Raden Mandasia si Pencuri Daging Sapi, Novel Memikat dari Yusi Pareanom

Tumbuh besar di sebuah desa di Jawa Timur, meski tak sekental kebiasaan orang Surabaya, umpatan adalah hal yang biasa. Apalagi begitu sampai Bandung, yang dalam satu jeda bicara, bahkan anak kecil bisa dengan gampang menyeru "anjing!" Tapi itu dalam kehidupan nyata. Sungguh, baru kali ini aku menemukan buku yang isinya kental dengan umpatan. Aku  menyadari kejahilan dan keliaran Yusi Avianto Pareanom di kumpulan cerpennya. Tapi membaca novelnya, Raden Mandasia Si Pencuri Daging Sapi, baru di halaman awal sudah membuatku ikut menyeru: jangkrik!


Baca juga: Menuliskan Ulang Kisah Perempuan

Aku membaca Raden Mandasia, Si Pencuri Daging Sapi sudah cetakan yang kelima. Tak kunjung cari saat baru terbit, 2016, padahal sangat meminati. Tak ingat persis, apa yang membuatku meminatinya. Hingga tak sengaja kutemukan kumpulan cerpen sang penulis, Rumah Kopi Singa Tertawa dan Muslihat Musang Emas, yang sontak memasukkan namanya dalam daftar penulis favoritku.


Sinopsis

Bukunya berjudul Raden Mandasia, Si Pencuri Daging Sapi, namun sesungguhnya si Raden hanya menempati porsi sedikit. Cerita utamanya adalah dari sang pencerita, Sungu Lembu.

Sungu adalah seorang anak muda dari kawasan bernama Banjaran Waru. Pada masa lalu, Banjaran Waru memiliki pemerintahan sendiri. Ketika Kerajaan Gilingwesi melebarkan sayap dengan mencaplok kerajaan lain di sekitarnya, Banjaran Waru termasuk yang tak selamat. Masalahnya, para pemimpin Banjaran Waru sama sekali tak berupaya untuk melawan. Langsung menyerah tanpa sedikit pun memberikan perlawanan. Sumpah panjang pendek Sungu bukan hanya untuk Raja Gilingwesi dan jajarannya, namun juga bagi para petinggi kerajaannya sendiri yang notabene masih berkerabat dengannya. Kebencian dan dendamnya makin terpupuk karena dalam masa pertumbuhannya ia mendengar banyak selentingan tentang kisah hidupnya.

Demikianlah, sepanjang waktu ia memupuk tekadnya untuk menjatuhkan Gilingwesi dengan cara membunuh sang raja yang bernama Watugunung itu melalui tangannya sendiri. 

Sungu dibesarkan oleh keluarga pamannya. Ibunya meninggal sedari ia bayi, dan bapak --yang diduga bukan bapak biologisnya-- mati dengan cara tak biasa. Kalau bapaknya, Lembu Kuning banyak mengajarinya untuk membaca, Paman Banyak Wetan memberikan pelajaran dengan cara yang berbeda. Selain olah tubuh dengan latihan yang berat, ia juga tak tanggung-tanggung "menghajar" Sungu muda dengan aneka racun. Tentunya dengan dosis kecil karena tujuannya agar Sungu mengenali bahaya sejak dini. Sedangkan bibinya, Nyi Banyak merawatnya dengan penuh kasih sayang. Tiga anak kandung dari pasangan ini sudah dewasa, menikah, dan tinggal di rumahnya masing-masing. Sehingga Sungu menjadi tumpuan kasih sayang mereka, meski mengekspresikannya dengan cara masing-masing. 

Baca juga: Jangan Pelihara Kucing, Kerja Sama Perdana dengan Penerbit Epigraf

Pada perjalanannya kemudian, salah seorang anak Paman Banyak Wetan, Jengger Banyak, ditangkap karena dianggap merencakanakan makar. Peristiwa itu terjadi setelah Jengger sempat dalam perawatan di rumah orang tuanya setelah mengalami luka-luka akibat serangan para prajurit. Jengger saat itu tengah menjalankan aksinya sebagai bandit, kepala kelompok Alap-Alap Ireng. Hal yang di luar dugaan Sungu. Sang kakak memaksa Sungu untuk segera menghindar dari lokasi penangkapan. Malangnya, begitu sampai di rumah, ternyata rumah sang paman mendapat serangan pasukan kerajaan. Dengan tuduhan yang sama. Banyak Wetan digandeng ke penjara kerajaan, sedangkan Nyi Banyak meninggal dunia terkena senjata prajurit. 

Kejadian yang sungguh tak dinyana Sungu. Tak ada yang bisa dilakukan Sungu selain pergi menjauh dari rumah pamannya untuk menemukan takdirnya sendiri.

Dalam pengelanaannya, ia sampai di rumah dadu milik Nyai Manggis yang termasyur di satu kawasan bernama Kelapa. Di tempat inilah ia bertemu dengan Raden Mandasia, pangeran Kerajaan Gilingwesi yang merupakan salah satu dari 13 pasang anak kembar Watugunung. Sungu dan Raden Mandasia melewati banyak petualangan bersama. Hingga pada penghujung cerita, Sungu menyaksikan kawan perjalanannya itu mati dalam perang yang digadang-gadang ayahnya untuk menaikkan kejayaan Gilingwesi. 

Perang Gilingwesi melawan Kerajaan Agung berakhir tragis dengan matinya keluarga besar Watugunung. Sungu menjadi saksi hancurnya kerajaan yang menjadi musuhnya tersebut. 

Baca juga: Book Sleeve, Pembaca Buku Wajib Punya


Penuturan Kisah yang Liar dan Memikat

Sinopsis di atas hanyalah lebih kurang gambaran keseluruhan kisah. Penuturannya tidak runut seperti itu, melainkan dalam alur yang maju-mundur dengan plot twist. Bagi yang tak cukup menyadari pergerakan cerita, mungkin bisa tersesat karena alurnya yang bolak-balik. Tapi sebetulnya tak terlalu rumit juga. Bahkan ternikmati dan terceritakan dengan baik, tanpa perlu membolak-balikkan halaman demi mengingat adegan sebelumnya. 

Tentu saja aku tak akan menceritakan lebih detail lagi. Karena pasti sensasi membacanya akan berbeda dibandingkan dengan ketika kita membaca langsung dari sumbernya. Ada emosi yang mengambil peran penting dalam tiap kalimat yang kita eja.

Aku menyadari kejahilan dan keliaran Yusi Avianto Pareanom di kumpulan cerpennya, Rumah Kopi Singa Tertawa dan Muslihat Musang Emas. Cerpen-cerpen yang penuh kejutan. Nah, kali ini kejutan itu terjadi berulang, babak demi babak, bab demi bab. Aku menikmati betul penuturan cerita dari Sungu Lembu yang nyaris tanpa jeda dari sumpah serapahnya itu. Tentang hal konyol yang dialaminya bersama Raden Mandasia, tentang kenangan masa kanak yang penuh petuah dan pembelajaran, tentang kisah percintaannya, tentang kisah kepahlawanan dari para tokoh masa lalu, tentang olahan makanan yang menggoda. Ada cukup banyak bagian yang membuatku terhanyut, terbawa sedih. Tapi lebih banyak, sih, membuatku tertawa. Bahkan sekadar membaca kalimat:  "Di kemudian hari, paras kecewa itu senantiasa menghantuiku dan membuatku panas dingin tiap kali mengingatnya" saja sanggup membuatku ngakak. Entahlah, mungkin ini karena selera humorku yang kelewat sederhana 😁

Baca juga: Menjadi Penulis, Hobi atau Pekerjaan?

Di luar hal-hal konyol dalam penceritaan oleh Sungu Lembu, banyak hal filosofis juga yang dapat ditemukan. Kucatat beberapa di antaranya:

"Maut tak perlu ditantang, bila waktunya datang dia pasti menang."

"Kemenangan terhebat dalam pertempuran justru ketika kita tak perlu lagi mengangkat senjata. Masih ada lagi: tak ada senjata yang lebih tajam ketimbang akal, tak ada perisai yang lebih ampuh ketimbang nyali, dan tak ada siasat yang lebih unggul ketimbang hati." 

"Sesuatu yang sempurna tak punya hasrat lagi untuk mencari."

"Aku tak paham pikirannya. Aku tak akan pernah paham pemikiran perempuan. Kalua aku bisa membaca hati perempuan, barangkali aku bisa jadi penguasa dunia." 

"Menulislah, agar hidupmu tak seperti hewan ternak, sekadar makan dan minum sebelum disembelih." 

Sesuai dengan catatan di sampul buku, ini adalah dongeng rekaan Yusi. Dalam buku ini Yusi menggabungkan beberapa dongeng dan kisah legenda yang pernah ada, seperti Pinokio, Nabi Yunus, dan Sangkuriang-Dayang Sumbi. Dongeng yang buatku sendiri banyak mengundang imajinasi, dengan tambahan khayalan impulsif: kayaknya aku juga mau bikin dongeng 😊

Raden Mandasia Si Pencuri Daging Sapi ini terpilih sebagai prosa terbaik Kusala Sastra Khatulistiwa 2016. Pada tahun yang sama, juga menjadi pilihan Majalah Tempo 2016 dan dan sebagai fiksi terbaik Rolling Stone Indonesia. 

Ah, ya, dari sisi keredaksian, nyaris tak kutemukan kesalahan. Tapi masih kucatat beberapa kesalahan penulisan, terutama dalam dialog tag dan action tag.

Barangkali mau baca versi lain, bisa cek di Kompasiana. Untuk versi audio bisa cek di Instagram @buku_dhe.


Raden Mandasia 

Si Pencuri Daging Sapi

Penulis: Yusi Avianto Pareanom

Penerbit: Banana, Cetakan Kelima, 2021

Tebal: 470 halaman 


Baca juga: Sequoia, Catatan Seorang Lelaki untuk Anaknya



No comments