Melewati sebuah jembatan panjang,
lalu tibalah di seberang. Sebuah taman seluas 9 hektar, Taman Soekasada. Taman
peninggalan Kerajaan Karangasem ini berjarak sekitar 6 kilometer dari pusat
kota. Taman yang dibangun tahun 1919 ini dikelilingi tembok putih yang dipahati
tokoh-tokoh pewayangan.
Memasuki area taman, mata langsung dibuat
adem oleh air yang tampak sebagai komponen utama taman. Beberapa kolam
mengisi taman ini. Nun di tengah kolam terbesar sebuah bangunan berwarna putih
menyita perhatian. Balai Gili. Bangunan ini merupakan bangunan utama tempat
raja beristirahat bersama keluarganya. Dua jembatan bergaya Eropa menghubungkan
Balai Gili dengan daratan. Selain jembatan, gaya Eropa, pada bagian dalam
bangunan terlihat sebuah meja tua yang terbuat dari marmer. Disebutkan, meja
tua tersebut merupakan hadiah dari Ratu Belanda. Begitulah, raja-raja
Karangasem dikenal memiliki kedekatan dengan kerajaan Belanda.
Nama Karangasem sendiri konon berasal dari
nama Karang Semadi. Dikisahkan, Hyang Agnijaya datang berlima dengan
saudara-saudaranya yakni Sambhu, Brahma, Indra, dan Wisnu di Adri Karang
(Gunung Lempuyang di sebelah timur laut kota Amlapura). Lempuyang menjadi
pilihan Bhatara Guru untuk menyebarkan ‘sih’ Nya bagi keselamatan umat manusia.
Lempuyang dihubungkan dengan kata ‘ lampu’ artinya ‘terpilih’ dan ‘Hyang’
berarti Tuhan; Bhatara Guru, Hyang Parameswara. Di Adri Karang inilah Hyang
Agnijaya membuat Pura Lempuyang Luhur sebagai tempat bersemadi. Lambat laun
Karang Semadi berubah menjadi Karangasem.
Baca cerita perjalanan ke Bali lain:
Tirta Gangga, Taman Air di Kaki Gunung Agung
Sebuah Perjalanan ke Bali Dwipa
Baca cerita perjalanan ke Bali lain:
Tirta Gangga, Taman Air di Kaki Gunung Agung
Sebuah Perjalanan ke Bali Dwipa
Pada masa lalu, Karangasem merupakan kerajaan
yang paling besar di Bali. Kekuasaannya menjangkau hingga ke Pulau Lombok.
Namun kerajaan ini juga tak luput dari serangan Belanda yang berusaha menguasai
Nusantara. Kerajaan Karangasem jatuh ke tangan Belanda pada 20 Mei 1849. Raja
Karangasem I Gusti Ngurah Gde Karangasem gugur dalam peristiwa tersebut
sehingga pemerintahan di Karangasem mengalami kekosongan. Pemerintah Belanda
kemudian menobatkanlah Raja Mataram I Gusti Ngurah Ketut Karangasem sebagai
raja di Karangasem. Selang beberapa waktu kemudian, raja Mataram menugaskan
kemenakannya menjadi raja yakni I Gusti Gde Putu (Anak Agung Gde Putu) yang
juga disebut ‘Raja Jumeneng’, I Gusti Gde Oka (Anak Agung Gde Oka), dan Anak
Agung Gde Jelantik. Penguasa terakhir Karangasem adalah Anak Agung Agung
Anglurah Ketut Karangasem yang mulai memerintah pada tahun 1908 dan berakhir
pada tahun 1950 dengan menyatakan bergabung dalam NKRI.
Sebagian kisah tersebut bisa dilihat dari
foto-foto yang terpajang pada dinding-dinding bagian dalam Balai Gili.
Sayangnya banyak caption dari foto-foto tersebut yang salah tulis, bahkan ada
yang membingungkan. Tampaknya tak ada yang cukup perhatian dengan ketepatan
redaksi dari foto yang dipajang. Selain foto, pengunjung Taman Soekasada juga
bisa melihat ruang-ruang pribadi raja, seperti kamar tidur dan ruang duduk
raja.
Satu bangunan yang cukup menarik
perhatianku sedari awal memasuki area taman adalah bangunan yang terlihat hanya
semacam rangka, pada lahan di ketinggian pada bagian belakang taman.
Pilar-pilar besar itu disebut Balai Kapal. Dari tempat ini dapat dilihat
pemandangan indah, termasuk pantai Desa Udjung yang lokasinya berdekatan dengan
taman. Sayang hari sudah terlalu sore, sehingga aku hanya bisa melihat dari
jauh. Lain waktu barangkali aku akan hadir kembali di sini.
No comments