Ini perjalanan yang tak sungguh-sungguh
kurencanakan. Yang kutahu, ketika itu aku berencana keluar dari pekerjaanku dan
setelahnya ingin hengkang barang sejenak dari hiruk pikuk Bandung dan ingatan
pada pekerjaan yang hari-hari belakangan terasa makin menyebalkan.
Aku membuat
dua alternatif: perjalanan darat secara estafet ke beberapa kota di Jawa Tengah
atau perjalanan udara ke Bali. Tapi dengan pertimbangan waktu, kupilih opsi
kedua. Kukirim sms ke seorang kawan di Bali, Mas Narto, yang kukenal dari
komunitas Leo Kristi, Lkers. Dengan pertanyaan singkat, ”Kalau aku maen ke
Ubud, kira-kira baiknya kapan, Mas?” Responnya ternyata melampaui dugaanku. Mas
Narto menyebutkan tanggal ia bebas tugas, 21-26 Agustus. Dan ketika aku masih
berusaha meyakinkan diri akan benar-benar pergi atau tidak, ia sudah memesankan
tiket kepulangan ke Bandung: 27 Agustus 2014. Wow! Kabar yang membuatku panik
dan akhirnya bergegas menyelesaikan beberapa hal sebelum keberangkatan yang
kemudian kuputuskan: 21 Agustus 2014.
Begitulah. Akhirnya 21 malam aku tiba di
Bandara Ngurah Rai. Menginap semalam di Denpasar, baru keesokan harinya Mas
Narto menjemputku untuk rencana tiga hari di Ubud. Sebetulnya agendaku adalah
melakukan perjalanan sendiri, suka-suka. Tapi rupanya Mas Narto sudah
membuatkan agenda. Sebagai seorang tour leader, Mas Narto sangat paham Bali.
Itu yang diberikan padaku. Dan: free...buatku saja loh yaaa..😀
Baca juga:
Ngadem di Soekasada
Mengenal Tempat Pemujaan Umat Hindu
Baca juga:
Ngadem di Soekasada
Mengenal Tempat Pemujaan Umat Hindu
Perjalanan tiga hariku sudah kubagikan dalam
catatan sebelumnya. Sekarang aku mau berbagi tentang tiga hari berada di Ubud.
Kenapa Ubud? Karena citra Ubud di kepalaku adalah alam, sawah, ketenangan.
Bukannya pantai Bali tak menarik. Tapi kali ini aku hanya ingin menikmati
ketenangan alam Bali. Citra di kepalaku ternyata jauh berbeda dengan yang
kujumpai. Ubud riuh. Wisatawan mancanegara juga bersliweran dimana-mana. Tapi,
baiklah…ucapkan selamat datang padaku, Ubud!
Penginapanku telah dipersiapkan. Sebuah kamar
di sebuah guest house jalan Sri Wedari. Penginapan sederhana yang nyaman.
Kapan-kapan ke Ubud, kau boleh coba, kawan. Namanya ‘Urip’ sesuai nama
pemiliknya.
Penginapan ini tempat aku tidur di malam
hari, dan sarapan pada pagi harinya. Sedangkan pada sepanjang jelang siang
hingga sore jelang petang aku melakukan perjalanan. Lokasi-lokasi yang jauh itu
kami tempuh dengan mobil, dengan Bli Ketut sebagai pemilik sekaligus driver.
Nah, di antara waktu-waktu sebelum berangkat melakukan perjalanan atau sepulang
dari perjalanan, aku menyinggahi beberapa tempat di seputaran kawasan Ubud
Raya. Kubagikan cerita beberapa tempat yang sempat kukunjungi, yang barangkali bisa jadi alternatif kunjunganmu, kawan.
Ubud Palace
Sebuah kompleks bangunan tampak menonjol di
antara bangunan lain di jalan Ubud Raya. Itulah Puri Saren Ubud atau Ubud
Palace. Ubud sendiri telah menjadi kota kerajaan selama lebih dari seratus
tahun. Dan di Ubud Palace inilah sang raja yang bergelar ‘Tjokorda atau Agung’
beserta keluarganya masih tinggal.
Ubud Palace dibuat oleh Ida Tjokorda Putu
Kandel yang memerintah pada tahun 1800-1823. Puri masih terjaga hingga kini dan
dengan auditorium/wantilan sebagai tempat pertemuan . Berbagai agenda budaya
dilangsungkan di sini, seperti pagelaran seni musik dan tari, juga kegiatan
sastra Bali.
Ingat pernikahan salah satu selebritas tanah
air tahun 2010 yang sempat heboh dengan isu pindah agama? Yup. Happy Salma
sekarang menjadi bagian dari keluarga ini. Tjokorda Bagus Dwi Santana
Kerthayasa itu, suami Happy merupakan keturunan raja Ubud. Dari pernikahan ini
Happy Salma mendapat gelar kenaikan kasta, yaitu Jero Happy Salma Wanasari.
Jero merupakan bukti anggota baru kerajaan, sedangkan Wanasari berarti taman.
Rumah pelukis I Gusti Nyoman
Lempad
Tak susah mencari kediaman pelukis ini.
Posisinya lebih kurang di seberang Pasar Ubud. I Gusti Nyoman Lempad
disebut-sebut sebagai sumber inspirasi yang tidak pernah kering bagi generasi
seni berikut. Sejarah dan pengembangan seni lukis Bali tidak bisa dipisahkan
darinya.
I Gusti Nyoman Lempad tidak berekolah secara formal. Ia tidak bisa membaca dan menulis. Nama ia tuliskan di kanvas dengan hanya mencontoh. Tak diketahui pasti kapan ia dilahirkan, tetapi banyak sumber menyebutkan anak ketiga dari empat bersaudara ini dilahirkan tahun 1862 dan menghembuskan nafas terakhirnya pada 25 April 1978. Disebutkan, I Gusti Nyoman Lempad meninggal dunia pada usia 116 tahun.
Sayangnya aku terlalu terburu-buru dan tak sempat melihat detil karya-karyanya.
Pasar Ubud
Tiga kali aku mendatangi Pasar Ubud. Kali
pertama diantar Mas Narto, yang sekedar menunjuk arah dan lokasi di dalam
pasar. Kali kedua, pada pagi hari kusempatkan ngopi di dalam area pasar. Tak
mendapat suguhan kopi Bali, tapi ya sudahlah.. nikmati saja. O iya, sama beli
ikan untuk meong di penginapan.
Pasar Ubud berada di tepi Jalan Raya Ubud.
Sebetulnya tidak jauh berbeda dengan Pasar Seni Sukawati di Gianyar atau Pasar
Seni Kumbasari di Kota Denpasar. Aneka produk fashion, souvenir atau cendera
mata khas Bali banyak dijumpai di pasar ini. Bedanya, di Pasar Ubud masih
terdapat aktivitas pasar umum dengan para pedagang yang menjual barang
kebutuhan masyarakat sehari-hari. Pasar Ubud buka mulai pukul 04.00 pagi hingga
sekitar tengah hari.
Nah, pada kali terakhir tak masuk area pasar.
Tertarik dengan serba-serbi piranti berdoa. Beberapa kali melintasi para
pedagang yang membuka lapak di pinggir jalan ini, terlintas untuk bertanya.
Baru kesampaian pada Senin, hari terakhir di Ubud.
Mencari sawah Ubud
Jadi dimanakah letak sawah Ubud yang banyak
ditampilkan di kartu pos dan sering dijadikan tayangan televisi? Pada Senin
pagi, sebelum meninggalkan Ubud, kutinggalkan penginapan. Berjalan kaki
kuteluri Ubud Raya, berbelok di jalan samping istana lalu menapaki jalan
menanjak. Hingga sekitar sekilo perjalanan belum juga kujumpai sawah. Yang
kutemukan malah sebuah jembatan yang membuatku ngeri memandang kedalamannya.
Dan bayanganku, yang mengingatkanku pada
puisi Sapardi Djoko Damono (Berjalan ke barat waktu pagi hari).
Melanjutkan perjalanan, menyeberangi jembatan
lalu jalan memutar, akhirnya kujumpai juga sawah Ubud. Tak terlalu menyerupai
gambaran dalam lukisan, tapi setidaknya menuntaskan kepenasaran.
Pada perjalanan berikutnya kujumpai
pemandangan ini. Perempuan-perempuan Bali yang perkasa. Mereka tak lagi muda,
tapi lihatlah yang dilakukannya. Menjadi kuli bangunan pengusung pasir. Di
Bali, konon pekerjaan ini memang banyak dilakukan oleh kaum perempuan. Enam
perempuan. Berpasangan mereka saling bantu menaikkan ember berisi pasir. Lalu
beriringan memasuki halaman rumah yang sedang dibangun.
Hampir satu kilo perjalanan baru aku mulai
menyadari kalau aku berada di Jalan Sri Wedari, dari ujung yang lain.
Bertemu Tari
Rencana jalan-jalan ke Bali ini sempat
kuceritakan ke Tari, teman sekampung halamanku yang sudah memiliki ‘jam terbang
jalan-jalan’ yang tinggi. Tapi agenda jalan barengnya agak sulit ketemu
kompromi waktu. Jadilah kami jalan masing-masing. Tapi ada hari persinggungan
yang kami gunakan untuk ketemu. Maka jadilah dua orang Trenggalek, satu tinggal
di Bandung dan satunya tinggal di Bekasi, ketemu di Ubud, Bali.
***
Begitulah perjalanan ke Bali bulan lalu yang baru bisa dituliskan lengkap sebulan kemudian
Baca catatan perjalanan:
Berkunjung ke Tenganan
Tirta Gangga, Taman Air di Kaki Gunung Agung
Begitulah perjalanan ke Bali bulan lalu yang baru bisa dituliskan lengkap sebulan kemudian
Baca catatan perjalanan:
Berkunjung ke Tenganan
Tirta Gangga, Taman Air di Kaki Gunung Agung
Big thanks to Mas Narto.
Alumni Sastra Prancis UI ini sudah lama
malang melintang di dunia wisata. Wilayah jangkaunya bukan hanya Bali, tapi
juga pulau-pulau lain di Indonesia. Dari Sabang sampai Merauke tampaknya sudah
dijajagi. Ditambah dengan beberapa negara. Apa yang membuatnya bertahan?
Tampaknya inilah cinta. Memilih pekerjaan
yang dicintai, dan mencintai pekerjaan yang dipilih. Pertanyaan itu sempat
mengusikku saat kami memasuki Taman Soekasada. Bagaimana mungkin tidak bosan
harus menjelaskan hal yang sama berulang-ulang selama belasan tahun? Di lokasi
ini misalnya, Mas Narto bisa datang dua kali sebulan. Misalkan dirata-rata
berarti 20 kali dalam setahun. Kalau pekerjaan sebagai tour guide ini sudah 20
tahun, artinya 400 kali ia mendatangi lokasi yang sama. Belum lagi kalau ada
tambahan jadwal baru. Dan ini baru satu lokasi. Tapi -sekali lagi- barangkali
ya itulah yang namanya mencintai pekerjaan.
Menurut Mas Narto, ia selalu menemukan sudut
pandang baru dalam membagikan cerita dan informasi kepada para tamunya. Bukan
semata apa yang ditemukan di lokasi, tapi juga mengulik sejarah yang
berhubungan dengan lokasi yang dituju. Ini menjadikan Mas Narto tampak seperti
kamus wisata berjalan. Beberapa pertanyaan yang kuajukan langsung bisa
dijawabnya. Tapi Mas Narto cukup berendah hati mengatakan kalau tak semua hal
ia tahu. Ada juga pengalaman ia tak bisa langsung jawab pertanyaan peserta
tour, dan ia menjadikannya PR untuk diberikan jawabnya pada hari yang lain.
Karena itu menurutnya menjadi pemandu wisata harus terus update informasi.
Kemampuannya memberikan pelayanan yang baik, ditambah latar belakang pendidikan
formalnya, membuat Mas Narto sering dicari untuk menjadi pemandu tamu-tamu negara.
Terimakasih, Mas Narto. Sukses selalu.
Sampaikan salamku untuk Claudine.
Bli Ketut
Kukira-kira usianya 2 tahun di bawahku.
Setelah cukup lama bekerja di sektor wisata, sebagai staf di hotel dan
perusahaan tour & travel, Bli Ketut akhirnya memutuskan untuk memulai usaha
sendiri. Ia cukup tahu beberapa hal tentang Bali. Lumayan memberikan perspektif
baru dan tambahan informasi buatku. Selain juga cerita-cerita kocaknya semasa
kecil di kota kelahirannya, Tanah Lot.
Makasih, Bli…
Ah iya… ini anakku selama di penginapan..
Meninggalkan Ubud, sempat singgah ke Pantai
Sanur. Menikmati sate lilit ikan, dan menjemur diri di bawah terik matahari
Sanur.
No comments