Menjulang tinggi di kejauhan. Gunung
yang disucikan umat Hindu Bali. Gunung Agung. Ada yang berdesir halus saat aku
menantap puncaknya yang digayuti awan. Siapakah kalian yang mencoba menyapaku?
Perasaan itu mengikutiku dalam perjalanan menanjak menuju Pura Besakih di kaki
gunung tertinggi di Pulau Bali ini.
Gunung Agung awalnya memiliki
tinggi sekitar 3.142 meter di atas pemukaan laut (dpl). Namun setelah meletus
pada tahun 1963 diperkirakan ketinggiannya turun menjadi 2.920-3.014 meter dpl.
Saat itu, setelah 120 tahun lelap dalam tidur nyenyak, letusan dahsyat Gunung
Agung mengakibatkan korban jatuh dalam jumlah yang besar. Lebih dari seribu
orang meninggal dunia, dan sekitar 300 orang mengalami luka. Puncak tertinggi
Gunung Agung saat ini terletak di bagian barat daya, tepat di atas Pura
Besakih. Pemandangan ini menemaniku dalam langkah kaki sejauh sekira 700 meter.
Memasuki area pura langsung
disambut oleh para pedagang. Aneka macam. Makanan, pernak-pernik, postcard.
Seorang gadis muda mendekatiku dan menyodori kartu pos aneka gambar khas Bali.
Aku cuma menggeleng. Kembali ia menawariku, kali ini berbahasa Jepang. Hmmm…
apa aku kelihatan seperti nihonjin? Mereka sangat gigih lho! Dan rata-rata
mereka bisa menggunakan lebih dari 10 bahasa. Bisa jadi hafalan semata untuk
keperluan jualan. Jadi tak heran, begitu menduga aku orang Jepang, si gadis
berusaha menawariku menggunakan bahasa Jepang. Setelah menolak dengan segala
cara, akhirnya bisa beranjak juga, menapaki jalan utama menuju kompleks pura.
Ada sejumlah catatan yang
menyebutkan beberapa versi proses pembangunan Pura Besakih. Pada mulanya pura
terbesar di Bali ini merupakan bangunan pelinggih kecil yang kemudian
diperbesar dan diperluas secara bertahap dalam tempo yang cukup lama.
Disebutkan pada permulaan abad ke-11, yakni tahun 1007, Pura Besakih sudah ada.
Masa itu adalah masa pemerintahan Airlangga di Jawa Timur (1019-1042).
Sedangkan Bali ketika itu dipimpin Senopati Empu Kuturan yang berkedudukan di
Silayukti, Padangbai, Kabupaten Karangasem. Empu Kuturan memperbesar dan
memperluas Pura Besakih dengan membangun sejumlah pelinggih. Beberapa meru
dibangun meniru bangunan di Jawa seperti yang ada sekarang. Sumber lainnya
menyebutkan, Maha Rsi Markandeya pindah dari Gunung Raung di Jawa Timur ke
Bali, dengan membawa serta rombongan berjumlah sekitar 8.000 orang. Mereka lalu
membuka tanah-tanah pertanian dan mendirikan Pura Besakih untuk tempat memohon
keselamatan dan kesejahteraan dengan menanam panca datu.
Pada masa-masa berikutnya, Pura
Besakih tetap mendapatkan pemeliharaan yang baik. Hampir semua pelinggih-nya
diperbaiki dan arealnya diperluas. Pada sekitar abad ke-16, pada masa pemerintahan
Dalem Waturenggong, Dang Hyang Dwijendra atau Pedanda Sakti Wawu Rauh menambahi
Pura Besakih dengan pelinggih beruang tiga yang sekarang terdapat di Pura
Penataran Agung Besakih. Kata besakih sendiri berasal dari kata basuki yang
artinya ‘selamat’. Kata itu lalu berkembang menjadi basukir dan basukih;
terakhir menjadi besakih.
Fungsi umum Pura Besakih adalah
sebagai tempat bagi umat Hindu untuk memohon keselamatan. Berbagai upacara
berlangsung di pura ini. Bhatara Turun Kabeh jatuh pada setiap purnama sasih
kedasa atau sekitar bulan Oktober pada setiap tahunnya; seluruh umat Hindu
datang berduyun-duyun untuk menyampaikan sujud baktinya pada Tuhan. Upacara
Panca Wali Krama dilangsungkan 10 tahun sekali. Yang terbesar adalah upacara
Eka Dasa Ludra, yang diadakan 100 tahun sekali. Upacara Eka Dasa Ludra terakhir
dilaksanakan pada tahun 1979.
Mendekati bagian utama Pura
Besakih, desir halus yang menyapaku saat menatap puncak Gunung Agung pada kali
pertama kurasakan, makin kuat. Bagian utama ini adalah pelinggih Padma
(Padmasana) Tiga yang ada di Pura Penataran Agung Besakih. Pura Besakih sendiri
sebetulnya –selain Pura Penataran Agung- juga terdiri dari 18 kompleks pura
yang terletak di wilayah Desa Besakih dan satu terletak di Desa Sebudhi,
Kecamatan Selat, Karangasem. Selain itu juga masih banyak lagi Pura Pedharman
yang menjadi penyiwaan warga-warga yang sesungguhnya tidak bisa dipisahkan
dengan Pura Agung Besakih itu sendiri.
Pura Penataran Agung Besakih
adalah yang terbesar di Pura Besakih. Terdiri dan 7 tingkat halaman dengan
jumlah bangunan dan pelinggih seluruhnya sebanyak 53 buah. Di sini terdapat
meru yang besar-besar dengan 11, 9, 7, 5, dan 3 tingkat. Pelinggih yang
merupakan pemujaan pokoknya adalah Padma (Padmasana) Tiga. Pelinggih tersebut
terdiri atas tiga bangunan berbentuk padmasana berdiri di atas satu altar,
sebagai linggih Sang Hyang Widhi Wasa. Pada masa lalu, para Rsi Hindu
membayangkan Bali Dwipa atau Pulau Bali sebagai padmasana, tempat duduk Siwa,
Sang Hyang Widhi Wasa dengan asta saktinya (delapan kemahakuasaan-Nya) yang
membentang ke delapan penjuru (asta dala) Pulau Bali masing-masing dengan dewa
penguasanya. Dewa Iswara berada di arah Timur, bersemayam di Pura Lempuyang.
Brahma di selatan, bersemayam di Pura Andakasa. Dewa Mahadewa di barat (Pura
Batukaru), Wisnu di utara (Pura Batur), Maheswara di arah tenggara (Pura Goa
Lawah), Rudra di barat daya (Pura Uluwatu), Sangkara di barat laut (Pura Puncak
Mangu), Sambhu di timur laut (Pura Besakih), Siwa bersemayam di tengah, pada
altar dari Pura Besakih dengan Tri Purusa-Nya yaitu Parama Siwa, Sada Siwa dan
Siwa.
Ada energi yang berbeda yang kita
rasakan tiap memasuki bangunan relijius. Begitu pun saat memasuki area suci
Pura Besakih. Taksu yang kuat. Ada misteri. Ada takjub sekaligus haru. Ingin
merasai ketenangan, berlama-lama menatapi meru bersusun menjulang. Tapi
barangkali agak sulit menemukan sunyi di sini. Saat ada yang melangsungkan
upacara, khidmatnya mungkin masih memberi hening. Namun yang tak tertolakkan
adalah hadirnya para wisatawan yang tak peduli dengan tata krama ibadah. Ada
bagian-bagian tertentu dalam pura yang jelas ditulisi “hanya bagi mereka yang
bersembahyang diperkenankan masuk pura”. Tapi ada saja pengunjung yang
bersikukuh untuk masuk, lalu mengambil gambar di antara umat yang sedang
beribadat.
Helooooo…apa kalian juga tak
keberatan kalau ibadat kalian diinterupsi oleh perilaku semacam itu?
Inilah dilema sarana ibadah yang
sekaligus menjadi objek wisata. Kita juga masih ingat peristiwa di Borobudur
pada tahun 2013 lalu. Upacara Trisuci Waisa, yang berlangsung 25 Mei 2013 itu
kehilangan kekhusukannya karena ulah para pengunjung. Begitu banyak orang yang
memang ingin menyaksikan dan mengikuti prosesi pelepasan 1000 lampion sebagai
puncak acara peringatan Waisak tersebut. Tapi apa lantas membuat mereka bisa
mengabaikan anjuran dari para pemuka agama Buddha yang sedang memimpin jalannya
upacara? Sehingga akhirnya momentum sakral itu pun ternodai dengan perilaku
yang terkesan seolah mereka tak kenal toleransi? Begitu pun di kawasan Pura
Besakih yang kukunjungi ini. Entah seperti apa peraturan yang mustinya dibuat
dan pengaturan seperti apa yang semustinya dilakukan. Tapi satu hal lain yang
kemudian kutemui saat beranjak meninggalkan area suci Pura Besakih, seorang
pemandu –yang orang Bali- menawarkan harga tertentu kepada wisatawan yang
–tampak bersikeras- untuk menaiki tangga menuju area suci. “Dua puluh ribu
saja,” begitu katanya. Ah!
Kutinggalkan Pura Besakih. Kupamiti
Gunung Agung. Masih tak kumengerti makna bisik sapa yang dihembuskannya melalui
angin dari sepanjang lerengnya… Mungkin suatu kali aku akan mengerti. Mungkin…Semoga.
referensi: babadbali dan balipost
No comments