Inilah perjalananku
bersama Bandung Heritage awal bulan lalu. Menjumpai Sultan Banten, mengunjungi
WWF dengan garapannya badak bercula satu, lalu berujung pada perjumpaan dengan
masyarakat Baduy Dalam. Bercengkerama dengan kebijaksanaan salah satu masyarakat adat di tanah Jawa ini.
Baca juga: Mencari Jejak Badak
1/
Kampung
Cijahe, Desa Kebon Cau, Kecamatan Bojongmanik. Tengah hari kami tiba. Berharap
akan menikmati santap siang ala kampung, sebelum melanjutkan perjalanan
memasuki Baduy Dalam. Yang kami jumpai hanyalah warung kelontong dengan pilihan
karbohidrat yang paling memungkinkan membuat kenyang: mie instan. Tentu sedikit
mengecewakan. Bayangan yang tergambar dari sebuah desa adalah yang tradisional.
Tapi modernitas dengan segala yang serba instan memang sudah bergerak memasuki
area pelosok.
Menunggu mie
tersaji, kulihat sekeliling. Kang Sarta dan Kang Karta duduk bersama
kawan-kawan rombongan dari Bandung. Bersama sejumlah pemuda dan bocah Baduy
Dalam. Sosok-sosok yang sederhana. Kucoba berbagi senyum pada mereka. Tak semua
membalas. Tapi mereka tak menolak ketika kuambil gambar.
Selidik
punya selidik, pintu masuk Baduy melalui Kampung Cijahe masih terbilang baru.
Bukan jalur biasa. Jalur reguler yang biasa dijadikan pintu masuk pelancong
adalah Desa Ciboleger. Opa Felix sengaja membawa kami mengunjungi Baduy Dalam
terlebih dahulu. Sekitar 4 km dari titik kami jeda. Seorang laki-laki
mengabari: 5 ribu untuk masing-masing orang. Semacam retribusi. Kang Sarta n
the gank tidak dihitung. Mereka akan memandu kami perjalanan kami. Beberapa di
antaranya bertugas sebagai porter, membawakan barang-barang yang dianggap cukup
berat.
Penunjuk
waktu di HPku menyebut pukul 14.23 ketika kami memulai perjalanan. Bersebelas,
Opa Felix, Kang Adi, Mas Adi, Kang Ivan, Kang Tata, Kang Ery, aku dan Jean dari
Radio Sonora-Raka FM Bandung, ditambah Cici (Lely) dan Arlien dari Bandung
Heritage dan Kang Iwan Podol yang bergabung belakangan. Bersama gank Kang
Sarta, ditemani bayangan awan dan gerimis kecil.
2/
Perkampungan
Baduy berada di wilayah Kanekes. Baik Baduy Dalam maupun Baduy Luar. Persisnya
berada di kaki pegunungan Kendeng, Desa Kanekes, Kecamatan Leuwidamar,
Kabupaten Lebak-Rangkasbitung, Banten. Wilayah Kanekes berjarak sekitar 40 km
dari kota Rangkasbitung.
Pada
perjalanan kota, 4 kilometer bukan jarak yang sulit. Tapi pendakian jalanan
gunung, dibarengi gerimis yang kadang berganti menjadi hujan, terasa cukup
memberatkan. Tak ada yang mengeluh. Semuanya terengah dalam gembira. Bersatu
dengan alam. Padi di kiri kanan jalan, pepohonan besar di antaranya. Pun aneka
tanaman ladang. Pada satu titik, Sarip, pemanduku minta ijin singgah ke sebuah
gubuk di tengah ladang. "Mau ambil trubuk dulu," katanya seraya
memisahkan diri dari rombongan. Belakangan aku baru tahu yang dimaksud. Namanya
terubuk. Sering disebut tebu telur karena terlihat seperti telur ikan. Aku agak
samar teringatkan pada kenangan masa kecil. Kurasa dulu aku pernah makan.
Terubuk memang banyak dijumpai di daerah pedesaan. Dengan tubuh serupa tebu
tapi memiliki bunga dengan selaput yang membungkusnya memanjang. Bunga inilah
yang dimanfaatkan sebagai campuran sayur. Dan terubuk menjadi sajian paling
nikmat pada makan malam kami di rumah Kang Sarta.
Sekitar 2,5
kilometer perjalanan dari titik berangkat, kami berhadapan dengan sebuah
jembatan bambu panjang. "Di sini terakhir boleh ambil foto." Begitu
Sarip lebih kurang memberi tahu kami. Masyarakat adat Baduy Dalam melarang
pengunjung mengabadikan gambar dengan kamera. Mereka menjaga kemurnian tradisi
dengan tanpa campur tangan pihak luar.
Baca juga: Kesultanan Banten di Masa Kini
3/
15.40.
Kampung Cikertawana menyambut kami. Inilah perkampungan Baduy Dalam.
Rumah-rumah kecil berderet rapi. Ah, bukan rumah. Itu adalah sekumpulan lumbung
milik warga. Mereka menyimpan padi hasil sawah yang akan dimanfaatkan ketika
hasil panen sedikit atau buruk. Tak jauh dari situ barulah tampak rumah warga.
Sepi, seolah tanpa penghuni. "Mungkin semua orang tengah berladang,"
kata salah satu dari kawan Baduy. Kami menyempatkan diri diam barang sejenak.
Duduk di kayu panjang yang diletakkan di depan rumah. Cikertawana adalah satu
dari tiga kampung Baduy Dalam, selain Cikeusik dan Cibeo. Kampung yang akan
kami tuju adalah Cibeo.
Sekitar dua
puluh menit perjalanan dari Cikertawana, kami tiba di Cibeo. Rumah panggung
beratap daun enau berbaris rapi. Dinding-dindingnya terbuat dari bilik bambu.
Empat kayu terlihat menyangga pada tiap sisinya. Semua rumah di Baduy Dalam
menghadap utara atau selatan. Saling berhadapan, atau membelakangi. Suasananya
tak jauh beda dengan Cikertawana. Tapi terkesan lebih padat. Jarak antar rumah
lebih kerap, lebih kurang 3 meter. Sedangkan sisi-sisi rumah jaraknya lebih
rapat lagi. "Lebih dari 100-lah," kata Kang Sarta saat kutanya jumlah
rumah di Kampung Cibeo. Setelah keringat cukup kering, bersama Jean aku masuk
ke bagian dalam rumah. Sedangkan sebagian kawan masih asik berbincang di
beranda. Yang kusebut beranda di sini adalah ruang terbuka sekitar 1x2,5 meter,
terbuat dari bambu dan tampaknya memang berfungsi sebagai beranda atau teras.
Istri Kang
Sarta datang membawa singkong rebus hangat disuguhkan. Ditemani dengan gula
merah. Perempuan itu berpakaian sama dengan suaminya, baju atasan warna putih gading
dengan bordir di tepian lubang leher dan lubang lengan. Bedanya, modelnya blus.
Di lehernya melingkar kalung mote. Ia cukup ramah dibandingkan dengan
perempuan-perempuan Baduy yang sempat kujumpai di sekitar. Aku mengiyakan saat
Kang Sarta menawari kopi. Kupilih tanpa gula. Tampaknya nikmat membayangkan
kopi pahit yang diminum setelah segigit gula merah. Tradisi ngopi ala kampung
yang sempat kuingat.
Kami
menikmati sajian sore itu di bagian depan rumah panggung Kang Sarta. Duduk
beralas tikar. Tak jauh dari kami duduk
ada tungku. Sebuah tungku lain terlihat di dalam bilik. Sebetulnya tak bisa
disebut bilik. Lebih menyerupai ruang di dalam ruang, rumah di dalam rumah
(panggung). Ini menunjukkan ada dua keluarga di rumah ini. Anak perempuan kedua
Kang Sarta sudah menikah dan tinggal bersama mereka. Ruang yang terbuka buat
tamu biasanya di bagian luar bilik, pada sisi kiri dan kanan pintu masuk.
Menuju
petang kawan-kawan yang awalnya bercakap di beranda mulai bergeser masuk.
Menikmati kopi atau teh panas. Singkos
rebus kini ditemani labu. Kenikmatan lalu terganggu keinginan buang air kecil.
Di gelap malam tanpa penerangan? Yup! Sorenya Kang Sarta sempat memberi tunjuk
jalan menuju sungai. Baik area untuk laki-laki maupun untuk perempuan. Namun
tampaknya tak tega membiarkan kami sendiri. Aku dan Jean ditemani Kang Sarta,
berjalan hanya dengan penerangan senter. Hati-hati menuju sungai.
4/
Begitulah.
Rasanya malam tiba dengan sangat segera. Dari yang sore datang, bercakap,
melihat sejenak sekitar, malam malam, tiba-tiba saja dunia demikian senyap. Di
perkotaan, bahkan di desa sekalipun, hari bisa terasa lebih panjang karena ada
penerangan atau aneka hiburan yang bisa menjadi teman. Masyarakat Baduy Dalam
menerangi biliknya dengan lampu berbahan bakar minyak kelapa. Lampu akan segera
dipadamkan begitu kebutuhan untuk berjaga telah tercukupi. Gelap seantero
kampung. Sempat sedikit riuh saat mereka menawarkan souvenir. Baik yang
disediakan Kang Sarta dan keluarga, maupun beberapa pemuda yang juga menawarkan
aneka souvenir seperti gelang, tas, dan baju. Riuh sejenak, untuk kemudian
hening.
Butuh waktu
cukup lama untuk aku terlelap. Bukan karena gelap atau dingin. Aku terbiasa
tidur dalam gelap. Perihal dingin, salah satu hal yang terlewat kupersiapkan
adalah kantong tidur. Tapi pada musim hujan, udara terasa lebih hangat
dibandingkan saat kemarau. Konon itulah kebijaksanaan alam. Musim kemarau akan
memberimu perjalanan yang mudah. Tanah yang kering dan tak perlu repot
bermantel hujan atau berpayung. Tapi malamnya akan memberimu dingin yang
menggigit. Sedangkan musim hujan, ia memang memberimu basah dan lembab. Tapi
malamnya cukup bersahabat. Dingin iya, tapi masih bisa ditorelansi. Aku cukup
berjaket, bersarung, dan berkaos kaki.
Ya, gelap
dan dingin tak menggangguku. Aku mengumpulkan ingatan dari catatan dan apa yang
diceritakan Opa Felix sepanjang perjalanan dari Bandung. Masyarakat Baduy Dalam
adalah orang-orang yang sangat sederhana. Banyak orang yang menghubungkan
masyarakat Baduy Dalam dengan hal-hal yang berbau mistik. Ada juga yang
mengaitkan mereka dengan kesaktian, barangkali tercampur aduk dengan jawara
Banten.
Ada sejumlah
pendapat yang berbeda memang tentang asal-usul masyarakat Kanekes atau Baduy
ini. Ada pendapat yang mengaitkan masyarakat Baduy dengan Kerajaan Sunda yang
sebelum keruntuhannya pada abad ke-16 berpusat di Pakuan Pajajaran (sekarang
sekitar Bogor). Wilayah ujung barat pulau Jawa ini awalnya merupakan bagian
penting dari Kerajaan Sunda. Saatw itu belum berdiri Kesultanan Banten.
Sementara Banten sendiri merupakan pelabuhan dagang yang cukup besar. Berbagai
jenis perahu berlayar di Sungai Ciujung. Mereka mengangkut hasil bumi dari
wilayah pedalaman. Karena pentingnya peran sungai tersebut, diperintahkanlah
sepasukan tentara kerajaan yang terlatih untuk menjaga dan mengelola kawasan
berhutan lebat dan berbukit di wilayah Gunung Kendeng tersebut. Inilah yang
dianggap sebagai cikal bakal masyarakat Baduy. Pendapat ini berbeda dengan yang
disebutkan Van Tricht.
Van Tricht
adalah seorang dokter yang pernah melakukan riset kesehatan pada tahun 1928.
Menurut Van Tricht, orang Kanekes atau Baduy adalah penduduk asli daerah
tersebut yang memiliki daya tolak kuat terhadap pengaruh luar. Orang Baduy sendiri juga menolak disebut
pelarian dari Pajajaran, ibu kota Kerajaan Sunda. Penelitian lain menyebutkan
bahwa orang Baduy adalah penduduk setempat yang dijadikan penjaga kawasan suci
secara resmi oleh raja. Mereka berkewajiban memelihara kabuyutan atau tempat
pemujaan leluhur/nenek moyang. Kebuyutan di daerah ini dikenal dengan kabuyutan "Jati Sunda" atau "Sunda Asli" atau "Sunda Wiwitan". Sunda Wiwitan juga menjadi
agama asli penduduk Kanekes.
Baca juga: Bali, Piodalan, dan Ritual Religi
Ya, seperti
kata Opa Felix, orang Baduy adalah orang-orang sederhana. Tak perlu bergesa karena
memang tak ada yang dikejar. Karena segala sesuatunya memiliki waktunya
sendiri. Maka ketika orang berlomba untuk memiliki kendaraan, orang Baduy
memilih untuk berjalan kaki. Itu pun tanpa alas kaki! Hal ini juga menjadi
aturan yang harus dianut oleh orang Baduy Dalam. Selain tak menggunakan kendaraan untuk transportasi, aturan lainnya
adalah:
- Pintu rumah harus menghadap ke utara atau selatan.
- Rumah Pu'un atau ketua adat sebagai pengecualian.
- Tidak menggunakan peralatan elektronik atau teknologi.
- Pakaian yang dikenakan berwarna hitam atau putih dengan bahan dari katun dan dijahit tangan.
Suasana
rumah makin hening. Sebagian sudah terlelap. Sesekali terdengar suara kucing.
Tak banyak kujumpai kucing di perumahan warga Baduy. Satu yang sempat kujumpai
di rumah dekat sungai. Bulu kuning, yang diam saja saat kuelus. Ah baiklah,
mungkin aku pun perlu tidur.
5/
Dingin pagi
menusuk jari kaki. Dari ujung ruang bunyi alarm berkejaran. Suara yang pasti
mengganggu warga sekitar. Entah aku terjaga karena dingin atau bunyi alarm.
Kuputuskan untuk bangun. Mematikan alarm yang salah satunya ternyata dari tas
ranselku. Alarm HP yang ku-set di jam 05.30. Lupa kumatikan.
Hujan di
luar. Berbalut kain sarung, aku duduk di beranda. Serangkaian tulisan terbaca
di dinding belakang rumah depan. Nama-nama. Entah siapa saja. Orang Baduy tidak
mengenal sekolah. Pendidikan formal bertentangan dengan adat-istiadat mereka.
Sejauh ini mereka menolak usulan pemerintah untuk membangun fasilitas sekolah
di desa-desa mereka. Tak heran jika mayoritas orang Baduy tidak dapat
baca-tulis. Apa yang menjadi adat-istiadat, kepercayaan/agama, dan cerita nenek
moyang hanya tersimpan di dalam tuturan lisan. Tapi seperti yang terbaca pada
dinding-dinding bambu, tak semua buta huruf. Anak-anak muda belajar membaca
dengan cara mereka. Bahkan kemudian aku mendapati seorang pemuda, Doni
(20th)-yang kemudian menjadi favoritku, tampak antusias menggunakan
potongan-potongan kata berbahasa Inggris.
Ya, mereka
belajar membaca dari kertas apapun yang mereka jumpai. Karena buku pun jarang
ditemukan. Sebelumnya tak diperbolehkan. Tapi kini, konon bisa ditoleransi
selagi secukupnya; tak banyak, tak berlebih. Pembalajaran informal dengan
instrukstur atau pengajar pun tidak ada. Jadi kemampuan membaca-menulis sangat
bergantung pada antusiasme masing-masing anak dalam belajar. Beruntunglah masih
ada semangat kompetisi meski sangat samar. Melihat temannya bisa baca, yang
lain terpacu untuk bisa pula.
Kang Sarta
keluar dari ruangan. Diikuti anak ketiganya. Perempuan berusia sekitar 5
tahunan. Ia mengambil tabung bambu yang disandarkan berjajar di dinding
beranda. Rupanya tabung bambu tersebut adalah perangkat mengambil air dari
sumber air. Sebelumnya aku sempat bertanya-tanya tentang benda mirip kentongan
bambu itu. Si gadis kecil diminta tinggal di rumah. Tapi bersisikukuh ikut si
bapak. Berdua mereka menembus gerimis ke arah belakang rumah.
Menuju siang
dan gerimis mulai berhenti, ada sesuatu yang harus dicoba: mandi! Karena bukan
sembarang mandi, tapi mandi dari pancuran, di ruang beratap langit dan
berdinding pepohonan. Ahaaaayyy! 😀
Sebagian
warga Cibeo mandi di sungai. Sepertinya
tak banyak yang memanfaatkan pancuran. Kang Sarta menyebutnya sebagai ‘kamar
mandi tamu’ 😊 Ke ‘kamar mandi’ inilah kami, aku dan Jean menuju. Sebuah bak
air terbuat dari batang kayu dengan ceruk di bagian tengah. Menyerupai kano.
Air mengucur dari pancura yang terbuat dari batang bambu ramping. Pada pintu
masuk tersedia bambu anyam dengan batang yang cukup tinggi, sekitar sejajar
dada. Tapi beberapa sampah berserak. Di lantai kamar mandi. Di balik bak air.
Di sela-sela rumpun tanaman semak. Siapa yang menggunakan shampoo? Siapa
pemakai pembalut wanita? Siapa yang merokok? Tak satupun orang Baduy yang
melakukannya. Artinya, semuanya adalah ulah pengunjung. Dapat dibayangkan kalau
kawasan Baduy Dalam ini aksesnya dibuka lebar, bakal menjadi apa desa
tradisional ini. Barangkali tak ubahnya perkampungan di dalam kota dengan aneka
produk modern yang menghasilkan banyak sampah. Agak mengherankan. Di benakku, orang yang mau repot-repot
menempuh perjalanan jauh untuk sampai lokasi mustinya orang yang mengapresiasi
positif kebijaksanaan penduduk lokal. Tapi bayangan dalam benakku tampaknya
meleset. Barangkali ada cukup banyak orang yang beranggapan, travelling ke
Baduy Dalam itu seksi. Peduli mah urusan nomor 127. Ah, entahlah..
Begitulah,
acara mandi berjalan dengan sukses. Diawali dengan tengok kanan-kiri-atas,
kali-kali ada orang lewat. Tapi berikutnya sudah: emang gue pikirin! 😂 Segarnya air pancuran menghilangkan kekhawatiran bakal dilihat orang atau
hadirnya binatang-binatang yang tak terduga. Acara mandi pagi yang luar biasa.
Rasanya tak ingin beranjak 😀
Baca juga: Bali 2024, Wisata Kuliner dan Religi
6/
Jelang
siang, saatnya melakukan perjalanan pulang. Botol air minum diisi. Jas hujan
disiapkan. Kali ini kami mengambil jalur Ciboleger. Artinya kami akan menempuh
perjalanan sekitar 12 kilometer. Ini yang diagendakan Opa Felix dari awal,
untuk kami membuat perbandingan antara perkampungan Baduy Dalam dan Baduy Luar.
Perjalanan yang berat karena sepanjang jalan hujan bersetia menemani kami.
Jalanan licin, naik turun, menyeberangi sungai tanpa jembatan. Dua kali aku
terjatuh, dengan luka lecet di siku. Pemanduku, Sarip, segera mencarikan
beberapa tanaman untuk mengeringkan luka. Beberapa kawan juga mengalami hal
yang sama. Jatuh terpeleset, jatuh di sungai.. Perjalanan sempat berhenti di
beberapa titik, jeda istirahat, tapi akhirnya tiba juga dengan selamat di
Ciboleger. Waktunya 5,5 jam. Tahukah, berapa lama jarak tersebut biasa ditempuh
penduduk Baduy Dalam? Satu setengah jam sajo! Bayangkan betapa berusaha
bersabarnya kawan-kawan Baduy Dalam menyertai perjalanan kami 😃
Titik akhir
perjalanan adalah kedai makan yang menyediakan meja kursi cukup banyak, lengkap
dengan toilet (bertulis MC 😁). Sebagian kawan membersihkan diri di kamar
mandi, sebagian makan atau ngopi, sambil melanjutkan berbincang dengan
kawan-kawan Baduy Dalam. Kebetulan ada seorang bule nyasar yang berjumpa dengan
kami di perjalanan. Bule Spanyol itu akhirnya bergabung dalam obrolan. Beberapa
pemuda Baduy Dalam tampak antusias untuk mencoba berbahasa Inggris. Karena
sejauh ini warga asing tak diperbolehkan masuk ke perkampungan Baduy Dalam.
Riuh dan hangat.
Akhirnya
tiba juga wancinya untuk pamit pisah. Kang Sarta and the gank akan melanjutkan
perjalanan kembali pulang. Diawali dengan foto-foto bersama, akhirnya kami pun
bersalam perpisahan dibarengi dengan harapan untuk berjumpa lagi.
Terimakasih
banyak, kawan-kawan Baduy Dalam yang –dalam waktu sehari semalam- telah banyak
mengingatkan tentang kesederhanaan dalam hidup. Semoga masih ada kesempatan
untuk kita berjumpa kembali. Semoga pula masih kujumpai kalian, kaum muda Baduy
Dalam, dalam kebersahajaan yang sama. Tanpa terpengaruhi produk-produk
modernitas. Terus bertahan menjaga tradisi dan alam sekitar.
Terimakasih
banyak juga untuk kawan-kawan Bandung Heritage yang telah mengajakku terlibat
dalam perjalanan ini.
No comments