Menjadi Orang Tua yang Bijak (bukan toxic parent)

Banyak orang yang tak menyadari dampak luka batin di masa kecil yang sering disebut inner child. Yang coba dilakukan biasanya adalah menekan, melupakan, menyembunyikan, atau mengabaikan. Bukan berusaha menyembuhkan. Fakta yang kemudian ditemukan kemudian hari adalah pengaruhnya terhadap kesehatan mental dan aktualisasi diri yang mengalami gangguan. Inilah yang selalu kubayangkan bahwa menjadi orang tua itu tak pernah mudah. Dituntut untuk bijak. Dibesarkan oleh keluarga yang bahagia saja masih ada kemungkinan memunculkan inner child, apalagi oleh toxic parent.



Baca juga: Berdamai dengan Inner Child

Sebagai orang yang gemar mencermati karakter orang, aku pernah dibuat kaget oleh pernyataan seorang kawan yang menyebut diri bipolar. Rutin mengonsumsi obat. Seorang dengan zodiak Leo, yang dalam bayanganku memiliki karakter "high". Seperti kita tahu, mereka yang memiliki kelebihan untuk karakter "high" biasanya memiliki kelemahan untuk karakter "high" juga. Orang dengan kualitas untuk karakter "low" akan memiliki karakter negatif yang "low" juga. Dan beberapa kasus bipolar yang kujumpai adalah mereka dengan karakter "low". Jadi, kasus si kawan ini buatku anomali. Usut punya usut, dari sedikit muasal yang kudengar adalah akibat luka batin di masa kecil. Nah! Bisa dipastikan ada keterlibatan orang tua di sana. 


Menjadi Orang Tua yang Bijak, Seperti Apa, sih?

Tentu saja aku tak pernah menjadi orang tua. Namun aku pernah menjadi anak, pernah dibesarkan oleh orang tua, dan beruntunglah kalau bisa kuceritakan di sini bahwa hingga hari ini aku masih mengolah batin untuk dengan sepenuh kesadaran bisa menerima peristiwa lalu.

Mengacu pada pengalaman pribadi dan dari sejumlah referensi, kubagikan sejumlah hal yang perlu dihindari agar orang tua tak mendapat predikat toxic parent.


1. Melakukan kekerasan fisik

Ingin mendidik anak agar disiplin dengan melakukan tindak kekerasan? Please, ini keluarga, bukan institusi militer. 

Saat ini aku sedang bergabung dalam pembuatan buku biografi salah seorang jenderal TNI yang sudah purna tugas. Sebetulnya aku punya adik dengan pendidikan militer. Namun tak pernah mendengar detail ceritanya. Baru dari penuturan Sang Jenderal inilah aku engah dengan masa perploncoan dan aneka penegakan disiplin yang berlangsung di masa pendidikan militer. Kekerasan fisik terjadi di sana. Tapi, ya, sekali lagi, itu institusi militer yang memang dituntut untuk kuat secara fisik. Mereka bahkan siap untuk mati.

Kekerasan fisik, sekecil apa pun --bahkan tidak meninggalkan jejak luka, bisa meninggalkan luka batin yang mendalam. 

2. Melakukan kekerasan verbal

Siapa bilang kekerasan verbal efeknya ringan dibandingkan kekerasan fisik? Bagi sebagian orang dengan sensitivitas tinggi, kekerasan verbal lebih meninggalkan jejak luka dibandingkan kekerasan fisik. 

Kekerasan verbal biasanya terjadi menyertai kritik yang diberikan orang tua. Banyak orang tua yang tak kenal apa itu kritik. Bahwa kritik bukanlah marah membabi buta. Yang mereka tahu, anaknya salah. Maka harus disalahkan. Masih bagus menyalahkannya dengan kalimat yang santuy. Tak sedikit yang main hajar fisik, atau, ya, itu, melontarkan kalimat yang menyakitkan hati anak.  

Baca juga: Sequoia, Catatan Seorang Lelaki untuk Anaknya


3. Membuat perbandingan

Ini juga terdengar sepele. Orang tua yang tak mau tahu atau memang tak pernah belajar psikologi manusia, khususnya anak, menganggap pembandingan itu hal yang wajar. 

"Masa sih, cuma dibandingin sama temannya atau saudaranya bikin anak sakit hati. Lemah amat!"

"Kan membandingkan itu biar mereka lebih semangat. Tahu kalau masih perlu memacu diri!"

Ingat, ya, Bapak, Ibu, masing-masing anak memiliki kelebihan dan kekurangan. Masing-masing anak juga memiliki potensinya sendiri. Jangan digebyah uyah.

4. Membebankan kesalahan

Hal ini sering kali terjadi saat orang tua mentok dalam menghadapi masalahnya. Lalu mencarilah kambing hitam. Anaklah yang kemudian menjadi sasaran.

"Gara-gara kamu, Ayah nggak jadi dapat promosi kerjaan."

"Kamu, sih, Mama mestinya punya karir yang bagus."

Atau beban kesalahan lain yang remeh temeh dalam kehidupan sehari-hari yang bisa jadi lebih banyak dan sering. Bertumpuk. Dan membentuk karakter anak yang rendah diri dan tak berani maju.

5. Mengabaikan kebutuhan emosi

Bagi sebagian besar masyarakat bawah, dengan tingkat pendidikan rendah dan kemampuan finansial yang pas-pasan, pemenuhan kebutuhan emosi serupa utopia. Di awang-awang. Karena mereka lebih disibukkan dengan urusan pemenuhan kebutuhan mendasar. Meski tak tertutup kemungkinan, ada orang tua dari kalangan bawah yang memiliki tingkat spiritual memadai. Yang memahami betul bahwa kebutuhan manusia hidup bukanlah semata kedagingan.

Namun, tentu saja pola abai terhadap kebutuhan emosi ini tak melulu ada dalam kehidupan masyarakat bawah. Mereka yang terpelajar dan secara ekonomi sangat mapan, tak mampu melimpahkan kasih sayang kepada anak-anaknya. Pemenuhan kebutuhan materi saja dianggap cukup. 

Baca juga: Ngeblog sebagai Sarana Pelepasan


6. Menganggap anak sebagai investasi dan capaian  

Tidak ada anak yang berharap untuk dilahirkan. Orang tualah yang punya rencana. Namun tak lantas anak dijadikan sasaran keinginan orang tua. Anak diperlakukan sebagai bagian dari usaha, diberikan modal untuk kemudahan ditagih keuntungannya di kemudian hari. "Kami sudah membiayaimu, apa balasanmu?"

Sama halnya dengan menganggap anak sebagai capaian. Hal yang menjadikan anak hidup dengan standar orang tuanya.  

7. Tidak mampu berempati

Kondisi anak tak selalu stabil, baik fisik maupun psikis. Apa jadinya jika orang tua tak bisa berempati? Saat anak mengalami kegagalan, disalahkan. Saat anak tak mampu memenuhi standar, dianggap bodoh. Bahkan saat anak dalam kondisi sakit pun, diabaikan.

Ini sempat kudengar dari pengalaman kawan, yang saat sakit betul-betul diabaikan oleh orang tuanya. Padahal tinggal dibawa ke dokter spesialis anak, atau yang lebih mudah ke dokter umum dulu, demi memastikan kesehatan anak. Jadilah, ingatan itu terus menempel, dan hingga kini yang bersangkutan selalu menyebut orang tuanya sebagai toxic parent


Aku tak pernah menjadi orang tua secara langsung. Tapi aku bisa memposisikan diri sebagai orang tua bagi anak mana pun. Dari pengalaman dan pengetahuan terkait perkembangan anak, terutama psikologis, ada beberapa yang kurasa penting untuk diterapkan di antara relasi orang tua dan anak.

1. Kepercayaan. Anak membutuhkan kepercayaan dari orang tua untuk setiap hal yang dipilihnya. Orang tua cukup mengarahkan. Jika anak sudah menetapkan pilihan, beri dukungan.

2. Dialog. Komunikasi dua arah, bicara dengan logika, pun bicara dari hati ke hati perlu dilakukan secara berkala.

3. Berfokus terhadap kebutuhan anak.ika dihadapkan pada pilihan yang cukup membingungkan, kembali pertanyakan kepada diri sendiri, "Apakah yang akan kuputuskan ini demi kebaikan anak atau demi kepentinganku?"

Baca juga: Doa, Meditasi, dan Vibrasi Energi


Aku tak pernah menjadi orang tua, tapi aku menyadari betul tugas menjadi orang tua itu tidak mudah. Sangat berat. Tapi, tugas orang tua hanyalah menyiapkan dan mengawal. Karena anakmu bukanlah anakmu. kata Kahlil Gibran.

Anakmu bukanlah anakmu. Mereka adalah putra-putri kerinduan kehidupan terhadap dirinya sendiri. Mereka terlahir lewat dirimu, tetapi tidak berasal dari dirimu. Dan, meskipun mereka bersamamu, mereka bukan milikmu.

Semoga kita, kalian pun aku dan semua yang tak berkesempatan menjadi orang tua secara langsung, dapat membesarkan anak-anak pemilik masa depan ini dengan baik. Semoga kita bisa menjadi orang tua yang bijak dan tak ada lagi anak yang menyematkan istilah toxic parent kepada orang tuanya.

Namaste.


No comments