Aku yakin, bukan cuma aku yang lebih kenal Purwokerto dibandingkan Banyumas. Mungkin alasannya berbeda-beda. Namun, salah satunya bisa jadi sama, bahwa Purwokerto lebih beken dibandingkan Banyumas. Padahal Purwokerto merupakan ibu kota Kabupaten Banyumas, Jawa Tengah. Aku sendiri mengenal Purwokerto sejak kuliah di Bandung. Perjalanan keretaku dari kampung halaman menuju Bandung pasti melewati Purwokerto. Nah, akhir Juni lalu akhirnya aku bisa menyingggahi kota ini meski hanya semalam.
Purwokerto masuk dalam daftar kota yang ingin kukunjungi, selain beberapa kota lain di Jawa Tengah, seperti Wonosobo, Muntilan, Jepara, Rembang, Kudus, Lasem, dll. Dalam perjalanan kereta, biasanya aku terjaga saat lokomotif mandek sejenak di stasiun Purwokerto. Terakhir aku bergabung dalam tim penulis buku biografi seorang jendela TNI bintang 3 yang salah satu tugas bagianku adalah kisahnya selama di Purwokerto. Demikianlah aku antusias sekali saat kawan Ajeng Kesuma mengajakku berkelana ke Wonosobo dengan janji ketemu di Purwokerto.
Sejarah Purwokerto
Secara status wilayah, rupanya dulu Purwokerto pernah berstatus kota administratif. Seperti kota-kotalainnya, kota dengan total luas wilayah 39,58 kilometer persegi ini juga memiliki catatan sejarah yang menarik.
Purwokerto berdiri pada 6 Oktober 1832 sebagai sebuah kadipaten. Pendirinya Adipati Mertadireja II. Desa Peguwon yang terletak di sekitar Sungai Pelus dipilih sebagai pusat pemerintahan. Empat tahun berselang, wilayah ini digabung menjadi satu dengan Kadipaten Ajibarang. Persisnya pada 1 Januari 1836. Di sinilah muncul nama Banyumas--yang di kemudian hari kita kenal sebagai kabupaten--sebagai ibu kota.
Memasuki abad ke-20, di bawah pemerintahan kolonial Belanda, mulai dilakukan perubahan tata ruang kota di Purwokerto. Yang punya peran adalah seorang arsitek Belanda, Herman Thomas Kartsen. Selain pembaruan, Herman juga mendesain ulang tata ruang demi kebutuhan mengakomodasi terjadinya lonjakan penduduk. Bukan hanya di Purwokerto, tapi di wilayah lain di Pulau Jawa.
Nama Purwokerto konon ada dua versi. Yang pertama berdasarkan temuan batu yang diyakini sebagai reruntuhan candi di masa lalu, disinyalir sebagai peninggalan Kerajaan Pasiluhur. Batu yang ditanam di Arcawinangun, Kecamatan Purwokerto tersebut dikenal sebagai “Makam Astana Dhuwur Mbah Karta” yang berada di Arcawinangun, Kecamatan Purwokerto. Nama Karta itu mengacu pada “Karti” di nama Kiai Kartisura.
Versi kedua cukup singkat. Menyebut asal-usul nama Purwokerto mengadaptasi dua lokasi bersejarah di wilayah tersebut, yakni Kertawibawa, ibu kota Pasir, dan Purwacarita, kerajaan di tepi Sungai Serayu.
Entah mana yang lebih tepat. Namun sepertinya keduanya sama-sama menyepakati bahwa penyebutan wilayah ini adalah Purwokerto, bukan Purwakarta, yang merupakan kabupaten di Jawa Barat.
Baca juga: Berkunjung ke Kota Atlas Semarang
Pengelanaan Setengah Hari
Aku tiba di Purwokerto persis tengah malam, sudah masuk tanggal 24 Juni 2025. Rencana ke Purwokerto--memenuhi ajakan kawan ini--sebetulnya tak mendadak amat. Namun, ternyata tak mudah mendapatkan tiket kereta api dari Bandung. Memang, ya, kereta masih jadi pilihan ekonomis terutama kereta ekonomi atau gerbong ekonomi. Rebutan. Telat pesan, nggak kebagian. Jadilah aku menggunakan moda bus antarkota.
Aku bukan penggemar moda bus (Berhubungan dengan travel). Biasanya untuk kepergian luar kota jarak jauh, aku memilih kereta api sebagai sarana transportasi. Jarak dekat barulah pakai bus. Itu pun dulu. Begitu ada banyak travel yang beroperasi, bus pun kembali ditinggalkan. Seperti belajar kembali menggunakan jenis angkutan ini. Menuju ke Terminal Cicaheum untuk menaiki bus Sinar Jaya yang kupesan melalui Traveloka. Cek ke loket ternyata tersedia cukup banyak armada menuju Purwokerto, dengan sedikit selisih tarif. Kalau waktunya leluasa, bisa langsung ke terminal saja untuk mendapatkan layanan yang diinginkan. Tiket yang kupesan seharga Rp130.000.
Memasuki Purwokerto, sopir menurunkanku di lokasi yang konon cukup dekat dengan penginapan yang sudah dipesan kawan. Memang dekat, aku cukup membayar Rp8.000 untuk ojek online yang kupesan.
Baca juga: Menjajal Bus Metro Trans Pasundan
Penginapannya menarik, namanya Omah Kranji. Guest house ini berlokasi di Jalan Kranji, tak jauh dari alun-alun Purwokerto. Kalau kalian orang Bandung, bisa kugambarkan vibes penginapan ini menyerupai Bumi Asih yang berada di kawasan belakang Gedung Sate. Versi mininya. Sempat berbincang sedikit dengan pemiliknya pada pagi kami akan jalan-jalan. Ibu pemilik pernah tinggal lama di Bandung dan Jakarta.
Berhubung sudah ada rencana lanjutan ke Wonosobo, kami memanfaatkan waktu sebaik mungkin, menikmati kota ini. Diawali dengan jalan kaki memutari alun-alun.
Sepanjang perjalanan dari penginapan menuju alun-alun kami mendapati beberapa penginapan. Jadi, tampaknya tak sulit untuk mencari tempat bermalam di kota ini. Alun-alun yang berseberangan dengan komplek Kantor Pemerintahan Kabupaten Banyumas berjarak lebih kurang satu kilometer dari penginapan.
Kami menuntaskan jalan kaki empat kali putaran sebelum meutuskan mencari sarapan. Ada cukup banyak saran yang kami temukan di media sosial. Namun, kami mengikuti satu rekomendasi kawan untuk menjajal sroto Purwokerto. Tempatnya tak terlalu jauh juga dari alun-alun. Beberapa kali kelokan dan menambah sekian bulir keringat, hehe, akhirnya kami tiba di RM Sroto yang ada di Jalan Bank.
Kami memesan sroto dua porsi dan tempe mendoan serta teh poci satu porsi. Srotonya oke, enak, aku suka citarasanya. Sayangnya--sebagai kota dengan julukan Kota Mendoan--malah mendoannya kurang nendang. Lumayan terbayarkan oleh legitnya teh yang diseduh bersama gula batu.
Sayangnya ukuran lambung tak bisa terlalu banyak menampung makanan. Jadilah cuma itu kuliner yang kami nikmati di Purwokerto. Lain kesempatan perlu berkunjung kembali, sengaja untuk njujug ke kota ini dan menikmati aneka suguhan kotanya.
Ada yang mau jalan-jalan bareng? Barangkali Mbak Suci, kawan travel blogger Medan lagi berkunjung ke tanah Jawa, boleh dicoba.
Btw, perjalanan panjangku yang diawali dari kunjungan ke Purwokerto ini membuatku segera mengeksekusi keinginan berkelana ke beberapa kota yang selama ini hanya jadi wacana.
No comments