Kesultanan Banten di Masa Kini





Memasuki kawasan Banten Lama. Sepanjang perjalanan, pada beberapa titik tampak jejak sejarah, bangunan-bangunan kuno baik yang tak lagi utuh maupun yang masih lengkap terawat. Benteng Speelwijk, Istana Kaibon, bangunan makam, dan aroma masa lalu yang masih kental terasa. Hingga tiba di sebuah pertigaan. Pilihannya hanya belok kiri, karena lurus bertanda verboden. Pada sudut persimpangan tersaji pemandangan serupa benteng yang tak lagi sempurna. Ya, inilah sisa Istana Surosowan. Aku pernah berkunjung ke sini, 4 tahun lalu. Nun jauh di belakang area benteng, sebuah menara menyembul. Menara Masjid Agung Banten. Tak jauh dari masjid, berdiam keluarga Sultan Banten. Ke situlah kami menuju..

Mobil berbelok kiri mengikuti petunjuk. Berderet-deret lapak penjual aneka souvenir dan makanan, padat mengitari area masjid. Aku ingat, pada kedatanganku empat tahun lalu, kesan yang kudapat adalah: kumuh. Bagaimana tidak? Aku membayangkan sebuah pusat wisata religi. Sebuah masjid yang berdiri anggun dan kubayangkan memancarkan kharismanya tersendiri: agung, suasana khusuk, mistis, adem.. Yang kujumpai area masjid dipadati pedagang dengan sampah bertebaran di berbagai tempat. Sedih melihatnya. Dan sedih yang sama masih kurasakan kini, empat tahun dari pertama menjejaki area masjid ini.

Kami belum langsung menemukan jalan menuju kediaman Sultan. Harus parkir kendaraan di area parkir. Suasana ramai, bertepatan dengan ibadah sholat jama'ah Jumat. Hingga akhirnya diputuskan untuk masuk jalan bertanda verboden, memutar menuju rumah Sultan. Kami tiba di sebuah kawasan berpagar tinggi dengan pintu gerbang. Langsung berjumpa dengan sebuah jembatan tinggi sebelum memasuki area rumah tinggal. Kami disambut oleh Sultan Banten, Ratu Bagus Hendra Bambang Wisanggeni Soerjaatmadja bin Ratu Bagus Abdul Mughni bin Ratu Bagus Marjono Soerjaatmadja bin Pangeran Timur Soerjaatmadja bin Sultan Maulana Muhammad Shafiuddin. Nama yang terakhir adalah Sultan Banten terakhir yang dibuang Belanda ke Surabaya pada tahun 1832. Didampingi Raden TB Moggi Norsatya (dipanggil Fadhil) yang tampaknya menjadi juru bicara keluarga. Dari Bandung Heritage, Tubagus Adi mengawali percakapan. Menyusul kemudian Kyai Haji Tubagus Fathul Azhim, putra residen pertama Banten, KH Tubagus Achmad Chotib yang sekaligus memimpin pesantren.


“Maaf ya, kondisinya kumuh,” ujar KH TB Fathul Azhim di antara aneka obrolan tentang hal ihwal Kesultanan Banten. Kyai Fathul mengatakan bahwa ia sudah tak mengurusi langsung Masjid Agung Banten yang merupakan simbol penting dari Banten. Terakhir sekitar 4 tahun lalu, sebelum diambil alih pihak lain. Kesultanan Banten rupanya juga mengalami persoalan internal tentang “siapakah yang berhak menjadi Sultan”. Barangkali ini memang persoalan yang banyak kita jumpai di wilayah-wilayah yang memiliki sejarah kerajaan atau keprabon.

Pada jeda selesai makan siang, kawan-kawan Bandung Heritage menyiapkan helicopter camera drone, untuk memotret Masjid Agung Banten dari udara. Kang Adi dan Kang Ivan melakukan proses perakitan, diikuti dengan antusias oleh kerabat kesultanan. Tak berapa lama drone berhasil diterbangkan. Mengudara, berputar, meninggi... Pada ketinggian di atas menara, dari monitor tertangkap adanya goncangan pada kamera pengintai. Raib dari monitor. Drone terpental jatuh. Entah atas penyebab apa. “Sepertinya harus memang harus ke sini lagi,” ujar Kang Adi, pemilik drone, yang terdengar seperti menghibur diri 😀


Setelah beberapa lama ikut menengok tempat jatuhnya drone, aku menuju area masjid. Masjid Agung Banten dibangun pada abad 16. Saat itu kesultanan Banten berada di bawah kepemimpinan Sultan Maulana Hasanudin dan berlanjut saat pemerintahan dipegang oleh Sultan Maulana Yusuf. Berlokasi di Kecamatan Kasemen, sekitar 10 km dari pusat Kota Serang, Masjid Agung Banten berdiri di atas tanah dengan luas 13 Ha. Yang khas dari masjid ini adalah adalah atap bangunan utama yang bertumpuk lima, menyerupai pagoda China. Disebutkan bangunan masjid memang karya arsitektur China bernama Tjek Ban Tjut. Pada sisi utara dan selatan bangunan utama terapat dua serambi sebagai pelengkap.


Masjid Agung Banten juga menjadi tujuan wisata ziarah. Pada serambi kiri masjid ini dapat dijumpai kompleks makam sultan Banten dan keluarganya, yakni Maulana Hasanuddin dengan Permaisurinya, Sultan Ageng Tirtayasa, dan Sultan Abu Nashr Abdul Kahhar atau Sultan Haji. Sedangkan pada serambi kanan, terdapat makam Sultan Maulana Muhammad, Sultan Zainul Abidin, Sultan Abdul Fattah, Pangeran Aria, Sultan Mukhyi, Sultan Abdul Mufakhir, Sultan Zainul Arifin, Sultan Zainul Asikin, Sultan Syarifuddin, Ratu Salamah, Ratu Latifah, dan Ratu Masmudah.

Yang khas lainnya dari Masjid Agung Banten adalah menara yang terletak di sebelah timur masjid. Pada masa lalu, selain digunakan sebagai tempat mengumandangkan adzan, menara yang dibuat oleh Hendick Lucasz Cardeel ini digunakan sebagai tempat menyimpan senjata. Menara ini memiliki tinggi kurang lebih 24 meter dengan diameter bagian bawahnya sekitar 10 meter. Konon setelah melewati 83 buah anak tangga akan bisa menikmati pemandangan sekitar masjid hingga perairan lepas pantai. Selain menara, Hendick Lucasz Cardeel sebelumnya juga yang merancang paviliun tambahan yang terletak di sisi selatan bangunan utama masjid. Paviliun persegi panjang dengan gaya arsitektur Belanda kuno ini dulu dimanfaatkan sebagai tempat menggelar berbagai acara seperti rapat dan kajian Islami. Kini bangunan tersebut digunakan sebagai tempat menyimpan barang-barang pusaka. Sayangnya aku tak berkesempatan untuk menapaki anak-anak tangga menara. Pun dengan paviliunnya. Cukup melihatnya dari jauh. Itu pun tak bisa menangkap utuh keseluruhan bangunan karena terhalang aneka lapak jualan.

Tak jauh dari masjid, Istana Surosowan berdiri. Seperti halnya Masjid Agung Banten, istana ini juga dibangun pada abad 16, persisnya tahun 1526. Istana Surosowan memiliki luas kurang lebih 3,8 hektar. Istana ini tiga kali dibangun akibat hancur karena perang. Terakhir, pada tahun 1808, Gubernur Jenderal Hindia Belanda, Herman Willem Daendels, memerintahkan pembangunan Jalan Raya Pos untuk mempertahankan pulau Jawa dari serangan Inggris. Saat itu Kesultanan Banten dipimpin Sultan Abul Nashar Muhammad Ishaq Zainulmutaqin. Ia menolak perintah Daendels untuk memindahkan ibu kota Banten ke Anyer. Ia menolak menyediakan tenaga kerja untuk membangun pelabuhan yang direncanakan akan dibangun di Ujung Kulon. Sultan menolak perintah Daendels, sebagai jawabannya Daendels memerintahkan penyerangan atas Banten dan penghancuran Istana Surosowan. Sultan beserta keluarganya disekap lalu dipenjarakan di Benteng Speelwijk. Sultan Abdul Nashar Muhammad Ishaq Zainulmutaqin kemudian diasingkan dan dibuang ke Batavia. Pada 22 November 1808, Daendels mengumumkan dari markasnya di Serang bahwa wilayah Kesultanan Banten telah diserap ke dalam wilayah Hindia Belanda. Pada kedatanganku kali ini, aku tak lagi singgah ke bangunan istana sudah nyaris rata dengan tanah ini.

“Banten itu memiliki tiga pilar utama: kyai, santri, dan jawara. Sekarang apa yang muncul? Kyai Banten mana yang namanya dikenal? Jawara yang ada malah hanya berfungsi bagi orang-orang yang mampu bayar saja,” demikian lebih kurang dikatakan Kyai Fathul. Sementara itu Ratu Bagus Hendra Bambang Wisanggeni Soerjaatmadja berharap situs sejarah kebesaran Banten, dalam hal ini utamanya Masjid Agung Banten tetap dijaga, dirawat dan tidak kumuh.

Dalam beberapa tahun terakhir wacana revitalisasi Kesultanan Banten memang mengemuka. Disebutkan, revitalisasi tidak berarti menghidupkan kembali kerajaan yang sudah tinggal sejarah. Spirit kejayaan dan kemegahan Kesultanan Banten di masa lalu-lah yang ingin dimunculkan sebagai untuk kejayaan Banten di masa kini. Spirit untuk membangun pendidikan, sosial, ekonomi dan budaya berdasar akar budaya Kesultanan Banten. Akankah? Mungkinkah? Mari kita lihat proses ke depan. Secara pribadi, setidaknya aku ingin melihat Masjid Agung Banten yang menjadi kebanggaan Kesultanan Banten di masa lalu, bangunan bersejarah yang masih utuh hingga kini ini bisa hadir kembali dalam pesonanya semula.

Perbincangan masih terus berlanjut, dalam kelompok-kelompok yang terpisah. Hingga kabar dari kantor WWF Indonesia datang, dan kami akan segera melanjutkan perjalanan. Ke Carita berikutnya kami menuju.


No comments