Pernikahan dan Jatah Mantan

Awalnya agak takjub mendapati istilah "jatah mantan". Kupikir hanya semacam becandaan. Barulah beberapa waktu lalu kutemukan sebuah thread di twitter, saling cuit berbagi pengalaman. Baik pengalaman mereka sendiri maupun teman-temannya. Ramai! Dan itu rupanya hal yang banyak ditemukan dalam sebuah hubungan terutama saat jelang pernikahan. 



Baca juga: Stoikisme dan Upaya Melakoni Hidup yang Baik

Seperti contoh hasil capture di bawah. Berapa panjang urusan jika ternyata si perempuan hamil dan anak yang dikandungnya adalah dari hasil hubungannya dengan sang pacar yang bukan suaminya? Laki-laki yang hanya berstatus mantan itu bisa jadi sudah ada di antah berantah yang lain. Tak bertanggung jawab dengan darah dagingnya. Apa si perempuan ini sanggup abai terhadap fakta itu seumur hidupnya? Hati kecilnya tak akan terusik? Bagiamana pula jika ia berlandaskan hukum Islam yang terkait erat dengan persoalan wali nikah dan sebagainya? Rumit bukan? Jadi, kenapa pula mesti memberikan "jatah mantan"?

Apa, sih, Jatah Mantan?

Sejauh yang bisa kusimpulkan, istilah itu mengacu pada hubungan seksual antara pacar atau kekasih yang dilakukan pada jelang pernikahan salah satu pihak. Baik pada masa sebelumnya mereka memang sudah terbiasa melakukan aktivitas seksual, maupun belum sama sekali. "Jangan sampai penasaran." Demikian salah satu alasannya bagi yang sebelumnya menjaga diri untuk tidak melakukan persetubuhan di luar nikah.

Barangkali, jika tak ada konsekuensi lanjutan, tak akan jadi soal. Tak ada bakal anak dalam hubungan satu malam itu. Semata having fun, bersenang-senang. Kecuali suatu kali muncul rasa bersalah yang akan menghantui seumur hidup pernikahan. Atau mengacu pada istilah karma, bahwa tindakan kita adalah tanggung jawab kita. Karma sebagai siklus batin yang kita ciptakan sendiri.

Baca juga: Kesadaran Spiritual, Hidup dalam Perspektif Baru


Mantan? Buang ke Laut Aja!

Tentu saja kalimat di atas semata sarkasme. Terkait hubungan dengan mantan masih berlanjut sekadar silaturahmi atau sama sekali terputus, tentu menjadi keputusan masing-masing pribadi. Mengapa ada istilah mantan? Karena sudah tak ada komitmen untuk menjalin hubungan lagi. Sudah lewat masa kebersamaannya. Jadi, mantan hanyalah masa lalu. 

Simak, deh, apa kata Keanu Reeves! Aku pernah mengutipnya dan menayangkannya di twitter.

Yup, jika tak diperjuangkan, hubungan macam apa yang kita jalin? Dalam arti, jika seseorang memang worth it untuk dipilih sebagai pasangan, perjuangkan. Jika tidak, tinggalkan, abaikan, pergi sejauh-jauhnya darinya. 


Pernikahan

Di sini aku bicara berangkat dari anggapan umum saja. Tak punya kapasitas untuk dijadikan bahan rujukan. Tak punya pengalaman menikah, pun bekal keilmuan soal itu. Tak akan pula menyampaikan pandangan pribadi karena bisa jadi akan sangat berbeda bahkan berseberangan dengan pandangan umum. 

Menurut KBBI, nikah adalah perjanjian perkawinan antara laki-laki dan perempuan sesuai dengan ketentuan hukum dan agama. Dalam tataran global, ada perbedaan, misalnya sejumlah negara telah memberikan kesempatan bagi pernikahan sesama jenis. Dengan kata lain, pernikahan merupakan perjanjian antara dua orang yang berpasangan yang diresmikan berdasarkan norma hukum, agama, dan sosial. 

Ada prasyarat tertentu bagi dua orang yang melangsungkan pernikahan, di antaranya mampu secara finansial, matang secara biologis, dan siap secara emosional. Pernikahan dilakukan dengan alasan yang beragam. Ada yang semata pertimbangan agama yang menganggap pernikahan sebagai ibadah, ada yang demi memiliki keturunan secara legal dan diakui agama, ada pula yang berangkat dari hal yang lebih hakiki, seperti mewujudkan visi dan misi hidup secara bersama. 

Baca juga: Berkenalan dengan Laku Spiritual lewat Buku Tantra

Pernikahan bukanlah akhir dari perjalanan, melainkan sebuah babak lain. Sebuah babak baru bagi yang memutuskan untuk menjadikan pernikahan sebagai pilihan. Ada demikian banyak persoalan dan tantangan yang dihadapi dalam pernikahan.

Mari kita sebut beberapa di antaranya. Persoalan yang muncul dalam pernikahan yang bahkan berakhir dengan perceraian. 

1. Persoalan finansial. Ada begitu banyak contoh yang menunjukkan bahwa persoalan finansial menjadi satu hal super penting dalam kehidupan berumah tangga. Pernikahan bukanlah ajang berspekulasi, "Ah, nanti juga ada rezekinya." Maka sebaiknya memastikan sedari awal kesiapan masing-masing secara finansial.

2. Kekerasan dalam rumah tangga (KDRT). Kasus KDRT kerap kita dengar, baik di lingkungan terdekat hingga mereka yang terpapar media massa. Baik kekerasan fisik, maupun kekerasan verbal. Seperti contoh baru-baru lalu, pasangan selebritas yang kasusnya viral karena kejadian KDRT. Yang tak terungkap? Banyak! KDRT pada wanita terutama. Tahun lalu seorang mantan tetangga "curhat" perihal KDRT yang dialaminya selama menikah. Hal yang sama sekali tak kuketahui sebagai tetangga. Ia menyimpan rapat-rapat. Ya, kasus KDRT ada di sekitar kita, mereka yang berada dalam lembaga pernikahan. 

3. Keterlibatan keluarga besar. Bagi sebagian orang, keterlibatan keluarga besar ini terasa receh. Eits, jangan salah. Pada kasus-kasus tertentu, keterlibatan keluarga besar bisa menjadi penyebab perang Bharatayuda #eh perang dalam rumah tangga. Yang ujung-ujung dihadapkan pada pilihan, "Kamu pilih aku atau keluargamu?"

4. Pengkhianatan. Kasus WIL/PIL sudah kudengar sejak aku masih bocah. Dan bahsan tentang pengkhiatan dalam kehidupan pernikahan tak pernah surut. Terlebih di masa kini, dengan kemudahan yang ditawarkan oleh fasilitas internet, perjumpaan-perjumpaan virtual kerap menjadi awal dari hadirnya orang ketiga dalam kehidupan pernikahan. 

5. Perubahan pandangan politik agama/kepercayaan. Ininocak! Tapi ini betul-betul terjadi. Bagaimana pandangan politik yang berbeda dari sebuah pasangan dapat menjadi penyebab goncangan. Pun dengan perubahan haluan dalam memahami kehidupan religi dan spiritualitas. Perbedan yang mencolok acapkali tak bisa didamaikan. Perpisahan pun tak jarang menjadi pilihan.

Itu beberapa saja yang kutemukan dan kuamati. Kemungkinan ada sekian potensi masalah lain dalam kehidupan pernikahan. Tidak hadirnya anak, misalnya. Bahkan ketidaksamaan pendapat dalam kepemilikan binatang peliharaan dapat menjadi sumber masalah. Intinya, pernikahan bukan hal yang sederhana. Jadi, wahai para pemburu kenikmatan ragawi, masihkah mau mempertahankan tradisi "jatah mantan"? 

Catatan ini tanpa pretensi menghakimi. Pun aku bukan orang yang normatif. Cuma, please, pernikahan bukan legalisasi dari hubungan seksual. Ada nilai-nilai baik yang semestinya dijunjung dan tak dinodai dengan hal remeh temeh seperti memenuhi ego hewani kita. Maka, stop bucin, dan buanglah mantan pada tempatnya.

No comments