Buat pencinta anjing atau kucing, jangan terkecoh. Ini buku sama sekali tak bercerita tentang kedua binatang berbulu tersebut. Berbeda dengan dua buku Eka Kurniawan yang telah kubaca sebelumnya tanpa diawali dengan referensi apa pun, untuk buku Anjing Mengeong, Kucing Menggonggong aku sempat hadir di sesi diskusi penulis di Gramedia Merdeka, Bandung. Jadi, sudah berbekal bahan bahwa buku ini terkait nama Sato Reang dan banyak bicara soal tradisi beragama.
Baca juga: Cantik Itu Luka, Kisah Perempuan-Perempuan dengan Luka
Di buku ini gaya Eka, setidaknya dari dua buku yang sudah kubaca, masih terasa. Lugas dan telanjang. Meski terasa lebih "santun". Barangkali karena mengangkat tema terkait spiritualitas. Pilihan katanya masih bikin aku ngakak, dimulai dari halaman pertama.
Sinopsis
Dalam Anjing Mengeong, Kucing Menggonggong, Eka menonjolkan satu karakter saja, dari kecil hingga dewasa. Namanya Sato Reang. Dalam bahasa Sunda, sato artinya hewan atau binatang. Nah, reang aku belum pernah tahu. Konon ini adalah istilah dalam bahasa Jawa Kuno. Tapi ada yang menyebut reang sebagai bahasa Indramayu. Eka sendiri tak menyebutkan secara gamblang seting lokasi.
Halaman awal sempat membingungkanku, karena PoV menggunakan orang pertama. Namun si "aku" juga menyebut nama Sato Reang, seolah ia menceritakan orang ketiga. Ini PoV yang belum pernah kutemui dalam buku yang pernah kubaca. Tolong kasih tahu kalau ada pola serupa di buku cerita lainnya.
Selagi kecil, Sato Reang sangat menurut kepada orang tuanya. Terutama kepada ayahnya, Umar. Meski sambil protes dan ngedumel, ia selalu mengikuti perintah sang ayah. Wajib sembahyang lima kali sehari, lalu mengaji atau membaca ayat Al-Quran setiap malam. Kebebasan Sato Reang makin terenggut setelah ia disunat. Karena dengan tegas ayahnya berpesan: "Sudah saatnya kau menjadi anak saleh."
Aturan itu rupanya tak berlaku bagi semua anak di kampung mereka. Banyak yang masih berkeliaran, bermain hingga petang, keluyuran hingga jauh, pacaran. Sedangkan Sato, bahkan acara yang oleh ayahnya disebut sebagai bermain pun ternyata adalah kegiatan pengajian yang dilangsungkan di kota lain.
Pada tiap dini hari, Umar akan menggedor-gedor pintu kamar anaknya itu sampai terbangun. Sato akhirnya menjalaninya sebagai rutinitas, setengah terjaga, berangkat menuju musala. Di kemudian hari, kebiasaan-kebiasaan sang ayah itu menciptakan trauma tersendiri. Salah satu hal yang seolah ia ingin balaskan dendam saat sang ayah meninggal, melakukan segala macam kenakalan.
Ya, Sato Reang, si anak saleh itu berubah liar. Awalnya adalah saat ia merasa begitu terbebani dengan sosok ayahnya yang terasa masih hidup di pikirannya. Seolah ia melakukan apa-apa yang ayahnya lakukan. Ia pun berontak. Ia ingin menunjukkan kalau ia adalah Sato, bukan Umar. Mulailah ia meninggalkan salat, memprovokasi Jamal yang selama ini menjadi pengikutnya, minum-minuman beralkohol, bahkan melakukan tindakan brutal yakni membakar bioskop. Sudah pasti juga ia meninggalkan sekolah.
Keliaran Seto akhirnya harus dibayar mahal: kematian Jamal. Cerita pun selesai.
Baca juga: Buku tentang Kucing yang Dapat Dijadikan Pilihan Bacaan Tahun Ini
Sebetulnya aku tak begitu akrab dengan kehidupan yang diceritakan Sato. Cukup tahu yang kulihat semasa kecil, teman-teman yang mengaji di langgar. Namun, tradisi itu tak ada di keluargaku yang kristiani. Pun masyarakat di sekitarku bukanlah kalangan relijius. Dapat dikatakan mereka adalah kaum abangan. Waktu itu.
Nggak tahu juga, di perkotaan apakah keluarga muslim juga melakukan tradisi beragama seperti yang diceritakan Sato. Mungkin Human Education Centre punya catatannya? Barangkali kaitannya dengan kurikulum merdeka, bagaimana pembelajaran kehidupan beragama para bocah ini diterapkan.
Kisah yang Kurang Greget, Kemasan yang Sangat Cakep
Sebagai orang yang terbengong-bengong saat membaca Cantik Itu Luka (2016), lalu Lelaki Harimau (2004), aku terbilang kecewa dengan buku Eka ini. Aku masih menikmati cara Eka bercerita, suka dengan keliarannya, pilihan diksinya, tapi rasanya Anjing Mengeong, Kucing Menggonggong terlalu adem. Sosok hanya terpusat di Satu, dan meski alurnya maju mundur, terasa jauh bedanya dengan CIT atau LH yang membuatku merasa diajak jungkir balik. Dan, penutupnya buatku juga kurang greget.
Yang sangat jelas membuat buku ini berbeda adalah penampilannya, kemasannya. Buku hanya dicetak dalam format hard cover. Dengan ketebalannya hanya hanya 133 halaman, sudah pasti buku ini terasa mahalnya. Judul sudah jelas, aneh. Terdapat sampul buku dengan warna mencolok, antara merah dan jingga. Begitu masuk bagian dalam buku juga beda. Sepi. Tanpa kata pengantar, tidak ada daftar isi, judul bab pun tidak, apalagi prolog dan epilog, tanpa ilustrasi.
Yang penasaran dengan Anjing Mengeong, Kucing Menggonggong, sila cari dan baca sendiri, ya. Tetap menjadi bacaan yang menarik, kok. Dan aku pun masih akan cari cari buku Eka Kurniawan yang belum kubaca: Seperti Dendam, Rindu Harus Dibayar Tuntas (2014), O (2016), dan Kumpulan Budak Setan (2016).
Judul: Anjing Mengeong, Kucing Menggonggong
Penulis: Eka Kurniawan
Penerbit: Gramedia Pustaka Utama (Cetakan Pertama, 2024)
Tebal: 135 halaman
Baca juga: Lelaki Harimau, Buku Kedua Eka Kurniawan yang Menyesatkan
No comments