Belakangan hari pilihan gaya hidup slow living banyak dijadikan bahasan. Tak kurang juga banyaknya komunitas yang mengambil tema ini. Sebagian orang mungkin memang secara alamiah telah menjalani hidup dalam irama yang lambat; sebagian yang lain bisa jadi menemukan bahasan soal slow living ketika sedang lelah-lelahnya menjalani hidup yang berkejaran; sebagian yang lain lagi kemungkinan sekadar FOMO saja. Mungkin loh, yaaa. Kamu, yang barangkali sejauh ini belum terpikir, bisa menimbang alternatif ini.
Baca juga: Permakultur dan Kunjungan ke Igirmranak
Aku sendiri sejak kecil terlatih menjalani frugal living. Baik secara alami maupun terencana. Secara alami karena kami tumbuh dalam lingkungan yang pas-pasan secara finansial. Secara terencana, setelah belajar lebih banyak hal terkait manajemen keuangan dan kebijaksanaan hidup secukupnya. Meski saat ini belum sepenuhnya bisa menjalani slow living, paling tidak setengah bagian prosesnya sudah terlakoni. Yang menjadikan slow living sebagai impian masa depan, santai saja. Yuk, jalani pelan-pelan.
Apa Itu Slow Living?
Aku lahir dan dibesarkan di desa. Sebagian besar aktivitas warga nyaris seragam. Bagi yang pegawai, pagi-pagi berangkat kerja, sore pulang. Begitu pula para pedagang pasar. Yang agak berbeda pedagang yang memiliki toko, jam bukanya lebih lama. Para petani pun demikian, tak jauh beda. Selebihnya mereka akan menghabiskan waktunya di rumah bersama keluarga. Sekali waktu kumpul dengan tetangga, misalnya bapak-bapak meronda, atau ibu-ibu arisan. Tak banyak pilihan aktivitas lainnya.
Ketika perjalanan membawaku meninggalkan kampung halaman, ke Bandung--yang sebetulnya relatif tidak terlalu kencang ritmenya, setiap kali pulang kampung terasa betul kesenjangannya. Waktu seolah tidak bergerak. Slow motion. Nah, apakah kehidupan model begitu disebut slow living? Salah satu bagiannya mungkin iya, tapi hal mendasarnya mungkin berbeda.
Slow living mengedepankan tentang kesadaran; menjalani hidup dalam ritme tenang, penuh makna, seimbang, sederhana, memilih kualitas daripada kuantitas dan semuanya dijalani dengan sepenuh kesadaran. Bukan hidup yang melambat karena tidak ada pilihan, apalagi malas.
Baca juga: Olah Napas untuk Mental yang Sehat dan Hidup Lebih Berkesadaran
Sebetulnya kalau dilihat dari sejarahnya, konsep slow living ini bukanlah hal baru. Awalnya adalah orang-orang Italia yang bersekutu membuat Gerakan Slow Food di Italia pada dekade 80-an, sebagai bentuk protes dibukanya gerai fast food di Roma. Pelopornya, Carlo Petrini, menggarisbawahi soal pentingnya makanan berkualitas serta upaya bersama mempertahankan tradisi lokal serta mendukung kesejahteraan petani. Gerakan ini lalu berkembang menjadi konsep slow living yang lebih luas dengan menyentuh berbagai aspek dalam kehidupan.
Jumlah pengikut konsep slow living mengalami peningkatan pesat setelah Carl Honoré menerbitkan buku In Praise of Slowness yang intinya mengajak orang untuk melambat; menjalani hidup dengan ritme yang lebih lambat. Tren slow living dianggap menjadi solusi bagi siapa pun yang mengalami stres atau ingin keluar dari rutinitas yang serba tergesa.
Baca juga: Jeda dan Meditasi Bantu Redakan Pikiran yang Riuh
Mengapa Pilih Slow Living dan Bagaimana Memulainya?
Di salah satu grup media sosial bertema slow living yang kuikuti, bertebaran postingan orang yang berkisah tentang memulai slow living di desa, meninggalkan pekerjaan di kota yang sudah penuh sesak. Berikutnya muncul pertanyaan-pertanyaan: Apakah setelah pensiun orang baru bisa slow living? Apakah kalau sudah berhasil punya passive income baru bisa menjalani slow living? Apakah untuk slow living harus tinggal di desa? Apakah untuk menjalani slow living harus berusia 40 tahun ke atas? Apakah slow living artinya harus bertanam dan beternak? Dan aneka rupa pertanyaan lainnya.
Jika mengacu pada penjelasan secara umum apa itu slow living, tentunya sudah langsung terjawab. Jika slow living membutuhkan prasyarat seperti pertanyaan-pertanyaan di atas, sebagian besar orang bisa jadi tak akan pernah punya kesempatan untuk menjalani slow living.
Karena secara hakikat slow living adalah tentang menjalani hidup dalam ritme tenang, penuh makna, seimbang, dan sederhana dengan sepenuh kesadaran, konsep ini bisa dijalankan oleh siapa pun, kapan pun, dan di mana pun.
Baca juga: Sembuhkan Penyakit Metabolik dengan Puasa dan Diet Keto
Berikut ini langkah yang bisa kita lakukan untuk menjalankan slow living. Bisa dimulai dengan langkah kecil berupa kebiasaan dalam keseharian.
1. Mengubah kebiasaan makan. Kalau sebelumnya makan dalam keadaan tergesa, kini lambatkan ritmenya dengan cara menikmati setiap suapan. Sembari mengucapkan terima kasih kepada semua pihak yang telah membuat makanan tersebut bia tersaji di depan kita dan bisa dinikmati. Sembari dibarengi permohonan kepada Semesta, Tuhan, Sang Hyang Widi, apa pun kalian menyebut Sang Ilahi untuk mencukupkan rezeki bagi semua orang terutama mereka yang sedang mengalami kesusahan.
2. Tinggalkan kebiasaan multitasking. Salah satu hal yang kusadari pada waktu-waktu terakhir adalah kesulitas fokus, barangkali itu semacam brain fog. Hal ini terjadi karena selama ini terlalu banyak melakukan beberapa pekerjaan sekaligus secara bersamaan atau multitasking. Pada masanya itu membanggakan. Tapi belakangan baru kusadari dampaknya. So, tinggalkan multitasking, mulailah mengerjakan sesuatu, satu per satu hingga tuntas, baru berpindah mengerjakan hal lain.
3. Batasi interaksi dengan media sosial. Seberapa sering kamu menyadari bahwa media sosial begitu menyita waktu dan perhatianmu? Sekali bercokol di depan HP, berapa banyak akhirnya waktu yang kamu habiskan di sana, menyelam ke berbagai medsos? Yang tadinya hanya sekadar mengecek, yang terjadi malah meninggalkan aktivitas sebelumnya dan lupa dengan tujuan semula. Pelan-pelan, beri diri sendiri jatah membuka media sosial setiap harinya.
Baca juga: Kesehatan Mental dalam Skala Hawkins
4. Sediakan waktu untuk diri sendiri. Yang dalam bahasa gaulnya "me time" itu memang sungguh-sungguh diperlukan dan ada manfaatnya, lo. Jika diperlukan ingat-ingat ulang apa saja hobi yang tak pernah dijalankan lagi. Membaca, berkebun, nonton, menggambar atau melukis, dan aktivitas hobi lainnya yang menyenangkan dapat membantu melepaskan stres.
5. Praktikkan teknik hidup berkesadaran. Pada dasarnya hidup berkesadaran adalah hidup "di saat ini". Praktiknya adalah menjalankan segala sesuatu dengan kesadaran penuh; kesadaran bahwa kita hidup di saat sekarang, bukan masa lalu yang menyakitkan dan bukan masa depan yang penuh ketidakpastian. Dengan begitu hari-hari bisa dilalui dengan gembira, tanpa kecemasan dan emosi negatif lainnya yang secara langsung dan tidak langsung dapat meningkatkan kualitas hidup.
6. Mendekatkan diri dengan alam. Aku tak menemukan referensi terkait hal ini. Namun, faktor alam menurutku penting. Buatku, slow living adalah bagian dari pembelajaran spiritualitas. Dan alam adalah guru yang mumpuni dalam soal mengasah spiritualitas.
Gambaran di atas lebih melengkapi jawaban untuk pertanyaan sebelumnya, kan? Jadi, pilihan slow living bukan hanya untuk kalangan 40 tahun plus, kalangan pensiunan, kalangan yang sudah punya passive income.
Namun, sepertinya tetap, ya, S&K berlaku. Urusan finansial paling tidak sudah aman dan tidak punya tanggungan meskipun belum punya passive income. Kamu akan kesulitan menjalani hidup yang tenang jika punya hutang dalam jumlah besar, atau hutang di mana-mana. Meski sudah berusaha hidup sederhana dengan mengatur pola konsumsi, pada tingkatan tertentu tetap akan menyulitkan. Sambil menyiapkan semua perangkat, bisa mulai belajar soal perencanaan keuangan.
Pada akhirnya menjalani slow living memang sangat personal. Hitungan, takaran, dan pertimbangan tiap orang berbeda-beda. Hal yang utama adalah bagaimana konsep ini membantu kita untuk hidup sebaik-baiknya, bermanfaat bagi diri sendiri, orang lain, serta makhluk dan alam sekitar.

No comments