Menjadi Perempuan Mandiri dan Merdeka

Kisah tentang perempuan yang ditelantarkan oleh suami, bukan hal baru. Pada masa kanak, sudah ada cerita yang pernah kudengar dari obrolan ibuku dengan tetangga. Salah satu keluarga besarku ada yang mengalaminya. Masa dewasa, lebih banyak lagi. Beberapa di antaranya aku sempat kenal. Barangkali hal-hal seperti itu telah menjadi bagian bawah sadarku untuk menjadi perempuan mandiri, selain sosok ibuku yang memang mengambil peran besar dalam keberlangsungan perekonomian keluarga kami.



Baca juga: Kesadaran Spiritual, Hidup dalam Perspektif Baru

Di komplek aku tinggal, ada seorang bibi penjaja kue, yang hidup bersama dua anaknya. Dua-duanya memiliki kebutuhan khusus. Yang pernah kutangkap sekilas dari ceritanya, suaminya tidak ada. Saat iu kusimpulkan sebagai meninggal. Ternyata tidak. Informasi yang kemudian kudapatkan, suaminya meninggalkannya saat ia hamil anak kedua. Pada kasus bibi ini, kurasa ia sudah terbiasa bekerja. Ketika keadaan memaksanya untuk menghasilkan uang demi menghidupi dirinya dan anak-anaknya, ia mengerjakan apa pun yang bisa ia lakukan.

Cerita yang lain, seorang kenalan, pengajar Bahasa Jepang di sebuah tempat kursus yang aku pernah bekerja sebagai Markom. Sebelum menjadi pengajar, ia diperlakukan bak ratu oleh sang suami yang seorang dokter spesialis. Keuangan keluarga sangat terjamin, meski ia tak bekerja. Hingga haru itu tiba. Pada jelang kelahiran anak terakhirnya, ketahuan kalau suaminya ternyata punya pasangan baru. Mau membayangkan seperti apa rasanya? Tak usahlah, bikin sesak saja. Ya, sudah pasti itu kabar yang menyesakkan. Namun ia berjuang, anaknya harus tetap lahir dengan selamat. Dan berikutnya, berjuang untuk keluar dari zona nyamannya. 

Hanya sedikit cerita mungkin tak cukup mewakili. Aku hanya mengambil dua kasus yang kedua perempuan dalam cerita ini punya potensi untuk bekerja dan hidup mandiri. Bayangkan, jika para perempuan itu tak memiliki kemampuan dan pengetahuan yang memadai. Sebuah tekat yang kuat bisa jadi akan menyelamatkannya. Tapi, jika sudah langsung kehilangan tekat dan semangat, apa yang kira-kira bakal terjadi?

Baca juga: Reviu Buku dan Tips Menjadi Bookstagrammer


Cek Ulang Alasan Menikah

Seingatku, dalam banyak perbincangan dengan sejumlah perempuan, baik di lingkungan kawan dekat maupun kenal selintas, ada saja perempuan yang ingin segera menikah karena ingin menyudahi kelelahannya dalam pekerjaan. Atau membutuhkan seseorang untuk menutupi rasa kesepiannya. Atau untuk segera keluar dari lingkungan keluarga besarnya. 

Menikah bukan solusi segala masalah, lo. Bahkan bisa dibilang, sebagai sebuah hal baru, pernikahan yang akan dijalani berpotensi menghadirkan masalah baru. Baik masalah sepele misalnya kebiasaan-kebiasaan kecil yang berbeda, hingga persoalan yang lebih besar seperti urusan finansial, kesetiaan, orientasi politik, dll. 

Jika sudah meniatkan diri untuk masuk dalam sebuah pernikahan, bawalah diri kalian, wahai perempuan, sebagai sosok yang mandiri dan merdeka. Pasangan adalah partner untuk mewujudkan cita-cita masa depan bersama. Berjalan beriringan, bergandengan tangan, saling dukung. Sejajar, tak merendahkan dan meninggikan satu sama lain. Hati-hati jika bertemu dengan lawan jenis, dan hanya menempatkan diri kalian sebagai pendamping. Karena, jangan-jangan, ya kalian hanya akan dijadikan pendamping, haha! Eh, ini serius. Buatku pribadi, pemilihan kata pun sangat mewakili karakter seseorang.

Baca juga: Jangan Pelihara Kucing, Buku Kerjasama dengan Penerbit Epigraf


Pernikahan yang Tak Sesuai dengan Harapan

Aku punya kawan yang baru membagikan pengalamannya beberapa hari lalu. Pada masa pacaran, sang kekasih demikian memanjakannya. Terutama hal materi. Bahkan si kawan sering merasa jengah karena dipaksa belanja ini dan itu, hal-hal yang tak dibutuhkannya, bahkan tak disukainya. Anehnya, saat masuk dalam pernikahan, kondisinya berbalik 180 derajat. Sang kekasih yang menjadi suaminya itu pelit luar biasa. Kok bisa? Ya, bisa saja-lah 😀

Setiap orang ingin menunjukkan citra positif dari dirinya. Baik secara jujur maupun manipulatif. Kalau jujur, tentu saja tak akan ada masalah lanjutan. Yang manipulatif ini yang repot, kan? Seperti cerita di atas, kemungkinan besar sikapnya akan berubah drastis. Aslinya bakal keluar. Nah, tapi kan sudah kadung berada dalam pernikahan? Bagaimana, dong?

Buatku pribadi, bicarakan. Selagi ada niat baik, segala sesuatu bisa dibicarakan. Harapannya pernikahan bakal berlangsung seumur hidup, to? Sebelumnya, tanyakan pada diri sendiri apakah akan sanggup bertahan dalam kondisi terkini tersebut. Saat dibicarakan, mungkin akan ketemu jalan tengah. Ketika pasangan tetap bersikukuh dengan sikapnya, tinggal diputuskan, apakah akan selesai saja atau tetap melanjutkan karena berbagai pertimbangan. Kadung cinta, misalnya #uhuk

Jika yang terakhir yang terjadi, ya pastikan saja mandiri secara finansial. Bisa menghasilkan uang sendiri, baik dari bekerja maupun mengelola usaha. Dan buat keputusan-keputusan tersebut sebagai perempuan merdeka, yang tahu betul konsekuensi dari setiap keputusan yang diambil. 

Baca juga: Pernikahan dan Jatah Mantan

Cukup banyak pekerjaan yang bisa dilakukan oleh para perempuan. Terlepas dari latar belakang pendidikannya. Aku sendiri, misalnya, memilih untuk berada di jalur penulisan. Belum sepenuhnya berhasil, baru mencoba bersetia. Tapi kawan-kawan perempuanku banyak yang sudah sukses sebagai penulis buku, blogger, kontributor penulis media. Menjadi editor juga bisa kerja kantoran di penerbitan maupun menjadi editor freelance. Itu dunia penulisan. Wilayah lain masih banyak sekali. Bahkan dari hobi pun bisa menghasilkan, bukan? Yang jago masak, jago crafting, jago make up. Dan masih banyak lagi. 


Berdamai dengan Keadaan

Setiap keputusan yang kita ambil memiliki konsekuensinya masing-masing. Ajakan "berdamai" ada ketika ternyata kondisi yang dihadapi pasca pengambilan keputusan tak sesuai dengan ekspektasi atau yang dibayangkan sebelumnya. 

Sebagai contoh, saat berada dalam pernikahan yang kondisinya tak baik. Ada dua pilihan, lanjut atau selesai. Saat memutuskan selesai, tentunya akan ada banyak perubahan. Perubahan status, perubahan aktivitas rutin harian, perubahan kesempatan, dll. Berdamailah dengan itu. Terima dan jalani dengan sesadar-sadarnya, dan sebaik-baiknya. Sebaliknya, ketika memutuskan lanjut -karena berharap akan ada perubahan, atau pertimbangan adanya anak, atau karena tak bisa pindah ke lain hati, dan alasan yang lainnya, tapi ternyata kondisinya tak juga berubah, ya, berdamai pulalah. Kalau tak sanggup, ya buat opsi baru.

Kurasa pada akhirnya, sebuah relasi berisi tawar menawar dari waktu ke waktu, untuk terus mencapai titik temu. Hingga pada batas tak lagi dikompromikan. Bukankah pada dasarnya manusia berbeda satu sama lain? Mencari titik temu dan berdamai jika memungkinkan, jika tidak, ya selesaikan. Anggap saja bagian dari pembelajaran dalam hidup. 

Baca juga: Menepis Kutukan Balada si Roy

Ngomong-ngomong, si saiyah ini bicara dalam konteks apa? Dalam konteks gregetan 😊 Kesambet apa seorang lajang seperti saiyah bicara tentang hidup berpasangan bahkan pernikahan? Karena bisa jadi, lajang seperti saiyah punya pengalaman lebih banyak. Tentu saja, catatan ini boleh dipercaya boleh tidak. Eh, mestinya disclaimer ini disampaikan di atas, ya? 😂

Catatan ini semata kegundahanku melihat para perempuan yang menyerah karena kondisi dalam hidup berpasangannya. Jangan menyerah, ya, kawans. Tetap jadilah perempuan yang mandiri dan merdeka. 


2 comments

  1. Iya nih, banyak yang menganggap menikah adalah solusi dari segala masalah. Bosen sendiri, nikah. Capek kuliah, nikah. Capek kerja, nikah. Padahal, dalam banyak kasus seperti itu, menikah justru menimbulkan masalah baru.

    ReplyDelete
    Replies
    1. ketika kenyataan tak sesuai harapan, frustasilah, ya..

      Delete