidup Lebih Baik

9 comments

  1. Menarik ya, mbak...
    Apakah metode ini posisinya ada di atas dari cara2 yang biasa dilakukan psikolog atau psikiater.
    Karna klo dibaca2 lagi metodenya hampir2 mirip tap BCR ini sepertinya leih detail yaa

    ReplyDelete
    Replies
    1. maksudnya gimana, ya? bingung dengan pertanyaannya.

      Delete
  2. Iyaya kalo pengen sembuh dari trauma, ya udah lepasin. Buang jauh², jangan diungkit atau dikorek lagi. Keren juga itu pengibaratannya pake ketika BAB di toilet. Nice.

    ReplyDelete
  3. Pernah ngobrol sama dr. Dave ini. Terapinya memang menarik tapiiiii sayangnya aku nggak bisa ikut karena semesta saldoku menangis melihat biayanya.

    Btw, paragraf 2 tentang masa awal kuliah sungguh tak kusangka. Yang kulihat dulu cuma Dhenok yang manis (hueweeee), kalem, dan njawani sekali. Tapi yaaa, emang sih. Setiap kita punya masalah dan trauma tersendiri yang sering kita pendam dalam-dalam.

    ReplyDelete
  4. Berasa beruntung ya bisa berkenalan dengn BCR. Meskipun awalnya melalui sesi-sesi gift gitu...
    Alhamdulillah berkat dr. Dhave yang terus mendorong untuk bisa mempelajarinya lebih jauh mbak sekarang merasa lebih baik lagi

    ReplyDelete
  5. Mengakui memiliki trauma yang datang dari diri sendiri, itu perlu usaha lebih memang, apalagi jika trauma disebabkan orang terdekat yang masih harus berinteraksi rutin. Seringnya trauma diabaikan dan berusaha keras meyakinkan diri baik-baik saja tapi setelahnya kehabisan energi dan fisik makin ringkih.
    Semoga dengan adanya BCR semakin banyak yang terbantu mengatasi trauma masa lalu dan kembali semangat melanjutkan hidup yg lebih berarti.

    ReplyDelete
  6. bagus banget ya dr. Dhave ini
    Pernah diterapi oleh beliau, pulangnya muntah-muntah, tidur sesudah itu terasa plong, fresh fisik maupun mental
    Mungkin karena selama ini kesehatan mental sering disepelekan, sehingga saya cuma fokus ke kesehatan fisik, akhirnya menumpuk dan berkerak ^^

    ReplyDelete
  7. Iya sih. Awal ingin pulih dari trauma apapun adalah mengakui bahwa kita trauma. Dengan begitu, kita tahu ada yang perlu disembuhin. Kalau nggak diaku, ya mau sembuhin apa

    Aku jadi ingin ikut sesi touch nya.

    ReplyDelete
  8. Mbak kalau dari ceritamu ada kalanya cerita tentang trauma yang udah ditutup rapat lalu diceritain, eh gak bikin lega, malah jadi kek membuka luka lama gitu apa ya? Aku pun ada gitu yang aku keep dan selalu bilang I'm oke, apa bisa meledak juga ya kalau ketrigger? Kalau sekarang sih merasa aman huhu. Jadi baiknya cerita atau keep nih? :D
    Mungkin memang sebaiknya ketemu psikolog ya dengan catatan psikolog yang tepat yang bisa kasi solusi sesuai porsinya kyk yang mbak udah lakuin.
    Tapi bener kita kudu percaya, udah berhasil hidup sejauh ini artinya kita kuat yaa.

    ReplyDelete