Awal September lalu sebuah kabar menggemparkan datang dari Surabaya, Jawa Timur. Peristiwa pembunuhan yang sadis, dengan korban seorang perempuan. Publik menyangkutkan peristiwa ini sebagai femisida. Dan ini bukan kali pertama. Dalam setahun terakhir saja kita bisa mengeja femisida yang terjadi di beberapa kawasan di tanah air. Apa yang bisa kita lakukan untuk mencegah peristiwa seperti ini kembali terjadi? Apakah kita bisa ambil peran untuk kondisi kesetaraan, kondisi egaliter dalam masyarakat kita?
Baca juga: Laki-Laki dan Peran Pentingnya dalam Kekerasan Berbasis Gender
Kita masih belum lupa peristiwa naas yang menimpa gadis penjual gorengan di Pariaman. Gadis muda yang menjadi tumpuan keluarga itu menghilang dan ditemukan sudah dalam kondisi mengenaskan. Bakal panjang daftarnya jika kita eja satu per satu. Menunjukkan bahwa ini salah satu PR besar kita. Coba cek di mesin pencari "mayat bayi perempuan", sepanjang tahun ada saja beritanya.
Apa Itu Femisida
Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI), femisida artinya pembunuhan seorang perempuan oleh laki-laki atas dasar kebencian gender. Pembunuhan terhadap perempuan atau anak perempuan yang didasarkan pada jenis kelaminnya. Sedangkan pengertian femisida menurut Sidang Umum Dewan Hak Asasi Manusia (HAM) Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB), femisida adalah pembunuhan terhadap perempuan yang didorong oleh kebencian, dendam, penaklukan, penguasaan, penikmatan, dan pandangan terhadap perempuan sebagai kepemilikan sehingga boleh berbuat sesuka hatinya.
Istilah femisida digunakan permata kalinya oleh Diana Russel dalam acara International Tribunal on Crimes Against Women (1976) dengan materi tentang "pembunuhan misoginis terhadap perempuan oleh laki-laki".
Data UN Women menunjukkan bahwa pada 2022 tercatat sekitar 48.800 perempuan dan anak perempuan di seluruh dunia dibunuh oleh pasangan mereka atau anggota keluarga lainnya. Jika dirata-rata, lebih dari 133 perempuan atau anak perempuan di dunia dibunuh setiap hari oleh orang dekat mereka.
Bagaimana dengan di Indonesia?
Komnas Perempuan dalam rilis mereka pada 2024 lalu menyebutkan bahwa mereka telah melakukan pemantauan kasus femisida melalui pemberitaan media. Masih banyak ketimpangan informasi terkait kasus ini. Namun beberapa informasi yang mereka bagikan dalam rilis tersebut di antaranya adalah catatan kasus indikasi femisida pada 2020, 2021, 2022, dan 2023. Pada 2020 terpantau ada 95 kasus femisida, pada 2021 terpantau 237 kasus, pada 2022 terpantau 307 kasus, dan pada 2023 terpantau 159 kasus. Dalam setiap tahun tersebut menempatkan femisida intim sebagai jenis femisida tertinggi. Femisida intim itu meliputi suami, mantan suami, pacar, mantan pacar atau pasangan kohabitasi.
Menurut Komisioner Komnas Perempuan Rainy M Hutabarat, selain femisida intim, korban perempuan dalam kasus femisida adalah perempuan disabilitas, perempuan pekerja seks (baik dari dari pengguna jasa maupun mucikarinya), transpuan, dan perempuan dengan orientasi seksual minoritas.
Jadi, menggarisbawahi yang disampaikan Rainy dalam rilis tersebut, yang membedakan femisida dengan pembunuhan biasa adalah adanya motivasi gender. Femisida, pada umumnya berlatar belakang rasa cemburu, ketersinggungan maskulinitas, menolak bertanggungjawab, kekerasan seksual, menolak perceraian atau pemutusan hubungan. Hal itu menunjukkan adanya ketimpangan relasi kuasa laki-laki atas diri perempuan. Adanya superioritas, hegemoni, dominasi, misogini, stereotip gender, dan rasa memiliki yang tak terbantahkan.
Baca juga: Mengapa Perempuan Perlu Bekerja
Kasus Tiara dan Sikap Perempuan yang Merendahkan
Tiara Angelina Saraswati dibunuh oleh pacarnya sendiri, Alvi Maulana. Ada yang mengatakan mereka sudah nikah siri. Apa pun statusnya, mereka memiliki ikatan kuat yang memungkinkan mereka membuat keputusan untuk menjalani hidup bersama. Bayangkan, bagaimana seseorang yang hubungannya telah begitu dekat bisa melakukan kekejaman serupa itu? Bukan hanya membunuh, Alvin juga mempreteli tubuh kekasihnya dan membuangnya ke lokasi yang berbeda-beda. Sungguh gila!
Tapi itulah yang terjadi. Bisa jadi yang mereka alami sebelumnya adalah tumpukan kekecewaan, kemarahan, rasa tidak puas yang akhirnya ketemu titik puncak. Bisa jadi. Tapi bukan wewenang kita untuk menduga-duga. Di media malah sempat ditampilkan pos-pos lama Tiara di media sosial. Banyak orang yang berasumsi Tiara memiliki gaya hidup yang tak sesuai dengan kemampuan. Dan lain-lain, dan sebagainya. Kita sebagai pembaca sama sekali tak tahu apa terjadi sesungguhnya. Faktanya adalah Tiara dibunuh dengan sadis. Tak ada alasan apa pun untuk menyalahkan Tiara sebagai korban. Ajaib sungguh kalau orang menyalahkan Tiara, bahkan komentar negatif datang dari kaum perempuan.
"Makanya jadi perempuan jangan mengekang."
"Kasih kebebasan ke laki-laki, yang penting uangnya lancar."
"Suami pulang kerja mestinya disambut ..."
Mengapa perempuan sering kali menyalahkan perempuan lain?
Menurutku hal utamanya adalah karena banyak perempuan yang sesungguhnya tidak bahagia. Meski segala komentarnya berbalut moralitas, petuah relijius, merasa sebagai yang paling punya pengalaman, hal mendasarnya adalah mereka tidak bahagia. Dan menjadi kegembiraan tersendiri ketika mereka berhasil menjatuhkan perempuan lain, menempatkan sama dengan kondisi dirinya sendiri.
Lha, bagaimana ceritanya, korban pembunuhan brutal masih disalahkan?! Apakah mereka sadar narasi mereka itu dapat memupuk potensi kekerasan terhadap perempuan lainnya?
Bangun, wahai perempuan! Kalian perlu saling mendukung dan menguatkan. Banyak kejahatan di luar sana, yang kamu bisa memberikan andil dengan tidak mengumbar ketidakpuasanmu akan hidupmu dengan menjatuhkan perempuan lain.
Baca juga: Menjadi Perempuan Mandiri dan Merdeka
Apa yang Bisa Kita Lakukan untuk Mencegah Kasus Femisida
Kasus femisida terjadi di lingkungan dekat, melibatkan orang-orang yang dikenal dan memiliki hubungan personal. Pacaran dan pernikahan sangat mungkin menjadi bentuk relasi yang tidak aman bagi perempuan.
Apa yang bisa kita lakukan sebagai bagian dari masyarakat?
Tentu saja kita perlu berharap ada aturan yang dapat mencegah terjadinya tindak kekerasan dalam lingkup personal ini. Aparat penegak hukum sigap dalam menghadapi kasus-kasus terkait kekerasan dalam rumah tangga, ancaman, manipulasi yang terus berulang, kekerasan seksual. Pernah tahu, kan, berita kematian perempuan yang sebelumnya telah melaporkan peristiwa KDRT yang dialaminya, tapi tidak ditindaklanjuti oleh aparat? Itu benar-benar terjadi. Fakta bahwa aparat kita kurang sigap memberikan pelayanan dalam kasus kekerasan dalam rumah tangga, khususnya kekerasan yang menimpa perempuan.
Dalam rilis Jakarta Feminist yang dipublikasikan pada 2024 lalu disebutkan bahwa hukum nasional Indonesia belum mengakui femisida sebagai sesuatu yang berbeda dari homicide. Rilis ini juga memuat pernyataan Deputi V Kemenko Polkam, Dr. Erni Mustikasari yang menyebutkan bahwa femisida tidak diatur dalam hukum pidana nasional. Yang diatur hanya delik pembunuhan pada KUHP namun tidak mengatur delik pembunuhan khusus terhadap perempuan. Memang, ada pemberatan ancaman pidana 1/3 pada delik pembunuhan terhadap istri atau anak dalam KUHP Nasional. Sementara UU Specialis seperti UU PKDRT, UU Perlindungan Anak, UU PTPPO atau UU TPKS tidak mengatur delik pembunuhan, melainkan kekerasan yang mengakibatkan kematian, yang berbeda dengan delik pembunuhan karena ditujukan terhadap tubuh bukan merampas nyawa.
Dari sisi regulasi, masih jadi PR besar. Sambil terus menunggu kebijakan pemerintah yang lebih peka terhadap permasalahan ini, ada baiknya kita mulai aksi dari diri sendiri. Apa yang kita bisa lakukan sebagai andil untuk menghentikan femisida?
Pertama dan utama: keluarga. Membesarkan anak dalam budaya yang egaliter, membebaskan keluarga dari penjara budaya patriarki. Menciptakan budaya adil dan setara serta sadar gender. Kalau belum berkeluarga, bisa memulainya dari lingkungan terdekat.
Kedua, memanfaatkan media massa dan media sosial untuk mensosialisasikan kepedulian terhadap isu femisida. Siapa pun yang memiliki akun media sosial, bisa menyebarkan informasi perihal femisida dalam berbagai cara penyampaian.
Ketiga, aktif dalam komunitas atau organisasi yang mengusung tema keadilan berbasis gender. Atau bergabung dalam kelompok perlindungan korban. Komunitas atau kelompok-kelompok ini biasanya aktif melakukan edukasi terkait isu-isu gender. Termasuk di antaranya kepekaan terhadap kasus-kasus kekerasan terhadap perempuan yang terjadi di sekitar. Komunitas yang solid dengan jaringan luas juga mampu memberikan dorongan kepada pemerintah untuk menelurkan kebijakan yang peduli gender.
Pendek kata, banyak yang bisa kita lakukan untuk terlibat dalam upaya mencegah terjadinya kekerasan terhadap perempuan, utamanya femisida. Kita di sini bisa siapa saja, aku dan kamu, laki-laki, perempuan, maupun multi gender. Bisa dijadikan bagian dari lifestyle ibu millennial.
Satu hal penting lainnya, melatih kesadaran untuk menyadari potensi kekerasan yang mungkin dilakukan oleh keluarga, pasangan, atau orang dekat lainnya. Jika dibutuhkan penanganan secara profesioanal, lebih cepat lebih baik. Untuk yang belum menjadi pasangan resmi, barangkali perlu dipikirkan ulang jika pasangannya punya persoalan dengan mental health atau kesehatan mental. Sebelum "terjebak" dalam pernikahan, apalagi sampai punya keturunan, karena mental health mom itu penting banget bagi tumbuh kembang anak dan masa depan mereka.
Baca juga: Tetap Bahagia dan Giat Berkarya saat Menjalani Hidup Sendiri
No comments