Sorong, Pada Suatu Ketika

Suatu kali, pada 2016, secara tak sengaja kusaksikan tayangan di televisi tentang Bandara Sorong. Sontak aku berseru: "Woooooow!" Sebuah pemandangan yang mengejutkan setelah sekian tahun tak mengikuti perkembangan kawasan yang pernah tiga bulan kutinggali ini.


Baca juga: Perjumpaan dengan Kebijaksanaan Baduy

Perjalanan ke Sorong ini dapat dikatakan tak terduga. Paling jauh, imajinasiku meninggalkan Jawa adalah ke Bali. Barangkali seperti sebagian besar orang di Jawa. Tapi, demikianlah, perjalanan hidup mempertemukan kita dengan hal-hal tak terduga.


Pekerjaan dan Perjalanan ke Sorong

Maret 2009. Setelah terganjal beberapa urusan administrasi, akhirnya ada kepastian untuk keberangkatan ke Sorong. Negosiasi yang cukup alot antara kantor konsultan tempatku bekerja dengan BUMD yang ada di Sorong. Akibatnya, lebih dari 2 minggu tertahan di Manado, dan melakukan aktivitas di kantor perwakilan kota tinutuan tersebut. Begitu keputusan itu datang, antusias sungguh menyambutnya. Bagaimana tidak? Akan bertandang ke pulau terbesar di Indonesia dengan luas wilayah 785.753 kilometer persegi. Pulau Papua atau New Guinea ini juga pulau kedua terluas di dunia setelah Greenland. Betapa luas area penjelajahan. Demikianlah yang kubayangkan, pekerjaan tentu saja, sudah pasti. Tapi bertualang di kawasan yang eksotis dengan kekayaan yang memenuhi langit, daratan, dan lautannya, tak setiap orang memiliki peluang tersebut. 

Ekspresi kepanikan sempat datang dari rekan kerja seperjalanan setelah diberi informasi, kami bakal naik pesawat baling. Tak ingat betul tipenya, tapi dengan penumpang kisaran 40-50 orang. Berasa naik bis jurusan Bandung-Jakarta. Sebuah kewajaran mungkin, pesawat baling menuju sebuah pulau dengan hutan-hutannya yang masih rawan. Tapi apa masalahnya? Buatku, pesawat udara merupakan moda transportasi yang paling menuntut kepasrahan kita. Dengan ketinggian penerbangan, apa yang bisa kita lakukan sebagai penumpang jika terjadi sesuatu? 

Baca juga: Sebuah Perjalanan ke Bali Dwipa

Akhirnya perjalanan berjalan lancar. Para penumpang yang sempat khawatir sepertinya tak ingat betul dengan perasaan yang sebelumnya menyerang mereka. Terlebih begitu pesawat mulai merendah, dan melihat pemandangan menakjubkan dari langit di atas Papua, hilang sudah segala kekhawatiran.

"It's amazing. Wonderful!" Begitu ujar beberapa penumpang berambut pirang dari balik jendela. Seruanku tak jauh beda. Tapi cukup dalam hati. Kekaguman yang membahagiakan. Nun masih di atas ketinggian, daratan dan lautan Papua terlihat menyatu dalam harmoni nuansa hijau. Makin menuju tengah laut, makin hijau pekat. Begitu pula makin ke arah daratan dalam, makin terlihat hijau gelap pepohonan di perbukitan. Sungguh pemandangan yang luar biasa. 

Ketika akhirnya mendarat, kondisinya berbanding terbalik dengan keindahan alam yang demikian mewah yang sempat kami saksikan belum lama berselang. Pesawat mendarat di sebuah bandara yang mungil dan minim fasilitas. Di antara tak terlalu banyak bandara yang sempat kusinggahi, Bandara Sorong dapat dibilang yang terburuk. Mungkin ada yang lebih tak memadai. Namun pengalaman berjumpa dengan kondisi yang sangat bertolak belakang itu barangkali yang menjadikannya agak terganggu. 

Baca juga: Jelajah Taman Buru Masigit

Seminggu aku tinggal di Je Meridien Hotel, yang lokasinya persis di area seberang Bandara Domine Eduard Osok (DEO). Lanjut tinggal di rumah sewa, yang lokasinya tak jauh juga dari bandara. Sekali waktu aku suka iseng datang ke bandara. Warga lokal bercerita, tak jarang ditemukan manusia yang tengah telentang tidur di area pacu pesawat. Mabuk. Terpaksa disingkirkan terlebih dahulu sebelum pesawat meninggalkan landasan.  Hal tersebut memang sejalan dengan apa yang kutemukan kemudian selama berada di Sorong, yakni pendidikan yang masih jadi pekerjaan rumah yang besar di tanah Papua ini. 

Maka, mendapati kabar tentang bandara baru yang sedemikian megah, aku gembira. Aku ikut merasakan semangat kawan dan saudara-saudara saya di Papua. Semoga sejalan dengan perkembangan dan kepedulian pemerintah di bidang pendidikan. 


Menikmati Ikan Segar di Pulau Jefman

Salah satu hal yang menyenangkan berada di Sorong adalah bisa mencicipi ikan segar. Terlebih jika sambil menjelajahi jejak Bandara Jefman.

Pada masanya, Pulau Jefman menjadi pintu masuk masyarakat luar menuju Sorong. Dibutuhkan sekitar satu jam perjalanan untuk menuju pulau ini dari Sorong. Pintu masuk? Bandara? Di pulau? 

Yup, Bandara Jefman ada di tengah perairan Papua. Bandara yang secara administratif berada di Distrik Salawati, Kabupaten Raja Ampat, ini pernah sangat dikenal. Menjadi satu-satunya bandara yang berada di daratan yang dikepung lautan. Eksotis. 

Bayangkanlah, untuk menuju Jefman, kita terapung di tengah lautan yang biru sejauh mata memandang. Langit seolah tak berbatas. Jangan bandingkan dengan perairan di seputaran Pulau Jawa. Sama sekali tak sebanding. Indah!

Baca juga: Menyambangi Pulau Dewata

Meski berjarak cukup jauh, dan harus mengeluarkan uang ekstra karena sewa boat sendiri atau harus rela menyiapkan ekstra waktu untuk menunggu boat penuh penumpang, orang rela melakukannya. Bagi warga lokal, barangkali tak lagi mencari pemandangan, melainkan kebutuhan. Karena, kadang kebutuhannya bukan semata untuk mengantar kerabat bepergian, namun sekalian belanja.

Pulau Jefman dikenal dengan buah-buahan seperti durian dan buah khas Papua, matoa, serta hasil tangkapan laut yang beragam dengan harga relatif lebih murah dibandingkan harga produk serupa di daratan Sorong.  

Saat berkunjung ke Jefman pada 2009 lalu, sayang tak sedang musim durian. Bukan dalam musim liburan pula. Sepi. Jejak bandara nyaris tak bersisa. Dari kejauhan, yang terlihat hanyalah bangunan yang tak lagi utuh, diseling dengan rumput dan belukar di sekelilingnya. Bangunan yang masih cukup bagus, konon dulunya adalah gedung milik maskapai penerbangan. Beberapa bangunan lain, masih berdiri tegak dengan keropos di sana-sini. Gapura selamat datang masih kokoh, meski kubayangkan tak semanis saat bandara ini masih berfungsi. Jembatan tempat sandar kapal dan boat, sudah dalam kondisi rusak parah. Tiang-tiang besi penyangganya keropos termakan abrasi. 

Baca juga: Menjelajahi Taman Hutan Raya Juanda

Pulau Jefman tak seramai dan seindah dulu, tentu saja. Namun kawasan ini masih dijadikan salah satu tujuan kunjungan wisata Papua Barat. Masih cukup banyak warga yang menempati pulau ini. Untuk kebutuhan sehari-hari, mereka menangkap hewan laut untuk dipasarkan di Sorong. Mereka jugalah yang melayani dan memberikan jasa bagi para pengunjung pulau. Bersama mereka inilah aku mencicipi hasil tangkapan berupa ikan segar bakar, yang nikmat disantap sembari memandang laut yang tenang. Sungguh, itu ingatan yang tak akan tergantikan.

Ingin kembali ke masa-masa yang lumayan leluasa buat jalan-jalan. Dalam dua tahun itu, dari Sorong menuju Manado, lanjut Medan, dan Palembang. Ingin melengkapi blog dengan dengan kisah seru perjalanan, seperti Mbak Trisuci, travel blogger Medan, dengan cerita perjalanannya yang asik. Sorong? Semoga suatu kali dapat berkunjung kembali. 




1 comment

  1. Membayangkan dan bermimpi ke wilayah bagian Timur Indonesia aja belum pernah. Apalagi menginjakkan kaki kesana.
    Tapi setelah baca tulisan ini ada rasa penasaran mengunjunginya. Saya paling suka wisata yang bisa berbaur dengan masyarakat setempat.
    Smoga jadi doa dan terijabah...

    Btw, makasi BLnya ya mbk... ☺️

    ReplyDelete