Kopi Aroma, Kopi Yang Diolah Dengan Cinta

Jelang tengah hari. Dua mesin penyangrai kopi buatan Jerman sedang melakukan tugasnya. Satu berkapasitas 100, satunya 60 kilogram. Bara api menyala di dalam tungkunya. Alat sangrai kopi kovensional ini telah bekerja lebih dari 8 dekade. Kopi Aroma, salah satu icon Kota Bandung yang tetap bertahan di tengah maraknya bisnis kopi di tanah air. Apa yang membuat Kopi Aroma tetap mendapat tempat di hati pecinta kopi?
 
Pemilik Kopi Aroma, Widya, terjun langsung dalam pengolahan
“Saya menjalankan bisnis dengan jujur. Proses mengolah kopi tak berubah dari pertama ditetapkan standarnya. Begitu pun kopinya. Standar penyimpanan untuk arabika 8 tahun, robusta 5 tahun untuk mengurangi kadar cafein. First in, first out.” Demikian Widya Pratama menjelaskan idealismenya dalam menjalankan bisnis Kopi Aroma.  Kedua orang tuanya, Tan Houw Sian dan Tjia Kiok Eng, selain mengajarinya tentang dunia kopi juga mengenalkan arti kerja keras dan kearifan dalam berbisnis. Widya muda juga mendapat gemblengan dari pakar ekonomi Prof. Sumitro yang memang berkawan dengan sang ayah. 

Berbekal pengalaman hidup dan tambahan ilmu ekonomi yang didapatkannya dari kampus ekonomi Universitas Padjadjaran, tahun 1971 Widya mulai menjalankan bisnis kopi dengan lebih profesional. Sebagai satu-satunya anak, ia diserahi orangtuanya untuk menangani perusahaan. Dengan sepenuh totalitas ia mengelola Kopi Aroma. Mulai bekerja sejak jam 4 pagi, terjun langsung dalam proses produksi, hingga tak segan mengantar pesanan kopi konsumen. Tak berhenti hanya pada saat memulai, kebiasaan itu dilakukannya hingga kini. Widya tetap terlibat dalam proses produksi bersama karyawannya. “Kalau tanya kenapa Kopi Aroma murah, karena ya kami begini ini. Tanpa seragam, tanpa dasi, tak perlu promosi, tak ada korupsi. Jadi biayanya dapat ditekan,”  ungkap Widya sambil membuka tutup mesin sangrai. Pendek kata, Widya telah menjalankan bisnis fair trade jauh sebelum jargon tersebut digemakan aneka perusahaan multinasional. 

Tutup mesin sangrai telah dibuka. Di usianya yang memasuki 64 tahun, Widya masih melakukannya sendiri. Membalikkan alat berkapasitas 100 kilo tersebut hingga memuntahkan kopi yang telah disangrainya selama 2 jam. “Sekarang orang bisa pakai alat yang 15 menit matang. Tapi kami mempertahankan alat ini untuk menjaga aromanya. Bahan bakarnya kayu karet. Limbahnya. Jadi menguntungkan petani karet juga,” Widya menjelaskan lebih lanjut tentang proses produksi. Potongan-potongan kayu karet dapat dijumpai di bagian belakang bangunan. Bertumpuk rapi di satu sisi, sementara pada sisi seberang adalah rumah ‘kopi muda’, yakni kopi yang baru dikirim. “Biasanya kalau siang jemur kopi. Tapi kalau mendung begini ya tidak. Kalau kopi-kopi baru ini sudah kering, baru masuk gudang untuk proses penyimpanan 5 hingga 8 tahun,” ungkap Widya sambil menunjukkan gunungan kopi yang dikemas dalam karung goni. Material goni dipilih karena memiliki ventilasi.

Bahan baku Kopi Aroma adalah kopi dari berbagai petani di wilayah Indonesia, seperti Preanger, Jember, Bengkulu, Lampung, dan Toraja. Menurut Widya tak benar jika ada istilah kopi wilayah tertentu lebih enak dari wilayah lain. “Itu cuma soal selera. Yang penting proses pengolahannya tepat. Kopi yang dihasilkan pun bagus.” 

Biji kopi dalam gudang penyimpanan
 
Biji kopi siap sangray
Kopi sangray siap dijadikan bubuk

Kopi sangray disaring dulu sebelum masuk grinder

Dalam kurun waktu lebih dari 40 tahun, dapat dikatakan Widya sukses menjalankan roda usaha Kopi Aroma yang beralamat di jalan Banceuy 51 Bandung tersebut. Bertahan dengan yang dibangun dari semula. Tak berniat mengembangkan usaha bentuk lain-membuat cafe atau membuat kopi kemasan tertentu misalnya? “Dalam bisnis memang perlu ada pengembangan. Tapi kembali ke prinsip usaha Aroma, 7 M, Man, Method, Material, Money, Machine, Market, dan Management,” lagi-lagi Widya menjelaskan prinsip bisnisnya. Buatnya, yang sekarang terjalani sudah cukup. Bahkan ada rencana Widya untuk segera pensiun. Ia pun berniat mundur sebagai pengajar di kampus Unpad maupun Unpar, tempat ia mengajar selama ini. Dua dari tiga putrinya telah menunjukkan minatnya pada usaha keluarga ini. Terutama si bungsu yang alumni Matematika Unpar. Mau beristirahat dan menikmati hobi saja, Pak?

“Ya ya.. di antaranya. Saya mungkin akan banyak jalan-jalan. Saya suka naik gunung, menikmati alam.” 

Hujan mulai mengguyur kawasan Banceuy. Barisan antrian pembeli setia Kopi Aroma memilih bertahan, berlindung di bawah atap bagian luar bangunan yang sudah berdiri sejak 1930 tersebut.


*Sudah tayang di SundayPeople

20 comments

  1. Wah, bolak-balik ke Bandung, baru denger nih soal Kopi Aroma. Ndesooo banget Aku, yaaa, hahaha ...

    Ini tuh mereka jual kopi giling mentah gitu, ya? Nggak buka kafe buat pengunjung menikmati kopi di sana?

    Tapi salut ya, pemiliknya sangat menjunjung tinggi idealisme dan integritasnya. Setuju juga aku bahwa semua kopi itu enak, tergantung pengolahannya. Lhah, selama ini kopi yang masuk ke mulutku (kecuali sachetan) memang enak-enak aja, wkwkwk ...

    ReplyDelete
    Replies
    1. engga sih. mereka sengaja ga buka cafe. hanya penyedia kopi aja :)

      Delete
  2. Memang segala sesuatu kalau dijalankan konsisten dan tidak mengubah dari awal, maka akan bertahan ya, Mbak Dhenok. Terbukti Kopi Aroma yang sudah bertahan lama. Bahkan Pak Widya sendiri yang masih menangani prosesnya. Tapi dilihat dari usia yang sudah 64 tahun, Pak Widya harus segera mewariskan keahliannya pada penerusnya.
    Dan ternyata proses penyimpanan kopi sangat lama juga ya, Mbak. Ada 5 tahun, bahkan smapai 5 tahun.

    ReplyDelete
    Replies
    1. buat saya sih jadi hilang rasa khas asam arabica-nya. tapi krn penyimpanan itu, kopi aroma aman untuk lambung. bahkan yg robusta, bagus utk terapi diabetes.

      Delete
  3. Baik banget Bu Widya ini ya,, selaku owner Kopi Aroma, tak pelit² membagikan resep kesuksesan pengelolaan bisnis kopinya, 7 M: Man, Method, Material, Money, Machine, Market, dan Management. Keren ya ulasannya, Mbak Dhenok

    ReplyDelete
  4. Pernah liat di Youtube. MasyaALlah penympanan ko[inya lama. Butuh kesabaran tingkat tinggi nih. Pemiliknya gak hanya pentingin fulus saja tapi kualitas kopinya emang dijaga.

    ReplyDelete
  5. Wow, sejak 1930 bertahan hingga sekarang itu artinya legend banget ya mba Dhenok.

    Itu artinya cara menjalankan bisnis kopi ini layak ditiru.
    Saya jadi penasaran sama aromanya kopi Aroma ♥

    ReplyDelete
  6. Jadi penasaran pengen cobain kopinya. Salut banget dengan prinsip 7M-nya dan keputusannya untuk tidak membuka bisnis kopi seperti yang sedang hits saat ini. Kalau ada kesempatan mencicip Kopi Aroma, nantinya cerita mbak ini pasti akan terbayang juga.

    ReplyDelete
  7. Wah ternyata proses pembuatan kopi sangat panjang juga ya, dan pastinya lebih nikmat hasil kopinya.

    ReplyDelete
  8. Wuih, umur usahanya lebih dari 40 tahun, panjang usianya ya, itulah kalau sudah pakai hati bikinnya, pasti akan pas di hati yang minum

    ReplyDelete
  9. Wah keren banget mbak ulasan kali ini. Saya sangat menikmati gaya penulisannya.
    Aku bukan seorang penikmat kopi. Tapi selalu menarik membaca kisah tentang cinta dan passion, kali ini tentang cinta dan passion pada kopi.

    Terima kasih telah menuliskannya dengan hangat.

    ReplyDelete
  10. Kopi disini masuk tipe robusta atau arabica mbak? Saya pernah beli kopi yang masih berbentuk biji (sudah disangrai) , tapi hanya untuk pengharum ruangan hehe

    ReplyDelete
  11. Walau saya bukan peminum kopi. Tapi baca ini, aroma kopi seakan menyelinap diam diam membawa angan di masa kecil. Apalagi tempatku di Lampung adalah penghasil kopi.

    ReplyDelete
    Replies
    1. wah iya, lampung termasuk penghasil kopi yang dikenal

      Delete
  12. Sunday People apaan ya mbak? Ku kepoh hehe.
    Menarik sekali nih bisa tahu proses kopi dari biji sampai bisa diminum. Usaha kyk gini lumahyan awet krn pd dasarnya kopi tu minuman yang bisa dinikmati semua kalangan ya mbak :D

    ReplyDelete
    Replies
    1. terbitan. udah bubar haha..berat memang media cetak. ini catatan lama..

      Delete
  13. aku suka banget kalo mencium aroma kopi yang masih alami, karena harum dan aku lebih suka minum kopi lokal seperti kopi lampung.

    ReplyDelete
  14. Wow! 8 dekade dan tetap dilakukan! Keren! Keren banget Mbak. Ini lho yang namanya pebisnis andal dan jujur. APalagi dengan disangrai selama itu, nggak 15 menit seperti yg sekarang ini, akan menghasilkan aroma yang istimewa.

    ReplyDelete
  15. Keren sekali gudang kopinya.
    Saya bukan penikmat kopi sih.
    Suami saya yang termasuk pecinta kopi.
    Pasti dia suka kalo diajak nyobain kopi ini

    ReplyDelete