Berkunjung Ke Kampung Asli Bali, Tenganan


Sebuah kampung adat di tengah masyarakat yang juga masih menjunjung adat. Itulah Tenganan Pegringsingan, sebuah desa adat di Kecamatan Manggis, Kabupaten Karangasem. Kunjungan ini menjadi yang terakhir perjalananku pada pada hari itu, Sabtu, 23 Agustus 2014.

 

Beberapa catatan sejarah menyebutkan Tenganan berasal dari kata ‘tengah’ atau ‘ngatengahang’ yang artinya ‘bergerak ke daerah yang lebih dalam’. Kata ini terkait dengan pergerakan masyarakat desa dari daerah pinggir pantai ke daerah pemukiman di tengah perbukitan, yaitu Bukit Barat (Bukit Kauh) dan Bukit Timur (Bukit Kangin). Sementara catatan lain menyebutkan bahwa masyarakat Tenganan berasal dari Desa Peneges, Gianyar, yang awalnya bernama Bedahulu. Konon kata cerita, Raja Bedahulu pernah kehilangan salah satu kudanya. Pencarian pun dilakukan. Sayangnya sang kuda ditemukan sudah dalam keadaan tewas. Ki Patih Tunjung Biru, orang kepercayaan raja yang menemukan kuda tersebut, diberikan wewenang untuk mengatur daerah yang memiliki aroma dari bangkai kuda tersebut. Ki Patih menyebarkan potongan bangkai kuda ke segenap penjuru daerah, dan daerah-daerah itulah yang kemudian menjadi kekuasaanya. Konon demikianlah asal mula Desa Tenganan. Versi yang lain lagi menyebutkan, Desa Tenganan adalah desa yang didirikan warga asli Bali yang ingin mempertahankan kemurnian darah Bali, tradisi dan juga kepercayaan mereka. Mereka membentuk kelompok masyarakat tersendiri pasca hijrahnya sebagian besar penganut Hindu dari tanah Jawa. Entahlah. Yang jelas, Desa Tenganan merupakan salah satu desa dari tiga desa Bali Aga di Bali, selain Trunyan dan Sembiran. Bali Aga adalah desa yang masih mempertahankan pola hidup yang tata masyarakatnya mengacu pada aturan tradisional adat desa yang diwariskan nenek moyang mereka.

Aku tiba di desa ini sudah jelang sore. Pemandangan yang langsung menyambutku adalah sekelompok warga yang tengah berkumpul di sekitar banjar atau balai pertemuan. Para laki-laki bertelanjang dada, dan perempuan berkain hingga batas dada. Banjar tersebut berdiri memanjang, dengan pondasi batu dan atasnya berupa panggung terbuka. Atapnya terbuat dari tumpukan daun rumbi. Atap serupa juga meneduhi rumah-rumah yang berjajar di sepanjang jalan. Bedanya, rumah warga berdinding campuran batu merah, batu sungai, dan tanah. Rumah adat Tenganan memiliki bentuk dan ukuran yang relatif sama, dengan ciri khas pintu masuk yang sempit, dengan besaran sekitar ukuran satu orang dewasa. Ciri lain adalah bagian atas pintu yang tampak menyatu dengan atap rumah.

Para warga berkumpul di seputar banjar untuk melangsungkan sebuah upacara adat. Ada tiga kelompok yang akan melakukan upacara. Banjar utama dihadiri para laki-laki dewasa atau laki-laki kepala keluarga. Sedangkan kelompok anak muda dan perempuan melakukan upacara di tempat lain. Mereka sekedar bercakap untuk menunggu waktu. Beberapa orang tampak berkreasi dengan membuat gambar-gambar hias di daun lontar. Mataku langsung tergoda untuk menengok ke salah satu bangunan yang menjadi workshop tenun khas Bali, gringsing.


“Ibu saya lagi istirahat,” ujar seorang laki-laki yang menyambut kami.
“Memang ibu saja yang bisa menenun? Bapak tidak bisa?” tanyaku.
“Ya enggalah..itu kerjaan perempuan. Masa laki-laki nenun,” jawabnya sambil terkekeh. Menenun tentunya bukan pekerjaan yang mudah. Selain keahlian tertentu, dibutuhkan pula tenaga ekstra. Bukan hanya pada proses tenun tapi juga proses pewarnaan. Tapi..hmm…baiklah. Konon perempuan-perempuan Bali memang diciptakan perkasa.

Putu Santa, demikian laki-laki ini mengenalkan diri. Sesuai namanya, ia anak pertama dalam keluarga ini. Mereka menghasilkan cukup banyak kain gringsing, baik dengan teknik single maupun double. Konon teknik ikat dobel Tenganan ini merupakan satu-satunya teknik tenun di Indonesia. Kain gringsing yang dihasilkan terkenal istimewa hingga ke mancanegara. Kata Gringsing itu sendiri berasal dari kata “gering” yang artinya sakit atau musibah, dan “sing” artinya tidak. Jadi gringsing ini diartikan sebagai penolak bala. Kain ini wajib dimiliki warga Desa Tenganan karena menjadi bagian dari perlengkapan upacara.

Gringsing teknik dobel pembuatannya memerlukan waktu yang lama, bisa sampai 3 tahun hanya untuk selembar kain. Warna yang digunakan pun menggunakan bahan alam. Sumber warna gringsing di antaranya adalah kemiri untuk warna kuning, daun taum untuk warna hitam, tanaman indigo untuk warna indigo, dan kulit sunti untuk warna merah. Beberapa tanaman hanya bisa ditemukan di desa ini. Proses pembuatan yang unik dan lama, ditambah pewarna alam yang memang terbatas, menjadikan gringsing sebagai salah satu komoditas yang bernilai ekonomi tinggi. Di dalam rumah keluarga Putu Santa yang terlihat sederhana ini tersimpan kain-kain gringsing yang tak ternilai harganya itu. Tak heran jika keluarga ini mampu mengirimkan anaknya kuliah di PTN di Jawa.


“Saya alumni Unair Fakultas Kedokteran Gigi,” cerita Putu Santa pada kami. Mengaku masuk kuliah pada tahun 1983, Putu Santa memilih pulang kampung daripada berkarir sebagai dokter gigi. Ikatan kekeluargaan desa Tenganan sangat kuat. Berbeda dengan sistem kekeluargaan yang dianut oleh masyarakat di Bali pada umumnya, di Desa Tenganan perempuan dan laki-laki dalam keluarga memiliki derajat yang sama dan berhak menjadi ahli waris. Masyarakat Tenganan juga menganut sistem endogamy dimana masyarakat setempat terikat dalam awig-awig atau hukum adat yang mengharuskan pernikahan dilakukan dengan sesama warga Desa Tenganan. Pelanggar aturan ini tidak diperbolehkan menjadi krama atau warga desa lagi. Artinya mereka harus keluar dari Desa Tenganan. Selain perihal pernikahan, awig-awig juga mengatur berbagai hal dalam keseharian warga Tenganan. Hukum tersebut ditulis pada abad ke-11 dan diperbaharui pada tahun 1842.

Kuatnya ikatan kekeluargaan ini berpengaruh pada pekerjaan warga desa Tenganan. Ketika tawarannya berkarir jauh dari rumah dan tidak menjanjikan ketenangan atau berkumpul bersama kerabat dengan janji ketenangan, maka pilihannya akan jatuh pada yang kedua. Ini pula yang dilakukan Putu Santa, ketika lulus kuliah dan mendapatkan penugasan ke sebuah daerah di Kalimantan Barat. Ia memilih untuk mundur.


“Dalam hidup dibutuhkan keseimbangan. Dan saya menemukannya di desa ini. Kalau yang saya cari dalam hidup ini ada di desa saya, kenapa saya harus pergi jauh?” ungkap laki-laki berusia 50 tahun ini. Masyarakat Tenganan memang dikenal memegang teguh konsep Tri Hita Karana, sebuah konsep dalam ajaran Hindu yang yang mempercayai Tri-tiga dan Hita Karana- penyebab kebahagiaan untuk mencapai keseimbangan dan keharmonisan. Tri Hita Karana ini terdiri dari Perahyangan berupa hubungan yang seimbang antara manusia dengan Tuhan, Pawongan berupa hubungan harmonis antara manusia dengan manusia lainnya, dan Palemahan berupa hubungan harmonis antara manusia dengan lingkungan alam sekitarnya.

Ditanya tentang kemungkinan Putu Santa atau penduduk yang memiliki pendidikan seperti dirinya untuk membuka praktek medis, Putu hanya menggeleng. Penduduk Tenganan banyak memanfaatkan ramuan tradisional untuk menjaga kesehatan mereka. Namun jika dirasa membutuhkan pengobatan medis, mereka biasanya mengunjungi puskesmas terdekat. Begitu pula soal pekerjaan lainnya. Bukan berarti warga Tenganan tak ada yang bekerja di luar. Menurut Putu Santa cukup banyak juga penduduk Tenganan yang bekerja di luar desa adat mereka. Namun sebagian besar lainnya memilih untuk tinggal di rumah saja, misalnya berkreasi dengan kerajinan anyaman bambu, ukiran, dan lukisan di atas daun lontar. Atau membuka art shop. Bahkan untuk urusan tanah pertanian dan perkebunan yang dimiliki desa adat ini digarap oleh pihak luar.

Kepada Desa Tenganan Pegringsingan yang sempat kutemui, Putu Yudiana mengatakan bahwa desa mereka merupakan yang terluas di wilayah Kabupaten Karangasem. Dari 917,2 ha lahan milik Desa Tenganan Pegringsingan, hanya 8 persen yang dijadikan wilayah tinggal dan sekitar 250 ha saja yang digarap sebagai sawah dan ladang. Sistem pembagian hasil bagi para pekerjanya, diklaim Putu sebagai yang terbaik dibandingkan sistem bagi hasil yang berlaku di daerah lain. Putu Yudiana adalah kepala desa yang notabene digaji oleh pemerintah. Berbeda halnya dengan kepala desa adat yang disebut Perbekel. Salah satu tradisi unik yang masih dilangsungkan di desa ini adalah proses rekrutmen calon pemimpin desa adat ini. Biasanya dilangsungkan pada sekitar bulan Juni-Juli dan mendapatkan banyak kunjungan wisatawan. Dalam acara tersebut, para pemuda desa yang merupakan calon pemimpin adat akan bertarung di atas panggung menggunakan senjata dan tameng dari daun pandan. Duri-duri daun pandan akan menimbulkan luka para pesertanya. Memang itulah yang diharapkan. Pada masa lalu, konon darah peserta perang pandan ini dijadikan pewarna merah kain gringsing. Di masa kini tradisi ‘perang berdarah’ ini tetap dilakukan sebagai simbol persembahan kepada Dewa Indra. Penduduk Tenganan dikenal sebagai penganut Hindu aliran Dewa Indra, yang dipercaya sebagai dewa perang. Setelah perang usai, barulah luka-luka itu diobati dengan obat alami dari bahan umbi-umbian yang dioleskan pada semua luka hingga kering dan sembuh hanya dalam beberapa hari.


Putu Yudiana berpamit karena harus segera mengikuti upacara adat. Aku sempat menyaksikan awal berlangsungnya upacara. Namun segera beranjak karena hari yang makin gelap. Sampai ketemu lagi, Desa Tenganan Pegringsingan!

Sampai ketemu lagi, meong..



No comments