24 Agustus 2014. Meninggalkan Taman Soekasada, perjalanan berlanjut ke
tujuan terakhir: Tirta Gangga. Ada suasana yang membuatku bernostalgi. Suasana
yang serupa kurasakan saat mengunjungi Stupa Sumberawan, di Desa Sumberawan,
Kecamatan Singosari, Kabupaten Malang.
Entah kenapa bisa menangkap nuansa yang
serupa. Stupa Sumberawan merupakan monumen Budha yang diduga dari abad 14.
Tirta Gangga dibangun pada sekitar 5 abad berikutnya. Stupa Sumberawan hanya
berupa taman dengan fokus stupa yang sebetulnya juga telah kehilangan
‘stupa’nya. Gemericik air terdengar samar, pada bagian belakang komplek stupa.
Sedangkan Tirta Gangga, sesuai namanya adalah taman dengan air dan air. Jadi
dimana letak kesamaannya? Entahlah..barangkali karena suasana alam dengan nuansa
relijiusnya.
Baca juga:
Tirta Gangga. Tirta berarti air dan Gangga merupakan nama sebuah sungai di
India. Perairan ini berada di tengah sawah, dikelilingi perbukitan hijau yang menawan. Taman
air ini merupakan milik keluarga kerajaan Karangasem. Berlokasi di di kaki
Gunung Agung, persisnya di Desa Ababi, Kecamatan Abang, sekitar 83 km dari
Denpasar, atau 6 km utara Amlapura, ibukota Kabupaten Karangasem. Tirta Gangga
dibangun pada tahun 1948 atas prakarsa Raja Karangasem, Anak Agung Anglurah
Ketut Karangasem, dengan arsitektur memadukan gabungan gaya Bali dan Cina. Air
dari mata air Tirta Gangga dianggap sebagai air suci oleh umat Hindu di Bali,
dan diyakini sebagai air suci untuk memurnikan setiap energi buruk di sekitar
daerah tersebut. Air ini digunakan untuk upacara keagamaan di pura-pura di
daerah tersebut hingga saat ini. Sumber air di taman ini sudah dimanfaatkan
masyarakat sekitar jauh sebelum taman ini dibangun.
Memasuki area taman air, mataku langsung tergoda untuk meneliti sosok-sosok
yang berjajar di kolam sisi kanan taman. Mereka adalah patung prajurit dengan
senjatanya masing-masing. Pada permukaan kolam juga tampak petak-petak beton
berbentuk segi enam yang dapat digunakan sebagai pijakan bagi yang mau
jalan-jalan. Sementara pada kolamnya ikan berenang bebas. Sebuah menara air
terletak di pinggir kolam, pada sentral area taman. Nawa Sanga. Menara dengan
tinggi sekitar 10 meter itu memiliki bentuk meru, yang biasa kita jumpai di
pura. Air memancar dari puncak menara, menciptakan titik-titik air di sekitar
menara. Selebihnya air mengalir pelan, melewati setiap susunan tumpangnya.
Pada sisi kiri terdapat kolam yang lebih luas dan terbuka, tanpa hiasan
patung di tengahnya, namun dihubungkan sebuah jembatan yang terbuat dari batu
padas dengan hiasan empat patung naga pada setiap sisinya. Aneka macam ikan
hidup di kolam ini. Sementara di bagian tengah dari kedua kolam ini berjajar
beberapa kolam kecil dengan air mancur di tengahnya. Dua kolam lagi berada di
bagian belakang taman. Kolam ini berupa kolam renang yang bisa digunakan untuk
umum, terbagi dua kategori, dewasa dan anak-anak. Pada bagian atas suasana
lebih adem dan tenang terpancar dari kolam yang dipenuhi lotus dan teratai.
Tirta Gangga dibangun pada lahan seluas 1,2 ha. Termasuk di
dalamnya adalah bangunan di bagian atas taman, yakni restoran dan rumah inap.
Kawasan wisata yang ada di jalur Amlapura menuju Singaraja ini menjadi salah
satu tempat wisata yang ramai dikunjungi, baik wisatawan lokal maupun asing.
Meninggalkan area taman, pandanganku tersita pada satu nama, Landu Umbu
Paranggi. Sebuah prasasti bertuliskan: Rangtuakarang yang bertahta mahligai
nyawaku. Tampaknya tanda tangan penyair asal Sumba Timur itu mewakili
Masyarakat Seni Pertunjukan Indonesia (MSPI) yang menyelenggarakan acara pada
9-9-1999 untuk menyambut pergantian milenium.
Perjalanan ke Bali lainnya:
No comments