Beberapa waktu terakhir bahasan tentang childfree begitu riuh menghiasi linimasa media sosial. Memang, apa sih yamg tak diributkan di aplikasi jejaring pertemanan ini? Segala hal dibahas, dan makin dipertentangkan, makin seru. Aku sendiri tak berminat untuk urun rembug terkait bahasan ini. Hanya ingin menyoroti perihal kegemaran orang-orang kita dalam ikut campur urusan orang lain. Bahkan hal-hal yang sangat pribadi.
Baca juga: Perempuan dalam Karya Pramoedya Ananta Toer
Kita telah terbiasa dengan perspektif budaya kolektif bahwa orang pada usia tertentu harus menikah, lalu punya anak. Pandangan yang tidak memberikan alternatif perspektif yang lainnya. Maka begitu ada pernyataan dari satu sosok YouTuber (yang kemudian aku tahu namanya Gita Savitri) soal keputusannya untuk childfree, ramailah netizen. Mereka mengkritik dan menilai keputusan tersebut tidak tepat.
Sejarah Childfree
Pilihan untuk tidak memiliki anak telah ada sejak berabad lalu di Amerika Serikat, seluruh Eropa barat laut, Kanada, serta Australia. Hal ini juga berpengaruh besar terhadap penilaian masyarakat akan institusi pernikahan, atau sebaliknya. Profesor Sejarah di Xavier University dan penulis buku "How to Be Childless: A History and Philosophy of Life Without Children", Rachel Chrastil seperti dikutip Natgeo mengatakan setelah Abad Pertengahan, perempuan-perempuan perkotaan memilih untuk menunda pernikahan. Pada sekitar awal tahun 1500-an tersebut, para perempuan di desa-desa kawasan barat laut Eropa juga melakukan hal yang sama. Mereka menunda pernikahan hingga usia pertengahan 20-an.
Masa sebelumnya, para perempuan melakukan pernikahan usia muda lalu tinggal bersama di rumah mertua atau dalam keluarga besar mereka. Ketika pilihan menunda pernikahan mulai marak, mereka bekerja giat untuk mendapatkan uang sebagai bekal pernikahan. Termasuk di antaranya untuk memiliki rumah sendiri dan bertanggung jawab penuh terhadap kehidupan pernikahan mereka. Naiknya standar tentang kehidupan pasca pernikahan ini menjadikan lebih banyak orang menunda pernikahan, yang salah satu dampaknya adalah menurunnya angka kelahiran.
Pada masa itu, sudah hal yang lazim menjumpai orang yang tak memiliki anak. Disebutkan, populasi orang dewasa tetap melajang dan besar kemungkinan tanpa anak mencapai 15 hingga 22 persen. Itu di kota-kota pra-revolusi Prancis saja.
Baca juga: Laki-laki dan Peran Pentingnya dalam Penghapusan Kekerasan Berbasis Gender
Pandangan baru terhadap institusi pernikahan tersebut memberikan kesempatan kaum perempuan lebih mandiri dan fleksibel. Menurut para sejarawan banyak catatan yang menyebutkan bahwa para perempuan modern awal telah mengambil banyak peran untuk menghidupi diri mereka sendiri dengan berbagai profesi dan jenis pekerjaan.
Kondisi ini sempat mengalami perubahan, terutama di Amerika Serikat, dengan kebijakan yang mereka keluarkan. Alhasil, perempuan yang saat itu lahir kisaran tahun 1935 dan tumbuh dewasa setelah perang banyak memproduksi anak. Namun kondisi itu dianggap sebagai anomali sejarah. Tak lama. Pada dekade 70-an, alat kontrasepsi lebih canggih, adanya keterbukaan dalam diskusi tentang seksualitas, dan pandangan soal perempuan yang punya hak dalam mengendalikan tubuh mereka sendiri kembali memarakkan wacana childfree.
Childfree sebagai Sebuah Pilihan
Jika melihat dari catatan-catatan yang beredar, nuansa yang muncul adalah soal keinginan untuk keluar dari kungkunan nilai konservatif. Sejalan dengan gerakan kaum feminis yang ingin mendobrak dominasi kaum patriarki.
Dalam tradisi konservatif yang didominasi oleh nilai-nilai lama, orang bisa dengan leluasa masuk dalam kehidupan orang lain. Seolah dinding punya telinga, lalu orang merasa punya hak untuk terlibat dalam persoalan di balik dinding tersebut. Persoalannya, keterlibatan itu dengan membuat pembandingan dengan nilai yang dianut sendiri. Orang lain yang tak sejalan sistem nilainya, dianggap salah. Lantas dikoreksi, bahkan dicela.
Dari pengalamanku sendiri, keingintahuan orang terhadap statusku yang lajang telah merangsekku sejak masuk usia jelang akhir 20-an. Mengapa tak kunjung menikah, apa yang ditunggu? Berat ke karir? Menunggu orang yang tepat? Mengejar cinta? Teman-teman sepantaran sudah pada punya anak, loh! Kakak-kakakmu bukannya seumurmu sudah punya anak? Jangan terlalu memilih, ntar dapatnya malah yang boleng. Dan lain-lain, dan sebagainya. Sibuk sekali orang membandingkan sistem nilai yang dianut orang lain dengan nilai yang mereka ambil untuk kehidupannya sendiri. Itu baru soal status.
Baca juga: Menjadi Perempuan Merdeka dan Mandiri
Ada banyak hal lain yang tampaknya gurih untuk digoreng menjadi bahan gibah. Pilihan cara berpakaian, pilihan agama, apalagi pilihan orientasi seksual, bisa panjang berjilid-jilid. Padahal semuanya itu semata urusan pribadi masing-masing orang yang sudah memasuki kehidupan orang dewasa dan bertanggung jawab terhadap setiap keputusan yang diambil.
Ada pula yang menyandingkan dengan nilai komunal. Nilai pribadi dianggap berbeda dengan nilai yang dianut komunal. Jadilah mereka sebagai polisi norma sosial. Merasa punya kewajiban untuk mengingatkan orang lain. Atau bahkan lebih jauh, meminta mengikuti nilai yang dianut bersama. Padahal nilai dalam masyarakat itu dinamis, selalu berubah mengikuti perkembangan.
Begitu pula dengan soal childfree. Ada cukup banyak alasan orang untuk menjadikan childfree sebagai pilihan. Baik karena alasan sentimentil, misalnya trauma dengan masa kecil karena sistem nilai dalam keluarga yang melemahkan. Orang tua yang pasif atau sebaliknya sangat dominan. Bisa pula karena alasan kesehatan. Atau alasan yang lebih ideologis, misalnya terkait isu lingkungan. Bahwa meningkatnya populasi penduduk di bumi tak sejalan dengan kesehatan bumi dan ketersediaan pangan. Jadilah childfree sebagai salah satu solusinya.
Alasan finansial pun merupakan hal yang sangat masuk akal. Bukankah justru aneh ketika orang yang menikah tak membuat perencanaan terkait masa depan anak, kesehatan, pendidikan, dan kebutuhan-kebutuhan lainnya. Pendidikan saja, kebutuhannya pasti sangat besar. Baru soal kebutuhan pendidikan wajib. Belum lagi pendidikan alternatif tambahan untuk mendukung kemampuan anak. Sila cek home education center perihal pusat pembelajaran dan blog homeschooling soal sistem belajar alternatif.
Itu di antara sekian alasan mereka yang memilih childfree. Bahkan alasan sekadar ikut-ikutan tren pun merupakan hak setiap pasangan.
Baca juga: Pernikahan dan Jatah Mantan
Menjadi Orang Tua yang Berdaya
Buatku pribadi, pilihan untuk childfree adalah sebuah pilihan bebas yang layak didukung. Pun pilihan orang untuk memiliki anak dengan sepenuh tanggung jawab membesarkan, merawat, dan menyejahterakannya hingga kelak dilepaskan sebagai orang dewasa dengan tanggung jawabnya sendiri. Yang kemudian menggelikan adalah komentar kontra childfree yang gagasannya adalah anak sebagai investasi. Anak akan menjamin hidup orang tua saat mereka sudah tidak mampu lagi bekerja. Loh, kok anak menjadi tulang punggung orang tua?!
Anak tak minta dilahirkan. Maka orang tualah yang bertanggung jawab terhadap anak. Saat anak telah dewasa dan bertanggung jawab terhadap dirinya sendiri, orang tua melepaskan mereka. Orang tua tak lagi bertanggung jawab terhadap anaknya. Biarkan anak hidup dengan pilihan-pilihannya. Kelak, sang anak akan bertanggung jawab terhadap anaknya, jika mereka memutuskan memiliki anak.
Tak sedikit orang tua yang telah menyiapkan diri untuk masa pensiun, atau masa ketika tak aktif lagi. Apakah untuk hidup dan tinggal di panti jompo, atau menyiapkan sarana pendukung jika akan tinggal di rumah sendiri. Intinya tidak membebankan tanggung jawab hidup mereka terhadap anak. Bagaimana jika tak mampu? Ya, itu PR yang lain. PR besarmu dalam menempatkan diri dalam kehidupan ini.
Baca juga: Pseudonim, Kisah Pertarungan Idealisme Dunia Penulisan
Jadi Ibu Meong mau childfree juga? Ya, sudah pasti itu, sih. Ibu Meong sudah tak mungkin beranak pinak. Anaknya cukup pasukan meong saja. Apakah dengan begitu terhindar dari kegemaran orang untuk ikut campur? Tentu saja tidak. Tapi sudah tutup mata, tutup telinga. Biar sehat jiwa dan raga 😊
No comments