Kekerasan Verbal dan Trauma Healing

Kapan hari berjumpa dengan seorang kawan. Sesungguhnya bukan kawan dekat, tetangga kantor dalam satu gedung. Sesama pekerja paruh waktu. Kami berjumpa dan berinteraksi jika secara kebetulan punya jadwal yang sama, atau sedang kegiatan kantor yang berbarengan. Tapi perjumpaan beberapa hari lalu itu seolah kami pernah sangat dekat, karena begitu saja, kami berbagi cerita soal proses "healing" kami. Utamanya dia yang lebih banyak bercerita, tentang kekerasan verbal yang sukses menggerus banyak hingga melemahkan diri di banyak lini. Tak banyak orang tua yang mau belajar tentang  buruknya dampak kekerasan verbal yang mereka lakukan. Akhirnya sang anak sendiri memang, yang mau tak mau harus bangkit untuk menyembuhkan diri sendiri.


Baca juga: Doa, Meditasi, dan Vibrasi Energi

Si kawan, sebut saja Anyelir, sudah beberapa tahun berjibaku dengan upaya penyembuhannya. Dari coba-coba atasi sendiri, mempelajari literasi ini dan itu, hingga menemukan seorang konselor yang dirasanya tepat dan membuahkan hasil yang positif. Kesadaran bahwa ada yang salah pada diri sendiri, menjadi kunci utama untuk melakukan perubahan.


Melakukan Deteksi Diri

Kunci pertama untuk melakukan perubahan adalah menyadari memang ada yang "tak beres" dengan diri sendiri. Bayangkan, jika orang tak peduli dengan kejanggalan yang dialaminya, membiarkan segala sesuatu mengalir tanpa kesadaran bahwa sesuatu yang "tak beres" itu bisa menjadi sesuatu yang membesar dan menjadi gangguan yang lebih berat jika tak diselesaikan. Pada saatnya hal yang tak beres itu menjadi bom waktu. 

Hal keduanya adalah keinginan untuk berubah. Menyadari ada yang tak beres tapi sama sekali tak ada greget untuk melakukan pembenahan, masa bodo, ya sama saja bo'ong. Tak ada artinya, tak memberikan makna baru. 

Hal pertama sudah, hal kedua oke, maka yang berikutnya ada memilih terapi yang tepat. Langkap awalnya barangkali berkonsultasi dengan psikolog, yang akan memberikan rekomendasi lanjutan, apakah cukup dengan konsultasi tatap muka atau sudah membutuhkan konsumsi obat. Yang artinya direkomendasikan untu menghubungi psikiater dalam penanganan berikutnya. 

Beruntunglah juga kita cukup dibekali kesadaran untuk dapat merumuskan apa-apa yang sedang terjadi dengan diri kita. Banyak orang yang tak dimampukan untuk melakukan itu. Nah, jika yang mengalami adalah orang-orang terdekat kita, sedangkan kita cukup mampu membaca kondisi mereka, mungkin kita bisa ambil peran untuk memberikan saran kepada mereka dengan merujuk ke profesional.

Baca juga: Empati dan Seni Berkomunikasi


Berbagai Model Terapi

Pengalaman traumatis terendapkan di alam bawah sadar. Ego manusia bisa menekannya sedemikian rupa demi berbagai alasan, yang barangkali lebih kurang untuk kebutuhan bertahan hidup. Begitu terpantik oleh penyebab tertentu, muncullah ke permukaan dan menjadi gangguan. 

Ada sejumlah metode terapi yang digunakan dalam mengatasi gangguan akibat peristiwa-peristiwa traumatis. Ini aku kutipkan dari situs RS Siloam:

1. Terapi perilaku kognitif (CBT)

Terapi ini mengambil fokus pada pola pikir. Mengatasi pola pikir yang bermasalah, kemudian mengubahnya. Untuk pembiasaan diperlukan tindakan berkala mingguan. Dengan begitu pengidapnya akan mempelajari gejala-gejala yang dialaminya lalu mengelolanya.

Pada umumnya CBT umumnya dilakukan dalam kurun 12 hingga 16 minggu tergantung perkembangan kesembuhannya.

2. Terapi pemaparan berkepanjangan

Terapi dilakukan dengan menggunakan teknik terapi perilaku. Tindakan yang diberikan berupa paparan yang menyasar pada ingatan, emosi, pikiran, hingga sensasi fisik yang berhubungan trauma, dengan cara bertahap.

Tujuannya adalah memunculkan keberanian pada pengidapnya agar mampu menghadapi ketakutannya. 

3. Terapi pemrosesan kognitif

Terapi ini menangani pasien dengan cara mereka diajak untuk melihat diri sendiri, orang lain, dan lingkungan sekitar. Tindaka yang diterapkan adalah melakukan evaluasi cara berpikir seseorang pasca mengalami peristiwa traumatis. 

Terapi jenis ini pada umumnya diterapkan kepada mereka yang mengalami rasa malu atas pengalaman traumatisnya. Dengan CPT, mereka diajak mengevaluasi trauma yang dialami dan dampak terhadap pikirannya.

4. Terapi perilaku kognitif berfokus pada trauma

Terapi ini dianggap sebagai salah satu yang paling efektif diterapkan pada anak remaja yang mengalami gangguan stres pasca trauma. Metodenya memang dirancang untuk anak remaja, dengan melibatkan pengasuh atau orang tua mereka. 

Terapi ini juga banyak dipakai dalam upaya penyembuhan trauma lainnya, seperti depresi, kecemasan, dan masalah perilaku.

Baca juga: Berhati-hatilah dengan Siapa Kamu Bercinta

5. Desensitisasi gerakan mata dan terapi pemrosesan ulang (EMDR)

Terapi ini bertujuan memampukan otak untuk melakukan penyembuhan trauma secara alami. Metodenya adalah dengan menerapkan gerakan mata atau ketukan, seraya meminta pasien untuk melihat gambar yang berhubungan dengan traumanya secara fokus.

Terapi ini dianggap efektif dalam membantu pasien mengatasi ingatan terkait perasaan akibat trauma ayng dialaminya, jauh lebih cepat dibandingkan dengan terapi lainnya.

Itu dia beberapa metode terapi trauma healing yang hanya bisa dilakukan oleh profesional. Si kawan, Anyelir, memilih EMDR sebagai terapinya. Setelah 6 sesi pertemuan daring ia mulai merasakan kesembuhan yang signifikan. 


Trauma Healing bukan Proses yang Mudah

Ya, trauma healing bukan perkara mudah, karena melihatkan batin manusia yang berlapis-lapis. Tapi, sesungguhnya, apa yang terjadi dengan Anyelir?

Aku mengenal Anyelir sekitar 10 tahun lalu. Seorang perfeksionis. Aku merasakan ada sedikit ketakwajaran dalam sikap-sikapnya. Bukan sesuatu yang mencolok memang, tapi dalam pengenalanku dengan orang-orang perfeksionis tak sedalam dia. Belakangan hari baru kudapatkan informasi itu. Bahwa ia selalu berusaha untuk tampil baik, tampil sempurna, tampil tanpa cacat demi tidak disalahkan oleh ibunya. Anyelir mengalami kekerasan verbal dari ibunya.

Berbagai kalimat-kalimat tak menyenangkan sering dipakai sang ibu untuk menyudutkan Anyelir. Itu terjadi bukan hanya selama masa pertumbuhannya, namun hingga masa dewasanya karena ia masih tinggal bersama orang tuanya. Setelah memutuskan mengikuti terapi, ia membulatkan tekat untuk keluar dari rumah orang tuanya. Kurasa dengan membuat jarak, ia lebih sanggup mengelola emosi. Ia tetap seorang perfeksionis, kurasa. Tapi kini dengan sepenuh kesadaran bahwa itu dilakukan untuk kebaikannya sendiri, bukan demi orang lain.

Baca juga: Multitasking Membuat Kita Gampang Lupa

Semoga kita semua dimampukan untuk lebih bijak menyaring apa yang kita omongkan. Apakah yang kita omongkan ada manfaatnya? Apakah yang kita omongkan tidak menyakiti orang lain? Jangan sampai kita menjadi sebab dari ingatan traumatis seseorang yang berdampak pada berbagai lini kehidupannya dan membutuhkan penanganan ekstra. Semoga kita semua sehat lahir dan batin. Namaste.



No comments