Portrait of a Lady on Fire, Kisah Cinta Terlarang Abad 18

Saat berselancar di dunia maya, tak sengaja kutemukan film ini: Portrait of a Lady on Fire. Dalam asal Prancis yang judul aslinya Portrait de La Jeune Fille en Feu, dengan mengambil latar Perancis pada abad ke-18. Film yang disutradarai oleh Celine Sciamma ini rilis pada 2024 lalu. 



Baca juga: Discovery of Witches, Ketika Penyihir Perjuangkan Hidup yang Harmoni

Film ini berkisah tentang dua perempuan yang terlibat dalam hubungan asmara. Hubungan “terlarang” pada masanya, ketika gagasan tentang keragaman identitas seksual belum diterima doleh masyarakat Eropa. Buat kamu alergi terhadap kisah romansa sesama jenis, baiknya tak usah menonton. Tapi, kalau tertarik dengan kisah manusia dengan segala persoalannya, ini film yang menurutku layak tonton. Apalagi kalau working life-nya terkait dunia seni rupa.


Sinopsis

Film diawali dengan adegan kelas melukis. Guru lukis, Marianne (Noemie Merlant) memajang lukisan perempuan di bibir pantai di depan kelas. Lukisan yang menggugah peserta kelas dan memunculkan pertanyaan. Di sinilah muasal kisahnya. Marianne kembali ke masa lalu, sebuah kisah yang pernah dijalaninya. 

Sebagai pelukis muda berbakat, Marianne mendapat tugas untuk melukis sosok perempuan yang akan segera menikah. Untuk sampai di rumah sang calon pengantin, ia mesti melakukan perjalanan menggunakan kapal. Perjalanan yang cukup dramatis.

Sampai di lokasi yang dituju, ternyata masalahnya lebih rumit dari yang dibayangkan Marianne. Sang calon pengantin, Heloise (Adele Haenel) tak menginginkan pernikahan tersebut. Ia hanya jadi pemeran pengganti. Kakak yang mestinya menjadi pengantin--yang sepertinya juga tak menginginkan pernikahan itu--memilih bunuh diri. Dengan kenyataan tersebut, Marianne tak leluasa untuk melukis sosok perempuan muda itu. 

Ibu Heloise memberikan saran--persisnya siasat--agar Marianne menjadi kawan anaknya. Dengan kedekatan pertemanan, pelukis itu bisa melakukan tugasnya. Perempuan itu juga mengingatkan lamanya waktu yang diberikannya untuk menyelesaikan lukisan tersebut.

Marianne menunjukkan bakatnya secara nyata. Ingatan akan gerak-gerik Heloise saat mereka bersama segera dituangkannya ke dalam kanvas begitu ia tiba di kamarnya. Ia yang tak cepat puas berulang kali mengoreksi lukisannya begitu ia mendapati temuan ekspresi baru. Proses pertemanan mereka semakin dalam. Marianne makin banyak menemukan hal-hal baru dalam relasi mereka, terutama terkait proses lukisan. Hingga suatu kali ia merasa harus jujur menjelaskan keberadaannya di rumah tersebut. Meski awalnya muncul konflik di antara mereka, tak dinyana, Heloise akhirnya malah rela untuk menjadi subjek lukisan. 

Ada banyak drama dalam kurun waktu itu. Drama percintaan terlarang, termasuk kisah yang dialami asisten rumah tangga. 

Akhirnya waktu yang ditentukan tiba. Lukisan tuntas, saat perpisahan pun tak terelakkan. Begitu saja, kisah itu usai menyisakan luka dan kenangan pada masing-masing perempuan tersebut. 

Baca juga: Perempuan-Perempuan dalam Karya Pramudya Ananta Toer


Bukan Semata Romansa Sesama Jenis, Ini Kisah tentang Pembebasan

Aku tak membaca lebih dulu bahasan tentang film ini. Seperti biasa. Aku lebih suka kejutan. Awalnya tak berpikir jika film ini membeberkan kisah hubungan sesama jenis. Sejak awal ditunjukkan perbedaan mencolok antara Marianne dan Heloise. Marianne yang bukan hanya memiliki pemikiran yang lebih terbuka, tapi sekaligus juga menjalani hidup yang memang menjadi pilihannya. Berbeda dengan Heloise yang harus menuruti kata ibunya. Menjaga nama baik keluarga adalah tugas yang harus diembannya. 

Lewat relasi yang sederhana, pelan-pelan Heloise bisa menikmati dirinya sebagai sebuah pribadi. Menikmati kebebasannya sebelum masuk dunia pernikahan. Hal yang barangkali cukup mahal bagi perempuan pada abad ke-18. Dan hal-hal baru Heloise dapatkan dan pelajari dalam relasi singkatnya dengan Marianne. 

Film ini berhasil menjadi jawara untuk kategori Screenplay dan Queer Palm pada Cannes Film Festival 2019. Penghargaan ini diberikan sebagai apresiasi diangkatnya tema LGBT dalam film tersebut. 

Mengutip berbagai sumber, sutradara Celine Sciamma memang seorang feminis dan lesbian. Karya-karyanya banyak mengusung ironi hubungan perempuan dan wanita. Penghargaan Queer Palm ini menjadikan Sciamma sutradara perempuan pertama mendapatkan penghargaan tersebut.

Film ini merupakan film pertama tema ini yang kutonton. Ada sejumlah film yang melihatkan kisah cinta sejenis, seperi dalam Brokeback Mountain, atau Harvey's Milk, atau The Girl with Dragon Tatoos--terutama yang versi Swedia, hmmm ...  apa lagi, ya. Namun, dalam film-film tersebut hanya semacam gambaran personal tokoh. Berbeda dengan film ini yang secara jelas memang mengangkat same sex love, dengan penyajian yang indah. 

Tentu saja bukan sekadar kisah percintaan. Isu sosial di masa itu juga menjadi bagian menarik dari cerita. Tentang bagaimana kaum perempuan dipaksa untuk menikah dengan pasangan yang disediakan semata demi kuasa dan kekayaan. Begitu pula tentang kondisi perempuan yang mengalami kehamilan sebelum menikah, dihadapkan pada konsekuensi yang berat. 

Hal menarik lainnya, buatku adalah penggambaran suasana desa di Perancis pada masa lalu. Mengajak berimajinasi mengelanai masa lalu. 

Menurutku, Portrait of a Lady on Fire ini asyik sebagai sebuah tontonan, selagi bisa membebaskan diri dari stigma, penghakiman dengan mengaitkan same sex love sebagai masalah mental health

Baca juga: Berkaca dari Kasus Tiara, Femisida dan Pencegahannya


No comments