The Kite Runner, Layang-layang dan Hal-hal yang Berubah

Pernahkah kamu mendapati kisah seseorang yang berturut-turut ditimpa kemalangan dalam hidupnya? Pernahkah pula kamu mendapati dirimu sebegitu pengecutnya, tak tergerak untuk melakukan sesuatu yang sebetulnya -mungkin- dapat mengubah nasib seseorang? Dua hal itu menjadi bagian kisah yang dituturkan Khaled Hosseini dalam The Kite Runner. Persahabatan dua bocah yang diwarnai layang-layang seperti yang Hosseini dijadikan judul novelnya. Namun, penulis berdarah Afganistan tak hanya berkisah tentang persahabatan remaja namun juga perihal bangsa yang terkoyak oleh pertikaian tak kunjung padam di negerinya.


Baca juga: Mengenal Vincent Van Gogh lewat Lust for Life


Sejauh ini, rasanya hanya buku ini yang bisa membuat mataku basah sepanjang membacanya. Aku menuntaskannya pada 2006. Ingin menuliskannya kembali di sini karena kapan hari menemukan promo dari Penerbit Mizan yang rupanya mencetak ulang, entah yang keberapa kalinya, buku ini. 


Sinopsis

The Kite Runner berkisah tentang persahabatan Amir dan Hassan, dua anak Afghanistan. Usia dan ruang tumbuh bersama yang membuat mereka berteman, karena sesungguhnya ada perbedaan mencolok dari keduanya. Amir adalah anak seorang saudagar  berpengaruh di Kabul. Kekayaannya digambarkan dengan kepemilikannya atas Mustang hitam. Ia gemar menonton dan membaca apa saja. Amir menonton The Magnificent Seven hingga belasan kali. Ia membaca, mulai dari Rumi, Hafiz, Saadi, Victor Hugo, Mark Twain, hingga Ian Fleming. Keluarga Amir adalah penganut Islam Sunni. Mereka berdarah Pashtun, kelompok paling dominan di  Afganistan.

Ayah Hassan adalah pembantu di rumah Amir. Seperti ayahnya, Ali, yang mengabdi kepada ayah Amir, Hassan pun mendedikasikan hidupnya untuk Amir. Keluarga Hassan  berdarah Hazara, penganut Islam Syiah, dan berada dalam tingkatan paling rendah dalam strata sosial  masyarakat Afgan. Jika Amir telah menonton banyak film dan membaca banyak buku, Hassan buta huruf. Ia hanya tahu Shahnamah, kisah epik abad ke-10 tentang pahlawan-pahlawan Persia Kuno. Secara fisik Hassan juga tidak elok. Bertubuh ringkih dan berbibir sumbing. Yang menyamakan keduanya adalah bahwa mereka sama-sama tidak mendapatkan kasih sayang ibu kandung sejak lahir.   

Amir merasa ayahnya tidak mencintainya. Ia menduga, hal itu disebabkan oleh kematian sang ibu setelah melahirkannya. Dalam kesehariannya, Amir berusaha keras untuk melakukan banyak hal yang bisa membuat ayahnya bangga akan dirinya. Berusaha membeli perhatian dan cinta sang ayah. Itu menjadi alasan utamanya saat ikut dalam turnamen layang-layang, sebuah event besar yang digelar tiap tahun di Kabul. 

Bagi para pengejar layang-layang, hadiah yang paling berharga adalah layang-layang yang terjatuh paling akhir dalam sebuah turnamen musim dingin. Itulah trofi kehormatan yang diperebutkan, sesuatu yang bisa dipajang untuk dikagumi para tamu.

Baca juga: Fragmen 9 Perempuan dalam Diskusi di Bandung

Amir bertekad untuk menang dalam turnamen tersebut. Dan, dengan dibantu oleh Hassan, ia memang berhasil menjadi pemenang. Namun, sebuah peristiwa terjadi. Peristiwa yang menghantui Amir seumur hidupnya. Merasakan diri sebagai pengkhianat sekaligus pengecut. Percayalah, bagian ini bakal membuatmu terisak, paling tidak menjadikan matamu berkaca-kaca. 

Amir terselamatkan dari beban batinnya saat bersama keluarganya meninggalkan Afganistan. Pada akhirnya, Amir memang kembali. Di tengah situasi yang berbahaya, Amir perlu kembali ke negerinya untuk menuntaskan utang masa lalunya.


Novel Afganistan Pertama dalam Bahasa Inggris

Khaled Hosseini menuliskan ceritanya dengan mulus, mudah diikuti meski sekali waktu memunculkan kilas balik. Ritmenya yang cepat bakal membuat kita tak ingin berhenti membaca. Kita diajak menikmati eksotisme Afaganistan. Kita disodori pula penderitaan yang nyaris bercokol sepanjang waktu di negeri tersebut. Konflik yang terus berkelindan. Mulai dari konflik antarsuku, hingga invasi Uni Soviet yang menyebabkan terjadinya eksodus besar-besaran warga Afghanistan. Mereka mencari suaka ke Pakistan, lalu Amerika Serikat. Pengusiran Soviet oleh kelompok Taliban awalnya seperti angin segar. Namun nyatanya itu tak lebih dari bencana yang berganti nama. 

Ada bagian-bagian yang konon merupakan pengalaman sang penulis sendiri. Misalnya saat Kabul jatuh dalam cengkeraman Moskow, ayah Hosseini sedang menjadi diplomat di Paris. Keluarga mereka mengalami kesulitan untuk kembali ke Afganistan, bahkan harus mengajukan suaka politik kepada pemerintah Amerika Serikat.

Novel ini merupakan karya fiksi pertama Khaled Hosseini, yang adalah seorang dokter spesialis penyakit dalam di San Jose, California. Namun Hosseini tampaknya membuat karyanya dengan sempurna. Tak ada terlewat. Detailnya, baik lingkungan maupun orang per orang, menarik. Tak ada yang terlewatkan. Hosseini juga memberikan tugas kepada para tokohnya dengan proporsional. Tak ada tokoh yang menjadi protagonis murni. Hosseini tetap menjadikan mereka sebagai manusia yang memiliki sisi gelap, yang pada saat-saat tertentu menjadi pengecut dan pengkhianat. 

Baca juga: Memang, Selera Ngopi Tak Dapat Diperdebatkan

Melalui novel ini, Hosseini menerima penghargaan Humanitarian Award dari UNHCR. The Kite Runner menjadi novel Afganistan pertama yang diterjemahkan ke dalam Bahasa Inggris dan telah diterjemahkan ke dalam 42 bahasa di 70 negara.


Judul: The Kite Runner

Penulis: Khaled Hosseini

Penerbit: Qanita (PT Mizan Pustaka), Cetakan Pertama, 2003

Tebal: 616 halaman

 

No comments